Upaya Pelestarian Cagar Budaya di Sangiran

0
1122
Keberlanjutan Penelitian Pasca

Banyaknya fosil yang telah dikumpulkan Toto Marsono dan kayanya kandungan fosil di Situs Sangiran, maka tahun 1974 didirikanlah Balai Penyelamat fosil di Desa Krikilan. Pada tahun 1988 Balai Penyelamat fosil itu berubah nama menjadi Museum Sangiran.
Pada tahun 2007 pengelolaan Museum Sangiran berubah menjadi wewenang Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.
Perkembangan tersebut diikuti dengan aturan pemerintah yang melarang pencarian fosil karena mengancam pelestarian Situs Sangiran. Aturan pemerintah itu berupa UU No 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang kemudian disempurnakan dengan UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Hal ini menghambat kebiasaan mencari fosil yang sudah dilakukan masyarakat secara turun turun temurun. Menurut Sulistyo (2003, 110) ada tiga hal yang menghambat pencarian fosil dimasa sekarang. Hambatan pertama adalah peraturan pemerintah yang melarang penduduk mencari fosil. Hambatan kedua adalah banyak lahan kosong yang saat itu wajib ditanami tebu. Dan hambatan ketiga menurut dugaan mereka, jumlah fosil sudah semakin menurun karena sudah sejak dulu diambil orang.
Upaya pelestarian Situs Sangiran terus dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui kegiatan sarasehan, sosialisasi dan pemberian imbalan bagi penemu fosil yang menyerahkan fosil temuannya kepada Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Upaya tersebut terus intensif dilakukan guna menyadarkan masyarakat akan pentingnya fosil bagi ilmu pengetahuan. Kegiatan tersebut terus dilaksanakan dan dianggarkan setiap tahun sehingga dapat menekan penjualan gelap dan aktivitas pencarian fosil yang dilakukan masyarakat. (Wiwit Hermanto)