Pijakan Awal Situs Sangiran Sebagai Virtual-Prehistory

0
917

Tahun 2020 merupakan tahun penuh tantangan bagi generasi yang hidup saat ini. Bukan sekali ini saja, wabah penyakit menyerang secara global, sebut saja, Black Death hingga kolera. Namun pandemik tersebut hadir saat teknologi komunikasi belum secepat dan intens saat ini. Sehingga dalam upaya penanganan tersebut kurang maksimal. Sebagaimana yang kita tahu, komunikasi merupakan hal yang penting dalam upaya penanganan beberapa hal. Jalan pantai utara Jawa yang dibangun pada masa pemerintahan Daendels, disebut sebagai ‘Jalan Pos’ bukan tanpa sebab. Karena memang di setiap titik tertentu terdapat kantor pos untuk mempercepat komunikasi dan pemberitaan informasi strategi mempertahankan Jawa dari Inggris. Dengan melihat urgensi hubungan informasi dan komunikasi, bisa dikatakan abad-21 merupakan ladang subur perkembangan teknologi ini. Di mana pada abad sebelumnya untuk menghubungkan pihak dari jarak jauh hanya sekadar komunikasi tertulis dan suara. Namun pada abad ini, varian komunikasi dalam hubungan jarak jauh bertambah, yakni berupa video call atau gambar gerak dengan suara. Perkembangan tersebut seiring dengan internet yang telah menjadi kebutuhan primer dalam masyarakat. Kembali pada poin tahun 2020 merupakan tahun penuh tantangan. Tak lain ialah bagaimana manusia di dalam masyarakat tetap berupaya untuk berhubungan dengan lingkungan sosialnya secara maya. Pandemi yang penyebarannya terjadi lewat sentuhan fisik langsung, membuat seluruh umat manusia membangun tatanan yang ‘baru’ dari nol. Tatanan tersebut merupakan digitalisasi segala segmen kehidupan. Salah satunya ialah pendidikan.

Situs Sangiran merupakan sebuah wilayah peninggalan arkeologis yang berada di Indonesia. Keberadaan situs ini memiliki peran penting dalam penelitian berkaitan dengan evolusi manusia, dengan ditemukannya fosil Homo erectus. Situs ini juga berisikan ekofak lainnya seperti hewan dan tumbuhan purba. Lalu juga terdapat tinggalan berupa alat-alat batu hasil budaya manusia purba. Kekayaan situs ini merupakan aspek penting dalam penelitian yang berkaitan dengan sejarah dunia secara kafah. Segala disiplin keilmuan seperti antropologi, paleontologi, arkeologi, geologi, sejarah, dan lain-lain bersama untuk merekonstruksi apa yang ada di dalam situs ini. Maka tak heran jika banyak dari kegiatan studi wisata instansi Pendidikan formal acap kali dilakukan di situs ini, tepatnya di area Museum Purbakala Sangiran. Keberadaan situs ini merupakan kekayaan baik secara budaya atau intelektual yang memiliki peran dalam pendidikan pemuda-pemudi Indonesia.

Melihat tahun 2020, semua kegiatan dialihkan secara daring. Maka banyak segmentasi dalam masyarakat bertransformasi atau menyesuaikan dengan keadaan. Hal tersebut dilakukan semata agar informasi-informasi yang ada tetap update. Contohnya adalah Museum Nasional, yang melakukan transformasi agar pengunjung bisa mengunjungi secara virtual. Museum Purba Sangiran juga melakukan upaya serupa sebelumnya. Namun yang virtualisasi tersebut memang masih sekedar mengenal isi ruang museum tersebut. Belum adanya visualisasi yang berisikan informasi terkait temuan-temuan di dalamnya. Dengan adanya pandemi ini, saya melihat sebagai pijakan awal masyarakat komputerisasi, seperti yang disebut Lyotard. Teknologi menjadi konstruk dasar dalam mendukung gerak manusia. Sehingga visualisasi berkembang menjadi virtualisasi. Virtualisasi disini mencakup bagaimana keadaan prasejarah di situs Sangiran terproyeksi langsung secara digital. Jadi, bukan lagi sekadar foto 360° yang lalu ditampilkan di Internet. Mungkin dalam perkembangannya butuh waktu yang lama, namun hal ini merupakan langkah besar tidak hanya bagi pihak museum dan pemerintah dalam branding namun kepada ranah pendidikan. Bagaimana situs Sangiran bisa menarik kelompok awam, dan memberi arti bahwa sejarah itu penting. Segmentasi ini nantinya bisa disebut sebagai education-oriented. Butuh waktu lama dalam pengembangannya yang pasti membutuhkan bantuan banyak pihak. Namun dengan momen pandemik yang memaksa seluruh hal digerakkan secara daring, agaknya memberi suatu pijakan dalam transisi pengenalan sebuah situs dalam hal ini situs Sangiran dalam pendidikan dari yang konvensional ke virtual secara daring ataupun luring. Mengutip pemahaman Koentjaraningrat bahwa kebudayaan merupakan kesatuan sistem yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Memiliki makna kontekstual, bahwa saat ini merupakan upaya awal situs Sangiran memasuki ranah pendidikan secara kreatif, inovatif, dan informatif. Sehingga situs Sangiran bukan hanya milik peneliti, namun milik manusia secara menyeluruh. (Natanael Wiratama Lukitaaribowo)