Hubungan Antar Suku-Bangsa Dan Golongan Serta Masalah Integrasi Nasional

0
360

Hubungan Antar Suku-Bangsa Dan Golongan Serta Masalah Integrasi Nasional

Oleh: Hari Poerwanto

 

Sifat majemuk dari bangsa Indonesia, disamping merupakan kebanggaan hendaknya pula dilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan mengandung potensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi nasional Indonesia yang kokoh, terdapat berbagai kendala yang harus diperhatikan.

Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna, Koentjaraningrat (1982:345-346) melihat ada empat masaah pokok yang dihadapi, ialah (a) mempersatukan aneka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c) hubungan mayoritas-minoritas dan (d) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210 juta orang penduduk Indonesia dewasa ini, sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa.

 Terakhir kalinya, Sensus Penduduk di Indonesia yang memuat items suku-bangsa adalah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda; yang hasilnya dimuat dalam Volkstelling (1930). Sensus Penduduk Indonesia yang dilakukan pada 1970 dan dalam dasawarsa berikutnya, tidak mencantumkan items suku-bangsa. Mengingat hal tersebut, ada kesulitan untuk mengetahui secara pasti laju pertumbuhan penduduk berdasarkan suku-bangsa dan distribusi mereka. Sekalipun demikian, ada pula berbagai usaha untuk mengetahui hal di atas, antara lain pernah dicoba oleh Pagkakaisa Research (1974), antara lain disebutkan bahwa suku-bangsa bahwa Jawa mencapai 45,8% dari total penduduk Indonesia pada 1974 (sekitar 120.000.000 orang). Berbagai distribusi penduduk Indonesia berdasarkan suku-bangsa ialah Sunda (14,1%), Madura (7,1%), Minangkabau (3,3%), Bugis (2,5%), Batak (2,0%), Bali (1,8%), 24 suku-bangsa lainnya (20,3%) dan orang Cina (2,7%). Sementara itu, di kalangan para pakar masih terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan penduduk di Indonesia ke dalam suatu konsep suku-bangsa.

Koentjaraningrat (1982:346-347) menilai bahwa berapakah sebenarnya jumlah suku-bangsa di Indonesia, sampai saat kini masih sukar ditentukan secara pasti. Hal ini disebabkan ruang lingkup istilah konsep suku-bangsa dapat mengembang atau menyempit, tergantung subyektivitas. Sebagai contoh, paling sedikit di Pulau Flores terdapat empat suku-bangsa yang berbeda bahasa dan adat-istiadatnya, ialah orang Manggarai, Ngada, Ende-Lio dan Sikka. Namun kalau mereka ada di luar Flores, mereka biasanya dipandang oleh suku-bangsa lainnya atau mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai satu suku-bangsa, ialah Flores.

Hal ini juga terjadi dikalangan suku-bangsa Dayak di Pulau Kalimantan. Menurut H.J. Malinckrodt, orang Dayak diklasifikasikan ke dalam enam rumpun atau stammen ras, ialah Kenya-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Moeroet, Klemantan dan Poenan. Selanjutnnya jika diamati lebih lanjut, di kalangan orang Dayak Kalimantan ada 405 suku-bangsa yang saling berbeda satu dengan lainnya. Jika mereka berada di luar Pulau Kalimantan, orang lain menyebut mereka dan mereka sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai suku-bangsa Dayak, akan tetapi di Kalimantan sendiri antara satu dengan yang lain merasa memiliki perbedaan. Demikian pula hanya di Irian Jaya, berdasarkan penelitian dari Summer Language Institute, paling tidak terdapat 252 suku-bangsa yang masing-masing memakai bahasa yang berbeda. Mengingat hal tersebut maka, Koentjaraningrat memandang perlu upaya pendifinisian konsep suku-bangsa di Indonesia secara ilmiah, antara lain dengan mengambil beberapa unsur kebudayaan sebagai indikator yang dapat berlaku bagi semua “suku-suku-bangsa” yang ada di Indonesia.

Upaya untuk memahami keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di Indonesia adalah sekaligus berpretensi pula mengungkapkan berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi di kalangan suku-bangsa yang saling berbeda kebudayaannya.

Selengkapnya download file pdf berikut ini: Hubungan_Antar_Sukubangsa-Hari