Padang (BPNB Sumbar) – Sebagai UPT Kemendikbud yang konsentrasi pokoknya mengenai Sistem Matrilineal, maka perlu bagi pegawainya khususnya para peneliti untuk tetap mengembangkan pemahamannya tentang Sistem Matrilineal. Dengan demikian program kerja yang disusun lebih terarah dan target yang dicapai sesuai dengan tugas dan fungsi yang diemban. Untuk tujuan itu jugalah BPNB Sumatera Barat menugaskan para penelitinya untuk menghadiri undangan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas dalam kuliah umum Prof. Dr. Tsuyoshi Kato. Kuliah umum tersebut dilaksanakan di Ruang Sidang Dekanat FIB Unand pada 18 Januari 2017.
Kuliah umum tersebut membahas tentang “Sistem Matrilineal; Suatu Perbandingan dengan Sumatera Barat, Rantau Kuantan dan Negeri Sembilan”. Judul ini merupakan hasil penelitian Prof. Tsuyoshi Kato pada tiga wilayah Matrilineal dan dilakukan dalam tiga rentang waktu yang berbeda. Kato mengadakan penelitian di Sumatera Barat sekitar tahun 1972-1973 di Ampek Angkek, Di Teluk Kuantan sekitar tahun 1985-2005 dan di Negeri Sembilan sekitar tahun 1986-1992. Beliau sendiri merupakan dosen di Tokyo University dan menjadi dosen tamu di Universitas Malaya.
Menurut Kato, keinginan untuk membuat studi komparatif antara Sumatera Barat, Kuantan dan Negeri Sembilan berangkat dari faktor kebiasaan yang umum terjadi di masyarakat. Kebiasaan khususnya pada penilaian bahwa tradisi merantau yang berkembang pada masyarakat Sumatera Barat atau Minangkabau tidak lepas dari budaya matrilineal. Budaya matrilineal dalam pandangan umum tidak memberikan tempat bagi laki-laki untuk menumpuk hartanya karena sama sekali tidak mendapat bagian dalam rumah gadang sehingga ada keinginan untuk merantau. Selain itu para pengamat juga sering membicarakan hubungan Negeri Sembilan dengan Minang, namun jarang memperhatikan Kantong Adat Minang (Kuantan) dengan Minang.
Pandangan umum tersebut kemudian mendorong Kato untuk melakukan studi komparatif pada daerah dimana sistem matrilineal tumbuh dan berkembang. Daerah tersebut adalah Sumatera Barat, Teluk Kuantan dan Negeri Sembilan. Ketiga daerah ini juga diakui memiliki akar budaya yang sama yaitu Minangkabau di Sumatera Barat dan tetap menjaga sistem matrilineal tersebut sampai sekarang. Pendekatan komparatif menurut Kato bermanfaat untuk menghindari dogmatisme sehingga ilmu bisa berkembang.
Dalam penelitian Kato menyatakan bahwa ada dua pola merantau masyarakat Minangkabau pada masa lalu yaitu pertama, pola mancancang, malateh, manambang dan manaruko. Pola pertama ini berkembang dari Barat ke Timur mengikuti arus Sungai. Sedangkan pola yang kedua adalah pola berdagang dan menuntut ilmu.
Dalam melakukan studi komparatifnya, Kato membuat kerangka perbandingan seperti Legenda tentang asal-usul sistem matrilineal, prinsip pokok sistem matrilineal, nama-nama suku, tata cara pemukiman, hubungan kekerabatan dan kekeluargaan, keadaan ekologi, sistem matrilineal dan kebiasaan merantau dan sistem matrilineal sebagai dasar identitas etnis.
Hasil penelitian Kato menyatakan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara tiga daerah dengan sistem matrilineal. Beberapa diantaranya adalah legenda yang dikenal dalam Tambo Alam Minangkabau tentang Dt. Perpatih nan Sabatan dan Dt. Katumanggungan di Sumatera Barat. Di Negeri Sembilan legenda tersebut tidak ada namun ada cerita yang menceritakan tentang kedatangan orang Minang ke Negeri Sembilan. Sementara itu di Kuantan dikenal dengan Cerita Rakit Kulim. Sistem matrilineal di Minangkabau tidak jelas asal-usulnya sementara di Kuantan dan Negeri Sembilan bisa dijelaskan.
Lebih jauh Kato menjelaskan bahwa perbedaan paling mencolok ada pada tradisi merantau. Ketika pandangan umum khususnya di Indonesia menyatakan bahwa orang minang suka merantau karena sistem matrilineal, maka Negeri Sembilan dan Kuantan tidak biasa merantau sebelum mereka mulai berpendidikan tinggi sejak 1960 an. Masyarakat Negeri Sembilan dan Kuantan sampai sekarang jarang merantau dan berdagang. Hal ini menurut Kato lebih karean orang Minang sudah dikenalkan ekonomi mata uang, jalan, perdagangan dan pendidikan sekuler sejak masa penjajahan. Kato juga menyatakan bahwa saingan orang Minang tidak banyak karena Tionghoa lebih dominan tinggal di pantai timur Sumatera.