Membudayakan Tradisi Surau*

0
10671
Mardoni

Penulis : Staf pada BPNB Sumatera Barat

Fenomena menarik dari kajian surau adalah banyaknya produk dan tokoh terkemuka yang mendapatkan pendidikan surau berhasil menjadi ‘orang’ di negeri ini. Sebut saja Bung Hatta atau lebih dikenal dengan Mohammad Hatta, tokoh proklamator kemerdekaan dan Wakil Presiden Republik Indonesia pertama. Hatta memperoleh pendidikan agama dari kakeknya Syekh Abdurrahman di Bahuhampar dan di Surau Iyiak Jambek di Bukittinggi (Hasril Chaniago 2010: 22). Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek disebut Mohammad Hatta dalam buku Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi (Penerbit Buku Kompas). Hatta menyebut Syekh Muhammad Djamil Djambek seorang ulama besar yang terkenal sampai ke luar daerah. Beliaulah yang pertama kali membimbing langkah Hatta ke jalan pengetahuan Islam. Lulusan surau ini telah mendampingi Presiden Republik Indonesia pertama ketika memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.

Begitu hebatnya pendidikan surau membentuk karakter seseorang, sehingga banyak pihak yang merasa cemas, takut, dan gamang, bagaimana jadinya generasi selajutnya jika surau sudah berkurang fungsinya di tengah-tengah masyarakat. Kecemasan, keraguan, dan bahkan ketakutan umumnya masyarakat terhadap anak kemenakannya dalam menghadapi budaya baru globalisasi  yang sangat tidak bisa dibendung, apalagi mereka sangat dangkal pemahaman agamanya menjadikan banyak masyarakat ingin menyuarakan program gerakan kembali ke surau. Kegamangan masyarakat akan pentingnya pendidikan surau inilah yang menyebabkan banyak pihak mempunyai keinginan untuk mengembalikan fungsi surau dengan wacana kembali ke surau. Akan tetapi surau telah banyak tidak difungsikan sejak digantikan fungsinya oleh mushala atau masjid.  Hanya beberapa surau saja yang berfungsi, itupun hanya sebagai tempat sholat berjamaah saja. Oleh karena itu, hal yang bisa dilakukan adalah mengembalikan fungsi surau dengan membudayakan tradisi surau di tengah masyarakat khusus keluarga di Minangkabau.

Fungsi Surau di Minangkabau

Dalam khasanah filosofi kebudayaan Minangkabau, surau memiliki peran yang sangat penting dalam struktur sosial masyarakat. Surau tidak hanya dianggap sebagai sebuah lembaga keagamaan, tetapi memiliki fungsi sebagai tranformasi nilai-nilai budaya dan agama dalam masyarakat Minangkabau. Wujud fungsi surau tersebut terlihat dari kurikulum yang diajarkannya. Di Surau tidak hanya mengaji-mengaji saja, tetapi juga memiliki kurikulum bersilat, berpidato adat,  berceramah agama dan lainnya. Konsep ini sangat relevan dan sejalan dengan visi dan misi Kemendikbud RI tentang pendidikan karakter yaitu untuk pembentukan karakter bangsa yang berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, dan pembentukan kepribadian dengan karakter unggul antara lain kejujuran, berakhlak mulia, mandiri serta cakap dalam menjalani hidup (dalam Permendikbud nomor 22 tahun 2015 tentang rencana strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015-2019).

Sistim pendidikan surau ini mempunyai karakteristik, setidaknya dari rumusan isi terlihat mengajarkan tiga bidang keilmuan yakni (1) agama, (2) adat dan (3) silat. Setidaknya ada tiga hal yang bisa dikembangkan dari karakter surau ini.  Pertama, pendidikan ilmu agama. Pendidikan agama yang diajarkan di surau mulai pokok-pokok akidah (tauhid), akhlak mulia serta penerapannya dalam kehidupan diikuti dengan pengajaran agama Islam yang mudah dipahami dan diamalkan. Dimulai dengan pendidikan Alquran, yang terdiri dari pengenalan huruf hijaiyah, tajwid, tafsir alquran, seni membaca Alquran, bahkan di surau-surau tertentu menganjarkan tasauf, mantik, syaraf dan lainnya.

Kedua, pendidikan adat. Selain pembelajaran agama di surau juga belajar adat istidat  yang berisi tentang akhlak bertutur (berbicara), bertingkah laku, dan bersopan santun dalam masyarakat. Dalam pembelajaran ini anak diajarkan tentang tatakrama bertutur kata, dalam budaya Minangkabau disebut sebagai “kato mandaki jo kato manurun, kato malereng  jo kato mandata, yang diistilahkan dengan “kato nan Ampek”. Sehingga seorang anak di Minangkabau tahu adat berbicara dengan orang lain, baik dengan orang yang sama besar atau kecil, berbicara dengan sumando atau yang lebih besar. Adat budaya Minangkabau yang berisi sopan santun dan budi – baso jo bahaso sebagai pelaksanaan pengajaran Islam dalam masyarakat sejalan dengan filosofi masyarakat Minang “Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK) yang dilakukan dengan strategi “syara’ mangato adat mamakai. Maka di suraulah tempat untuk mewariskan hal tersebut oleh mamak kepada anak kemenakannya.

Ketiga, pembelajaran silat atau beladiri.  Dari pengamatan Azyumardi (2010) surau yang mengajarkan seperti ini penting, bukan hanya dalam aspek keagamaan tempat mengaji saja, tapi juga fungsi ritus peralihan bagi seorang anak bujang/ mambujang lalok di surau. Pada masa lalok di surau ini anak kemenakan akan diajarkan berbagai seni ketangkasan, seperti silat misalnya. Maka sangat dikenal dalam masyarakat Minangkabau lahir berbagai jenis silat seperti silat kumanggo dari Sungai Tarab Tanah Datar. Jenis bela diri Kumango bermula dari sebuah Surau Subarang, masjid kecil di Nagari Kumango, Kecamatan Sungai Tarab. Dulu, Syekh Abdurahman atau dikenal dengan Alam Basifat tak hanya mengajar agama di tempat tersebut namun sekaligus mengajar ilmu silat kepada para pemudanya di malam hari. Kebiasaan pemuda Minang zaman dulu yang lebih senang menginap di surau diisi sang syekh dengan belajar bela diri ini. Guru mengaji sampai tahun 1980-an hanya di surau, di rumah penduduk tak ada kamar untuk anak laki-laki, laki-laki di Minang pada dasarnya tidak punya rumah, di waktu kecil tidur di surau, sewaktu tua/  bercerai dari istri tidur di surau, keluar dari rumah isteri (bercerai) pakai celana kotok saja, tak bawa apa-apa kecuali yang melekat pada dirinya saja, seperti abu di atas tunggu, surau ninik mamak berfungsi sebagai ritus peralihan ini.

Apadaya surau tidak mungkin kita kembalikan seperti masa silam. Orang tua mana yang rela anak laki-lakinya lalok/tidur di surau, siapa yang rela melihat bapaknya yang sudah renta akan tidur di surau. Lelaki tua mana yang mau keluar dari rumah yang dibangunnya sendiri dan tidur di surau. Kondisi inilah yang membuat kegamangan banyak masyarakat karena tidak bisa melaksanakan kembali ke surau. Oleh karena itu fungsi surau bisa kita implementasikan dengan mengembalikan program surau ke ranah / ruang keluarga yang disebut ruang domestik.

Konsep gerakan 1821 merupakan suatu gerakan yang digagas oleh seorang trainer parenting, Ikhsan Baihaqi Ibnu Bukhori atau lebih dikenal dengan nama Abah Iksan, menjelaskan tentang ajakan kepada anak-anak untuk berpuasa handphone, blackberry, tab, android dan atau laptop hanya dalam 3 jam sehari, 6 hari seminggu yaitu dari pukul 18.00 – 21.00 Wib (Waktu saat memasuki Sholat Magrib sampai dengan saat anak-anak kita menjelag tidur). Kemudian orang tua atau  mamak dalam rumah tangga mengambil peran untuk memberikan dan melakukan 3-b yaitu bermain, belajar, dan berbicara (ngobrol).

Konsep 1821 penulis integrasikan dalam pelaksanaan pendidikan surau di dalam rumah tangga. Seorang Bapak atau Mamak memiliki peran dalam pelaksanaan konsep ini di dalam keluarga. Kegiatan 3-b yang berbasis surau ini dalam ruang domestik harus sejalan dengan fungsi surau di Minangkabau yang telah dijelaskan diatas. Kegiatan ini harus diikuti oleh seluruh anggora keluarga. Dimulai dari jam 18.00 menjelang sholat magrib, sampai jam 21.00 menjelang anak akan tidur. Pertama, pendidikan ilmu agama. Pendidikan agama yang dimaksud disini bisa dalam bentuk sholat berjamaah, mengaji bersama, belajar tajwid dan pembelajaran lainnya yang berhubungan dengan agama.   Bapak sebagai pemimpin/kepala dalam rumah tangga atau mamak selaku pewaris tradisi ini kepada kemenakannya, harus memulai kegiatan ini dengan persiapan sholat magrib dengan berwudu’, hal ini harus diikuti oleh ibu, dan seluruh anak-anak. Selanjutnya melaksanakan  sholat magrib berjamaah, yang dilanjutkan dengan mengajarkan/ belajar Alquran, menyimak bacaan Alquran anak-anak (bagi yang telah bisa membaca Alquran), belajar tajwid, dan seni baca Alquran.

Dalam kegiatan ini karakter yang dikembangkan adalah karakter religius, taat beribadah, serta budaya berkelompok dan berorganisasi. Perilaku sholat berjamaah ditengah-tengah keluarga ini memberikan makna yang sangat dalam terhadap anak. Anak dibentuk sikap dan perilakunya untuk taat dan patuh terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta patuh terhadap orang tua.

Kedua, pendidikan adat. Pembelajaran adat istiadat bisa diberikan kepada anak-anak oleh kepala keluarga atau mamak dalam keluarga. “Anak dipangku kemenakan dibimbing”. Disinilah peran mamak yang lebih dominan, mamak sebagai tokoh penting dalam mendidik, serta membiayai agar si anak dan kemenakan menjadi generasi yang berkualitas. Kegiatan belajar adat dapat berupa tatakrama sopan santun, berbicara dengan orang yang lebih besar, sama besar, terhadap sumando dan yang lebih kecil yang diebut dengan kato nan ampek, yaitu jalan mandata, jalan mandaki, jalan menurun, jalan malereang.   Serta petatah petitih dalam budaya adat Minangkabau dan bila perlu, seorang mamak juga memberikan pembelajaran tata cara pidato adat, banyak saketeknyo.

Dalam kegiatan ini karakter yang dikembangkan adalah karakter cinta pada budaya alam Minangkabau, pandai berbicara dengan berbagai kalangan, serta karakter sopan dan santun dalam kehidupan bermasyarakat. Anak dididik untuk cinta dengan tanah airnya, budayanya, serta apa yang terkandung didalamnya, sehingga ia tidak akan melupakan kampung halamannya jika telah berhasil di rantau nantinya.

Ketiga,  pembelajaran silat atau beladiri.  Mungkin saja dalam keluarga akan diajarkan tentang seni bela diri, atau yang lebih sederhananya belajar tentang dasar-dasar tentang silat. Hal yang sangat penting dalam pembelajaran tersebut adalah gerak-gerik silat tersebut seperti Alai (kuda-kuda silang belakang untuk melakukan tendangan samping), Angkek (gerakan mengangkat kaki untuk menghindari serangan ), awan-awan (posisi kuda-kuda dengan kelenturan pinggang), balabek (sikap siaga dengan koordinasi posisi tangan dan kaki yang siap mengahdapi serangan), bukak langkah  (langkah permulaan untuk memulai permainan silat), dan sebagainya yangberhubungan dengan gerak-gerik silat. (Muasri pandeka rajo mudo, 2013: 1-33). Fungsi silat dalam masyarakat adalah untuk membela diri, sehingga anak kemenakan yang telah dibekali dengan dasar-dasar gerak-gerik silat, minimal ia manpu untuk membela dan mempertahankan diri dari bahaya yang menimpanya.  Dalam kegiatan ini karakter yang dikembangkan untuk anak adalah karakter tangguh, membela yang benar, berani, suka menolong,  dan tidak mudah berputus asa.

Pada dasarnya program surau ini sangat mudah dilaksanakan oleh masayrakat dalam keluarganya.  Jika program ini dapat terlaksana dengan baik didalam keluarga Minangkabau setiap hari, kemungkinan surau akan hidup kembali ditengah-tengah masyarakat walau hanya hidup ditengah-tengah keluarga di Minangkabau. Semoga ini bisa dilaksanakan sebelum program kembali ke surau benar-benar akan dilaksanakan.

 

*Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, Rubrik Bendang pada 14 Mei 2017