Ukiran Rumah Gadang, warisan budaya bergenre seni bila merujuk pada Undang-undang nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, merupakan bukti nyata dari masterpiece masyarakat Minangkabau yang agung. Ukiran Rumah Gadang, keberadaannya sekaligus menjadi bukti dari tetap pentingnya kearifan lokal (local wisdom) masyarakat matrilineal di Sumatera Barat dipelajari. Melalui ragam motif ukiran yang terpahat eksotis menghiasi hampir di seluruh bagian dindingnya yang bersifat tradisional sesungguhnya terekam peradaban leluhur yang seyogianya tetap dilindungi, dimanfaatkan, serta dikembangkan bagi pemajuan kebudayaan masyarakat pemiliknya.
Ukiran Rumah Gadang Minangkabau tentunya tidak datang secara tiba-tiba dalam kehidupan masyarakatnya. Azrial (1995) menyebut bahwa ukiran tradisional Minangkabau adalah gambaran ragam hias timbul yang tercipta dari kreasi seni orang Minangkabau dengan jalan mengorek bagian tertentu dari permukaan sebuah benda sehingga membentuk suatu kesatuan ragam hias yang indah dan harmoni. Secara umum ukiran tradisional tersebut dibuat di media kayu dengan menggunakan alat yang disebut pahat dan tentunya memakai teknik ukir yang bersifat khusus.
Workshop Kriya dan Wastra Ukiran Tradisional Rumah Gadang Minangkabau yang diselenggarakan BPNB Sumatera Barat pada tanggal 31 Mei s.d 2 Juni 2022 di Rumah Gadang Dt. Rajo Mangkuto yang berlokasi di Simpang Koto Tinggi Nagari Pandai Sikek Kabupaten Tanah Datar juga menjelaskan bahwa pembuatan ukiran tradisional Minangkabau dilakukan dalam beberapa tahap. Proses awalnya adalah menentukan ragam atau motif yang akan dibuat. Setelah ditentukan motifnya, langkah selanjutnya membuat pola motif ukiran pada kayu surian yang biasa digunakan sebagai media. Pembuatan pola motif ukiran bisa dengan cara menggambar motif pada kayu atau menjiplak dengan menggunakan cat semprot.
Proses selanjutnya adalah membuat ukiran dengan menggunakan pahat ukir. Teknik mengukir tidak bisa dilakukan dengan cara yang sembarangan. Pertama sekali membuat pahatan dasar, dimana bagian garis luar motif ukiran dipahat untuk membedakan bagian yang akan dibuang dengan bagian yang akan ditonjolkan. Kemudian tahap mengukir secara dalam, yaitu dilakukan dengan membuang dasar kayu sehingga memberi kesan tinggi pada bagian ukiran yang ditonjolkan. Setelahnya yang tertinggal adalah bagian motif yang disebut dengan corak ukir yang segera akan dibersihkan serta dihaluskan, kemudian diberi warna.
Menukil pepatah alam takambang jadi guru, maka motif ukiran tradisional Minangkabau diilhami oleh alam. Ragam motif ukiran biasanya terinspirasi dari tumbuhan, hewan, atau benda-benda yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Demikian yang kemudian ada serta bertahan hingga sekarang, setiap motif ukiran yang dipahat pada Rumah Gadang menyiratkan khasanah nilai serta makna budaya Minangkabau yang unik, sekaligus merefleksikan pesan kearifan lokal bagi setiap penikmatnya. Sebutlah saja misalnya tiga motif ukiran yang kerab tampak menghiasi dinding Rumah Gadang Minangkabau, yaitu motif ukiran itiak pulang patang, motif ukiran siriah gadang dan motif ukiran pucuak rabuang.
Motif ukiran itiak pulang patang senantiasa dikaitkan dengan cerita tentang itiak (bebek) yang tampak berjalan secara beriringan, terlihat seperti barisan yang rapi tampa ada yang akan berupaya saling mendahului. Ketika melewati pematang sawah rombongan itiak akan tampak berupaya mendaki secara perlahan dalam formasi yang tetap terpola. Pesan kearifan lokalnya adalah, masyarakat Minang mesti melakoni hidup secara teratur, tertib dan disiplin. Jalan kehidupan masyarakat Minang harus pula dilalui dengan hati-hati serta dengan mengupayakan terhindarnya setiap ketergesaan yang dapat merusak harmoni.
Disebut pulang patang (pulang petang), gerombolan itiak konon belum akan pulang kandang selagi belum kenyang, biasanya akan tampak dalam pararakan panjang dikala hari sudah beranjak sore. Artinya apabila sudah kenyang itiak akan pulang dengan sendirinya, serta tidak terlihat adanya itiak yang membawa bekal apapun. Itiak ternyata meninggalkan sisa makanan yang ada di alam untuk memenuhi kebutuhan makan pula pada keesokan harinya. Pelajaran pentingnya adalah, masyarakat Minang tidak boleh rakus, karena yang diperlukan sesungguhnya adalah mengambil secukupnya sesuai kebutuhan.
Selanjutnya motif ukiran siriah gadang, ragam motif yang sering dijumpai di dinding Rumah Gadang Minangkabau. Siriah sering digunakan sebagai kelengkapan isi carano pada upacara adat. Idrus Hakimy Dt. Rajo Pangulu (1984) misalnya menyebut dengan, siriah udang tampak hari, nan tampuaknyo bak kuku balam, gagangnyo bapantang putuih, buahnyo intan dengan podi, bungo lado basaluak batang, buah diambiak katinaman, daun diambiak ka kusuak mandi, usah ka ratak tirih tido, usah ka layua batambah iduik. Ungkapan tentang siriah ini mengajarkan masyarakat Minang tentang keteguhan, keterbukaan, kemanfaatan, keramah-tamahan, serta pentingnya persatuan dan kesatuan dalam semangat berempati antar sesama.
Kemudian motif ukiran pucuak rabuang, motif ukiran tradisional Minangkabau yang juga sering dijumpai di bagian tiang dan dinding Rumah Gadang. Rabuang (bambu muda) digemari oleh masyarakat Minangkabau untuk dijadikan olahan makanan. Terkait keberadaannya sebagai motif ukiran, pucuak rabuang sarat dengan nilai filosofi kehidupan. Pahatan motif yang mengarah ke atas seperti akan menembus langit mengisyaratkan bahwa masyarakat Minang harus memiliki tekad yang kuat untuk mencapai cita-cita. Tumbuhan bambu yang sejak kecil sampai tuanya tetap bermanfaat, ketika muda untuk bahan makanan sementara ketika tua dan lentur akan diolah menjadi berbagai bentuk peralatan, sekaligus menyiratkan pesan kearifan bahwa masyarakat Minang mesti menjalani hidup yang berguna bagi orang banyak.
Ukiran Rumah Gadang Minangkabau, konon tempo dulu diwarnai dengan pilihan warna tumbuhan, seperti pinang yang memberikan warna coklat kemerahan, warna kuning dari kunyit, atau warna hijau dari daun. Komposisi motif ukiran Minangkabau pun mempunyai bentuk yang relatif sama, yaitu adanya perpaduan antara garis, lingkaran, segiempat, serta bentuk daun, buah, bunga, tangkai dan ornament lainnya. Pola ukiran juga memiliki pengulangan dan selalu bersilangan. Komposisi artistik ini merefleksikan pesan kearifan dalam konteks kehidupan masyarakat Minang yang agamis, yaitu proses hidup yang mesti mampu menyadarkan pada keagungan Yang Maha Kuasa, pencipta sekaligus pemelihara hidup dan kehidupan itu sendiri. (Penulis adalah Pamong Budaya Ahli Muda di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Sumatera Barat)
Artikel ini telah dimuat di Harian Padang Ekspress Minggu 21 Agustus 2022
Penulis adalah