Oleh : Ferawati
Pamong Budaya Ahli Muda
Dukun termasuk salah satu tema nyentrik dalam kajian sosiologi, budaya, dan sejarah hingga kini.Telah lama dan banyak ilmuan kajian agama (religious studies khususnya kajian indigenous studies) luarnegeri yang mencoba meniliknya melalui serangkaian konsep dan teori tajam untuk menguliti hingga mendalam.Contohnya Evan-Pritchard (1965),Edward Burnett Tylor (1871), dan masih banyak lagi.Sebagian lain menulisnya dalam sejumlah catatan perjalanan atau buku-buku teks, termasuk dalam arsip Kolonial Belanda.Menariknya, mereka tidak pernah menjadi serupa dengan dukun yang ditelitinya.Sudah pasti mereka tidak percaya.Mungkin karena mereka sekuler atau atheis, sehingga tidak yakin.Bisa jadi karena kemampuan ilmiah mereka mempelajarinya tidak pernah bisa menjangkau kemampuan para dukun yang ditelitinya.Pastinya mereka tidak berpijak pada filsafat Timur, melainkan filsafat Barat yang rumit dan berkutat pada yang pasti-pasti saja.Lantas bagaimana di negeri kita?
Dalam dunia penelitian, akademisi, maupun dalam pencatatan karya budaya, mengambil ‘jarak’ dan memisahkan urusan ilmiah dengan urusan pribadi menjadi keharusan. Namun caramengambil ‘jarak’ agar ‘objektif’ mengkaji dukundan dunia perdukunan nyatanya berbeda dari masa kolonial dengan masa kontemporer. Masyarakat modern seperti kaum kolonialis yang menulis arsip pemerintah maupun catatan perjalanan telah menjadikan aktor dukundan dunianya sebagai “objek” (dalam arti benda, yangpowerless/inverior/kaum lemah/subordinat atau liyan).Mereka sebagai penulis dan peneliti malah memposisikan diri sendiri sebagai “subjek” yang powerfull, punya kuasa atas diri orang lain. Mereka tidak memposisikanpelaku budaya seperti dukun sama-sama sebagai “subjek” yang setara.Ada ketimpangan relasi kuasa. Peneliti dan misionaris semasa kolonial atau disebut kaum orientalis bahkan menganggap aktor-aktor budaya seperti dukun dan masyarakat komunal sebagai makhluk yang tidak berperadaban, dan lebih parah lagi mengaggapnya sama dengan hewan liar atau peliharaan. Apa sebab? Tidak lain karena mereka hanya seperti “melihat di atas geladak kapal”. Lalu menilai secara serampangan.Menganggapnya “objek” yang berada di bawah ketek mereka.
Praktekdukun banyak klasternya, sesuai bidang dan keahlian masing-masing.Bayangkan seperti klaster keahlian dalam ilmu kesehatan modern.Ada dukunpalasik, dukun baranak dan sebagainya.Namun beberapa ulasan yang dapat membuktikan hal itu di antaranya bersumber dari salah satu fotocopy arsip Kolonial Belanda yang pernah tersimpan di Gedung H. Abdullah Kamil (Kantor LKAAM sekarang) sebelum gempa 30 September 2009.Arsip berbahasa Belanda itu menyebutkan kuatnya praktek perdukunan di Minangkabau, yang disebut palasik.Arsip itu sebatas menceritakan arti palasik, siapa objek dan subjeknya,sertaketakutan psikologis orang Minang yang memiliki anak kecil ketika berhadapan dengan orang asing dan buruk rupa.Dukunpalasik dinilainya jahat karena tega menghisap ubun-ubun anak balita hingga kepalanya cekung kemudian menyebabkannya rentan sakit-sakitan.Dukunpalasik akan merasa kuat, mendapat persediaan asupan makan selama beberapa bulan ke depan tanpa merasa kelaparan dan hanya tinggal malas-malasan.
Arsip Kolonial Belanda lainnya dari hasil penelusuran Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan sebelum tahun 2000-anmenunjukkan budaya dan tradisi maritim yang khas di pantai barat Sumatera.Namun setelah dicermati, isinya tidak lepas dari praktek-praktek perdukunan dalam upacara tradisi.Upacara itu biasanya menyangkut tradisi malimaui pasiamelalui serangkaian ritual yang mirip dengan peralatan dan proses kerja dukun, sekalipun tidak ada penegasan kata dukunbagi aktornya. Aktor utama dalam kegiatan ritual ini lebih merakyat disebut Urang Tuo Pasia, yaitu orang yang dituakan: didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Pelabelanaktor ini samadengan nama organisasi nelayan terkait, yaituUrang Tuo Pasia.Ia salah satuyang pernah ada di Nagari Bungus-Teluk Kabungdan sempat dicatat dalam arsip Kolonial Belanda.Arsip itumenyebutkankegiatan mereka sudah marak di tahun 1930 hingga pendudukan Jepang.
Berpedoman dari sumber-sumber arsip itu, maka dapat dibandingkan dengan aktivitas dan aktor budaya serupa dirantau pedalaman Minangkabau.Masyarakat agraris dan maritim di tepi sungai Batanghariseperti di Nagari Siguntua, Kabupaten Dharmasraya, mewarisi aktivitas malimauikampuangyang mereka sebut bakaua nagari.Klaster budaya yang agak berbeda, ada aktivitas budaya yang disebut bailauan (‘menghalau’ harimau) di Nagari Pauh-Kuranji hingga tahun 1995.Aktivitas budaya klaster sejenis bailauanjuga ada di Pesisir Selatan hingga akhir tahun 1990-an. Aktivitas budaya tari buayo (buaya) yang pernah berkembang di sepanjang aliran sungai Batanghari-Dharmasraya hingga tahun 1974, menunjukkan model ritual yang hampir sama maknanya dengan bailauan itu. Agak berbeda kiranya dengan tradisi tupai janjang di daerah Matur-Agam, dengan kegiatan menghalau hama tupai, atau tradisi yang ada di daerah Solok dan sekitarnya. Semua aktivitas budaya dan ritual-ritual itu terhubung dengan tokoh sentral yang memimpin dan mengorganisir upacara.Mereka hakikatnya adalah seorang dukun.Bedanya, ada yang benar-benar menyebutnya dukun kampuang, namun ada dengan istilah lain seperti Urang Tuo Pasia.Sebagian besar tidak mau disebut dukun, karenakonotasinya beragam.
Rupanya sumber arsip maupun hasil pencatatan karya budaya di lapangan baru menampilkan sedikit dari sekian ribu klaster yang dapat ‘dikuasai’ oleh dukun-dukun di Minangkabau atau bahkan masyarakat lain di luar komunal matrilineal. Masyarakat komunal lainnya yang akrab dengan aktivitas dukun sudah sangat menyebar.Tidak hanya di Minangkabau, namun juga sudah merata di Indonesia.Dukun dengan diksi lokal masing-masing, juga ada di masyarakat Badui, Banten, Sunda, dan masyarakat Jawa, komunal Amatoa di Sulawesimaupun komunal Dayak di Kalimantan. Praktek dukun ternyata juga hampir menyebar di Asia atau masyarakat Timur, seperti pengakuan sejumlah sahabat di India, Srilanka, Myanmar, Thailand, Vietnam, Kamboja, Malaysia, bahkan Singapura. Mereka percaya dengan dukun, dan salah satu yang umum merekapahami adalah larangan atau pantangan untuk tidak menatap mata mereka dengan sengaja maupun bersalaman secara langsung untuk menghindari hal di luar nalar.
Banyak kerumitan dalam dunia perdukunan yang tidak dapat dijangkau oleh nalar dan pancaindera manusia umumnya, sejak zaman orientalis, peneliti dan akademisi modern apalagi penginventaris karya budaya. Sangat banyak hal remeh-temeh yang tidak dimengerti, kemudian tidak mereka anggap atau perhitungkan, dan kemudian lengahkan.Namun hal yang remeh-temeh itu justru ada yang prinsipil, sangat penting di dalam dunia perdukunan sebagaimana jamak ditemukan di Minangkabau.Contohnya terkait perbedaan warna, bau-bauan dan waktu-waktu tertentu, arah angin, penamaan, dan geneologi yang tidak tercatat dalam manuskrip dan arsip.Bagi dukun dan masyarakat lokal yang meyakini justru memaknainya sebagai penentu dalam bertindak dan berperilaku.Ada kearifan lokal.
Begitulah tingkat kerumitan akademik di dalam memahami dukun dan dunianya. Paling tinggi pemahaman akademik di bidang dukun dan perdukunan hanya sebatas menyimpulkan pada tingkat subjektivitas atau objektivitas. Paling tinggi tingkat analisanya pada generalisasi, dengan menyimpulkan sebagai kearifan lokal, tradisi, budaya, dan ritual masyarakat komunal.Namun hal itu masih lebih baik.Bagaimana jika seorang peneliti, akademisi, atau petugas pencatat dan penginventaris karya budaya juga berambisi mencari info tentang karya budaya terkaitdukun.Ikut pula mempelajarinya?Huhf…hendak menjadi dukun pula agaknya! Bagaimana ‘jarak’ mereka?Dalam zaman modern ini, banyak yang berkata bahwa dukun atau sejenisnya sudah tidak mendapat tempat di hati masyarakat.Pewarisannya sudah terdegradasi oleh waktu dan zaman yang berubah.Tidak ada dukun hebat yang sungguh-sungguh mau mewarisi keahliannya kepada sembarang orang, bahkan kepada anak-keturunannya sendiri. Hal itu terkait dengan keyakinan adanya ‘beban’ dunia-akhirat yang akan dipikulnya.
Akan tetapi, kenyataannya dewasa ini justru menunjukkan hal yang agak berbeda.Pada zaman modern apalagi dalam himpitan ekonomi seperti sekarang ini, semakin banyak saja orang yang hendak belajar menjadi dukun.Mereka mungkin masih sadar dengan keterbatasan kemampuan dan bakat yang mereka miliki.Atau telah banyakpantangan yang mereka lakukan selama ini.Paling seret, mereka mencari-cari dukun ke sana-ke mari. Seperti terbirit-birit hendak buang hajat, untuk mendapatkan nafsunya menjadi pejabat, menjadi kaya, terkenal, atau mendapat jodoh yang diinginkan walau terhalang banyak kendala dan perbedaan.Mereka yang sering mencari dukun untuk dimintai pertolongan dan dimanfaatkan untuk memenuhi nafsu duniawinya terkadang sudah lupa dengan akal sehatnya.Mereka tidak takut tertipu berkali-kali hingga menghabiskan uang puluhan hingga ratusan juta karenanya.Mereka lupa untuk tidak terjebak dengan kemusyrikan karena tidak dapat membedakan bagian mana yang syirik dan bagian mana yang ilham atau hidayah dari Tuhan YME.Mereka inilah yang kerap disebut padukun. Mereka bisa jadi orang Minang, orang Jawa, atau etnis lainnya.Mereka bahkan tidak segan-segan memampang di media sosial seperti facebook bahwa mereka kenal dukun ini, dukun itu.Atau mereka keturunan dukun ini, atau keturunan dukun itu. Lantasorang lain harus takut, gitu? Edan!
Artikel ini telah diterbitkan di Harian Singgalang Minggu 30 Januari 2022