LSF Gelar Sosialisasi Sensor Mandiri di Manado, Peringati 100 Tahun Sensor Film

WIN_20160321_112419

Lembaga Sensor Film (LSF) bekerjasama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado menggelar sosialisasi penyerapan kearifan budaya lokal di Manado Sulawesi Utara sebagai bagian dari peringatan 100 tahun berdirinya Lembaga Sensor Film (LSF). Acara yang berlangsung senin 21/3 bertempat di Hotel Peninsula dihadiri para pembicara dari LSF dan tokoh perfilman, lalu pelaku film daerah sulut, pemerintah provinsi, budayawan, siswa dan mahasiswa.

Wakil ketua LSF Dody Budiatman dalam sambutan pembukaan, menjelaskan Lembaga Sensor Film yang telah berdiri sebelum Indonesia merdeka, awalnya merupakan kepentingan kolonial belanda dalam menyelesksi film-film yang yang nantinya menguntungkan pemerintahan kolonial. Nanti kemudian berproses hingga sekarang ini yang tadinya pada masa orde baru LSF diatur bisa langsung memotong atau menyensor film, sekarang tidak lagi dan menyerahkan pemotongan film kepada pembuat film. Industri film sendiri dipacu untuk bertumbuh dengan baik dan diupayakan berbasis nilai-nilai budaya lokal, sehingga sangat penting mengarahkan film-film Indonesia untuk dihindari dari tayangan-tayangan yang tidak mendidik.

WIN_20160321_120236

Pada saat sesi materi dan diskusi yang dimoderasi Kepala BPNB Manado Rusli Manorek, menghadirkan Monang Sinambela, Ni Luh Putu Elly PE, dan Antropolog Alex Ulaen. Sesi pertama oleh Monang Sinambela menyajikan peran sensor film tidak lagi harus mengandalkan pemerintah melalui lembaga sensor film semata, akan tetapi peran masyarakat sangat penting dalam rangka mengembangkan nilai-nilai budaya lokal dalam Film Indonesia. Masyarakat dan pemangku kepentngan film nasional harus sangat berperan untuk mengarahkan dan melindungi film Indonesia dari penetrasi budaya asing, pornografi, kekerasan, dsb.

Perubahan budaya masyarakat seperti di Manado dalam kaitannya dengan sensor film Indonesia, seperti yang disampaikan Alex Ulaen, bahwa budaya global telah meminggirkan kearifan budaya lokal, seperti seni budaya daerah kini menjadi objek yang dipertontonkan bukan lagi menjadi bagian dari tradisi kehidupan masyarakat. Ini menjadi hal yang harus jadi pertimbangkan alam sensor film mandiri dalam upaya mengangkat kearifan lokal.

WIN_20160321_112601

Untuk melakukan sensor mandiri, Ni Luh Putu Erawati, mengemukakan saat ini masyarakat sebagian telah terbiasa memilih film yang layak ditonton atau tidak dan menilai film yang berkualitas. Hal ini adalah fenomena yang baik dalam sensor film mandiri dan otomatis film yang baik akan laku. Sensor mandiri sendiri adalah kegiatan penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan terhadap film dan iklan film yang ddilakukan secara mandiri oleh individu, keluarga, masyarakat, pelaku usaha perfilman, pelaku kegiatan perfilman, dan lembaga penyiaran.

Pada bagian akhr, sosialisasi sensor mandiri dan penyerapan kearifan budaya lokal ini Manorek berharap masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam sensor film mandiri terutama bagi pengembangan film Indonesia, menuju masyarakat sensor film mandiri. ***(Steven Sumolang)