You are currently viewing Sopu pada Etnik Kaili Da’a

Sopu pada Etnik Kaili Da’a

Bagi sebagian kalangan warga daerah Sulawesi tengah, terutama mereka yang berdomisili di daerah pedesaan, sumpit masih dianggap sebagai suatu benda sakral yang memiliki makna tertentu serta mempunyai kekuatan-kekuatan magis. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila sumpit yang berfungsi sebagai alat berburu dan senjata tradisional ini juga banyak disimpan oleh orang-orang tertentu sebagai penjaga diri di rumah mereka.
Mereka memiliki suatu anggapan bahwa keberadaan sumpit yang menjadi kebanggaannya merupakan suatu pinta dan harapan mereka agar senantiasa mendapatkan keselamatan serta terhindar dari cobaan dan gangguan yang dapat mengancam ketentraman atau kebahagiaan hidup mereka.
Jenis sumpit yang menjadi kebanggaan ini biasanya merupakan sumpit peninggalan leluhur yang mempunyai makna dan nilai historis dalam kehidupan keluarganya. Sebagai penjaga diri dalam keluarganya, sumpit ini dapat memberikan motivasi dan kekuatan jiwa serta rasa percaya diri dalam hidup mereka yang pada gilirannya dapat membawa pada ketentraman hidup lahir dan batin.
Selain berfungsi sebagai alat berburu, sumpit yang dalam bahasa Kaili dikenal dengan istilah sovu juga dapat berfungsi sebagai senjata tradisional. Keberadaannya sebagai salah satu jenis senjata tradisional masyarakat Sulawesi Tengah dimungkinkan oleh adanya kapasitas dan kemampuan senjata sumpit untuk digunakan sebagai alat perang melawan musuh.

Secara umum, sumpit diartikan sebagai senjata tradisional yang terbuat dari buluh (bambu kecil) yang dalam bahasa Kaili disebut vulu, digunakan sebagai peralatan berburu maupun untuk mempertahankan diri dari ancaman yang mungkin terjadi.
Tradisi menyumpit sudah dikenal oleh masyarakat Sulawesi Tengah sejak ribuan tahun yang lalu, khususnya suku Kaili sub etnis Da’a dan sub etnis Raranggonau maupun orang-orang Wana yang mendiami daerah-daerah pegunungan. Mereka memanfaatkan bahan-bahan disekitarnya dalam proses pembuatan sumpit, antara lain bambu yang dalam bahasa Kaili disebut sopu, rotan, kulit dan tulang binatang serta tumbuhan gelegap (sejenis rumput ilalang). Tumbuhan gelegap ini dijadikan sebagai bahan untuk membuat kadempe yaitu pangkal mata sumpit yang berfungsi untuk memberikan daya tolak pada saat mata sumpit itu ditiup.
Pembuatan dan pemanfaatan sumpit umumnya dikenal dengan baik di semua tingkatan umur, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Bahkan orang-orang yang berusia lanjut baik wanita maupun pria juga mengenal dan sebagian dari mereka pernah menggunakan alat tersebut. Hal ini sudah menjadi kebiasaan turun-temurun yang secara alamiah terakumulasi dalam diri tiap warga, terutama dalam kegiatan keseharian.
Untuk menghasilkan sumpit yang berkualitas, pembuatan sumpit dilakukan secara tradisional dengan melihat hari-hari baik dan berbagai pertimbangan-pertimbangan lainnya, terutama pertimbangan yang mengandung unsur magis-religius. Sedangkan pemanfaatan sumpit dilakukan untuk berburu, sebagai senjata tradisional dan sebagai alat untuk mempertahankan diri dari musuh dan binatang buas.

Sumber : BPNB Sulut

***Steven Sumolang