Usaha manusia untuk membuat pakaian dari kulit kayu, khususnya di daerah Sulawesi Tengah sudah ada sejak zaman neolitikum hingga sekarang. Tradisi pembuatan kulit kayu masih dibuat dan dimanfaatkan pada masyarakat Kulawi dan Pandere Kabupaten Sigi dan masyarakat Lore Kabupaten Poso, khususnya sebagai perlengkapan upacara adat. Kain kulit kayu adalah sejenis kertas yang terbuat dari serat kulit pohon beringin, seperti kulit kayu Nunu, kulit kayu Ivo, kulit kayu Malo yang diproses secara tradisional, sehingga menghasilkan pakaian yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari dan pakaian pesta atau yang penggunaannya pada waktu upacara adat.
Sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu masyarakat Sulawesi Tengah telah memiliki praktek budaya yang unik, yaitu mengembangkan kain untuk berbusana sehari-hari berbahan dasar kain kulit kayu. Tradisi ini terutama berkembang dikalangan masyarakat yang tinggal di pegunungan, khususnya di Lembah Bada Kecamatan di Lore Selatan, Lembah Behoa Kecamatan Lore Tengah, Lembah Napu Kecamatan Lore Utara dan Lembah Kulawi Kecamatan Kulawi dan sekitarnya. Penyebaran pembuatan kain kulit kayu merata di keempat lembah dan daerah-daerah sekitarnya yang dewasa ini sudah dimekarkan di beberapa wilayah kecamatan.
Di empat lembah tersebut yang dihuni oleh suku Lore dan suku Kulawi dengan beberapa sub etnis, mengolah dan mengembangkan pembuatan kain kulit kayu yang biasa juga disebut Vuya atau Kumpe menjadi bagian penting dari aktivitas ekonomi dan kehidupan keseharian mereka. Praktek budaya yang berlangsung sedemikian lama tersebut memposisikan Sulawesi Tengah sebagai salah satu penghasil kerajinan kulit kayu yang utama,
Di Kulawi kain kulit kayu biasa juga disebut Kumpe atau Mbesa (kain adat), Ranta di Bada, Hampi di Napu, dan Inodo di Besoa. Sebutan vuya itu sendiri mulai diperkenalkan pada zaman pendudukan Jepang dengan sebutan fuya dan masih populer hingga kini. Kualitas dan tekstur vuya yang dihasilkan di empat lembah itu berbeda-beda dan sangat khas. Di Bada misalnya, serat-serat kain antar sambungan relatif lebih rapat dan menghasilkan kain yang halus. Sedangkan di Kulawi, serat kain antar sambungan terlihat jarang sehingga terkesan agak kasar dan kurang rapi. Dulu kain kulit kayu dipakai di seluruh lembah-lembah untuk selimut dan pemisah ruangan, sebagai pakaian pria dan wanita, dan bahkan dibuat menjadi pelana kuda.
Tidak ada informasi pasti tentang asal-muasal tradisi pembuatan kain kulit kayu. Di Kulawi misalnya, banyak orang mengatakan bahwa kerajinan pembuatan Vuya berasal dari lembah ini. Konon nenek moyang mereka mengembara untuk berburu da mencari lokasi pertanian sembari menjajakan kain Vuya sampai ke lembah Bada. Kain-kain tersebut dipertukarkan dengan kerbau untuk di bawa pulang.
Sementara masyarakat lembah Bada punya versi mitos yang lain. Konon, sebelum kain kulit kayu tidak digunakan sebagai bahan pakaian (baju), tetapi hanya untuk menutup bagian bawah tubuh (aurat) yang mereka sebut Pewe. Baru kemudian, masyarakat mulai membuat Komo, semacam selimut untuk tidur. Waktu itu masyarakat belum mengenal baju. Tradisi berbaju baru masuk bersamaan dengan datangnya pedagang Portugis ke daerah ini, tradisi baju yang diperkenlkan kepada Portugis inilah yang mengilhami masyarakat membuat baju dari kain kulit kayu. Baju adat masyarakat Lembah Bada yang sangat kental dengan nuansa Portugis, terlihat dari bentuk baju dan rok yang menyerupai gaun dengan renda-renda.
Sumber : BPNB Sulut