Cerita Rakyat : Asal Usul Gunung di Sangihe

New Picture (31)

Pada zaman anta-beranta Pulau Sangihe didiami oleh tiga tipe manusia yakni:

  • Berperawakan kecil seperti Apapuhang dan Tampile batang;
  • Berperawakan besar seperti Ansuang dan Pempanggo. Tersebutlah kisah dari dua orang Datia atau raksasa yang dinamai Ansuang-Bakeng yang mempunyai seorang anak perempuan bernama Watairo;
  • Mahluk Kanibal, yang hidupnya bercocok tanam dan memburu manusia biasa sebagai makanannya.

Tempat tinggal manusia raksasa dan mahluk kanibal tersebut di atas bukit yang tinggi. Sedangkan di pesisir  hiduplah tiga orang bersaudara yakni Panggelawang, Wanggaia dan si bungsu perempuan bernama Nabai yang disebut pula Wanggelawa. Pekerjaan dari dua laki-laki bersaudara itu adalah nelayan sedangkan yang bungsu menenun. Ketika Panggelawang dan  Wanggaia pergi mengail, Nabai yang sedang menyambung serat pisang Abaka, tiba-tiba disergap oleh Ansuang dan dibawa lari ke tempat huniannya. Sepanjang perjalanan si Nabai terus merangkai setiap ujung hote yang tak pernah lepas dari tangannya. Ketika tiba di tempat raksasa tersebut maka Nabai dimasukkan ke dalam kerangkeng bersama dengan tawanan lainnya. Kedua saudara Nabai yang sedang berada di tengah laut lepas seperti ada firasat.

 

Panggelawang berkata pada adiknya: ”Sepertinya telah terjadi sesuatu di rumah, adik kita dalam keadaan gawat”, maka berlayarlah keduanya menuju daratan. Setibanya di rumah ternyata Nabai sudah tidak ada. Si Sulung Panggelawang mengajak saudaranya menyelidiki dan mencari adik mereka. Mereka mengikuti rentangan hote sepanjang jalan yang dilalui Ansuang. Jalan menuju rumah kediaman Ansuang harus melintasi jurang yang sangat dalam. Panggelawang menyuruh adiknya Wanggaia menebang bambu untuk dijadikan titian. ”Tunggulah di sini sejenak, aku akan menjumpai adik kita. Biarlah aku sendiri yang akan menghadapi Ansuang”, kata Panggelawang. Wanggaia menuruti perkataan kakaknya dan ia hanya menunggu di seberang jurang di ujung titian.

Ketika tiba di rumah Ansuang, Ansuang laki-laki sementara bersiap-siap ke hutan pergi bekerja memangkas hutan. Ansuang menyambut Panggelawang dengan sukacita sambil berkata: ”Terima kasih banyak cucuku jika kamu bersedia membantu meringankan pekerjaan kami. Engkau akan menjadi juru masak untuk kami, kami akan pergi membuka lahan perkebunan. Lauk ikannya tinggal pilih sendiri dalam kurungan”. Sepeninggal Ansuang, Panggelawang bersiap untuk memasak. Di kolong rumah terdapat tempat penampungan puluhan manusia dengan kepala yang sudah dicukur gundul. Si Panggelawang mulai mengerat tali pengikat kurungan, kemudian melepaskan semua manusia tawanan Ansuang.

Panggelawang menyuruh mereka pergi bersembunyi di seberang jurang. Kemudian ia menaiki tangga dan masuk ke bilik tempat tidur Watairo anakperemuan Datia. Secara kebetulan si Watairo sedang terlelap. Adapun kutu rambut si Watairo besarnya seperti anak kambing dan dapat bercakap-cakap seperti manusia. Panggelawang bertujuan untuk membantai anak raksasa itu untuk dimasak dan disajikan kepada kedua induknya.

Mula-mula Panggelawang membujuk kutu si Watairo agar tidak memberi tahu dan menyahut apabila nanti dipanggil oleh biangnya. Situasi ini digunakan oleh Panggelawang sebaik mungkin untuk memancung leher Watairo. Sesudah kepala Watairo dipenggal diletakkannya dibawah tingkap rumah dengan posisi rambut terurai melalui lubang. Kemudian tubuhnya diangkut ke dapur lalu dimasak dijadikan lauk makanan kedua raksasa itu.

Di sekitar hutan tempat kedua Ansuang itu bekerja terdengar suara burung nilam berkata: ”Ada tamu yang datang dari tempat yang jauh”. Datia perempuan yang cukup tanggap kemudian berkata pada Ansuang laki-laki: Cepatlah kita bekerja karena ada sesuatu yang terjadi di rumah”. Perkataan Ansuang perempuan sama sekali tidak digubris, malah Datia laki-laki berkata: ”Apa yang kau kuatirkan, sedangkan anak kita ada penjaganya, teruslah bekerja sebagaimana biasanya. Apabila sudah selesai kita akan pulang”. Namun Ansuang perempuan semakin cemas, apalagi ketika mendengar kicau burung kedopang tak henti-hentinya berseru: ”Ada orang dari tempat jauh”. Ansuang laki-laki tetap saja bekerja sambil menggerutu: ”Apa yang kau risaukan, bukankah sudah ada orang yang memasak makanan kita, bekerjalah karena tidak lama lagi kita akan pulang.

Adapun si Panggelawang begitu gesit menyiapkan makanan bagi kedua raksasa itu. Setelah selesai memasak ia menyuruh adiknya Wanggaia membuat takik pada titian bambu supaya apabila  raksasa-raksasa itu mengejar mereka maka titiannya akan patah dan mereka akan jatuh ke dalam jurang.

Ketika kedua raksasa itu tiba di rumah maka Panggelawang segera menyajikan makanan. Keduanya bertanya: ”Apakah engkau memilih yang tambun untuk dijadikan lauk?”. Panggelawang menjawab: ”Tentu saja, sebagaimana diperintahkan”. Selesai menjawab ia langsung menyelinap keluar dan segera bergabung dengan orang-orang yang sedang bersembunyi diujung titian.

Sementara dua raksasa itu makan, Ansuang perempuan menemukan jari dengan kuku berwarna merah, lalu ia berkata: ”Ini benar-benar kuku anak kita si Watairo, kuku yang bersalut kemerahan”. Ansuang laki-laki tetap saja makan dengan lahapnya sambil berkata: ”Ada-ada kau ini, makanlah apa yang sudah disediakan. Bukankah anak kita Watairo sedang berada di bilik. Coba kau panggil”. Raksasa perempuan itu memanggil nama anaknya: ”Watairo!”. Kemudian terdengar suara berasal dari atas: ”Oi”, maka berkatalah raksasa laki-laki: ”Itu suara anak kita”. Si perempuan pun melanjutkan makannya yang sempat terhenti, namun untuk kedua kalinya ia menemukan sepotong jari dengan kuku yang berwarna  merah,  iapun  berkata:  ”Kalau tak keliru ini juga adalah jari dari si Watairo anak kita”. Berkatalah si laki-laki: ”Diamlah, makanlah menurut seleramu. Jangan membuat perintang waktu makan”. Untuk memastikan maka ia memanggil nama anaknya untuk kedua kalinya: ”Watairo!”. Dari bilik tempat anaknya terdengar  sahutan serupa suara anaknya: ”Oi, aku ada di sini”. Si raksasa laki-laki berkata pula: ” Engkau ini tidak percaya perkataanku, itu suara anak kita. Coba kau lihat ujung rambutnya yang tergerai dari tingkap bilik”. Raksasa perempuan kembali melanjutkan waktu makannya. Namun untuk ketiga kalinya ia menemukan sepotong jari, lalu berkata pula: ”Engkau ini tidak mau percaya,ini adalah jari anak kita Watairo, jari yang selalu marak dan berseri karena dioles dengan inai berwarna merah”. Angsuang laki-laki mulai menyelidiki kebenaran perkataan perempuan itu. Sementara dari seberang jurang terdengar teriakan orang berseru: ” Si Bakeng memangsa anaknya!.  Datia menjadi gila, bertingkah laku tidak waras memakan anaknya sendiri”. Mendengar teriakan itu keduanya mulai curiga, lalu naik ke bilik tempat Watairo. Ternyata tempat yang biasa diduduki anak mereka bersimbah darah kental. Tubuhnya sudah tidak ada, sedangkan yang tergeletak di atas bantal hanya kepalanya dengan rambut tergerai. Kedua raksasa itu sangatlah geram karena merasa terkecoh oleh si Panggelawang. Dari ujung titian di tepi jurang para tawanan telah keluar dari tempat persembunyian mereka. Mereka berteriak: ”Si Bakeng memakan anaknya sendiri!”. Kemarahan kedua Ansuang itu tak tertahankan lagi, lalu mereka turun dan bergegas mengejar para tawanan termasuk Panggelawang dan adik-adiknya Wanggaia dan Nabai. Pada waktu kedua Ansuang itu berada di titian bambu untuk menyebrangi jurang, titiannya ambruk sehingga kedua raksasa itu terjungkal masuk ke dalam jurang.

Panggelawang dan adik-adiknya bersama-sama dengan para tawanan  melontari kedua raksasa itu dengan batu. Ada yang mengungkit batu-batu besar untuk menindih kedua raksasa yang sudah tak berdaya itu. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya kedua Ansuang itu  masih sempat berkata: ”Kami akan membalas dendam pada anak cucu kalian, mulut kami akan menyemburkan api, darah kami akan menjadi lahar dan nafas kami akan menjadi badai topan”. Perkataan mereka itu dibalas oleh Panggelawang dan Wangaia: ”Kami akan duduk di pusaran angin Timur untuk menghalau arwah kalian”. Kedua raksasa itu mati di bawah timbunan batu.

Cerita ini mengandung nilai kasih sayang antara saudara. Kisah ini memotivasi masyarakat agar  sebagai saudara harus saling menolong. Selain itu kisah ini mengingatkan pula kepada masyarakat agar jangan melakukan perbuatan keji karena kejahatan pada akhirnya akan berakibat buruk pada diri sendiri.