Oleh : Steven Sumolang
Kesamaan cerita banyak kampung Bajo bahwa mereka punya hubungan dengan kerajaan Johor dan kerajaan Bone, menjadi cerita pengikat kesatuan etnik Bajo yang menyebar di kepulauan nusantara. Tradisi Palilibu, Bapongka, Babangi, Lamma yang menangkap ikan sampai jauh dan berlama-lama akhirnya menetap,telah menyebabkan persebaran atau diaspora orang Bajo.
Mata pencaharian di desa Nain didominasi nelayan dengan perkembangan terbaru perahu-perahu yang dominasi perahu fiber, perahu yang dikembangkan dari model yang ada di desa Nain yakni perahu Lepa. Perahu fiber nelayan setempat lebih diperuntukkan bagi penangkapan ikan Tuna, disamping memancing atau menebar soma untuk menangkap ikan Deho, Malalugis, Tongkol, dan ikan karang.
Dahulu orang Bajo di Nain hanya menggunaan perahu sampan yang dijalankan dengan panggayung atau busai. sepertinya perahu orang bajo berkembang dari jenis-jenis perahu lepa dan soppe, meski telah dimodifikasi dalam bentuk perahu fiber, akan tetapi modelnya masih sama dengan Lepa dan Sope. Pengembangan perahu Bajo tersebut selanjutnya sudah menggunakan mesin untuk menggantikan tenaga manusia dalam bapanggayung. Peralihan ke pemakaian motor tempel terjadi pada era tahun 1960-an dan 1970-an, terjadi motorisasi pada perahu-perahu Bajo Nain. Motorisasi tidak merubah bentuk perahu secara drastis, bentuk perahu Lepa dan Sope masih dipertahankan.Pernah ada perahu besar digerakan motor, yakni guiop. Kemunculan Guiop ini, adalah pengembangan dari Soppe (perahu lebih besar dari Leppa), Digunakan bagi Soma besar yang yakni soma Chang yang menjadi tren melaut orang Nain pada era 90-an.
Kemampuan mengendalikan perahu ini dirasa akan tergantikan dengan peralatan modern, sehingga sedapat mungkin mempertahankan kebiasaan menggunakan perahu tradisionalnya, hanya sekedar menambah mesin penggerak dan bahan fiber menggantikan kayu yang sudah sulit didapat. Perubahan pada tradisi perahu di Nain, sebagai perubahan yang tidak meninggalkan penuh nilai-nilai tradisi perahu sebelumnya. Motorisasi dan bahan baku pabrikan diberi peluang besar masuk ke warga nelayan Nain, akibat kedekatan pulau ini dengan sentra ekonomi di Indonesia Timur yakni Kota Manado dan Kota Bitung.
Tradisi penangkapan ikan orang Bajo termasuk di Nain, telah mengalami perubahan, kalau dahulu mereka menangkap ikan sampai sejauh mungkin dan menetap di daerah yang dituju (Palilibu, Bapongka, Babangi, Lamma), kini nelayan Bajo Nain telah menetap di kampungnya dan menangkap ikan beberapa hari saja di daerah operasi penangkapan, setelah itu pulang ke kampung Nain.
Nelayan Nain mencari Tuna sampai wilayah Tagulandang di Kabupaten Sitaro, kemudian terus ke Mantehage di wilayah Kabuapaten Sangihe. Informan menyatakan, sumber daya ikan Tuna di sekitar pulau Nain dahulunya sangat besar. Namun ada musim-musim tertentu Tuna sini sangat melimpah, di Pulau Nain berlokasi di depan kampung, justru banyak nelayan dari wilayah lain mencari di tempat ini.
Ada tempat-tempat atau lokasi, kalau dilanggar bisa berbahaya karena dianggap kramat. Dilarang membuang sisa-sisa makanan,All, harus meminta permisi. Kalau hal-hal ini dilanggar maka akan mendatangkan bencana, bahwa dewa laut atau mbo akan murka. Ini pula yang membuat alam laut di wilayah Bajo Nain, masih kelihatan lestari dengan kondisi karang yang baik dan tingginya potensi ikan laut.Terjaganya kondisi alam lestari adalah hubungan tidak langsung dari kepercayaan masyarakat, jadi berdiri sendiri masing-masing faktor. Kesadaran menjaga lingkungan laut akan justru dimunculkan pada saat pamali dan pantangan tersebut membuahkan dampak pelestarian lingkungan, ditambah pengetahuan berdasar logika berpikir manusia melihat adanya hubungan kerusakan laut dengan rusaknya sumber daya laut, dan oleh karena ilmu pengetahuan yang didapatkannya melalui pendidikan ataupun program-program penyadaran pelestarian lingkungan hidup. Budaya kesadaran memelihara lingkungan laut adalah sebuah proses belajar masyarakat terhadap lingkungannya. Pada nelayan Nain, telah muncul kesadaran akan kearifan lokal masyarakat Bajo berdampak pada pelestarian alam lautnya, dan terjaganya alam laut tersebut dihasilkan oleh sikap dan perilaku yang arif terhadap ekosistem laut.
Kepercayaan tradisional orang Bajo terhadap lingkungan laut, bersinggungan dengan keyakinan terhadap ajaran agama Islam yang dianut oleh sebagain besar orang Bajo Nain. Secara kasat mata, kepercayaan akan roh-roh laut dikatakan telah hilang, namun demikian kepercayaan ini telah tertanam dalam budaya masyarakat Bajo Nain, meski menganut agama Islam, kepercayaan tetap lama tetap berlangsung, dianggapnya sebagai bagian adat Bajo, jadi tetap saja dipercayainya. Sebagian penganut agama, menggantikan kepercayaan pada mbo, dengan meyakini Allah sebagai penguasa alam, hingga tetap saja alam laut tidak boleh dirusak.
Pangakalan adalah pusat penampungan ikan, pedagang ikan, dimiliki seorang pengusaha lokal yang jumlahnya cukup banyak. Satu Pangkalan memiliki beberapa perahu fiber, masanae,tempat pembelian/penampungan ikan di tompal.Pangkalan adalah institusi perekonomian masyarakat Nain, berfungsi sebagai lembaga ekonomi yang berperan dalam menyegerakan perekonomian rakyat pesisir. Eksistensi usaha pangkalan ini boleh jadi karena potensi sumber daya nelayan Bajo Nain yang memiliki kemampuan melaut handal dan mereka hanya fokus kepada nelayan. Pangkalan juga adalah lembaga sosial budaya, yang merupakan sebuah struktur yang mana pemilik sebagai tonaas atau kepala, sedangkan masanae sebagai anggota atau pekerja di setiap perahu milik tonaas. Sang Tonaas adalah patron bagi masanae, ia mengendalikan harga beli nelayan masanae, nantinya ia juga sebagai pedagang yang akan menjual kembali hasil tangkapan dari masanae. Dalam rangka mengikat kepercayaan masanae, ia harus memperhatikan perlengkapan perahu, perbekalan, dan sedikit menyelesaikan masalah-masalah rumah tangga masanae, terutama dalam pinjaman kebutuhan keluarga. Selebihnya Tonasa atau kapten dalam pelayaran memiliki kemampuan mencari daerah operasi penangkapan ikan yang potensial, tahu waktu menangkap terbaik, bisa melihat bulan dan bintang, cuaca, arah angin dan melakukan ritual kecil dengan menyediakn sesajen pada saat hendak berangkat melaut.
Situasi dalam masyarakat, berupa persediaan sumber daya alam yang terbatas, permintaan kebutuhan rumah tangga, dan menggeliatnya usaha rakyat. Telah membuat nelayan Nain melakukan strategi adaptasi, dengan mengatasi keterbatasan sumber daya dan kebutuhan rumah tangga, yang dijawabnya dengan memanfaatkan peluang bisnis pangkalan. Hal-hal yang saling mempengaruhi ini, ternyata memacu perubahan teknologi tangkapan menuju modernisasi, walaupun faktor tradisi dan kepercayaan berupaya menahan laju perubahan tersebut.
Pola konsumtif yang cukup memicu akar persoalan panjang masyarakat, yakni sebuah kemiskinan yang “absolut”, bagi mereka disadari sebagai “lingkaran setan” yang melekat pada warga setempat, bahwa kebiasaan pendapatan harian dan pengeluaran harian, adalah pola konsumtif warga. Karena tidak adanya kebiasaan menyimpan uang. Beberapa informan nelayan menyadari bahwa mereka cukup boros dan konsumtif, karena pendapatan mereka harian maka godaan untuk belanja harian sangat tinggi, jadinya mereka kurang menabung dibanding petani atau pekebun bisa mendapat hasil besar setelah beberapa bulan megolah tanahnya. Fenomena menarik lagi, keluarga yang mampu berpenghasilan bagus justru anak-anak mereka putus pendidikan. Ketika tangkapan berkurang, tidak menabung dan colaps.
Intervensi pemerintah dalam modernisasi nelayan Nain serta upaya pemberdayaan ekonomi rakyat, tidak berlangsung dengan sukses. Justru usaha-usaha yang eksis pada nelayan Bajo Nain adalah usaha pribadi dan usaha pangkalan. Dengan mengandalkan modal sendiri ataupun pinjaman Bank. Sepertinya usaha dalam bentuk kelompok tidak terbiasa bagi warga nelayan, seperti usaha Koperasi di atas. Usaha pangkalan yang melibatkan banyak orang, tetap saja sebagai usaha pribadi karena pemiliknya satu orang saja.
Selama ini belum ada perubahan berarti dalam pola usaha rakyat di desa Nain, masih berpolakan usaha individu bukan usaha kelompok, adanya indikasi ketidaksusesan program-program tersebut, karena pelaksana program tidak melakukan upaya pemberdayaan, pendampingan melekat, dan pengawasan, terkada dana yang disediakan tidak sesuai dengan yang diterima kelompok. Ataupun ketua kelompok bermain mata dengan pihak penyedia program. Program-program pengembangan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak swasta belum berhasil membuat perubahan ekonomi yang layak pada masyarakat pulau Nain.
Penelitian mengenai budaya bahari semakin penting dalam rangka upaya bangsa Indonesia yang berkeinginan kuat mewujudkan visi pembangunan dunia maritim berdasarkan geografis bangsa ini yang lebih luas wilayah lautannya daripada daratannya.
Bahwa pembangunan tidak bisa hanya melihat dari aspek materialnya saja, akan tetapi pembangunan harus melihat aspek manusianya, sebagai subjek pembangunan. Meski pembangunan bergerak dengan cepat, akan tetapi hasilnya tidak berhasil guna, malah potensi mengalami kegagalan.
Perhatian pada tradisi nelayan Bajo, cukup menarik untuk disimak dimana etnik ini dikenal sebagai satu-satunya suku pengembara laut yang masih ada sekarang, menyebar di seluruh wilayah nusantara dan tetap megandalkan dunia laut dalam aktivitas mata pencahariannya. Sehingga kajian terhadap nelayan Bajo bisa memperkaya pengetahuan akan kemaritiman orang Bajo yang nantinya kemampuan melaut mereka dapat diangkat dan dikembangkan dalam rangka memperkuat pertumbuhan ekonomi rakyat pesisir.
Perubahan tradisi melaut nelayan Bajo di Nain lebih kepada perubahan yang tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya, sehingga dapat menjadi rujukan pada pengembangan teknologi nelayan yang berkelanjutan, tetap eksisnya kearifan lokal dan diharapkan program pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat nelayan tetap memperhatikan hal-hal ini.
*Penulis, Peneliti Antropologi Sosial Budaya BPNB Sulut Kemdikbud