Solidaritas Relanggae Pada Upacara Perkawinan Adat Padoe – Iriani

SOLIDARITAS RELANGGAE

PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT PADOE

 

 

 

 

Iriani

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Jalan Sultan Alauddin/ talasalapang  km 7 Makassar, 90221

Telepon (0411) 885119,883748,Fsksimile (0411) 865116

iriani_96@yahoo.com

 

 

 

Abstrak

Kominutas Padoe merupakan kelompok berdasarkan ikatan moral dan nilai-nilai.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk solidaritas komunitas Padoe pada upacara adat perkawinan dan manfaat solidaritas.Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur dan observasi non participant.Teknik sampling yang digunakan adalah snowball samplingdan juga purposive sampling. Validitas data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber, sedangkan analisis datanya menggunakan analisis interaktif Miles dan Huberman.Hasil penelitian menunjukan bahwa solidaritas yang ada pada komunita Padoe, khusunya pada upacara adat perkawinan adalah bentuk solidaritas mekanik.Pemeliharaan solidaritas yang ada di Wasponda dalam pelaksanaanya, terdapat faktor pendorong dan faktor penghambat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENDAHULUAN

            Menurut Selo Soemardjan dan Sulaiman Sumardi, bahwa kebudayaan dirumuskan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan dan kebendaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat (Soekanto, 1990:189). Berkaitan dengan kebudayaan, maka di daerah Luwu Timur, khususnya di Kecamatan Wasuponda dikenal adanya komunitas Padoe yang memiliki budaya tersendiri dan tradisi perkawinan yang masih eksis hingga saat ini. Tradisi perkawinan pada komunitas Padoe seperti halnya tradisi perkawinan pada masyarakat lain, yang memuat tentang aturan-aturan dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, juga berisi tentang tata caradan tahapan yang harus dilalui oleh pasangan pengantin dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, sehingga perkawinan yang dilaksanakan mendapatkan keabsahan dari masyarakat (Suryaningsih, 2012: 377).

Terlepas dari aturan-aturan yang ada dalam tradisi perkawinan komunitas Padoe, tradisi perkawinan juga merupakan salah satu bentuk solidaritas sosial,  karena di dalamnya banyak bentuk saling tolong menolong diantara masyarakat. Salah satu bentuk tolong menolong pada tradisi perkawinan komunitas Padoe adalah tradisi relanggae.Dalam tradisi iin masyarakat berkumpul dan bersepakat untuk memberikan sumbangan kepada keluarga yang akan melaksanakan perkawinan. Setiap ada perkawinan pasti diawali dengan tradisi relanggae yang merupakan bentuk tolong menolong dalam meringankan beban kepada keluarga yang akan melakukan hajatan perkawinan.

            Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Refisrul, bahwa manusia merupakan mahluk dengan tingkat kebutuhan hidup yang kompleks dan jika salah satu kebutuhan tidak terpenuhi, maka manusia akan melanjutkan usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi. Salah satu bentuk kebutuhan manusia ia adalah kebutuhan akan bantuan orang lain dalam mewujudkan keinginannya. Kebutuhan akan bantuan orang lain itu terwujud salah satunya pada adanya aktivitas bersama dalam melakukan sesuatu pekerjaan ataupun hajatan (2009: 61).

Aktivitas saling membantu pada kehidupan manusia itu terwujud dalam aktivitas gotong royong atau tolong menolong.Koentjaraningrat (dalam refisrul, 2009:62) menyebut bahwa aktivitas tolong menolong dalam pelaksanaan pesta sebagai bentuk kegotong-royongan masyarakat dan disebutkannya sebagai gotong royong tolong menolong serta merupakan salah satu nilai budaya yang dianut oleh bangsa Indonesia.Gotong-royong diartikannya sebagai kerjasama antara anggota suatu komunitas dan terdiri dari gotong royong kerja bakti dan gotong royong tolong menolong. Tradisi gotong royong atau tolong menolong pada dasarnya dimiliki oleh setiap masyarakat/suku bangsa yang terwujud antara lain dalam pelaksanaan upacara adat, membersihkan kampung, membangun rumah ibadah/sekolah, dan lain sebagainya.

Gotong royong sebagai bentuk kerjasama dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan cerminan dari kearifan masyarakat pada nilai-nilai luhur (adat) yang dianutnya dan diwarisi dari leluhurnya.Esensi dari gotong royong rasa kekitaan rasa prihatin dan kasih sayang sesama individu dalam masyarakat. Melalui tradisi gotong royong, semangat bantu membantu serta kerjasama, dengan sendirinya akan terwujud rasa kekeluargaan yang kuat antara orang-orang sekerabat maupun dengan orang lain (masyarakat). Disamping itu gotong royong sebagai suatu aktivitas/ tradisi mengandung fungsi dan nilai budaya bagi masyarakat pendukungnya.

Salah satu bentuk aktivitas gotong-royong yang selama ini dilakukan masyarakat Padoe adalah dalam rangka penyelenggaraan upacara dan pesta perkawinan, misalnya perkawinan adat pada orang Padoe di Malili, Kabupaten Luwu Timur Sulawesi Selatan. Perkawinan adalah suatu hubungan pria dan wanita yang sudah dewasa yang saling mengadakan ikatan hukum baik secara adat, agama dan negara dengan maksud untuk saling memelihara agar hubungan tersebut bisa berlangsung dalam waktu relatif lama (Refisrul,2009:62).

Penyelenggaraan upacara perkawinan merupakan ritual penting bagi setiap manusia karena menandai peralihan statusnya dari masa remaja ke kehidupan berumah tangga.Upacara perkawinan juga merupakan suatu prosesi upacara adat Padoe. Dalam proses pelaksanaannya, bukan hanya kedua belah pihak yang berperan, akan tetapi kaum kerabat dan tetangga akan memberikan bantuan demi kesuksesan upacara perkawinan tersebut. Bantuan atau kontribusi berupa bantuan fisik atau tenaga, moral dan pendanaan. Berkaitan dengan gotong royong  dilingkungan kerabat, Suyono dalam Refisrul (2009:63) menyebut bahwa gotong royong adalah segala kerjasama antara sesame masyarakat dalam usaha mewujudkan sosial ekonomi, politik dan budaya berdasarkan sistem kekerabatan. Berdasarkan hal itu, dipahami bahwa aktivitas membantu penyelenggaraan suatu upacara perkawinan, baik secara fisik sebagai bentuk kegotong-royongan masyarakatnya, telah berlaku turun temurun atau menjadi tradisi yang diwarisi dari generasi sebelumnya.

Tradisi membantu kaum kerabat dalam upacara perkawinan pada masyarakat Padoe merupakan bagian penting dalam kehidupannya dan menjadi kebiasaan yang terpelihara sejak dahulu hingga saat ini dan selalu ingin dipertahankan. Salah satu bentuk tradisi membantu kaum kerabat dalam upacara perkawinan pada masyarakat Padoe adalah bantuan dana atau biaya kepada keluarga yang akan menyelenggarakan upacara perkawinan agar acara tersebut dapat terselenggara dengan lancar.

Tadisi saling membantu dalam upacara perkawinan bagi masyarakat Padoe sudah ada sejak zaman dahulu. Apabila salah satu warga akan melangsungkan perkawinan, maka seluruh masyarakat dalam kampung turut memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Misalnya jika seseorang mempunyai uang maka ia akan membantu dalam bentuk uang dan bagi mereka yang tidak memilki uang, akan membantu dalam bentuk tenaga.

Tradisi tolong menolong dewasa ini khsusunya di daerah perkotaan sudah jarang ditemukan. Masyarakat sekarang ini cenderung bersifat individualistis, bahkan ada sebagian daerah pedesaan yang mulai hilang sifat tolong menolongnya dan dikhawatirkan komunitas Padoe juga akan bersifat individualistis,  seperti halnya daerah pedesaan lainnya yang sudah mengalami perubahan. Oleh karena itu penelitian tentang tardisi tolong menolong (relanggae) dalam masyarakat Padoe penting untuk dilakukan.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah, bagaimana tradisi relanggae pada upacara perkawinan pada masyarakat Padoe dan bagaimana tradisi upacara perkawinan pada masyarakat Padoe. Apa dampak yang dirasakan oleh  masyarakat Padoe dengan adanya relanggae tersebut?

 

Landasan Teori

Solidaritas Sosial

Solidaritas sosisl menurut Durkheim adalah suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh perasaan emosional bersama.Ikatan solidaritas sosial lebih mendasar dari pada hubungan kontraktualyang dibuat atas persetujuan rasional, Karena hubungan-hubungan seperti itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu derajat konsensus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu.

Solidaritas sosial ada dua kategori

  1. Solidaritas sosial mekanik

Adanya kesadaran kolektif, Kepribadian individu diserap sebagai kepribadian kolektif, sehingga individu saling menyerupai satu sama lain. Solidaritas sosial mekanik pada suatu “ kesadaran kolektif” bersama,yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula. Karena itu individualitas tidak berkembang, individualitas ituterus menerus dilumpuhkan oleh tekanan yang besar sekali untuk konformitas. Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentiment dan sebagainya.Homogenitas semacam itu hanya mungkin kalau pembagian kerja sangat minim.

 

2.Solidaritas sosial Organik

Ditandai oleh heterogenitas dan individualitas yang semakin tinggi, bahwa individu berbeda satu sama lain. Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu  berdasarkan tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggairahkan bertambahnya perbedaan dikalangan individu.Munculnya perbedaan-perbedaan ditingkat individu merombak kesadaran kolektif itu yang pada gilirannnya menjadi kurang penting lagi untuk dasar keteraturan sosial di banding dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-individu yang memeiliki spsialisasi dan secara relative lebih otonom sifatnya.

 

Tradisi

Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang turun temurun dalam sebuah masyarakat  luas, yang merupakan pewarisan norma-norma, kaidah-kaidah dan kebiasaan-kebiasaan. Tradisi bukanlah sesuatu yang tidak bisa berubah, namun perpaduan segala perbuatan manusia (Rendra, 1983: 23).

Tradisi (al-thurast) bila mengutip Hasan Hanafi merupakan khasanah kejiwaan yang menjadi pedoman dalam piranti dalam membentuk masyarakat. Tradisi merupakan khasanah pemikiran yang bersifat material dan immaterial yang bisa dikembangkan untuk melahirkan pemikiran yang progresif  transformatif. Karena itu ada pembelaan dan pembekuan atas tradisi.

Seperti diketahui Indonesia multi etnik memiliki macam-macam tradisi yang berlandas pada simbol keagamaan yang ditransfer dalam bentuk upacara atau ritual yang melambangkan kesakralan dan pemaknaan, sehingga menjadi tradisi yang mempunyai manfaat dan kebaikan bagi individu maupun masyarakat.

Dalam tataran peranan tardisi ritual dalam masyarakat, tradisi merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan yang keramat. Tradisi bukan hanya sarana yang memperkuat ikatan sosial kelompk dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting.

METODE

            Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Luwu, Kecamatan Wasponda. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan melakukan pengumpulan data  melalui wawancara mendalam serta pengamatan langsung di lapangan. Selain itu juga melakukan studi pustaka dengan membaca litertur yang terkait dengan penelitian yang dilakukan.

 

PEMBAHASAN

Asal-Usul Masyarakat Padoe

Suku Padoe mendiami daerah ini diperkirakan sejak abad XIV, yang bermigrasi dari daerah Sulawesi Tengah dan menetap di daerah pegunungan dan lembah di daerah Luwu Timur Sulawesi Selatan.Saat ini orang Padoe lebih banyak bermukim di Wasuponda.Dalam bahasa setempat istilah “Padoe” berarti “orang jauh”.Di Luwu Timur mereka menjadi salah satu bagian dari 12 anak suku di bawah pemerintahan Kedatuan Luwu (Kerajaan Luwu).

Ada versi yang menyatakan, bahwa suku Padoe ini berasal dari suku bangsa Lili To Padoe Bangkano Kalende, yang terbagi menjadi 4 suku, yaitu, Padoe, Lasaelawali, Kinadu dan Konde. Suku Padoe sekarang bertempat tinggal di daerah Matompi, Wawondula, Lioka, Tabarano, Tawaki, Tetenona dan Kawata.

Beberapa cerita rakyat tentang banyaknya para Pongkiari (ahli perang) dari suku Padoe pada masa lalu, membuat Datu Luwu memberikan penghormatan tersendiri kepada para Pongkiari dan seluruh suku Padoe.Karenanya, apabila pemimpin Kedatuan Luwu menggelar sebuah hajatan, selalu mempersiapkan tempat khusus untuk orang-orang Padoe dan suku Padoe tidak diminta memberikan upeti kepada Datu Luwu.Cerita rakyat tentang kehebatan Pongkiari ini, konon danau Matano, danau Mahalona dan danau Towuti terbentuk karena pertempuran para Pongkiari.Begitu dahsyatnya pertempuran itu, membuat terciptanya kubangan yang sangat luas dan dalam sehingga membentuk sebuah danau.Namun seiring perkembangan zaman, eksistensi Pongkiari berangsur-angsur hilang.

Saat investor tambang nikel masuk ke wilayah suku Padoe, sebagian besar penduduk asli sudah mengosongkan daerah wilayah tempat tinggal mereka.Sekitar 10 tahun kemudian saat kondisi sudah aman, banyak eksodus kembali ke tanah nenek moyang mereka.Namun mereka menghadapi kesulitan baru dalam melanjutkan hidup akibat tanah mereka yang telah berubah fungsi menjadi daerah tambang.Sebagian dari mereka tetap menetap di daerah Padoe .yang sekarang ini bertempat di belakang bumper (bumi perkemahan) Soroako.

Kini, setelah daerah Padoe menjadi bagian dari Kabupaten Luwu Timur, beragam kegiatan terus dikembangkan untuk dapat menyejahterakan suku Padoe.Organisasi adat yang berkembang sejak tahun 1970 yang disebut dengan Pasitabe telah beberapa kali menyelenggarakan pesta adat dan rapat dewan adat Padoe.Hingga kini Pasitabe tetap aktif dalam rangka konsolidasi dan pendampingan terhadap kasus-kasus yang melibatkan tanah ulayat, tanah nenek moyang suku Padoe. Suku Padoe memiliki adat-istiadat, aturan adat, bahasa bahkan pola kepemimpinan tersendiri dan  masih eksis hingga saat ini.

Struktur Organisasi Lembaga adat Padoe

Masyarakat`adat Padoe memiliki lembaga adat yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat Padoe.Adapun ketua lembaga adat Padoe disebut dengan Mahola dan dalam menjalankan tugasnya di dibantu oleh wakil Mahola dan dewan adat, serta Badan Penasehat.Dalam melaksanakan tugasnya Mahola selalu berpedoman pada keputusan musyawarah Adat Padoe.

Untuk menjadi seorang pemimpin adat dalam komunitas Padoe harus memenuhi syarat, seperti untuk menjadi mahola harus berasal dari keturunan mahola.Disamping itu harus menjadi teladan, panutan moral yang baik dan bersih dalam masyarakat, baik menyangkut pribadi maupun keluarga.

Adapun tugas dari dewan adat Padoe diantaranya adalah menangani atau mengurus masalah peminangan, perkawinan adat Padoe. Selain itu dewan adat juga berwewenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi dalam masyarakat, juga menangani bidang kesenian dan budaya dalam masyarakat.

Hukum Adat Padoe

Komunitas Padoe memiliki aturan adat tersendiri yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam budaya masyarakatnya.Hukum adat tersebut pada mulanya merupakan aturan tidak tertulis yang disepakati bersama.Namun pada saat ini kumunitas Padoe takut kehilangan identitasnya dan generesi muda dikhawatirkan tidak mengetahui aturan adat yang ada dalam komunitasnya, maka sebagian aturan adat telah ditulis dalam bentuk buku.

Terkait dengan hukum adat Padoe, khususnya yang berkaitan dengan hukum perkawinan, maka ada beberapa larangan yang harus diputuskan oleh  pada masyarakat Padoe secara ideal. Secara hukum adat tidak dibenarkan adanya perkawinan antar sepupu satu kali, namun apabila terlanjur terjadi, maka akan dikenakan sanksi adat berupa denda satu ekor kerbau. Kerbau yang dijadikan denda disembelih dan dimakan bersama oleh seluruh anggota masyarakat di kampung dengan maksud untuk membersihkan kampung dari bencana.

Menurut hokum adat Padoe apabila adik perempuan terlebih dahulu menikah, maka adik perempuan itu harus memberikan satu lembar kain sarung kepada kakaknya, sebagai tanda permohonan izin, karena telah mendahului  untuk menikah atau kawin (mopeseelumi).

  • Apabila yang akan menikah berbeda budaya, maka adat yang dipakai adalah adat perempuan.
  • Apabila kedua calon pengantin adalah orang Padoe, namun pada saat menikah meminjam pakaian adat atau budaya dari luar, maka ia akan dikenakan sanksi berupa denda satu ekor sapi.

Bentuk perkawinan yang biasa terjadi dalam komunitas Padoe adalah sebagai berikut:

  • Perkawinan antara laki-laki dengan perempuan yang masih perawan atau perkawinan antara janda dan duda
  • Perkawinan memaksa adat adalah perkawinan yang dilakukan karena perempuan sudah menagndung
  • Perkawinan terpakasa yang dilakukan karena pelanggaran asusila, perselingkuhan, perbedaan agama yang tidak bisa dihindari
  • Perkawinan memaksa orang tua, karena keinginan anak sendiri sehongga orang tua dipaksa untuk ikut saja dalam pelaksanaannya
  • Perkawinan ganti tukar, yaitu perkawinan yang dilakukan apabila istri atau suami meninggal dan adik atau kakaknya sebagai pengganti yang telah meninggal.
  • Perkawinan karena kemauan orang tua sehingga anak diajak untuk ikut saja
  • Perkawinan janda atau duda karena pisah meninggal,hanya boleh dilakukan apabila makamnya sudah diperbaiki.

Mas Kawin Menurut Adat Padoe

Seperti halnya adat di daerah lain di Sulawesi, komunitas Padoe juga mengenal istilah mas kawin dalam upacara perkawinan. Mas kawin diberikan oleh laki-laki kepada pihak perempuan dengan dibungkus pada kain putih, yang melambangkan kesucian hati yang tulus dan ikhlas.

Mas kawin merupakan keseluruhan prosedur penyerahan barang yang oleh adat telah ditentukan untuk diserahkan oleh pihak pria kepada pihak wanita sesuai dengan lapisan dan kedudukan sosial masing-masing sebelum seorang pria secara resmi mengambil seorang gadis sebagai istri (Daeng,2008: 5).

Mas kawin yang diberikan bukan semata-mata untuk calon istri, namun juga kepada orang tua (metahako) calon istri. Mas kawin terdiri atas empat bungkusan yang masing-masing bungkusan terdiri atas empat potong materi.

  1. Untuk Ibu (tia ine) terdiri atas:
  • Satu potong kain untuk rok
  • Satu potong kain untuk baju
  • Satu lembar handuk untuk bungkus kepala
  • Satu lembar kain sarung untuk pakaian tidur

 

  1. Untuk Bapak
  • Satu potong kain untuk celana
  • Satu potong kain untuk baju
  • Satu lembar handuk untuk bungkus kepala (pasapu)
  • Satu lembar kain sarung untuk pakaian tidur

 

3.Untuk istri

  • Satu potong kain untuk rok
  • Satu potong kain untuk baju
  • Satu lembar handuk untuk bungkus kepala
  • Satu lembar kain sarung untuk pakaian tidur

Makna pembagian mas kawin untuk ibu sang istri adalah sebagai penghargaan karena telah melahirkan dan memelihara anak perempuannya hingga ia dewasa. Sementara bembagian kepada bapaknya adalah sebagai penghargaan karena telah melindungi dan memeliharanya hingga ia besar dan dewasa.

Hal semacam ini mirip dengan model Levi-Strauss, yang mengungkapkan bahwa tujuan utama proses pertukaran tidak untuk memungkinkan pasangan yang terlibat dalam pertukaran itu untuk memenuhi kebutuhan individualistisnya. Sebaliknya arti pertukaran adalah mengungkapkan komitmen moral individu itu pada kelompok.Bentuk khusus pertukaran itu, langsung atau tidak langsung bukanlah masalah bagi keputusan individu yang dikeluarkan berdasarkan pertimbangan kepentingan sekarang ini.Bentuk pertukaran itu dibatasi oleh kebudayaan keseluruhannya, diinstitusionalisasikan dalam struktur sosial itu sendiri, kenyataan mengatasi individu, serta kebutuhan-kebutuhan yang khusus.Levi-Staruss bahkan membedakan pertukaran ekspriomi (kepentingan individu ini diandaikan paling penting) dengan pertukaran sosial (Abidin, 2014: 302).

Tradisi Perkawinan Komunitas Padoe

Istilah tradisi dipahami menjadi segala sesuatu yang turun temurun dari nenek moyang. Tradisi dalam kamus Antropologi sama dengan adat istiadat, yakni kebiasaan yang bersifat magis religious dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan yang saling berkaitan dengan kemudian menjadi suatu sistem budaya dari suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan atau perbuatan manusia dari kehidupan sosial (Aryono dan Siregar,1985: 4).

Tradisi dipahami sebagai suatu masyarakat yang memilki pijakan masa lampau dalam bidang adat, bahasa tata kemasyarakatan, keyakinan dan sebagainya maupun proses penyerahan atau penerusnya pada generasi berikutnya. Sering proses penerus terjadi tanpa dipertanyakan sama sekali, khususnya dalam masyarakat tertutup dimana hal-hal telah lasim dianggap benar dan lebih baik diambil alih begitu saja. Memang tidak ada kehidupan manusia tanpa tradisi. Bahasa daerah yang misalnya dipakai dengan sendirinya pada dasarnya diambil dari sejarah yang panjang, tetapi bila tradisi diambil alih sebagai harga mati tanpa pernah dipertanyakan, maka masa kinipun menjadi tertutup tanpa garis bentuk yang jelas seakan-akan hubungan dengan masa depan, pun menjadi terselubung tradisi lalu menjadi tujuan dalam dirinya sendiri (Peurson, 1976:11).

Dalam komunitas Padoe terdapat suatu tradisi gotong royong atau tradisi relanggae ketika ada masyarakat menyelenggarakan perhelatan perkawinan. Hubungan timbal balik (reciprocity) yang terjadi dalam tradisi relanggae tersebut sebagai bentuk tolong menolong dengan alasan adanya kepentingan yang sama dalam hidup bermasyarakat, yang mana mereka sadar, bahwa hidup mereka tergantung pada orang lain. Hubungan timbal balik ini berlangsung terus menerus berjalan silih berganti, berjalan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Walau perkawinan yang dianggap ideal atau lazim disebut pola lama dalam masyarakat terhadap setiap komunitas terbilang bergeser sedikit demi sedikit, tetapi umumnya termasuk yang ditemukan di kelompok masyarakat yang berlatar belakang sosial budaya Padoe, masalah perkawinan masih dominan dalam membentuk keluarga baru yaitu dengan mempersunting pihak keluarga, artinya perkawinan tetap merujuk perkawinan yang sifatnya kedalam, artinya perkawinan sesama rumpun keluarga (endogami), yaitu perkawinan sesama kerabat yang biasanya tetap melihat aspek pertalian darah, seperti sepupu pada derajat tertentu, baik dari pihak keluarga ayah maupun pihak ibu (Tini dkk, 2013:58).

Apabila musyawarah untuk pelaksanaan perkawinan selesai, maka diundang semua dewan adat dan seluruh pemerintah setempat, dalam hal ini pada tingkat desa. Padau undangan secara adat tersebut msaing-masing orang akan membawa: dua liter beras, dua botol pongas (air tape), dan dua ekor ayam. Hal ini berlaku bagi semua komunitas adat Padoe bila melaksanakan perkawinan adat.

Tahap-tahap upacara adat perkawinan masyarakat Padoe

Upacara adalah perayaan suatu adat kebesaran.Rangkaian kegiatn acara ini, juga melibatkan pembesar seperti penghulu adat, tokoh masyarakat (Wahid, 2008:12).Upacara atau ritual yang dilakukan oleh warga masyarakat mengandung berbagai aturan yang wajib diketahui oleh setiap masyarakat pendukungnya.Aturan-aturan itu terbentuk dan berpola secara otomatis, serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.Kepatuhan terhadap aturan-aturan tersebut disertai sanksi yang sifatnya sakral magis.Oleh karena itu, setiap warga masyarakat berupaya untuk patuh dan melaksanakan segala aturan tersebut, sehingga segala sikap dan tingkah laku tidak menyimpang dari adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat (Faisal, 2007: 68).

Mengenai tradisi perkawinan adat kamunitas Padoe sama halnya dengan tradisi perkawinan adat Bugis yang mana dimulai dengan pertunangan, kemudian pelamaran dan dilanjutkan dengan peminangan. Pada saat peminangan ada beberapa materi yang dibawa oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, yakni berupa emas, yakni anting-anting emas, cincin dan gelang emas. Pemberian mas tersebut menurut adat Padoe diibaratkan mengikat kerbau/sapi, dimana kalung mas sebagai ikatnya (kolohino), anting-anting mas tanda ditelinga (sesebrino), cincin mas  sebagai keleker (salakerino), gelang mas sebagai talinya (onggono).

Sebelum pelaksanaan upacara perkawinan adat Padoe terlabih dahulu diadakan pertemuan oleh lembaga adat Padoe yang dipimpin oleh mahola. Pada rapat tersebut dibahas tentang sumbangan dan siapa saja yang akan menyumbang dan apa saja bentuk sumbangannya kepada keluarga yang akan melangsungkan perhelatan perkawinan. Tradisi ini disebut dengan relanggae,salah satu bentuk tolong menolong atau solidaritas di dalam komunitas Padoe.

Secara terminology, kata solidaritas berasal dari bahasa latin solidus “solid”. Kata ini dipakai dalam sistem sosial masyarakat yang berkaitan dengan integritas kemasyarakatan melalui kerjasama dan keterlibatan yang satu dengan yang lainnnya.Bentuk dari solidaritas dalam kehidupan masyarakat berimplikasi pada kekompakan dan keterikatan dari bagian-bagian yang ada. Dalam hukum Romawi dikatakan bahwa solidaritas menunjuk pada idiom “semua untuk masing-masing dan masing-masing untuk semua” Tidak jauh dari hukum Romawi, bangsa Prancis mengaplikasikan terminology solidaritas pada keharmonisan sosial, persatuan nasional dan kelas dalam masyarakat (Daula, 2001:4).

Tradisi relanggae tersebut akan berlaku bagi siapa saja yang melangsungkan perhelatan perkawinan dalam komunitas Padoe. Adapun sumbangan yang akan diberikan tidak ditentukan jumlahnya dan tidak ditentukan jenisnya, namun kerelaan dari masing-masing orang. Keluarga yang telah diberi sumbangan akan mencatat semua sumbangan yang diberikan dan keluarga yang memberikan sumbangan, sehingga apabila suatu hari nanti ada relanggae di keluarga lain, maka keluarga yang telah mendapat bantuan akan membuka catatannya dan melihat jumlah sumbangan apa yang disumbang oleh orang yang akan melakukan perhelatan tersebut. Biasanya balasan sumbangan yang diberikan kepadanya tidak kurang dari apa yang telah ia terima, sekurangnya sama, bahkan bisa lebih banyak dari apa yang telah ia terima. Walaupun tidak ada aturan yang mengikat mengenai jumlah sumbangan yang akan diberikan, akan tetapi ada rasa malu untuk menyumbang kurang dari apa yang telah ia terima.

 

Persiapan Pelaksanaan Perkawinan

Perkawinan merupakan penerimaan status baru dengan sederetan hak dan kewajiban baru, serta pengakuan akan status baru dari orang lain. Perkawinan merupakan persatuan dua orang atau lebih individu yang berlainan seks dengan persetujuan masyarakat (Narwoko,2004: 229).

Sebelum upacara adat dilaksanakan, biasanya 2 hari sebelum hari perhelatan. Sudah nampak bentuk solidaritas di dalam masyarakat, misalnya para lelaki datang memotong-motong kayu bakar yang akan digunakan untuk memasak, sementara bagi kaum ibu ada yang menapis beras.

Di samping itu para tetangga yang datang ke rumah tempat perhelatan ada yang membawa beras, terigu dan ada juga yang membawa gula pasir. Namun saat mereka akanpulang ke rumah, tempat yang mereka gunakan sebelumnya untuk membawa beras atau gula akan diisi dengan penganan berupa kue, sehingga mereka tidak membawa piring atau tempat dalam keadaan kosong saat pulang ke rumah masing-masing. Hal ini juga sudah memperlihatkan adanya pertukaran (saling member dan menerima).

Dua hari atau satu hari sebelum puncak perhelatan, kerabat, tetangga dan sanak saudara penyelenggara perhelatan sudah mulai sibuk bekerja mempersiapkan yang akan dilakukan pada hari perhelatan. Para tetangga atau keluarga yang bekerja pada saat itu akan makan bersama di rumah perhelatan, bahkan anak-anak tetangga yang berada tinggal di dekat rumah perhelatan dibolehkan untuk ikut makan bersama, pokoknya siapa saja yang ibu atau bapaknya ikut membantu dalam acara tersebut, maka ia boleh turut menikmati makanan yang ada di rumah yang melakukan perhelatan. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk solidaritas di dalam komunitas Padoe yang tidak ditemukan di daerah perkotaan.

Bentuk soslidaritas yang terjalin dalam komunitas Padoe merupakan solidaritas sosial yang didasarkan pada hubungan individu yang didasarkan pada moral, kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut bersama dan diperkuat dengan pengalaman emosional bersama. Tonnies (dalam Martono,2012: 45) menyebut sebagai gemeinschaft atau hubungan sosial yang didasarkan pada orientasi nilai, hubungan emosional dan interaksi antar individu.

Levi-Strauss (dalam Abidin, 2014:303) mengemukakan bahwa pola seseorang menikahi putri saudara ibunya menyumbang pada tingkat solidaritas sosial yang lebih tinggi dari pada pola lain ketika seseorang menikahi putri saudara bapaknya. Menurut argumentasi ini, solidaritas yang lebih tinggi menjelaskan kenyataan bahwa pola perkawinan yang terdahulu, yakni perkawinan putri saudara ibu lebih sering terjadi dalam masyarakat primitif dari pada yang kedua, yaitu pernikahan dengan putri saudara bapaknya.Alasan Levi-Strauss untuk menjelaskan solidaritas sosial yang lebih tinggi bahwa pola yang lebih disukai mencakupi pertukaran tidak langsung dari pada yang langsung.Menempatkan analisis ini pada istilah-istilah yang lebih umum, pola pertukaran tertentu yang lebih melembaga bertahan karena berfungsi atau menguntungkan masyarakat itu.

 

Pelaksanaan Upacara Perkawinan

Pelaksanaan upacara perkawinan adat Padoe, hampir sama dengan prosesi perkawinan adat pada masyarakat suku Bugis di Sulawesi Selatan. Namun yang menjadi inti dari pembahasan disini adalah masalah solidaritas yang ada dalam upacara adat perkawinan Komunitas Padoe.

Pada upacara perkawinan, dihadiri oleh semua anggota lembaga adat Padoe yang dikenal dengan Pasitabe untuk menyaksikan pengantin laki-laki dan perempuan mengucapkan ijab Kabul.Pada puncak acara tersebut sangat nampak bentuk solidaritas masyarakat.Para undangan yang hadir saling memberi dan menerima.Kemudian diakhiri dengan makan bersama.

Demikian juga apabila upacara perkawinan telah selesai, masyarakat saling membantu untuk menyelesaikan atau untuk merapikan kembali posisi barang-barang yang telah digunakan.Warga masyarakat ada yang mencuci piring dan mengeringkannnya serta menghitung piring dan perlengkapan lainnya yang telag digunakan serta mengembalikannnya.Kesadaran masyarakat untuk saling membantu dalam upacara perkawinan adat Padoe sangat tinggi.Mereka saling membantu bukan karena mengharap pamri, namun mereka membantu berdasarkan panggilan hati nurani.Hal ini tentu sangat terkait dengan dengan nilai-nilai yang mereka anut, seperti nilai solidaritas, nilai kebersamaan, nilai religi dan nilai kesetiakawanan.

 

Pengaruh Tradisi Gotong royong dalam Upacara Perkawinan Pada Kehidupan Sosial Masyarakat Padoe

Pada bidang sosial tradisi gotong royong memberikan pengaruh pada ikatan sosial yang terjalin antara komunitas Padoe dan sekitarnya. Secara fitrah manusia adalah mahluk yang suka hidup berkelompok dengan pengertian manusia dalam hidupnya senantiasa memerlukan bantuan orang lain. Untuk itulah kemudian manusia dalam hidupnya senantiasa memerlukan bantuan orang lain. Untuk itulah manusia selain mahluk hidup, juga mahluk sosial.Terdorong oleh kedudukannya yang kodrati sebagai mahluk sosial maka manusia tidak dapat hidup seseorang diri. Dimanapun manusia berada dia pasti memerlukan orang lain. Oleh karena itu dengan adanya tradisi relanggae dalam upacara perkawinan adat Padoe, dapat memberi kesan kepada masyarakat, bahwa beban yang seharusnya mereka tanggung sendiri akan terasa berat, namun malah sebaliknya beban itu akan terasa ringan, karena dikerja dan ditanggung bersama-sama.

Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan hidup dalam masyarakat. Wujud nyata dalam kehidupan bersama akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar mereka. Rasa persaudaraan diantara masyarakat Padoe semakin kuat dengan adanya relanggae.Solidaritas semacam ini dapat bertahan lama dan jauh dari bahaya konflik, karena ikatan utama masyarakatnya adalah kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral.Solidaritas tersebut sering disebut solidaritas mekanik.

 

PENUTUP

            Komunitas Padoe merupakan komunitas yang masih memegang teguh adat istiadatnya. Mereka memiliki tradisi dan adat istiadat yang sampai saat ini masih survive. Salah satunya adalah upacara adat perkawinan, yang mana semua tatacara perkawinannya diatur dalam hukum adat, yang saat ini sudah tertulis. Upacara perkawinan adat komunitas Padoe hampir samadengan tahap-tahap upacara perkawinan adat Bugis, yang mana di dalamnya terdapat bentuk solidaritas atau tolong menolong dalam masyarakat, mulai dari masa persiapan perkawinan sampai perkawinan selesai.

Salah satu bentuk tolong menolong dalam upacara perkawinan pada komunitas Padoe adalah tradisi relanggae, yaitu dimana seluruh masyarakat ikut memberikan kontribusi kepada keluarga yang akan melangsungkan perkawinan. Sebelum upacara perkawinan dilangsungkan, maka Mahola sebagai pemimpin adat Padoe terlebih dahulu melaksnakan musyawarah dengan seluruh perangkat adat dan mengundang warga masyarakat.Dalam musyawarah setiap orang ditanyai bentuk kontribusi yang akan diberikan kepada keluarga yang melangsungkan upacara perkawinan. Jumlah sumbangan yang akan diberikan tidak ditentukan, namun berdasarkan kerelaan dan kemampuan mereka.Ada yang menyumbang dalam bentuk uang, barang dan ada pula yang menyumbang dalam bentuk tenaga.Namun demikian keluarga penyelenggara upacara perkawinan tidak menerima begitu saja semua sumbangan yang diberikan kepadanya, karean semua itu harus terlebih dahulu dicatat dalam buku agar sumbangan yang telah diterimanya  akan dibalas kembali kepada orang-orang yang telah menyumbang kepadanya. Solidaritas semacam ini disebut juga dengan solidaritas mekanik.

Dengan adanya tradisi relanggae yang masih eksis, masyarakat Padoe sangat merasakan bermanfaatnya , sebab bisa saling meringankan beban kepada sesama warga dan merasa senasib sepenanggungan. Kedekatan emosional semakin erat, sehingga rasa persaudaraanpun semakin bertambah. Masyarakat menganggap seberat apapun beban yang harus mereka tanggung apabila ada kerjasama dan gotong royong, maka beban yang berat itu akanterasa ringan.

 

DAFTAR PUTAKA

 

Abidin, zainal Yusuf dan Beni Ahmad Saebani, 2014, Pengantar Sistem Sosial Budaya.Bandung: CV Pustaka Setia.

Aryono dan Siregar,1985 , Kamus antropologi. Jakarta: Akademika Pressindo

Daeng, Hans J, 2008. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan  Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Daula, Zainuddin M,2001. Mereduksi Eskalasi Konflik Antar Umat Beragama di Indonesia. (Jakarta Badan Litbang Agama, Proyek Kerukunan antar Beragama)

Faisal, 2007.Nilai Ritual “Mappacci” Pada Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam Jurnal Walasuji (Jurnal Kebudayaann Sulselra dan Barat. Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Islam dalam Perspektif Antropologi.Vol.II. 1 Januari – April.

Narwoko, .Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana Pranada Media Group

Peursen Van, 1976, Sosiologi Kebudayaan. Jakarta: Kanisius

Refisrul, 2009. “Baitung: Tradisi Gotong Royong dalam Upacara Perkawinan Pada Masayarakat Miangkabau (Kasus Korong Sikabu, Nagari Lubuk Alung)” dalam Jurnal Suluah,Juni,Vol.9.No.10.

Rendra, 1983.Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia

Suryaningsi, Tini dkk, 2013.Masyarakat Padoe. Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar.Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Suryaningsi, Tini, 2012. Perkawinan Adat Padoe di Sulawesi Selatan. Jurnal Walasuji.

Soekanto, 1990. Spsio;ogi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Wahid, Sugira, 2008. Manusia Makassar. Refleksi: Makassar.