Pertunjukan Padendang Dalam Ritual Mabbissa Arajang Pada Masyarakat Desa Paroto Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan

PERTUNJUKAN PADÉNDANG DALAM RITUAL MABBISSA ARAJANG PADA MASYARAKAT DESA PAROTO KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN

 

1Arisal 2 A. Remmang Rilangi

Universitas Negeri Makassar

Email: arisalical012@gmail.com

Handphone: 085341558243

Abstrac

The writing presented includes a type of qualitative research that aims to describe; (1) the phase of the padéndang show at the Arajang mabbissa ritual; (2) the position and function of padéndang performances in the ritual of mabbissaArajang on Bugis Soppeng society and (3) cultural values ​​contained in the performance ritual padéndang. Data collection techniques used are observation, interview, record, and documentation. Based on the data obtained shows that; (1) the padéndang show on the mabbissaArajang ritual has a very close relationship between the two and even the mabbissaArajang ritual is incomplete if the pad’s show is not performed; (2) padéndang at performances consist of three phases including pre-ritual, ritual, and closing phases; (3) there are some cultural values ​​depicted from attitudes and behavior that at least can be used as the basis of personality in living everyday life. Padéndang performance as a product of local culture not only acts as a mere entertainment, the value of cultural values inherent in it a least able to contribute to the formation of the character of Bugis society in particular.

 

Keywords: Padéndang show, mabbissa Arajang, Soppeng South Sulawesi

 

Abstrak

Tulisan yang disajikan ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan;(1) fase pertunjukan padéndang pada ritual mabbissa Arajang; (2) fungsi pertunjukan padéndang dalam ritual mabbissa Arajang pada masyarakat Bugis Soppeng dan (3) nilai-nilai budaya yang terdapat dalam ritual pertunjukan padéndang tersebut. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan, wawancara, catat, dan dokumentasi. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa; (1) pertunjukan padéndang terdiri dari tiga fase  diantaranya  pra ritual, ritual, dan fase penutup; (2)pertunjukan padéndang pada ritual mabbissa Arajang memiliki keterkaitan yang sangat erat diantara keduanya dan bahkan ritual mabbissa Arajang tidak lengkap apabila pertunjukan padéndang tidak dilakukan (3) terdapat beberapa nilai-nilai budaya yang tergambar dari sikap dan tingkah laku yang setidaknya dapat dijadikan sebagai dasar kepribadian dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pertunjukan padéndang sebagai produk budaya lokal tidak hanya berperan sebagai hiburan semata, kandungan nilai-nilai budaya yang melekat di dalamnya setidaknya mampu memberikan kontribusi bagi pembentukan karakter masyarakat Bugis pada khususnya.

Kata kunci: Pertunjukan padéndang, mabbissa Arajang, Soppeng Sulawesi- Selatan

 


  1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.beribu-ribu pulau itu juga diikuti oleh beragamnya jenis agama, suku, ras, etnis, dan berbagai macam kepercayaan-kepercayaan lama yang dianutnya. Keberagaman Indonesia menjadi warna dan corak tersendiri jika dibandingkan dengan Negara-negara maju yang ada di belahan dunia. Terdapat sekitar 500 kelompok etnis yang menggunakan kurang lebih 250-an dialek, 6 agama yang diakui secara resmi, serta 100-an kepercayaan dan adat istiadat(Nasikun dalam Kesuma, 2017: 1). Sebagai Negara yang multikultural dengan berbagai keunikannya tentu memiliki banyak tantangan untuk menjawab pesatnya perkembangan teknologi yang semakin kompleks.Pesatnya kemajuan teknologi itu juga berdampak pada kebudayaan dari berbagai macam kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.Sulawesi-Selatan yang letak geografisnya berada pada kawasan timur Indonesia yang terdiri dari empat macam suku yakni suku Bugis, Suku Makassar, Suku Mandar, dan Suku Toraja.Kawasan tersebut juga dikarunia dengan berbagai macam bahasa ibu atau bahasa daerah yang unik dan memiliki dialek tersendiri.Selanjutnya terdapat pula berbagai macam kebiasaan-kebiasaan yang diasosiasikan dalam bentuk upacara adat.

Sejak dahulu, masyarakat Bugis Sulawesi Selatan dikenal memiliki keragaman budaya yang bernilai tinggi dan ciri khas yang berbeda-beda. Keragaman budaya yang dimaksud, antara lain berupa peninggalan sejarah, bahasa, tradisi, adat istiadat, permainan rakyat, kesenian rakyat, dan sebagainya. Keragaman-keragaman budaya itu masih dapat dijumpai pada era sekarang ini yang tentunya mengandung sejuta makna untuk dijadikan sebagai pola dasar dalam membentuk sebuah kepribadian yang lebih baik. Suatu masyarakat memiliki corak atau cara tersendiri dalam melakukan upacara-upacara adat mereka, corak atau cara itu dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, baik berupa ungkapan, gerak-gerik serta  simbol-simbol yang memiliki nilai-nilai serta kaya akan makna yang dapat dijadikan sebagai ajaran moral dalam menjalankan kehidupan yang lebih baik. Pada umumnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya berupa nilai sosial, nilai moral dan nilai religius.

Salah satu upacara adat yang masih bertahan dan sering dipertontongkan pada masyarakat Bugis Soppeng Sulawesi-Selatan adalah ritual pertunjukkan padéndang.Pertunjukan padéndang merupakan suatu bentuk hubungan kerjasama antara sesama pemain yang dimanifestasikan ke dalam pukulan-pukulan terhadap lesung(palungeng)dengan menggunakan tongkat (alu).Pertunjukan padéndangatau dikenal pula dengan istilah mappadéndang yang di dalam pertunjukan tersebut terdapat Amboq padéndang(pemain laki-laki)dan Indoq padéndang(pemain perempuan).Pertunjukan padéndangdalam tulisan ini terlihat unik dan berbeda karena pada umumnya pertunjukanpadéndang dipertunjukkan sebagai  ritual tersendiri seperti maddoja binéataupun setelah panen padi usai. Namun pertunjukan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah ritual pertunjukan padéndang yang dipertontonkan dalam prosesi ritual mabbissa Arajang(mensucikan benda pusaka).Mabbissa Arajang merupakan suatu bentuk ritual turun-temurun yang dilakukan dengan cara membersihkan benda-benda pusaka yang masih dianggap sakral serta dilaksanakan setiap satu kali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya bergantung pada hasil kesepakatan antara keluarga pemiliki Arajang dan tokoh adat.

Pertunjukan padéndangtidak hanya dipertontongkan begitu saja di hadapan publikakan tetapi ada sebuah teks yang dirangkai dalam bentuk gerakan-gerakan oleh para pemain yang mengandung unsur-unsur nilai budaya ataupun ajaran moral yang dapat diaplikasikan kepada masyarakat Bugis pada khususnya dan generasi-generasi yang akan datang pada umumnya. Melihat kondisi masyarakat Bugis pada umumnya, tradisi-tradisi lama seakan terpinggirkan bahkan sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya akibat datangnya kebudayaan baru dari luar. Jika tradisi-tradisi lama ini punah maka nilai-nilai budaya bangsa serta wasiat-wasiat yang terkandung di dalamnya pun akan punah tanpa kesan yang mendalam, betapa nilai itu memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia serta dapat dijadikan sebagai modal awal dalam pembentukan karakter anak bangsa. Beberapa fakta yang terjadi di lapangan yang mencerminkan rusaknya karakter anak bangsa  antara lain; maraknya tindak kekerasan antara sesama pelajar/mahasiswa baik antara organisasi, jurusan, konflik antar umat beragama yang kerapkali menjadi berita khusus di media cetak maupun elektronik.

Sejalan dengan itu, Syamsudduha dalam disertasinya (2014: 6) mengemukakan bahwa seperti apapun bentuk perilaku sosial masyarakat Bugis saat ini harus ditarik benang merah untuk menghubungkannya kembali dengan akar budayanya sendiri, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengkaji kembali kearifan-kearifan lokal yang seakan terlupakan. Hal tersebutlah yang mengguncang hati penulis serta terdorong untuk mengkaji kembali produk-produk budaya yang terdapat pada masyarakat Bugis Soppeng Sulawesi Selatankhususnya ritual pertunjukan padéndang.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:

(1)Bagaimanakah fase pertunjukan padéndang pada ritual mabbissa Arajang?

(2)Bagaimanakah fungsi pertunjukan padéndang dalam ritual  mabbissa Arajang pada masyarakat Bugis Soppeng?

(3)Bagaimanakah nilai-nilai budaya yang terdapat padapertunjukan padéndangdalam ritual mabbissa Arajang?

 

  1. TINJAUAN PUSTAKA

            Berdasarkan pengamatan penulis, bahwa berbagai penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terkait dengan pertunjukan padéndangseperti yang pernah dilakukan oleh Andi Agussalim:1993 yang memfokuskan pada hubungan antara ritual mappaleppeq tinjaq (membayar nazar) dengan pertunjukan padéndangpada masyarakat Bugis Wajo dan Yuyu: 2016  yang berfokus pada pemaknaan simbol-simbol yang ada di dalam ritual padéndangbagi masyarakat Bugis Soppeng. Oleh karena, belum adanya sebuah penelitian yang menfokuskan pada hubungan pertunjukan padéndangdengan ritual mabbissa Arajang sehingga penulis tertarik untuk meneliti dengan latar objek kajian tersebut.

Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan simbolis. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu. Kegiatan-kegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak dapat dilaksanakan secara sembarangan (Wikipedia: akses 2017). Lebih lanjut, Halilintar (2014: 10) mengatakan bahwa, orang Bugis sadar akan dunianya terdiri dari dua aspek, yakni dunia yang nampak dan dunia yang maya. Dunia maya adalah dunia di luar dari jangkauan panca inderanya atau di luar batas akalnya, dunia maya ini adalah dunia ajaib, di dalamnya terdapat makhluk gaib yang memiliki kekuatan sakti yang tidak dapat dikuasai oleh manusia.Dunia maya ini disebut pammasareng.Karena tidak semua orang dapat menguasai kekuatan gaib, maka jalan yang paling ditempuh adalah meminta pertolongan kepada para ahli yang mempunyai kekuatan dan pengalaman istimewa.Para ahli bertugas membujuk makhluk-makhluk gaib dengan memberi persembahan sesajen, hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk gaib tersebut dapat bersatu dengan masyarakat dan memberikan petunjuk serta melindungi kehidupan manusia di dunia (linoé).(Halilintar, 2004: 17).

Kepercayaan dalam tradisional Bugis merupakan campuran unsur-unsur Islam dan pra-Islam. Unsur tersebut berbeda antara ritual yang satu dengan yang lainnya karena tidak ada standar baku yang mengaturnya, setiap orang yang melakukan ritus tertentu, mendasarkan praktik mereka terhadap tata cara yang diciptakan sendiri. Berdasarkan pandangan yang tersebar luas di kalangan orang Bugis, perbedaan utama antara ritus Bugis dengan ritus Islam adalah bahwa ritus Bugis melakukan penyembahan melalui sajian, sedangkan ritus Islam melalui salat. Meskipun tata pelaksanaannya berbeda, namun kedua praktik tersebut dianggap dapat menghasilkan sesuatu yang sama (Pelras, 2006: 220).

Ritual pertunjukan padéndang dalam mabbissa Arajang pada masyarakat Bugis Soppeng Sulawesi-Selatan pada khususnya biasanya dipimpin oleh Sanro.Sanro yang dalam bahasa Jawa disebut dukun dan dalam bahasa Melayu disebut pawing atau bomoh adalah orang yang biasanya memiliki keahlian tertentu (Pelras, 2006: 220-221).Sanro inilah yang dimaksudkan oleh penulis sebagai pimpinan dalam prosesi ritual  mappadéndangpada  masyarakat Bugis Soppeng Sulawesi-Selatan. Selain itu Ia juga dikenal mampu berkomunikasi dengan para dewa yang ada di langit denganmenggunakan medium bahasa tersendiri yang disebut bahasa boting langiīatau bahasa Torilangī.

III. METODE

Jenis penelitian ini termasukdeskriptifkualitatif, yaitu penelitian yang dilakukan semata-mata berdasarkan fakta yang ada di lapangan.Kegiatan  Penelitian diawali dengan melakukan pengamatan terlibat dengan para pemain pada saat pertunjukan padéndang berlangsung. Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data lapangan melalui teknik catat, wawancara (interview)dan dokumentasi. Data yang telah dikumpulkan kemudian diklasifikasi dan dianalisisis berdasarkan masalah yag telah dirumuskan. Hasil dari analisis  inilah yang kemudian dipaparkan pada pembahasan.

 

  1. PEMBAHASAN

            Desa Paroto merupakan wilayah Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng yang dapat ditempuh melalui jalur darat dengan meggunakan roda dua maupun roda empat.Sebagian besar masyarakatnya, memiliki mata pencaharian sebagai petani.Masyarakat Desa Paroto hingga era sekarang masih tetap berpegang teguh pada adat kebiasaan mereka yang mewujud dalam bentuk prosesi ritual keadatan khususnya mappadéndang.

  1. Fase Pertunjukan Padéndang

Untuk mengungkap fungsi dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam pertunjukan padéndang tersebut,  terlebih dahulu dipaparkan mengenai fase ataupun tahapan-tahapan pertunjukan padéndang itu sendiri.

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu dijelaskan bahwa mappadéndangmerupakan sebuah pertunjukan yang biasanya dilakukan dalam berbagai macam ritual keadatan di masyarakat Bugis pada umumnya.Ritual keadatan itu meliputi upacara pesta panen, syukuran, mappaleppeq tinjaq(membayar nazar), dan terkhusus lagi pada upacara ritual mabbissa Arajang (mensucikan benda pusaka).

Selajutnya berbicara mengenai tahapannya, pertunjukan musik padéndang terdiri dari tiga tahap yakni; mappammula padéndang(pra pertunjukan), macculé(pertunjukan)dan mappaleppeq padéndang(ritual setelah pertunjukan).Tahapan pertama yaitu mappammula padéndang yang pelaku utamanya terdiri dari 3 Sanro Déwata(dukun yang memiliki keahlian khusus dalam berkomunikasi dengan dewa-dewa maupun roh leluhur), 1 Sanro wanua(dukun yang memiliki keahlian dalam menjaga kenyamanan suatu kampung dengan melakukan ritual tertentudan bertugas untuk menjagaArajang (benda pusaka).

  1. Mappammula Padéndang(pra pertunjukan)

Mappamula dalam bahasa Indonesia yakni “memulai”. Dalam hal ini mappamula padéndangmerupakan suatu bentuk proses ritual bahwa pertunjukan padéndangakan segera dimulai. Salah satu tanda dimulainya sebuah musik padéndang yakni dengan adanya persembahan sesajian dan pembacaan mantra-mantra yang dipimpin langsung oleh para Sanro sebagai pimpinan ritual.

Mantra-mantra yang dilontarkan Sanro tersebut sebagai bentuk penghormatan dan permohonan izin kepada roh-roh halus baik yang menghuni benda pusaka itu serta terkhusus untuk Datunna Sangiangé(Dewi Sri Padi).Bentuk penghormatan dan komunikasi tersebut dimaksudkan untukdiberikan kelancaranbagi para pemain padéndang maupun pelaksana upacara agar terhindar dari gangguan-gangguan makhluk halus atau roh jahat yang menghuni wilayah tersebut.

Beberapa perlengkapan yangdigunakan pada prosesimappammula padéndang sepertidaung ota(daun sirih), benno(beras yang digoreng kering), minnyaq baū(minyak wangi), dupa(tempat bara api yang terbuat dari tanah liat) dan kemenyang(sejenis bebatuan), dan passili(sejenis dedaunan). Selanjutnya unsur terpenting lainnya yakni para Sanro yang akan memimpin jalannya prosesi itu. Hingga saat ini, Sanro atau dukun masih menduduki posisi penting dalam ritual keadatan pada masyarakat Bugis Soppeng.

Sebelum ritual dimulai terlebih dahulu instrumen-instrumen padéndang sudah disiapkan oleh pelaksana upacara, instrumen padéndang itu seperti lesung(palungeng), tongkat (alu), colli ompong(sejenis dedaunan), Indoq padendang(pemain perempuan), Amboq padéndang(pemain laki-laki), sudah siap di mana ritual itu akan berlangsung. Sebelum memulai ritual, Sanro Kaya, Sanro Daddi, dan Sanro Becce Tang yang akan memimpin jalannya ritual mulai mensucikan diri mereka dengan cara berwudhu. Berwudhu merupakan  perlakuan wajib yang dilakukan oleh para Sanro sebelum memimpin sebuah ritual.

Kostum yang digunakan oleh para Sanro dalam memimpin ritual mappamula padéndang (pra pertunjukan) yang terdiri dari kebaya, sarung dan jilbab.Sanro Daddi terlihat memakai jilbab warna kuning, kebaya warna biru dan sarung berwarna pink dengan campuran garis-garis kuning sementara Sanro Kaya memakai jilbab berwarna biru, kebaya yang berwarna kuning.Lalu Sanro Becce Tang terlihat memakai sarung berwarna abu-abu, jilbab berwarna biru serta sarung tenun yang berwarna biru tua.Dalam ritual ini selain para Sanro sebagai pimpinan ritual terdapat pula beberapa anggota masyarakat yang turut serta untukmenyaksikan berlangssungnya prosesi ritual tersebut.Anggota masyarakat tesebut terdiri dari anak-anak, remaja, dan orang tua.

Gambar 1

Tampak tiga orang Sanro yang sedang memimpin Ritual Mappammula Padéndang atau mattoana padéndang

 

Sanro Kaya, Sanro Daddi, dan Sanro Becce Tang mulai mencelupkan ujung jari telunjukknya ke wadah yang berisikan minnyaq baū(minyak wangi)  kemudian mengusapkan minnyaq baū(minyak wangi) itu ke (tongkat) alu, lesung (palungeng) dan tali penyangga lesungsebanyak tiga kali, setelah para Sanro mengusapkan minnyaq baū(minyak wangi) ke beberapa instrumen penting, mereka mulai menaburkan kemenyangke dalam dupa yang berisi bara api sambil membacakan mantra-mantra keselamatan. Setelah membacakan mantra-mantra keselamatan para Sanro mengisinkan beberapa orang dari keluarga pelaksana upacara untuk mengawali tumbukan (tongkat) alu ke (lesung) palungeng sebagai tanda bahwa ritual mappadéndangakan segera dimulai. Kostum yang dikenakan oleh keluarga pelaksana untuk memulai ritual mappadéndang, yakni kelompok laki-laki menggunakan jas tertutup berwarna kuning, lipaq sabbé (sarung tenun) dari berbagai warna, dan songkoq pamiring(songkoq To-Bone).Sedangkan dari pihak perempuan mereka mengenakan baju bodoatau waju labbuyang berwarna kuning, lipaq sabbé, serta jilbab yang berwarna hitam.

Jumlah pemain dari pihak perempuan atau Indoq padéndang terdiri dari empat orang, sedang dari pihak laki-laki atau Amboq padéndang terdiri dari tiga orang. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan Sanro Daddi dan Settu, di tempat berlangsungnya pertunjukan padéndang, mereka mengatakan bahwa mantra yang diucapkan pada ritual Mappamula padendang adalah “idiqmonroé ri pammanā tana nennia monroé ri palungengé ajjaq takeccaq-keccāki sininna pabbanuaé na mammuaréq iyaléngi ajjapa-japang anaq eppona nennia pappadéndanngé polé ri Puang Allahu Taala” mantra tersebut diartikan sebagai bentuk penghormatan atau permohonan izin kepada roh halus baik yang menghuni tanah maupun di lesungagar tidak mengganggu jalannya pertunjukan hingga fase terakhir dan upacara tersebut bisa mendapatkan rahmat dari Sang Maha Pencipta. Disela-sela ritual mappadéndang itu dimulai Sanro Kaya, Sanro Daddi, mengambil passilī yang disimpan pada wadah yang berisi air yang sebelumnya dibacakan mantra-mantra dipercikkannya passili(sejenis dedaunan yang sudah diberikan mantra khusus)itu ke beberapa sudut eppā  sulapaq atau empat penjuru diantaranya bagian utara, barat, timur dan selatan.Mappassilīsebagai bagian dari ritual padéndang bertujuan untuk memagari lokasi tempat upacara agar tidak mendapat gangguan dari roh-roh jahat hinggaberakhirnya acara..

  1. Macculé(pertunjukan)

Pada tahap ini, instrumen musik padéndangseperti lesung, tongkat (alu), gendang, gong mulaidimainkan. Gerakan-gerakan awal yang dipertontonkan hanya berupa bentukpenyambutan bagi tamu yang datang,  permohonan maaf, ungkapan permohonan izin, dan rasa gembira. Bentuk gerak-gerik yang diiringi dengan tabuhan-tabuhan dasar dari bunyi lesung dan berbagai alat musik lainnyapun ikut dimainkan.Pertunjukan padéndangyang semakin ramai, terlihat dari berbagai macam kalangan penonton yang datang di lokasi pertunjukanyang sangat antusias memberikan tepukan-tepukan dan teriakan sebagai ungkapan rasa senang dan gembira.Jumlah pemain dalam pertunjukan tesebut, Indoq padéndang(pemain perempuan) yang terdiri dari empat orang yang ikut bermain dan dua orang sebagai Passeppī (pemain cadangan).Passeppi (pemain cadangan) tersebut dimaksudkan untuk mengganti para pemain dari Indoq padéndang yang merasa kelelahan.Amboq padéndang(pemain laki-lakiyang ikut bermain dalam pertunjukan tersebut terdiri dari tiga orang dan dua orang sebagai Passeppī.Semua passepī (pemain cadangan) baik dari Indoq padendang(pemain perempuan)maupun  Amboq padéndang(pemain laki-laki)berada tidak jauh dari tempat berlangsungnya pertunjukan tersebut.

Gambar 2

Tampak dari posisi Indoq Padéndang yang sedang menumbukkan alu ke lesung

 

Pertunjukan semakin ramai,hal itu disebakan olehAmboq padéndangLaodding danSettuyang mulai memberikan tampilan atau gerakan-gerakanunik untuk membuat para penonton yang menyaksikan pertunjukan tersebut merasa terhibur. Gerakan-gerakan tesebut terdiri dari ­ambaq tettonnayang ditampilkan dengancara berdiri dan bergoyang sambil menumbukkan tongkat kelesung. Gerakan lainnya adalah ambaq maddéngkénna yang dilakukan dengan cara berjongkok sambil menumbukkan alu ke lesung dengan irama yang berbeda. Gerakan selanjutnya adalah ambaq léwūyang dilakukan dengan cara berbaring sambil menghettakkan alu ke lesung dengan irama dan tempo yang berbeda pula. Terdapat pula berbagai tampilan-tampilan tambahan seperti penggunaan topeng monyet bagi para Amboq padéndang(pemain laki-laki)dan tampilan seorang pejuang yang memberikan perlawanan kepada penjajah namun akhirnya gugur di medan perang. Sekitar tiga jam lebih berlangsungnya pertunjukan padéndangmaka prosesi macule atau bermain akan segera berakhir, hal itu pula ditandai dengan irama bunyi lesung yang kembali ke tempo dasar dan secara pelan-pelan  fasemaculétiba saatnya untuk berakhir dan akan dimainkan kembali pada saat prosesi mappaleppeq padéndang berlangsung.

Gambar 3

Pertunjukan padéndang semakin ramai

  1. Mappaleppeq Padéndang(Fase penutup)

Mappaleppeq dalam bahasa Indonesia adalah melepaskan, sedangkan mappaleppeqyang konotasinya berarti salah satu tanda bahwa ritual mappadéndang akan segera berakhir, selanjutnya kata mappaleppeq dalam ritual ini sebagai salah satu bentuk persembahan yang berupa sesajian kepada roh-roh halus sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur atas berjalannya ritual mappadéndang tanpa ada gangguan dan hambatan.Terdapat beberapa sesajian yang sudah disediakan sebelumnya oleh pelaksana upacara untuk sajikan di sekitar lokasi pertunjukan.Sesajian-sesajian itu berupa pisang, kelapa muda, sokko patangrupa(ketan empat warna), palopoq (olahan gula merah dan santan kelapa), dan air mentah.Sesajian itu diletakkan pada bagian ujung kepala lesung, setelah sesajian itu siap untuk dipersembahkan kepada roh halus. Kaya (Sanro Déwata), Sanna (Sanro Wanua) terlihat memakai kebaya berwarna hijau, kerudung yang berwarna kuning, dan sarung yang berwarna hitam. Ia turun dari rumah membawa dupa yang berisi bara api, musik padéndang tetap terus dimainkan..Di sekitar lokasi ritual mappaleppeq padéndang itu terdapat puluhan orang yang menyasikan ritual tersebut, ada yang duduk dikursi, ada jongkok, berdiri dan lebih dominan berada ditangga rumah. Para penonton terlihat antusias meyaksikan ritual tersebut, sesekali mereka berteriak dengan maksud untuk memberikan semangat  kepada para pemain padéndang.Tingkat antusias para penonton merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah Subhana Wataala karena ritual mappadéndang dapat berlangsung serta memperoleh hasil yang diharapkan tanpa ada gangguan-gangguan selama ritual mappadéndang berlangsung.Sanro Kaya pada waktu itu memakai pakambang(sejenis selendang sebagai pengganti baju)yang berwarna kuning, passigeraq (ikat kepala yang sejenis dengan passapū) dan lipaq sabbé(sarung tenun) terlihat sedang menari-nari dengan tarian khusus sambil mengelilingi sesajian-sesajian yang ada di sekitarnya. Sambil menari dan bernyanyi Ia beralih memercikkan air dengan menggunakan passilī, pemercikan itu dilakukan pada empat penjuruyakni  utara, barat, timur, selatan yang merupakan sulapaq eppana ogié(filosofi kehidupan orang Bugis). Setelah air itu dipercikkan keempat penjuru.

 

Gambar 4

Fase penutup (mappaleppeq padéndang).

Tampak  berbagai macam sesajian yang diletakkan di sekitar tempat pertunjukan

 

Irama musik gendang dan bunyi lesung masih terus berlanjut dan beberapa penonton mulai meninggalkan tempat mereka, ada yang naik di bola Arajang(rumah tempat pusaka) dan ada pula yang balik kerumahnya masih-masing.Sanro Kaya dan Sanna mengitari tempat pertunjukan untuk bersalaman kepada orang-orang yang ada di sekitarnya setelah itu ia beralih dari tempat pertunjukan menuju bola Arajangé(rumah tempat pusaka). Sekitar lima menitkemudian para pemain baik Paggenrang maupun pemain padéndang menghentakkan irama musik yang dimainkannya sebagai tanda bahwa ritual mappaleppeq padéndang telah selesai.

  1. Fungsi pertunjukan padéndang dalam ritual mabbissa Arajang
  2. Ritual keadatan

Pertunjukan padéndangpada masyarakat Bugis Soppeng Sulawesi Selatan tidak hanya dimainkan dan dipertontongkan begitu saja dihadapan publik, namun di balik semua yang nampak itu ada nilai dan makna yang tersembunyi.Dalam bahasa Bugis padéndang merujuk pada keseluruhan bentuk yang berupa wujud benda.Sedangkan mappadéndang diartikan sebagai berlangsungnya suatu pertunjukan ritual yang terdiri dari tempat pertunjukan, lesung, tongkat, Amboqpadéndang(pemain laki-laki), IndoqPadéndang(pemain perempuan) serta berbagai aturan-aturan khusus yang ditampilkan.Suatu bentuk ritual keadatan selalu berhubungan erat dengan kesakralan, seperti yang dikatakan oleh Hafidz: 2015, bahwa ciri ritual selalu memiliki hubungan komunikasi antara alam dan berhubung-kait dengan meta fizik.Teori tersebut semakin diperkuat dengan faktor kebiasaan masyarakat Bugis Soppeng dalam melaksanakan ritual keadatan mereka khususnya pertunjukan padéndang.

Pertunjukan padéndang pada masyarakat Bugis Soppeng khususnya yang dipertunjukkan dalam ritual mabbissa Arajang pada umumnya dilaksanakan dalamsuatu keluarga, kelompok masyarakat, dan bahkan pemerintahan setempat.Salah satu faktor utama tentang kehadiran pertunjukan padéndang dalam ritual mabbissa Arajang, bahwa pada umumnya rumahyang ditempati pusaka (bola Arajang) juga terdapat Datu Asé (simbol dewi padi). Seperti yang diungkapkan oleh Daddi (sanro Déwata)dalam sebuah wawancara di tempat berlangsungnya acara bahwa “iyyaro Datunna Sangianngé siaccereppa padéndanngé jaji Datu asédé oni palungeppa molai artinya keberadaan Datu Aseharus pula diiringi dengan bunyi lesung.Datu Asedan benda pusaka itu memiliki kedudukan yang sama sehingga pelaksanaan ritual mabbissa Arajang juga diperadakan pertunjukan padéndang. Selain itu terdapat pula berbagai tempat ataupun rumah pribadi masyarakat yang dihuni oleh Datu Ase. Datu Asé biasanya memperlihatkan wujudnya melalui mimpi atau salah satu anggota keluarga mengalami kerasukan.Orang-orang, keluarga, ataupun suatu kelompok masyarakat yang dihuni oleh Datu Asé, menganggap bahwa hal tersebut adalah suatu keberuntungan yang sangat luarbiasa dari Sang Maha Pencipta karena berdasarkan ceritra sureq Galigōna Méong mplaoé(cerita mengenai kisah perjalanan Dewi padi) bahwa orang atau keluarga yang layak memilikinya adalah keluarga yang selalu bersyukur dan merasa nyaman dan ikhlas dalam proses interaksinya dalam menjalani kehidupan. Dengan demikian, kehadiran pertunjukan padéndang dalam ritual mabbissa Arajangmerupakan suatu bentuk upacara keadatan yang sangat sakralkarena berhubungan dengan dunia gaib. Mereka menganggap bahwa setelah melakukan ritual tersebut mereka akan mendapatkan petunjuk-petunjuk dari roh-roh Déwata tentang keselamatan baik di dunia maupun  di akhirat (setelah mati).

 

  1. Sebagai hiburan

Suatu bentuk pertunjukan baik yang klasik maupun  moderen pada umumnya berfungsi sebagai media untuk menghibur khalayak. Seperti halnya pertunjukan padéndang pada masyarakat Bugis Soppeng Sulawesi-Selatan, selain berfungsi sebagai bentuk ritual sakral juga berfungsi sebagai hiburan. Hal itu tergambar dari tingkat antusisme masyarakat baik anak-anak hingga lanjut usia yang turut mengambil tempat untuk menyaksikan pertunjukan tersebut. hal yang sangat berpengaruh dalam menarik simpatik para penonton adalah dipertunjukkannya berbagai atraksi-atraksi atau gerakan  yang ditampilkan  oleh para pemainAmboq padéndang. Atraksi atau gerakan-gerakan itu sepertiambaq  tettonna, maddéngkengna dan ambaq lewu, gerakan inidilakukan dengan cara berdiri, jongkok dan berbaring sambil menghentakkan alu pada ujung lesung (palungeng) demi terciptanya sebuah formulasi bunyi yang senada dengan gerakan-gerakan yang ditampilkan oleh paséréatau Amboq padéndang tersebut.

Gambar 5

Berbagai versi Amboq Padéndang

Gerakan tambahan lainnya yaitu gerakan memanjat pada tiang penyangga lesung, mengenakan topeng monyet disertai dengan gerakan khusus, mengenakan kostum perempuan seperti jilbab, kebaya, dan rok layaknya seorang perempuan, tidak lama kemudian gerakan-gerakan itu dipertontongkan bagi para peserta upacara yang menyaksikan pertunjukan tersebut.

Pertunjukan padéndang sebagai media  untuk menghibur masyarakat yang ada di sekitarnya tidak hanya terbatas pada makhluk yang tampak akan tetapi juga diharapkan mampu untuk menghibur pada roh-roh maupun dewa-dewa yang turun dari langit.

Seperti halnya yang diungkapkan oleh Daddi Sanro Déwata) bahwa yafa nassū lamarufeq yaku fura naita yamanenna yaro culé-culédé.Afaq silaingettu fappéneddingé kumappégauqki engka culé-culé yangkalinga.Iyanatu datunna sangiangé édé nyawa nahanruq, yaku déq yaluq I. afaq yafa nasorō yaku téfu paccafui. Manyameng nyawana, Jaji yafa na puas pappéneddinngé yaku fura maéngkaliga culé-culé, jaji makkutu.namancaji barakkaq. Namammuaréq nalénngi pammasé pole ri Puang Alla Taala.

Makna ungkapan tersebut secara umum bahwa “roh halus  atau Dewa-Dewa baru mendekatkan dirinya setelah melihat berbagai macam perunjukan atau permainan-permainan tradisional. Karena akan sangat berbeda apabila dalam sebuah acara tanpa keberadaan hiburan baik dalam bentuk nyanyian, pertunjukan seperti padéndang, dan berbagai macam permainan-permainan tradisional. Jadi, dengan cara seperti itu kami berharap mendapatkan berkah dari Allah Subhana Wataala sebagai Sang maha Pencipta di seluruh jagat raya bumi ini.

 

  1. Nilai-nilai budaya pada pertunjukan padéndang dalam ritual mabbissa Arajang

Menurut Koentjaraningrat (1993:25), nilai budaya dipahami sebagai konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran dari sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap sangat bernilai dan berharga dalam kehidupan. Sebagai konsepsi-konsepsi, nilai-nilai budaya bukan hanya sekedar informasi kognitif semata akan tetapi nilai-nilai budaya mengandung gagasan atau ide-ide emosional yang sangat mendalam. Oleh Karena itu nilai-nilai budaya diharpkan dapat menjadi dasar dari kehidupan manusia ataupun menjadi panutan tentang apa yang harus orang lakukan dalam menjalani kehidupannya.

Di samping itu, nilai budaya dapat pula diartikan sebagai pedoman untuk menentukan baik-buruk, harus-tidak harus, perlu-tidak perlu dan sebagainya berkenaan dengan hal-hal yang penting dalam kehidupan manusia. Nilai budaya itu selalu ada di balik perilaku manusia, karena diwujudkannya perilaku-perilaku tertentu menunjukkan bahwa perilaku-perilaku itulah yang dianggap baik dan perlu untuk ditampakkan dan bukan perilaku yang lain (Faisal, 2005:3).

Nilai-nilai budaya sebagai produk tradisi  lokal dan cerminan kehidupan suatu kelompok masyarakat yang  tergambar dalam pola tingkah laku, tutur kata, gerak-gerik, serta bagaimana Ia mampu menginteraksikan dirinya dengan dunia luar tanpa melunturkan karakter yang sudah melekat dalam dirinya. Ceriminan pola tingkah laku kelompok masyarakat itu biasanya tergambar dalam setiap kegiatan upacara keadatan yang sangat sakral, seperti pertunjukan padéndang dalam ritual mabbissa Arajang pada masyarakat Bugis Soppeng Sulawesi–Selatan.

 

  1. Mappésona ri Déwata Séuwaé (Tawakal)

Keyakinan suatu kelompok masyarakat ritual tentang kekuasaan Tuhan (Allah Subhana Wataala) menjadi dasar sebagai panutan dalam melaksanakan ritual keadatan itu sendiri.di sampan itu suatu kelompok masyarakat juga tidak terlepas dari kepercayaan-kepercayaan atau tradisi lama sudah mengakar dalam kehidupannya. Melaksanakan suatu bentuk ritual keadatan diyakini sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta.

Mappésona ri Déwata Séuwaé atau tawakal tergambar dalam setiap rangkaian prosesi ritual itu berlangsung mulai  padamappammula, maggauq, lettuq mappaleppeq. Setiap kali melakukan pembacaan mantra-mantra dalam  lingkup kesakralan itu tak ada kata yang boleh dikatakan terlebih dahulu selain ucapan “Bismillahirrahmanirrahim”lalu diikuti dengan pembacaan doa-doa.

Hal yang sama pula ditekankan oleh Kaya (Sanro Déwata) yang mengatakan bahwa “Céddimi Puang Alla Taala déq nagenneq dua” Ungkapan tersebut berarti Tuhan itu hanya satu  tidak lebih dari satu. Ungkapan tersebut memberikan rasa keyakinan utuh kepada masyarakat ritual bahwa janganlah menyembah selain daripada Tuhanmu (Allah SWT) yang terlah menciptakan engkau dan menikmati semua apa yang telah diciptakannnya.

 

  1. Nilai persatuan (asséddi-séddingeng)

Nilai persatuan itu tergambar mulai dari sebelum berlangsung, hingga acara selesai. Bentuk asséddi-séddingengitu terlihat dari pimpinan ritual, pemilik acara, dan terlebih kepada masyarakat pada umumnya dalam mengerjakan atau mempersiapkan berbagai peralatan-peralatan yang akan digunakan pada saat ritual berlangsung. Perlu dipertegas pula bahwa jauh hari sebelum berlangsungnya acara, berbagai keputusan-keputusan dibicarakan dalam kegiatan tudang sipulung atau duduk berjejeran dan melingkar untuk mendapatkan suatu pemahaman dan kesepakatan bersama.Sehingga diharapkan pada saat berlangsungnya ritual tidak terdapat berbagai anggapan-anggapan yang dapat mengacaukan upacara itu.

 

  1. Nilai gotong-royong

Gotong-royong dalam KBBI diartikan sebagai bentuk kerja-sama, tolong menolong dan saling membantu.Nilai kegotong-royongan sangat tergambar pada kegiatan masyarakat setempat dari proses pembuatan berbagai macam-perlengkapan-perlengkapan yang akan digunakan dalam ritual tersebut, seperti pembuatan aleq atau pusat ritual, pembuatan lokasi tempat pertunjukan padéndang, pengadaan berbagai macam perlengkapan-perlengkapan sesajian yang akan digunakan dan pembuatan tempat bagi ibu-ibu untuk mempersiapkan berbagai macam makanan baik yang akan digunakan untuk sesajian maupun santapan bagi para masyarakat yang hadir serta pembuatan berbagai macam perlengkapan-perlengkapan lainnya yang akan digunakan selama prosesi ritual keadatan itu berlangsung.

Foto 6

Ibu-ibu sedang mempersiapkan  berbagai macam bahan masakan

 

para ibu-ibu sebagian beralih ke kolong rumah (yawa bola) untuk mempersiapkan sesajen-sesajen yang akan dipakai untuk mappaleppeq. Sesajen itu berupa sokkō pitungrupa, nasu manuq lékkū, leppeq-leppeq, lawā, dan lain-lain sebagainya.

 

PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa fase pertunjukan padéndang dalam ritual mabbissa Arajang terdiri dari tiga yakni, fase mappammula(pra pertunjukan), maggauq(pertunjukan), dan mappaleppeq (penutup). Selanjutnya keberadaan pertunjukan padéndang dalam prosesi mabbissa Arajang tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan saja akan tetapi sebagai suatu bentuk ritual yang komplit tentang keberadaan Datu Asé dan benda-benda pusaka itu. Terdapat beberapa nilai-nilai budaya yang tergambar dalam setiap rangkaian ritualnya seperti, mappésona ri Déwataé (tawakal), asséddi-séddingeng (persatuan), dan nilai kegotong-royongan yang setidaknya dapat dijadikan sebagai dasar atau panutan dalam menjalani interaksi kehidupan yang lebih baik.

 

DAFTAR PUSTAKA

Arisal.2017. Makna Ungkapan dan Simbol dalam Prosesi Ritual Maccéraq Arajang Masyarakat Bugis Soppeng Sulawesi-Selatan.Skripsi.Tidak diterbitkan.

Faisal. 2005. Aktualisasi Nilai-Nilai Budaya Etnik Mandar Dalam Arena Sosial

Hutabarat A. Binsar. 2010. Karakter Bangsa Dulu dan kini.Online.(Http://www.google.co.id).file:///E:/Teori Tanda Menurut Peirce/Karakter Bangsa,  Duludan Kini Reformed Center For Religion and Society.htm. Diakses 17 juli  2017.

Ima Kesuma, Andi. 2017. Warna Kebhinekaan: Merajut Perbedaan dalam Membangun NKRI. Makalah disampaikan dalam kegiatan dialog budaya di Colonial Hotel Makassar.

Koenjtaraningrat, 1990.  Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Latief, Halilintar. 2004. Bissu: Pergulatan dan Peranannya dalam Masyarakat Bugis. Depok:  DESANTARA.

Maleong, J.Lexy, 2001.  Metode Penelitian Kualitatif. Cetakan ke-15.  Bandung: PT  Remaja Rosdakarya.

Mattulada. 1995. LATOA: Satu Analitis Terhadap Antropologi Politik orang Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin Universiy Press.

Pelras, Cristian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Forum Jakarta –Paris Ecole Francais d’ Extreme-Orient.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Rafiuddin Nur, Muhammad. 2008. Aku Bangga Berbahasa Bugis. Makassar: Rumah Idi.

Syamsudduha, 2013.Dimensi Kewacanaan Pappaseng: Kajian Wacana Kritis. Makassar: Disertasi.

Wikipedia Bahasa Indonesia, 2010. “Suku BugisOnline.(http://id.wikipedia.org/w/indeks.php?title=suku_Bugis&oldid=5322600”. Diakses 9 juli 2017.