FUNGSIDAN MAKNA DALAM BUDAYAUPACARA ADAT LEPA AJAU MASYARAKAT SUKU DAYAK KENYAH
DESA PAMPANGKECAMATAN SAMARINDA UTARA
The Function and Meaning In The Cultural Ceremony of Lepa Ajau Society of Dayak Kenyah Tribe in Pampang Village, North Samarinda District
Mursalim
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman
Jalan Pulau Flores 1 Samarinda Kalimantan Timur
Telepon (0541) 734582
Pos-el:mursalim.unmul@yahoo.com
ABSTRACT
The purpose of the research is to give the information to the readers or society about function and meaning in cultural ceremony of Lepa Ajau custom in the society of Dayak Kenyah tribe at Pampang Village, North Samarinda District. The details of the research include (1) the function in cultural ceremony of Lepa Ajau custom in the society of Dayak Kenyah tribe, (2) the meaning in cultural ceremony of Lepa Ajau custom in the society of Dayak Kenyah tribe. It can be concluded that cultural ceremony of Lepa Ajau custom in the society of Dayak Kenyah tribe is based on functional aspects, that is, as a means of communication to supernatural spirit, a means to convey thanks expression to God, as the held of solidarity and togetherness in the society, as a means to ask power, protection, and the success of farming, and also as a means to have entertainment. Next, it is about the meaning aspect which can be concluded that the cultural ceremony of Lepa Ajau custom conducted by Dayak Kenyah tribe society is as a sign of main meaning, that is, thanks expression to God for obtaining health, safety in working, and success in harvesting of crops. In addition, one other meaning obtaining from the cultural ceremony is the meaning on the maturity of boys as being adolescent, and then crowned as adults. And if they want to get married, it is permitted by the custom law.
Keywords: Function, Meaning, Lepa Ajau Custom
ABSTRAK
Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat pembaca mengenai fungsi dan makna dalam budaya upacara adat Lepa Ajau masyarakat suku Dayak Kenyah di Desa Pampang Kota Samarinda.Hal-hal yang rinci diuraikan dalam penulisan ini adalah (1) fungsi dalam budaya upacara adat Lepa Ajau masyarakat suku Dayak Kenyah, (2) makna dalam budaya upacara adat Lepa Ajau masyarakat suku Dayak Kenyah. Dapat disimpulkan bahwa dalam budaya upacara adat Lepa Ajau masyarakat Dayak Kenyah mengacu kepada aspek-aspek fungsi yaitu sebagai sarana komunikasi kepada roh-roh gaib, sarana pengungkap rasa syukur, sebagai pengikat solidaritas dan kebersamaan dalam masyarakat, sebagai sarana meminta kekuatan, perlindungan, dan keberhasilan usaha perladangan, dan sebagai sarana hiburan. Selanjutnya, untuk aspek makna kesimpulan yang dapat diambil yaitu budaya upacara adat Lepa Ajau yang dilaksanakan oleh masyarakat suku Dayak Kenyah adalah memberikan penanda makna utama yaitu rasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perolehan kesehatan, keselamatan dalam bekerja, dan kesuksesan dalam panen hasil tanaman, dan makna yang lain diperoleh dari upacara adat ini adalah makna tentang hasil pendewasaan anak laki-laki untuk memasuki kelompok kategori pemuda, dan dinobatkan sebagai anak laki-laki dewasa, dan jika ingin berkeluarga sudah dipebolehkan oleh aturan adat.
Kata Kunci:Fungsi, Makna, Adat Lepa Ajau
PENDAHULUAN
Dalam masyarakat Indonesia terdapat sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat sehingga ada integrasi sosial, dan yang ada merupakan sub-sub sistem yang berdiri sendiri.Setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai-nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri.Artinya nilai-nilai sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik-buruk, benar-salah, patut atau tidak patut.
Pembinaan kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Berdasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIII, pasal 32 ayat 1 berbunyi negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selanjutnya, dalam penjelasan juga disebutkan bahwa kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang tumbuh sebagai usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya.Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah di Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa (MPR-RI, 2014:16).
Dari penjelasan pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 itu dapat kita ketahui bahwa bangsa Indonesia mempunyai aneka ragam budaya, keanekaragaman corak budaya, itu menunjukkan ciri masyarakat yang majemuk. Mengingat masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan beraneka ragam pula adat-istiadatnya.
Dengan demikian, banyak ditemui upacara tradisional yang beranekaragam.Semakin berkembangnya penduduk yang diikuti berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, informasi, transformasi, maka secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi budaya daerah yang merupakan akar dari budaya nasional.
Melihat kenyataan yang ada di dalam masyarakat Indonesia yakni memiliki kebiasaan hidup serta tradisi yang berbeda seperti suku, adat, dan kebudayaan itu sendiri sering mengalami pergeseran nilai dan makna, dan hal ini ditandai makin menghilangnya adat budaya yang harus dipertahankan. Menyadari akan perlunya pembangunan, pembinaan, dan pelestarian kebudayaan sebagai potensi budaya yang perlu dilestarikan sebagai suatu warisan dari satu generasi ke generasi berikutnya agar tidak punah dan terkikis oleh hadirnya budaya-budaya asing. Suatu kemungkinan bagi kita, bahwa tata nilai yang dianut oleh suatu bangsa dapat berubah seiring perubahan zaman yang kompleks seperti yang dikemukakan oleh Sumatmadja (1984:136) bahwa kebudayaan manusia semakin lama semakin kompleks dan intensif, dan akibatnya segala aspek yang menyangkut kehidupan manusia akan mengalami perkembangan dan pertumbuhan interaksi aspek-aspek tadi menjadi makin tidak sederhana.
Negara Indonesia juga dikenal negara yang kaya akan perbedaan suku. Berbagai macam suku tersebar luas dan menyeluruh di berbagai pulau-pulau di Indonesia.Khususnya di Kalimantan merupakan pulau terluas atau terbesar di Indonesia dan penduduknya juga terdiri dari berbagai macam suku.
Berbagai macam suku yang mendiami Pulau Kalimantan ini seperti suku Dayak, Kutai, dan Banjar (sebagai suku asli).Sebagai warga negara yang baik, kita harus bangga dan mensyukuri perbedaan suku yang ada karena perbedaan suku merupakan salah satu dari kekayaan kebudayaan nasional. Wujud rasa bangga dapat kita buktikan dengan cara mengembangkan dan melestarikan kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing suku.
Selanjutnya, Mallincrod dan Tjilik Riut dalam bukunya yang berjudul “Sub-sub Suku yang Mendiami Pulau Kalimantan (2007)” mencapai 408 subsuku. Itu jika dihitung secara keseluruhan baik di Kalimantan Timur, Barat, Selatan maupun Tengah.
Khusus di Kalimantan Timur, Suku Dayak Kenyah tersebar luas di berbagai Kabupaten di Kalimantan Timur.Samahalnya dengan Suku Dayak lainnya, Suku Dayak Kenyah lainnya juga terbagi lagi ke dalam sub-sub yang lebih kecil seperti: Lepok Bakung, Lepok Kulit, Lepok Tau, Lepok Maut, dan Umaq Alim, dan lain-lain. Perlu kita ketahui kebudayaan-kebudayaan yang ada harus kita pelihara dan kembangkan sesuai dengan bunyi Pasal 32 UUD RI 1945.
Mengingat sangat besarnya peranan budaya dalam mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka bangsa Indonesia terus berusaha untuk menggali dan mengembangkan kebudayaan di berbagai daerah, sehingga mampu memberikan kontribusi dalam pembangunan nasional.Di samping itu, dikembangkan pula kebudayaan-kebudayaan daerah yang merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangat bernilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga menjadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara, dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku bangsa.
Kebudayaan adalah harta yang sangat berharga bagi bangsa, karena budaya mencerminkan jati diri dan harkat dan martabat bangsa yang sesungguhnya.Kebudayaan Indonesia seperti tari-tarian, lagu, bahasa, kerajinan, pakaian, dan lain-lain itu harus dijaga kelestariannya.Sebab sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kebudayaan adalah cermin jati diri dan harkat dan martabat sebuah bangsa.
Kebudayaan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan pembangunan suatu bangsa, sebagaimana juga bangsa Indonesia mengingat besarnya peranan budaya dalam pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka bangsa Indonesia terus menggali dan mengembangkan kebudayaan yang tersebar di berbagai daerah yang merupakan bukti kekayaan budaya nasional sebagai identitas bangsa di dunia internasional.
Demikian halnya dengan masyarakat Suku Dayak Kenyah di Desa Pampang Kota Samarinda memiliki kebudayaan yang perlu digali, dibina, dan dikembangkan.Dalam rangka pengembangan dan pembinaan kebudayaan bangsa, salah satu kebudayaan yang dimaksudkan adalah Upacara Adat Lepa Ajau masyarakat Dayak Kenyah di Desa Pampang Kecamatan Samarinda Utara,yang oleh masyarakat setempat dianggap sakral dan dijunjung tinggi.Menurut informasi yang penulis terima upacara adat Lepa Ajau ini merupakan upacara adat yang besar bagi Suku Dayak Kenyah dan sekaligus merupakan ciri dari kehidupan para leluhur Suku Dayak Kenyah pada zaman dulu.Penyelenggaraan upacara adat Lepa Ajau ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak Kenyah pada saat panen padi, pesta perkawinan, kesenian, dan pada upacara kematian.
Bila ditinjau dari bentuk upacara adat “Lepa Ajau” ini adalah upacara adat yang diadakan oleh masyarakat Suku Dayak Kenyah untuk mensyukuri atas hasil panen padi yang mereka nanti-nantikan selama kurang lebih 10 bulan.Upacara adat “Lepa Ajau” ini tentu mempunyai suatu makna yang terkandung dan sangat bermanfaat bagi masyarakat Suku Dayak Kenyah.Adapun makna yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan religius.Berkaitan dengan latar belakang tersebutlah maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, “Deskripsi Makna Budaya dalam Acara Upacara Adat “Lepa Ajau” Masyarakat Suku Dayak Kenyah Desa Pampang Kecamatan Samarinda Utara Kalimantan Timur.
Berdasarkan uraian pada bagian pendahuluan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.“Bagaimanakah gambaran fungsi dan makna dalam budaya upacara adat Lepa Ajau pada masyarakat Suku Dayak Kenyah di Desa Pampang Kota Samarinda?”
Setiap penelitian ilmiah yang akan dilaksanakan perlu ditetapkan tujuan yang akan dicapai agar dapat berguna baik bagi peneliti sendiri maupun bagi semua pihak. Oleh sebab itu, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai fungsi dan makna yang terdapat dalam budaya upacara adat Lepa Ajau masyarakat Suku Dayak Kenyah di Desa Pampang Kota Samarinda.
KBBI (2011:319) menjelaskan bahwa folklor adalah adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, tetapi tidak dibekukan. Selanjutnya, ditambahkan oleh Lazamis Ibrahim (2015:14), folklor secara keseluruhan yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu.
Upacara adat Lepa Ajau tergolong dalam folklor sebagian lisan.Adat merupakan unsur yang penting sebagai identitas suatu masyarakat atau suatu bangsa.Begitu pula dengan adat-istiadat Suku Dayak Kenyah khususnya upacara adat Lepa Ajau yang dilaksanakan sebagai acara syukuran atas hasil panen padi. Upacara adat Lepa Ajau adalah wujud dari kebudayaan Dayak yang memiliki nilai budaya, norma, hukum, dan menjadi pendorong yang kuat bagi kehidupan manusia Dayak dan di dalam masyarakat dilaksanakan secara turun-temurun. Adapun sistem budaya Dayak yaitu sesuatu yang orang Dayak dianggap yang bernilai, berharga, bermakna, dan penting untuk di dalam kehidupan.
Menurut KBBI (2011:703) yang dimaksud dengan makna adalah (1) arti, (2) maksud, (3) tujuan. Berdasarkan penjelasan berikut, maka makna yang terkandung di dalam pelaksanaan upacara Lepa Ajau dan yang dilaksanakan oleh Suku Dayak Kenyah adalah secara teoritis berkaitan dengan sosial, ekonomi, budaya, dan religius.
Fungsi menurut KBBI,(2011:322) adalah kegunaan suatu hal atau dari segi linguistik komunikatif fungsi adalah penggunaan bahasa untuk penyampaian informasi antara pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Selanjutnya, fungsi dari aspek sosial adalah kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat.
Adat merupakan tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi satu ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat (Wigjodipuro, 2002:25). Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan upacara adat adalah upacara yang berhubungan dengan adat suatu masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang lain.
Kemudian ditambahkan oleh Hookykaas dalam Gunawan (2012), yang dimaksudkan dengan legenda adalah dongeng tentang hal-hal yang berdasarkan sejarah yang mengandung sesuatu hal yang ajaib atau kejadian yang menandakan kesaktian.Kebudayaan diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjtnya, dan jadilah kebudayaan itu milik suatu masyarakat.Dilihat dari definisi kebudayaan tersebut berarti hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan. Oleh sebab itu, dalam hasil penelitian ini yang penulis tuliskan akan membahas tentang nilai budaya dalam kehidupan kebudayaan masyarakat Berau khususnya pada legenda atau cerita rakyat yang berjudul, “Baddil Kuning”.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, yaitu data yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat lalu dipisahkan menurut kategori untuk mencapai kesimpulan.Menurut Prostowo (2011:15), penelitian kualitatif adalah penelitian yang berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. Selanjutnya, Bogdan (2001:3) menambahkan bahwa penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Untuk lebih memperjelas lagi, Purwanti, dkk.(1994:17) mengemukakan bahwa metode penelitian deskriptif kualitatif juga mempelajari nilai-nilai adat yang menggambarkan keadaan, gejala yang timbul dari suatu makna pelaksanaan upacara tradisional.Penelitian ini merupakan usaha untuk memberikan gambaran yang dilakukan secara sistematis dan akurat mengenai objek permasalahan tertentu atau pada daerah tertentu.
Untuk mempermudah jalannya penelitian, penulis menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu: observasi lapangan, wawancara, dan dokumentasi.
Informan (narasumber) dalam hal ini yaitu orang yang bisa memberikan informasi lisan tentang sesuatu yang ingin diketahui.Seorang informan bisa saja menyembunyikan informasi penting yang dimiliki. Oleh karena itu, peneliti harus pandai-pandai menggali data dengan cara membangun kepercayaan, keakraban, dan bekerjasama dengan subjek yang diteliti di samping tetap kritis dan analitis. Peneliti harus mengenal lebih mendalam informannya dan memilih informan yang benar-benar bisa diharapkan memberi informasi yang akurat.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah analisis data kualitatif yang telah dikemukakan oleh Faesal (1992:132) yaitu pertama, cara mereduksi dalam arti memiliki hal-hal pokok sesuai dengan fokus penelitian yaitu makna yang terkandung di dalam upacara melalui proses pelaksanaan upacara, baik sebelum, sedang, maupun sesudahnya. Kedua, displai data, yaitu mengolah data yang diperoleh dari lapangan dengan cara membuat tabel, grafik, untuk menghindari penumpukan data sehingga peneliti dapat menguasai data yang diperoleh dari lapangan. Ketiga, conclution drawing, yaitu yang merupakan kesimpulan data terakhir.Jadi data yang didapat itu diambil suatu kesimpulan.
PEMBAHASAN
Gambaran Lokasi Penenitian
Desa Pampang Kelurahan Sungai Siring Kecamatan Samarinda Utara sering disebut Pampang Budaya merupakan desa bentukan dari Departemen Trasmigrasi era tahun 70-an kala itu. Kata Pampang sendiri merupakan desa adat yang sudah ada sebelum Desa Pampang terbentuk, boleh dikata bahwa Desa Pampang Kelurahan Sungai Siring Kecamatan Samarinda Utara asal muasalnya adalah perkembangan wilayah Samarinda yang sekitar tahun 1970 dengan diserah terimakannya tersebut oleh Departemen Transmigrasi Kepada Pemerintah daerah sehingga menjadi Kelurahan (desa) Definitif dengan nama Desa Pampang Kelurahan Sungai Siring Kecamatan Samarinda Utara. Desa Pampang, yang merupakan desa bentukan tentunya latar belakang sosial budayanya beragam yang mayoritas merupakan etnis Kutai (25%), Banjar (35%), Bugis (15%) dan 25% merupakan penduduk lokal (Dayak). Dengan keanekaragaman etnis tersebut menjadikan desa yang kaya akan budaya yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan yang bersatu untuk mencapai tujuan dan kejayaan bersama (Anonim. 2013 a).
Desa dengan luas wilayah kurang lebih 5.957 Ha. Terdiri lima (5) RT Yang berbatasan dengan: Sebelah Utara sungai siring, sebelah Timur bendungan Benanga, sebelah Selatan Sungai Siring Tanah Merah Sebelah Barat Tanah Merah. yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai berkebun.
Dengan jarak tempuh sekitar 35 Km dari Pusat pemerintahan Kota Samarinda dan 30 Km dari Kota Kecamatan berpengaruh terhadap proses perkembangan ekonomi, sosial dan budaya. Desa Pampang Kelurahan Sungai Siring Kecamatan Samarinda Utara berpenduduk 990 Jiwa atau sekitar 1.015 KK (Kepala Keluarga) dengan luas wilayah kurang lebih 5.957 Ha yang terletak pada kisaran 1170 05” 05”BT-1170 11” 06”BT dan 000 16” 50” LS -000 11” 10” LS. Berdasarkan hasil Pemetaan Proyek Peta batas Desa tahun 1999 yang berbatasan dengan:
Berdasarkan administrasi Pemerintahan, Desa Pampang memiliki batas-batas wilayah, yakni Sebelah utara berbatasan dengan Desa Lempake; Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Muara Badak; Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sambutan; danSebelah Barat berbatasan Sungai Pinang Dalam.
Tipologi tanah berbukit sedang, ketinggian rata rata 75 m dari permukaan laut sehingga dengan letak geografis tersebut di atas dapat di katakan bahwa Desa Pampang Kelurahan Sungai Siring Kecamatan Samarinda Utara beriklim Tropis basah, sebab berada di sekitar garis katulistiwa yang kondisi iklimnya selalu berubah-ubah. Curah hujan pada bulan Januari dan rata-rata kelembaban terrendah 76,8% terjadi pada bulan Juni, suhu maximum rata rata 32°C dan rata-rata minimum 23°C. Jenis dan tekstur tanah di wilayah Desa Pampang Kelurahan Sungai Siring Kecamatan Samarinda Utara dapat di klasifikasikan sebagai berikut: Tanah yang berada relatif rendah (rawa-rawa) dan tepi sungai bertekstur lempung yang merupakan jenis Alluvial organosal sedangkan yang berada pada lahan kering (tegalan) merupakan tanah Potsolit merah kuning dengan tekstur lempung berpasir (Anonim. 2013 a).
Upacara Adat Lepa Ajau
Luwai (2002:5) menceritakan bahwa himpunan tulisan legenda upacara Adat Lepa Ajau ini bermula dari zaman dahulu dimana masyarakat belum memiliki kepercayaan dan hanya mempercayai nenek moyang atau menyembah dewa.Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan upacara adat Lepa Ajau sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman dahulu. Upacara ini berawal dari pemuliaan arwah nenek moyang yaitu persembahan anak yang berusia satu bulan sampai satu tahun dengan menyembelih babi, anak laki-laki menyediakan satu ekor babi jantan dan anak perempuan babi betina yang dipersembahkan kepada seseorang yang memiliki ilmu tinggi atau disebut paren (bangsawan/raja) dengan tujuan anak-anak mereka dapat tumbuh dengan baik dan memiliki rezeki yang baik pula. Setelah itu, dilanjutkan dengan upacara mamat (dalam bahasa Dayak Kenyah disebut Lepa Tau) yang dilakukan setiap tahun setelah panen (Lepa Ajau).
Sistem kepercayaan masyarakat adat Dayak Kenyah Pampang dipengaruhi warisan kebudayaan masyarakat asli nusantara, yaitu animisme-dinamisme.Dinamisme pemujaan arwah karuhun (nenek moyang) dan kekuatan alam, serta dipengaruhi ajaran Hindu. Masyarakat adat dayak Kenyah memuliakan kekuatan alam yang memberikan kesuburan tanaman dan ternak, kekuatan alam ini diwujudkan dengan cara melakukan acara syukuran sehabis panen yang dikenal dengan upacara adat Lepa Ajau. Upacara adat Lepa Ajau pada masyarakat adat Dayak Kenyah di Desa Pampang bersifat tahunan artinya dilaksanakan setiap tahun sekali.
Masyarakat Dayak Kenyah di Desa Pampang tetap menjalankan upacara ini, seperti masyarakat Dayak lainnya yang ada di Kalimantan. Kini setelah kebanyakan masyarakat Dayak Kenyah di Pampang memeluk agama Kristen, ritual adat Lepa Ajau tetap digelar dengan syukuran-syukuran, upacara adat Lepa Ajau bukan sekedar tontonan, melainkan juga tuntunan tentang bagaimana manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di kala menghadapi panen. Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.
Fungsi dalam Budaya Upacara Adat Lepa Ajau
Dalam upacara adat Lepa Ajau yang sangat menonjol adalah tarian. Secara umum, terdapat tiga jenis tarian dalam pertunjukan Lepa Ajau yaitu, (1) tari untuk sarana upacara keagamaan dan tradisi adat, (2) tari gembira atau tari pergaulan, dan (3) tari tontonan (Sudarsono, 1999:167-168).
Tari dalam upacara adat Lepa Ajau berfungsi sebagai tari upacara untuk menghadirkan kekuatan serta pengaruh alam yang merupakan tradisi dan kepercayaan Dayak Kenyah terutama pada musim panen.Pakaian adat dalam berbagai corak dan karakter yang menggambarkan kehadiran tokoh dewa yang berasal dari sungai, gunung, dan hutan belantara yang berpengaruh dalam berbagai aspek kepercayaan tradisi mereka.
Selanjutnya, pertunjukan tari pada upacara panen padi penikmatnya adalah para penguasa dunia atas (Sang Pencipta dan roh-roh gaib) serta dunia bawah (warga dasar sungai).
Kemudian, Sudarsono (1972:20) menambahkan bahwa tari rakyat merupakan tari sakral yang mengandung kekuatan magis, gerak gerik tarinya sangat sederhana sebab yang dipentingkan adalah keyakinan yang terletak di belakang tarian tersebut.
Tari dalam upacara adat Lepa Ajau mengekspresikan bentuk kesatuan masyarakat Dayak Kenyah. Dalam hal ini, masyarakat Desa Pampang mengadakan gerakan tari sebagai sarana untuk menghilangkan kekhawatiran akan terjadinya berbagai hal seperti kegagalan panen.
Gerakan tari berfungsi sebagai media peghubung antara roh-roh gaib dengan manusia yang bermanfaat sebagai sarana komunikasi, ungkapan rasa syukur, dan pengharapan, pengikat rasa solidaritas, dan sekaligus hiburan,
Berkaitan dengan uraian dari kajian di atas, maka fungsi tari dalam budaya upacara adat Lepa Ajau secara rinci dipaparkan seperti berikut.
- Sebagai Sarana Komunikasi kepada Roh-roh Gaib
Fungsi gerakan tari sangat berkaitan dengan komunikasi yang berhubungan dengan alam gaib yaitu untuk memanggil roh-roh baik dan mengusir roh-roh jahat lewat penari yang menggunakan atribut-atribut adat yang menggambarkan ekspresi tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Dayak.Tokoh berperan sebagai pemimpin dan penghubung pihak alam gaib dengan manusia yang diwakilkan oleh kepala adat.
- Sebagai Sarana Pengungkap Rasa Syukur
Gerakan tari erat kaitannya dengan upacara panen. Rasa syukur atas perlindungan pada tanaman saat mulai menanam hingga menuai hasil panen yang melimpah tahun ini serta dijauhkan dari segala macam hama perusak tanaman. Rasa syukur itu diwujudkan dengan mengadakan pesta yang diadakan selama beberapa hari dengan mengundang tetangga dan warga kampung lain untuk bersama-sama menikmati berkah hasil panen tahun ini, selain itu rasa syukur, Lepa Ajau juga berkaitan dengan kebersihan kampung dan kedamaian seluruh warga.
- Sebagai Pengikat Rasa Solidaritas dan Kebersamaan Masyarakat
Keakraban dan kebersamaan warga di Pampang masih sangat kental dan dapat terlihat dari segala macam kegiatan.Dalam kehidupan bertetangga, berladang, membersihkan kampung, maupun pada upacara adat.Pada upacara panen seluruh warga turut membantu dalam mengerjakan persiapan, mulai dari membersihkan kampung, pembuatan ibus (umbul-umbul khas Dayak), menghias rumah adat, membuat lemang serta membuat baju rumbai dedaunan untuk penari.Seluruh kegiatan tersebut dipimpin oleh kepala kampung yang terus memberikan arahan dan motivasi kepada masyrakat Kenyah demi kesejahteraan warga dan kemajuan kampung.
- Sebagai Sarana Meminta Kekuatan, Perlindungan, dan Keberhasilan pada Usaha Perladangan
Fungsi utama tarian pada upacara Lepa Ajau yang memang hanya ditampilkan pada masa menanam dan memanen padi adalah untuk meminta kekuatan pada roh-roh pelindung agar menjaga dan membantu manusia untuk keberhasilan pada usaha perladangan.Masyarakat adat Dayak Kenyah meyakini bahwa kehidupan mereka saat ini tidak terlepas dari kehidupan nenek moyang mereka yang selalu membantu dalam setiap segi kehidupan.
- Sebagai Sarana Hiburan
Berdasarkan sejarah awal terciptanya tari yang dilaksanakan olehwarga penghuni dasar sungai dengan beragam karakter aslinya memiliki tujuan untuk menghibur para dewa.Pada perkembangannya, tarian pada upacara adat Lepa Ajau selain menjadi kebutuhan spiritual untuk mendekatkan diri pada roh nenek moyang dalam upacara panen, juga sebagai hiburan yang dapat dinikmati.Seluruh warga menanti kehadiran para penari walaupun penampilan mereka terlihat sangat menakjubkan dengan menggunakan pakaian atribut-atribut adat.
Makna dalam Budaya Upacara Adat Lepa Ajau
Menurut Herusatoto (2001:29), upacara adat dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat. Upacara adat sebagai sistem yang diciptakan manusia untuk manusia berbentuk konkret dan hanya manusia yang mengetahui. Keterkaitan itu dapat dilihat dari suatu kepentingan tertentu dalam masyarakat yang mendasari berbagai cara untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka, bertindak menurut bentuk tindakan sosial yang sudah terpolakan dan menciptakan kesepakatan bersama yang dibuat untuk memberi makna bagi tindakan bersama yang dibuat.
Upacara adat Lepa Ajau erat hubungannya dengan upacara panen, secara tidak langsung menjadi sarana komunikasi antara roh leluhur dan manusia lewat makna dan simbol.Seperti penjelasan antropolog Cohen (1994:167) dan juga Hendry dan Watson (2001) yang melihat simbol sebagai bentuk komunikasi tidak langsung.Apa yang dimaksud komunikasi tidak langsung adalah komunikasi dimana terdapat pesan-pesan yang tersembunyi atau tidak jelas disampaikan.
Dalam masyarakat Dayak Kenyah yang termasuk dalam sistem simbol atau superstruktur adalah sebuah kepercayaan tentang segala hal yang mengatur kehidupan mereka yang disebut agama Segaji Tumbit yang dimasukkan dalam kategori agama kepercayaan Kaharingan.Kepercayaan tersebut mengajarkan kepada masyarakat penganutnya untuk menghormati arwah nenek moyang.Mereka menganggap bahwa arwah nenek moyang itu selalu memperhatikan serta melindungi anak cucunya yang masih hidup di dunia.Selain itu, mereka juga percaya bahwa jiwa orang yang sudah mati itu meninggalkan tubuh kemudian menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia.
Kaitannya penghormatan kepada roh leluhur yang melindungi warga dan desa terlihat dalam upacara adat Lepa Ajau yang dilaksanakan pada tanggal 21 Mei 2015 yaitu dengan salah satu rangkaian acara yang diwakili oleh Kepala Suku atau orang yang mempunyai ilmu yang tinggi yaitu paren, di desa Pampang.
Seperti yang diungkapkan bapak Lukas Tengah (21-3-2015) yang menjelaskan Upacara Lepa Ajau adalah terjemahan dari bahasa Dayak Kenyah yang berasal dari kata lepa tau, yang artinya dalam bahasa Indonesia Lepa adalah pesta syukuran setelah panen. Maknanya adalah menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perolehan kesehatan, keselamatan dalam bekerja, dan secara khusus perlindungan-Nya terhadap tanaman padi masyarakat, dari sejak menabur benih yang dilakukan oleh masyarakat dari bulan Oktober-November hingga sampai waktunya memanen. Dan Ajau berasal dari kata Tau, artinya pendewasaan anak laki-laki. Maknanya adalah apabila anak laki-laki akan memasuki kelompok kategori pemuda. Mereka harus melalui proses ritual pendewasaan atau Tau dengan cara mengayau. Kalau seorang anak laki-laki sudah melalui proses ini, barulah dinobatkan sebagai anak laki-laki yang dewasa dan jika ia ingin berkeluarga maka hal itu sudah diperbolehkan menurut aturan adat.
Setelah masuknya agama Kristen di Desa Pampang pada tahun 1672, kegiatan mengayau atau tradisi berperang dan mempersembahkan kepala manusia ini kemudian dihentikan dan digantikan dengan memotong hewan ternak seperti ayam.Upacara ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang yang harus terus dijaga sebagai warisan dan kekayaan budaya khususnya pada masyarakat Dayak Kenyah.
Lucas Tengah (21-3-2015) menyatakan yang paling sentral dalam pemikiran orang Dayak ialah contoh-contoh perbuatan yang diturunkan oleh nenek moyang kepada generasi selanjutnya. Keseluruhan peraturan itu yang menentukan cara berfikir serta tingkah laku orang sebagai anggota masyarakat. Semuanya itu membawa tata kehidupan tanpa mengadakan perbedaan jelas dalam tata agama, hukum, kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Dalam keseluruhannya warisan adat ini merupakan suatu karunia dari nenek moyang yang akan membawa kemakmuran, kepastian, damai, dan kesejahteraan baik untuk orang perorangan maupun untuk masyarakat.
Hal tersebut terlihat dari hasil budaya seperti Lepa Ajau ini tidak lepas dari unsur-unsur yang mendukung dalam masyarakat tersebut. Lepa Ajau sebagai hasil budaya yang terkait dengan upacara adat Lepa Ajau yang tidak dapat berdiri sendiri, adanya unsur-unsur seperti perlengkapan upacara, pelaku upacara serta waktu upacara saling terkait satu dengan yang lainnya.
Fungsi upacara yang terkait dengan Lepa Ajau yang dilaksanakan pada upacara adat Lepa Ajau ini dimaksudkan sebagai sarana utuk menyampaikan permohonan maupun menyampaikan persembahan kepada roh-roh leluhur dan dewa lewat sesajen satu pucuk padi yang menggambarkan perlambangan kehidupan manusia yang dapat bertahan hidup dari padi, padi memberikan banyak manfaat dan keuntungan bagi kehidupan manusia (wawancara dengan Lucas Tengah, 21-3-2015).
Acara memasak lemang sebagai makanan khas Dayak Kenyah yang terdiri dari bahan ketan, santan, dan dimasak di dalam bambu ini memiliki makna bahwa bambu menggambarkan dunia yang bersih, hal ini dikarenakan roh yang diundang dalam keadaan bersih. Dalam kaitannya upacara, beras ataupun ketan yang digunakan berwarna putih sebagai lambang penolak bala terhadap hal-hal buruk.
Demikian halnya dengan pertunjukan tari sebagai bagian dari upacara Lepa Ajau yang ada dan berkembang di masyarakat suku Dayak Kenyah di desa Pampang juga sarat akan makna simbolis. Sumandiyo Hadi (2007:23) menyatakan bahwa tari sebagai ekspresi manusia atau subyektifitas seniman merupakan sistem simbol yang signifikan (significant symbols), artinya mengandung arti dan sekaligus mengundang reaksi yang bermacam-macam. Sistem simbol itu tidak tinggal diam atau bisu, tetapi berbicara kepada orang lain. Hal ini terlihat dari beberapa unsur dalam tari yaitu gerak, penari, maupun properti yang digunakan penari pada upacara adat Lepa Ajau.
Gerak yang merupakan unsur utama dalam pertunjukan tari sangatlah berbeda dengan gerak pada umumnya. Gerak adalah bahasa komunikasi yang luas dan variasi dari berbagai kombinasi unsur-unsurnya terdiri dari beribu-ribu “kata” gerak, juga dalam konteks tari, gerak sebaiknya dimengerti sebagai makna dalam kedudukan yang lainnya (Jacqueline Smith, 1985:16).
Pengharapan ini terlihat dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh penari yang selalu mengarah ke atas dengan harapan dewa tertinggi dan roh-roh lain yang dipercaya berada di atas langit memberikan suatu kesuburan bagi pertaniannya. Jiang Dom (21-3-2015) juga mengatakan bahwa gerak menghentak-hentakkan kaki selain bermakna untuk mengusir hama binatang yang mengganggu, bermakna juga sebagai harapan roh penghuni bumi dan tanah segera memberi kesuburan bagi benih yang ditabur sehingga hasil yang diperoleh sesuai yang diharapkan.
Persyaratan seorang penari dalam upacara adat Lepa Ajau seperti yang dikatakan oleh Jiang Dom (21-3-2015) yang harus memiliki mental yang kuat karena dalam menari bukan hanya bertujuan untuk menghibur warga yang menonton, tetapi lebih pada keteguhan hati penari untuk menjaga hubungan yang baik dengan roh leluhur untuk mengharapkan kekuatan dalam mengusir segala hal buruk dan mengharapkan sebuah berkah keselamatan.
Masyarakat Dayak Kenyah menerima hidupnya yang dikaruniakan kepadanya baik berkaitan dengan pribadi dan lingkungan.Dunia ilahi sudah mengatur hidup itu. Dengan mentaati tradisi adat, hidup itu akan berkembang, diperkuat, dilindungi, dan diperkaya. Manusia sendiri harus mengembangkan, mengamankan, dan melindungi hidupnya dengan menuruti contoh yang diberikan oleh nenek moyang seperti yang diungkapkan dalam mitos-mitos. Hal ini sejalan dengan pernyataan Jiang Dom (21-3-2015) yang menceritakan makna busana yang digunakan oleh penari pada upacara adat Lepa Ajau disebut dengan Chum Thai yang terbuat dari daun pisang segar berwarna hijau, melambangkan kesejukan dan kesuburan, baik bagi tanaman padi yang dimulai dari benih kemudian tumbuh subur hingga manusia dapat menuainya, dan juga bagi kehidupan manusia yang hidup selayaknya tanaman padi tersebut.
Makna simbolis tarian pada upacara adat Lepa Ajau (upacara panen) dapat diketahui dari fungsi yang terdapat dalam tari dan unsur penyajiannya.Lucas Tengah (21-3-2015) menyampaikan dalam wawancara bahwa makna simbolis dalam sarana-sarana tarian adalah sebagai pengungkap rasa syukur atas berkah hasil panen yang didapat tahun ini dan juga sebagai makna penghormatan kepada roh baik dalam masyarakat yang telah menjaga dan melindungi warga serta kampung, nilai kebersamaan, nilai kekeluargaan, dan tanggung jawab sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat. Hubungan yang baik dan harmonis harus selalu dijaga dalam setiap unsur kehidupan masyarakat Dayak Kenyah karena mereka percaya jika tidak terjadi hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungannya dapat menimbulkan kesengsaraan bagi manusia dan kampung.
Berangkat dari latar belakang dari upacara adat Lepa Ajau ini yang ada mulanya untuk kebutuhan upacara adat secara murni menunjukkan bahwa nilai leluhur masyarakat yang masih terus terjaga dan upacara ini juga menggambarkan etika yang sangat konkrit mengenai hubungan manusia dan alam lingkungan sekitarnya serta manusia dengan roh-roh leluhur.
Dari hasil pembahasan, fungsi dan makna simbolis upacara adat Lepa Ajau pada upacara panen dapat dikatakan upacara tersebut mencerminkan kehidupan sosial masyarakat desa Pampang yaitu sikap penghormatan terhadap nilai-nilai kehidupan yang diajarkan para leluhur yang telah menjaga dan melindungi warga serta kampung, nilai kebersamaan, nilai kekeluargaan, dan tanggung jawab sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat.
PENUTUP
Berdasarkan paparan pembahasan hasil penelitian tersebut, maka kesimpulan yang dapat penulis utarakan dalam penulisan ini adalah seperti berikut.
Fungsi pelaksanaan dalam budaya upacara adat Lepa Ajau adalah (1) sebagai sarana komunikasi kepada roh-roh gaib, (2) sebagai sarana pengungkap rasa syukur, (3) sebagai pengikat rasa solidaritas, dan kebersamaan masyarakat, (4) sebagai sarana meminta kekuatan, perlindungan, dan keberhasilan pada usaha perladangan, dan (5) sebagai sarana hiburan.
Makna pelaksanaan dalam budaya upacara adat Lepa Ajau masyarakat Suku Dayak Kenyah adalah (1) untuk menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perolehan kesehatan, keselamatan dalam bekerja, dan secara khusus adalah bermakna untuk memperoleh perlindungan-Nya terhadap tanaman padi masyarakat, dari sejak menabur benih yang dilakukan oleh masyarakat Suku Dayak Kenyah dari bulan Oktober samapai dengan November hingga samapai waktunya memanen, (2) Ajau berasal dari kata Tau artinya pendewasaan anak laki-laki, maknanya adalahapabila anak laki-laki akan memasuki kelompok kategori pemuda, mereka harus melalui proses ritual pendewasaan. Kalau seorang anak laki-laki sudah melalui proses ini barulah dinobatkan sebagi anak laki-laki yang dewasa dan jika ia ingin berkeluarga maka hal itu sudah diperbolehkan menurut aturan adat-isiadat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Profil Desa Pampang Laporan KKN UNMUL.
Azwar syaifuddin. 2011.Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka.
Bogdan S. 2001.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Bandung: Rineka Cipta.
Dananjaya. 2007. Folklor Indonesia.Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
————–. 2004. Folklor Sebagai Ilmu Gosif, Dongeng dll.Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
————–. 2002. Folklor Lisan. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
————–. 1986. Seri Penerbitan Ilmiah. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Anonim.2012.Pengertian Nilai-Nilai Budaya.http://www.Psychologymania.com.
Depdiknas.2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Edy Sedyawati. 2002. Budaya Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Faesal A. 1992. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif.Bandung: Tansito.
Gunawan. 2012. Pengertian Legenda.http://pengertian legenda.blogspot.com.
Hendrayana. 2009. Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas dan AliyahKelas X. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Koentjaraningrat.1981.Kebudayaan Menulis dan Membangun. Jakarta: PTGramedia.
—————. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Balai Pustaka.
Mallincrod dan Tjilik. 2007. Sub-Sub Suku Bangsa yang MendiamiPulau Kalimantan. Jakarta: Balai Pustaka.
MPR RI. 2014. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekjen MPR RI.
Prostowo Andi. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka.
Pusat Bahasa, Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rusyana.1976.Folklor Merupakan Cerita Turun-Temurun.Bandung: Ganexca.
—————. 1976. Cerita Rakyat Nusantara. Bandung: FKIP.
Sztompka.2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Pranada Media Grup.
Singarimbun. 1987. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3 ES.
Soehardi A. 1971. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung: Sumur.
Sumarsono.2011. Sosiolinguistik. Jakarta: Graha Ilmu.
Sugiono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Smaatmadja N.1984. Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Alumni.
Riwut Tjilik. 1979. Kalimantan Membangun Alam dan Budaya.Palangka Raya: Kalteng.
Wigjodipuro. 1980.Meninjau Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Pustaka.
—————-. 2002.Upacara Adat di Indonesia. Jakarta: Pustaka.
Yusmono. 1994. Filsafat Budaya Dayak. Skarhejo: Cendrawasi Agama Hendropuspito.