INTEGRITAS KEHIDUPAN BERAGAMA PADA KOMUNITAS TOWANI TOLOTANG DI SIDENRENG RAPPANG

0
13765

INTEGRITAS KEHIDUPAN BERAGAMA

PADA KOMUNITAS TOWANI TOLOTANG DI SIDENRENG RAPPANG

 

INTEGRITY OF RELIGIOUS LIFE

IN TOWANI TOLOTANG COMMUNITY IN SIDENDRENG RAPPANG

 

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar 90221

Telepon (0411) 883748, 885119 Faksimilie (0411) 865166.

Pos-el: rahayusalam60@gmail.com

Handphone: 081355645935

 

ABSTRACT

This research was conducted in the Amparita Village and its surroundings into the Tellu Limpoe District, Sidendreng Rappang,  with the aim to explore and reveal the cultural elements, lifting the social norms and cultural values ​​as an activity in order to preserve cultural heritage of the nation towards the formation of nation personality through culture of the funeral ceremony in Tolotang Towani community.  Qualitative methods with participation observation techniques and interviews showed  the difference in perception between the Moslem and Tolotang Benteng associated with the Towani Tolotang. Ceremony to honor and sanctify the One God “Dewata Swuwae” is a manifestation of Towani community, which is a local wisdom on small part of society and are not recognized as an official religion by the government. One of them is a funerals which has a similar procession with Islam. The similarity of this ceremonial procession associated with the area of ​​the Amparita Village there is included into the Bugis area which is part of the territory of the Islamic religion spread in South Sulawesi. The funeral ceremony serves to reinforce the norms and cultural values ​​that are in line with the government’s efforts to restore cultural identity.

 

Keywords: Integrity , Religion , Funerals, Ceremony

 

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Amparita dan sekitarnya yang masuk kedalam Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidendreng Rappang, dengan tujuan untuk menggali dan mengungkapkan unsur kebudayaan, mengangkat norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya sebagai suatu kegiatan dalam rangka memelihara warisan budaya bangsa menuju pembentukan kepribadian bangsa melalui kebudayaan dari upacara kematian pada komunitas Towani Tolotang. Metode kualitatif dengan teknik observasi partisipasi dan wawancara menunjukkan informasi mengenai upacara kematian dan perbedaan persepsi masyarakat yang menganut Ajaran Islam dan Tolotang Benteng terhadap Towani Tolotang.  Upacara untuk menghormati dan mensucikan sang Tuhan Yang Satu Dewata Seuwae merupakan wujud komunitas Towani Tolotang, yang merupakan kearifan lokal pada sebagian kecil masyarakat dan tidak diakuisebagai agama resmi oleh pemerintah. Salah satunya adalah upacara kematian yang memiliki prosesi yang hampir sama dengan Ajaran Islam. Kesamaan prosesi upacara ini terkait dengan wilayah kelurahan Amparita termasuk kedalam daerah Bugis yang merupakan bagian dari tempat penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Upacara kematian ini berfungsi untuk mengukuhkan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengembalikan identitas budaya.

 

Kata kunci :Integritas, Agama, Upacara Kematian

 


PENDAHULUAN

Studi ini memaparkan bagaimana integritas dapat terjadi dalam masyarakat majemuk (plural society) dan perbedaan-perbedaan keyakinan yang berpotensi pada perpecahan antar kelompok dalam tatanan nilai-nilai budaya yang dianut bersama. Kelompok masyarakat di Indonesia memiliki keragaman nilai yang terkandung dalam kepercayaan ataupun agama pemeluknya. Sistem kepercayaan dan upacara keagamaan di anut oleh kelompok-kelompok lokal dimana kepercayaan itu sama maknanya dengan religi yaitu kecendrungan manusia di luar dirinya, alam semesta, dalam mencari nilai dan makna untuk dihormati dan disucikan agar dijaga keseimbangannya melalui rangkaian upacara (Hadikusuma, 1983:17).

Kepercayaan ini dikategorikan sebagai agama lokal, dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh sebagian masyarakat yang relatif kecil dan tidak diakui sebagai agama yang diresmikan oleh pemerintah kita. Sebut saja seperti kepercayaan Saminisme di Jawa Tengah, Sunda Wiwitan pada masyarakat Baduy di Banten, Sipelebengu pada masyarakat Batak di Sumatra Utara, Kajang di Takalar dan kepercayaan yang lain sebut saja seperti Aluk tudolo di Toraja, Mappurondo di Mamasa serta kepercayaan Towani Tolotang pada masyarakat Kabupaten Sidendreng Rappang di Sulawesi Selatan (Rahman Patji, 2004: 5). Dari berbagai keyakinan itu terdapat pengetahuan yang diaplikasikan dalam tindakan yang  membentuk kebudayaan dalam waktu cepat maupun lambat, hal ini dapat terlihat dari berbagai ritus upacara-upacara tradisional. Penyelenggaraan upacara berguna untuk mengungkapkan emosi keagamaan yang telah dianut oleh masyarakatnya (Depdikbud, 1992-1993: 185). Fungsi upacara-upacara tradisional untuk mengukuhkan norma-norma dan nilai-nilai budaya dan dengan mengikuti jalannya upacara, akan memperoleh kekhidmatan dan memperoleh makna yang dikandung oleh simbol-simbol upacara. Melalui simbol-simbol upacara , para pelaku yang menghadiri upacara akan mengalami sosialisasi yang berarti mempelajari kebudayaannya dan tidak akan sesat pada seluk-beluk kehidupan masyarakatnya.

Tolotang Towani adalah salah satu komunitas yang temasuk agama lokal yang telah bertahan lama di Sidendreng Rappang. Pemeluk kepercayaan ini hidup dan berkembang seiring dengan waktu dan berbaur dengan pemeluk kepercayaan lain. Eksistensi keberadaannya di tengah-tengah masyakarat Islam tidak membuatnya berkurang justru meningkat setiap tahunnya (mengingat Sidendreng Rappang adalah daerah Bugis). Upacara-upacara tradisional yang kental dengan ciri khas pemeluknya menjadi tanda kekhasan komunitas-komunitas dalam agama lokal yang masih bertahan. Karena upacara tradisional di Sulawesi Selatan yang masih sering dilaksanakan adalah berkisar pada lingkaran hidup (life cycle) seperti upacara aqiqah, perkawinan, sunatan dan kematian. Upacara kematian merupakan salah satu tradisi yang masih terus dilakukan sebagai salah satu unsur kebudayaan. Dalam upacara kematian ini, terkandung berbagai macam norma-norma dan nilai-nilai budaya yang mempunyai sifat positif. Hampir semua kebudayan (termasuk upacara kematian) di tanah air ini terinspirasi dari nilai dan gagasan yang berakar dari kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Sampai sekarang agama membentuk etos spiritual yang mempengaruhi kehidupan sosial budaya berbagai suku bangsa di tanah air.

Sehubungan dengan uraian di atas maka tulisan ini bertujuan untuk mengangkat norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya sebagai suatu kegiatan dalam rangka memelihara warisan budaya bangsa guna menjadi ramuan menuju pembentukan kepribadian bangsa melalui kebudayaan dari upacara kematian yang lahir di komunitas Towani Tolotang, mempertebal rasa harga diri dan kebangsaan nasional serta memperkokoh jiwa kesatuan nasional, yang terdapat dalam GBHN tahun 1978 dalam (Depdikbud: 1992-1993).

 

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menemukan keunikan dari persepsi masyarakat Towani Tolotang dan sekitarnya terkait dengan kepercayaan dalam upacara kematian. Selain mengulas tentang persepsi masyarakat, tulisan ini juga akan mengulas prosesi upacara kematian di Komunitas Towani Tolotang.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi partisipasi, wawancara mendalam dan penelusuran data sekunder. Observasi partisipasi dilakukan terhadap perilaku dari ritus-ritus lokal Towani Tolotang dan wawancara dilakukan pada tokoh masyarakat, jajaran pemerintah setempat, tenaga pendidik dan warga di Kelurahan Amparita dan sekitarnya. Data yang diperoleh berupa data primer dan sekunder, data primer meliputi penjelasan mengenai upacara kematian dan persepsi masyarakat yaitu muslim dan penganut ajaran Tolotang Benteng terhadap Towani Tolotang yang diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi partisipasi, serta data sekunder meliputi data-data tentang jumlah statistik keadaan geografi yang diperoleh di Kantor Kecamatan Tellu Limpoe dan Kantor Kelurahan Amparita.

 

PEMBAHASAN

Komunitas Towani Tolotang

Kepercayaan Towani Tolotang berasal dari Wajo. Pada abad ke-17  raja Wajo yang bernama Petta Mattoas memeluk Agama Islam, beliau memerintahkan semua masyarakatnya agar masuk ke dalam Islam. Bagi yang tidak mau meninggalkan Towani Tolotang dan masuk ke agama Islam, diusir dari Wajo sehingga komunitas Towani Tolotang tersebar hingga sampai ke Amparita, Kanyuara, Otting, dan Dongi. Namun, komunitas ini mayoritas bermukim di Amparita. Pengetahuan tentang Tuhan yang disembah sejak dulu telah ada sebelumnya, dimana Tuhan yang mereka sebut sebagai puang dan pundewa (dewa). Namun, sejak adanya proses Islamisasi, kebiasaan-kebiasaan hidup yang bersumber dari ajaran agama yang dianut sebelumnya berbaur dengan ajaran-ajaran Agama Islam. Hasil berbauran tersebut lebur dalam budaya Bugis yang tentunya ada yang sejalan dengan Agama Islam dan ada yang tidak sejalan (Ibrahim, 1993: 93). Istilah Towani Tolotang terdiri dari Towani dan Tolotang. Towani berasal dari kata Tau yang berarti orang dan wani adalah nama sebuah Kelurahan, sehingga ToUwani berarti orang dari Kelurahan “wani”. Tolotang berasal dari kata Tau yang berarti orang dan Lautang yang berarti selatan, sehingga Tolotang berarti orang Selatan jadi, Towaani Tolotang adalah orang-orang yang berasal dari Kelurahan Wani yang tinggal di sebelah Selatan, maksudnya sebelah selatan Amparita. Istilah ini semula dipakai oleh Raja Sidendreng sebagai panggilan terhadap orang-orang tersebut, tetapi kemudian menjadi nama aliran kepercayaan mereka. Sebagaimana penuturan Uwa Soenarto (50 tahun).

Komunitas Towani Tolotang sebagian besar bermukim di Amparita, Kanyuara, Otting dan Dongi dengan kehidupan seperti orang Bugis pada umumnya. Di Amparita tidak  hanya terdiri dari pemeluk kepercayaan Towani Tolotang, terdapat pula masyarakat memeluk agama lainnya seperti Islam,Kristen Protestan, dan Tolotang Benteng yang merupakan pecahan dari Tolotang dan Islam. Kehidupan mereka berjalan sebagaimana masyarakat pada umumnya yaitu saling menghargai, berbagi dan mengasihi. Kelompok Islam dan Kristen Protestan memepercayai adanya Tuhan YME dan percaya dengan dunia akhirat sehingga kepercayaan ini mengakui adanya perbuatan baik dan buruk. Kelompok Towani Tolotang mempunyai konsep ketuhanan yang disebut Dewata Seuwae, yang melaksanakan ritusnya dengan menyembah kuburan nenek moyang dan batu-batuan sedang kelompok Tolotang Benteng mempunyai konsep kepercayaan dan ritus yang sama dengan Towani Tolotang, tetapi secara formal mengaku beragama Islam walaupun ritus-ritus keislaman tidak dijalankan. Berpedoman pada kepercayaan bahwa hidup itu seperti ikatan yang tak terputus, ada Tuhan, manusia, masyarakat, individu, ada perubahan, kekuasaaan, keadilan dan sebagainya, semuanya dikategorikan oleh Abdulillah (1987:8) sebagai pandangan hidup.

Kalau membahas pembendaharan Bugis tentang konsep pada idi yang melekat di dalam suku ini maka maknanya sangat luas, namun Uwa Soenarto selaku pemimpin Towani Tolotang menganggap kalau persaudaraan orang Towani Tolotang sangat kuat karena dari awal ada semacam gojangan dari para leluhur mereka bahwa “kamu itu satu ikatan persaudaraan” yang dipopulerkan dengan pernyataan bahwa “kalian semua anak cucu saya”. Dengan pengertian itu dimaksudkan dalam hidup susah, senang tetap harus bersatu, harus tetap utuh. Kendatipun mungkin ditemukan sedikit pergeseran dari tradisi-tradisi lokal dengan perkembangan dunia yang ada tapi komunitas ini masih tetap sebagai komunitas yang masih bertahan dengan kuat. Ilmu yang teraplikasi dari berbagai praktik ritual lokal Towani Tolotang diperoleh secara turun-temurun yang mempunyai simbol tersendiri. Simbol-simbol tersebut sangat sulit ditemukan, sebab mereka tidak mau mengunggapkan hal yang tidak boleh disebar luarkan ke khalayak umum, hanya yang menjadi penerus kepemimpinan merekah yang boleh mengetahuinya.

Adapun yang membuat komunitas Towani Tolotang masih tetap bertahan hingga sekarang, yaitu kepercayaan bersifat mistik, tabu dan misterius karena keyakinan tentang roh nenek moyang. Seperti kepercayaan dalam suatu upacara ritual, yaitu apabila si penyelenggara upacara tidak melakukan upacara sesuai dengan syarat yang telah ditentukan maka si penyelenggara mendapat bala/ karma. Ada yang matanya jadi juling, ada yang kesurupan dan sebagainya, sehingga komunitas ini sangat percaya dengan kekuatan sang Tuhan Yang Satu (Dewata Seuwae), yang dipercayakan segalanya kepada Uwa sebagai perantara antara Tuhan dengan mereka dan yang menanggung semua dosa umat penganut kepercayaan ini.

Bertolak soal itu, beragam wujud warisan budaya lokal memberi kita kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Di sisi lain, orang-orang yang mengaku sebagai di luar pemeluk kepercayaan ini menganggap tidak ada relevansi antara kearifan lokal ini dengan masa sekarang apalagi masa depan. Komunitas Towani Tolotang hanya sebagaian kecil dari komunitas-komunitas yang masih mempertahankan keyakinannya di lingkungan yang kecil. Eksistensi Towani Tolotang di Amparita dan sekitarnya seperti Kanyuara, Otting dan Dongi tidak begitu saja langsung diterima.

Kebijakan pemerintah Indonesia yang hanya mengakui lima agama di Indonesia, maka pemerintah menawarkan tiga pilihan ke warga Towani Tolotang untuk memilih antara Islam, Kristen atau Hindu. Aturan itulah yang akhirnya membuat komunitas Towani Tolotang berlindung di bawah payung Agama Hindu sebagai bagian dari kelima agama yang diresmikan di tanah air. Hal ini dianggap sebagai pelindungan diri dari eksploitasi negara karena tidak mengakui mereka sebagai bagian dari agama resmi, sehingga memutuskan untuk berlindung di payung Agama Hindu. Namun, kenyataan yang terjadi, tidak ada kemiripan sedikit pun antara Towani Tolotang dengan Agama Hindu. Tercatat sekitar 2.569 jiwa pemeluk Agama Hindu, presentasi ini lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan Agama Islam dan Kristen Protestan. Pada kelurahan Amparita, tidak terdapat satupun Pura (tempat ibadah Agama Hindu) Acara-cara ritual yang mereka lakukan sama sekali berbeda dengan agama Hindu, hal ini juga dapat dilihat ketika perayaan Hari Raya Nyepi Agama Hindu, tak ada kegiatan apa-apa di kalangan orang Tolotang. Dapat juga dikatakan pada tataran keyakinan dan praktik Towani Tolotang masih mempertahankan ajaran warisan leluhurnya.Uwa Soenarto (50 tahun) menyatakan :

“Towani Tolotang sebagai bagian dari Agama Hindu telah diakui oleh komunitas ini dan mendapat legalisasi dari negara, sehingga menjadi bukti bahwa komunitas Towani Tolotang sudah diakui oleh pemerintah”

 

Pemeluk kepercayaan ini tidak kurang dari 15 ribu jiwa, tetapi jumlah nya masih tetap tergolong lebih besar dibandingkana sejak awal bermukimnya komunitas ini di Wani (daerah Uwajo) pada abad ke-17. Berbagai konflik telah dialami sejak dari abad ke abad yaitu terdapat diskriminasi oleh agama mayoritas, namun mereka tetap hidup dan berkembang hingga sekarang. Komunitas ini diakui oleh pemerintah sebagai aliran kepercayaan pada tahun 1966 berdasarkan surat keputusan Dirjen Bimas Hindu nomor dua dan nomor enam tahun 1966. Komunitas ini menanggalkan aliran kepercayaannya yang sudah dianut sejak ratusan tahun dan memilih untuk bernaung di bawah Hindu, sehingga kemudian disebut “Tolotang Hindu”. Cara hidup mereka tetaplah sama seperti manusia biasa yang lain. Dalam berbusana, mereka menggunakan sarung, kemeja lengan panjang dan kopiah untuk laki-laki, namun seiring perkembangan sudah banyak yang tidak menggunakan kemeja panjang, cukup sarung dan kopiah yang masih sering terlihat. Sedangkan bagi wanita, mengenakan kebaya dan sarung dan tanpa menggunakan alas kaki. Seiring perkembangan zaman, sudah banyak menggunakan baju biasa serta sarung yang di kaitkan

 

Upacara Kematiaan Komunitas Towani Tolotang

(1). Kelurahan Amparita

Kelurahan Amparita (Ibu Kota Kecamatan Tellu Lempoe, Sidendreng Rappang) merupakan daerah pemeluk terbesar komunitas Towani Tolotang. Kelurahan ini di kelilingi oleh bukit-bukit kecil yang memanjang dari arah utara kearah selatan. Sebelah utara Kelurahan ini berbatasan dengan Kelurahan Areteng, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Pajalele, sebelah timur berbatasan dengan Desa Teteaji dan sebelah barat berbatasan dengan  Kelurahan Todakang Pulu. Tercatat luas Kelurahan ini di tahun 2011 mencapai 6,69 km dengan kurang dari 500 ketinggiannya dari permukaan laut. Luas tanah kering seperti daerah persawahan mencapai 478,10 Ha sedang daerah tanah kering seperti pekarangan 37,10 Ha dan Danau 140,00 Ha di tahun 2010. Ketinggian Kelurahan ini terletak kurang lebih 500 dari permukaan laut, yang lainnya adalah daratan (BPS, 2011). Amparita berjarak sekitar 8 km dari Pangkajene, Ibukota Kabupaten Sidendreng Rappang dengan jarak tempuh 30 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor. Tak ada ciri khusus yang membedakan komunitas ini dengan masyarakat sekitar yang mayoritas suku Bugis. Bahkan, mereka menegaskan identitas dirinya selaku orang Bugis, hanya saja mereka punya kepercayaan berbeda dari warga lain yang mayoritas beragama Islam.

Tercatat jumlah penduduk Kelurahan Amparita mencapai 4.190 jiwa di tahun 2011 dengan dua lingkungan yang terdiri dari 6 RW dan 12 RW. Jumlah rumah tangga pada tahun 2011 tercatat mencapai 1120 dengan kepadatan penduduk mencapai 615 per km, yang terdiri dari pria berjumlah 1.926 jiwa sedang wanita berjumlah 2.264 jiwa. Mata pencaharian pokok penduduk Amparita adalah bertani, sebagian berdagang dan pegawai negeri sipil. Penduduk di Amparita memeluk Agama Islam 1.612 jiwa dan Agama Hindu 2.569 jiwa serta Kristen Protestan 9 jiwa. Terdapat tempat ibadah 3 mesjid dan 4 Posyandu (Laporan Profil Kelurahan Amparita, 2011).  Sarana pendidikan yang ada yaitu 2 TK dengan jumlah 125 murid, sebuah Sekolah Dasar (SD) dengan 300 murid, dan sebuah Sekolah Menengah Pertama dengan 655 murid, Madrasah Ibtidayyah tingkat MI, Mts dan MA dengan masing-masing 1 buah bangunan (BPS Kecamatan Tellu Tompoe, 2011).

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Bugis dan Bahasa Indonesia. di pinggang. Serta Amparita terbagi menjadi tiga bagian yaitu Amparita 1, Amparita 2 dan Amparita 3. Umumnya rumah komunitas Towani Tolotang merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu yang sidalamnya tidak terdapat kursi meja, kalaupun ada mungkin hanya sedikit karena orang Towani Tolotang biasanya menggunakan lantai

.

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1. Rumah Komunitas Towani

Tolotang

sebagai tempat duduk, termasuk tempat duduk tamu. Lantainya pun bertingkat, yang terbuat dari bambu-bambu yang dipotong kecil dan memanjang. Tempat duduk yang lebih tinggi merupakan tempat duduk Uwa  pada saat ritual upacara dilaksanakan atau tempat duduk orang yang lebih dihormati, Hal ini berlaku di rumah Uwa pada komunitas Towani Tolotang.

 

(2). Upacara Kematian Komunitas Towani Tolotang

Masyarakat di Amparita umumnya orang Bugis yang hamper seluruhnya memeluk agama Islam, sehingga upacara kematian di Bugis tidak terlepas dari unsur keislaman. Upacara kematian pada komunitas Tolotang hampir sama dengan pelaksanaan upacara secara Bugis, walaupun dewasa ini sudah banyak perubahan. Apabila ada yang meninggal dunia, maka penguburannya diselenggarakan secara adat dan agama. Adapun penyelenggaraaan upacara kematiannya sebagai berikut:

 

(a). Persiapan Upacara

Pertama-tama, ketika ada anggota keluarga yang meninggal,  maka dipanggilah anggota keluarganya yang lain untuk menjenguk dengan membawa bingkisan atau sumbangan berupa uang, barang dan benda-benda tertentu yang berguna untuk keperluan penguburan jenazah dan makanan dalam upacara. Upacara religi atau agama, yang biasanya dilakukan oleh warga mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat (Smith dalam Koentjaraningrat, 1980: 67).  Ratna (47 tahun) menuturkan :

“Keluarga jenazah mempersiapkan 40 bakul sokko’ (songkolo) di dalam bakul kecil, isinya nasi dan lauk seperti ayam yang belum di masak dan telur. Selanjutnya makanan itu di bawah kepada Uwa (pemimpin upacara) yang bertujuan untuk bekalnya di hari kemudian”

 

Berbeda ila yang meninggal seorang keturunan Uwa atau pemimpin Towani Tolotang, mereka memiliki ritual tersendiri. Selanjutnya Uwa segera di panggil (jemput), kalau Uwa tidak bisa menghadiri pemakaman tersebut (sempat datang) maka Uwa hanya memberikannya air yang dibawa pulang untuk siraman kepada si jenazah, dimana orang yang menyiram adalah anggota keluarga yang meninggal atau orang yang pandai.

 

(b). Upacara Permandian dan Penguburan

Umumnya, upacara itu masih terkait dengan Islam seperti proses permandian jenazah namun kalau Uwa tidak bisa dating maka cukup menitipkan air yang sudah di doakan. Orang yang bertugas menyiramkan air menggantikan Uwa ketika beliau tidak ada adalah orang yang ahli dalam ritual tersebut. Sedang kalau Uwa yang meninggal, maka Uwa di siram sambil di pangku secara berhadapan oleh beberapa orang keluarganya. Air tersebut biasanya berisi 5 liter di dalam 1 jerigen air mentah yang sudah di di beri mantra, Terdapat 2 versi terkait penyiraman jenazah, terdapat anggapan bahwa air yang di berikan atau di beri mantra oleh Uwa di siramkan ke dalam baskom besar yang berisi air biasa lalu di pakai untuk menyiram jenazah. Tetapi, ada juga yang langsung menyiram air yang telah di beri mantra oleh Uwa tersebut sebagai air pertama yang di siramkan kepada si jenazah.

Proses permandiannya sama seperti Islam namun kalau Islam menggunakan kapas untuk menutupi ke-2 lubang hidung, mulut, kedua tangan dan lubang pantan si jenazah, maka orang Towani Tolotang berbeda. Towani Tolotang menggunakan daun siri untuk menutupi semua tersebut, ditambah dengan membungkus seluruh tubuh si jenazah yang kemudian disebut dengan rokko-rokko ota’. Kain putih yang di lapisi dengan sejumlah daun siri bertujuan agar jenazah di terima dengan baik oleh Dewata Seuwae. Kalau Uwa hadir, maka Uwa yang memandikan dan memberikan daun siri kepada si jenazah tetapi kalau tidak ada, maka di suruh orang yang pandai atau keluarga si jenazah sampai di bungkus dengan kain putih. Tidak hanya pada komunitas Towani Tolotang, masyarakat bugis umumnya menggunakan daun siri dan pinang sebagai salah satu prasyarat pada setiap upacara ritual mereka.

Sebelum jenazah di giring ke pemakaman selalu dipersembahkan sebuah ceramah dari ketua adat atau sebagainya, namun di komunitas Towani Tolotang sendiri tidak ada pidato atau ceramah perpisahan yang dilontarkan oleh Uwa selaku pemimpin tertinggi mereka. Sedang pada Tolotang Benteng, ada semacam pembacaan barasanji yang dipimpin oleh imam mereka, sekalipun begitu upacara tersebut tetap masih seperti halnya upacara komunitas Towani Tolotang. Iring-iringan jenazah secara perlahan bergerak mengangkat atau mengusung jenazah di keranda mayat. Dari pihak keluarga yang bertugas mengangkat dengan mengeluarkan melalui jendela dan tangga khusus. Uwa Londong (70 tahun) menuturkan :

“Mereka membuat pintu dari jendela atau dinding yang di berikan tangga di lewati orang yang mengangkat mayat. Setelah di lewati, seketika langsung tangga yang terbuat dari bambu dan di ikat dengan tali tambang langsung di hancurkan seketika.Pintu itu jalannya orang hidup bukan orang mati, jadi di bikinkan pintu dan tangga tersendiri. Tangga itu dilewati hanya oleh orang mati bukan untuk orang hidup. Karena juga si jenazah diartikan sebagai orang yang ingin menuju ke alam barkah jadi lewat alam lain.:

Sebagai tradisi hal ini di ikuti secara turun-temurun sampai sekarang terus dilakukan. Menurut Uwa Soenarto (50 tahun), makna yang ditangkap dari tangga khusus yang diperuntukkan untuk orang setiap ingin dikubur bahwa mereka itu sudah direlakan untuk yang terakhir, berpisah dengan keluarga,

“semoga dalam perjalannya menghadap Tuhan Yang Maha Esa dapat berjalan dengan baik karena tangga rumah buat orang yang hidup, pintu pun juga begitu.”

Fungsi jendela sebagai pintu dan tangga yang baru dibuat dengan tali tambang khusus untuk tiap orang yang mati bagi komunitas Towani Tolotang. Setelah proses upacara selesai maka tangga ini langsung dihancurkan agar tidak digunakan lagi pada upacara kematian orang yang lain. Menurut Uwa Londong (70 tahun):

“Pintu itu diperuntukkan hanya untuk orang mati karena alam mereka berbeda, orang yang sudah berpindah alam harus melewati pintu yang tidak sama dengan pintu yang masih hidup. Setelah itu, jenazah yang digusung di atas keramba, di angkat sebanyak tiga kali, bermaksud apabila jenazah memiliki sangkutan atau utang yang belum di bayar, tujuannya tersebut buat keluarga untuk mengumumkan kepada orang-orang yang datang ke pesta”

 

Memandikan jenazah terdapat juga di budaya Bugis yang lainnya, begitu pula mengafani, mengusungnya ke kuburan. Perbedaan terlihat pada dari prasarana dan tata cara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. Jendela Rumah Yang

Dijadikan Tempat

Keluarnya Jenazah

Saat Ingin Dibawah Ke

Makam Pada

Komunitas Towani

Tolotang

 

 

(c) Bilampenni dan Mattampung

Bilampenni dan Mattampung dilaksanakan oleh orang Bugis sejak dulu, yaitu penyelenggaraan upacara selamatan dimulai sejak hari penguburan si jenazah dan dilanjutkan dengan pemotongan tedong atau kerbau. Ibu Ratna (47 tahun) meuturkan :

“Bilampenni adalah perhitungan hari bagi komunitas Towani Tolotang, yaitu syukuran yang dimulai pada hari pertama sampai hari ke-7, hari pertama sampai hari ke-21 bahkan sampai hari ke-60 bagi masyarakat biasa kecuali bagi pemangku ritual sampai 100 hari. Barulah ketika sudah mencapai malam ke tujuh komunitas Towani Tolotang melaksanakan upacara mattampung secara agama dan adat. Keluarganya memotong 1, 2 ekor tedong (kerbau) atau lebih di malam hari, tergantung kesanggupan keluarga si jenazah. Bagi keluarga yang tidak mampu membeli kerbau, cukup dengan memotong kambing atau ayam. Selanjutnya tedong itu di kelilingi oleh keluarga si jenazah sambil memengang satu lilin yang menyala dan berjalan memutari kerbau itu. Uwa pada saat itu, berada di dekat tedong, lalu melumuri kepala dengan minyak sambil mengusap-usap kepala tedong. Di belakang tedong, dekat ekor di gantungkan beberapa lappa-lappa’ yaitu beras ketan di masukkan ke dalam kelapa lalu digulung dan rebus. Barulah besok tedong baru di potong lalu di makan bersama-sama.”

 

Dalam proses malam tersebut, keluarga si jenazah menggunakan sarung dengan lengkap kopiah bagi laki-laki. Terdengar bacaan barasanji oleh keluarga dan kerabat dekat si jenazah. Pokok upacara seperti itu terlihat dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, juga dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa (Smith dalam Koentjaraingrat (2004:68))

Ritus upacara komunitas Tolotang ini sama dengan pandangan Hertz dalam Koentjraingrat (1987) menunjukkan bagaimana dalam rangka upacara kematian dari banyak suku-bangsa di dunia ada lima anggapan yang juga ada di belakang upacara inisiasi pada umumnya, yaitu:

  • Peralihan dari satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial yang lain adalah suatu masa krisis, suatu masa penuh bahaya gaib, tidak hanya bagi individu bersangkutan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat.
  • Jenazah dan juga semua orang yang ada hubungan dekat dengan orang yang meninggal itu, dianggap mempunyai sifat keramat (sacre’).
  • Peralihan dari satu kedudukan sosial ke suatu kedudukan sosial lain itu tak dapat berlangsung sekaligus, tetapi setingkat demi setingkat, melalui serangkaian masa antara yang lama.
  • Upacara inisiasi (salah satunya adalah upacara kematian) harus mempunyai harus mempunyai tiga tahap, yaitu tahap yang melepaskan si objek dari hubungan masyarakatnya yang lama, tingkat yang mempersiapkannya bagi kedudukannya yang baru, dan tingkat yang mengangkatnya ke dalam kedudukan yang baru.
  • Dalam tingkat persiapan dari masa inisiasi, si objek harus dikuatkan dengan berbagai upacara ilmu gaib.

Setelah upacara tersebut, barulah batu nisan diantarkan ke kuburan untuk di tanam dan cekko-cekko yang selama ini tetap terletak di atas kuburan, di buka dan digantikan dengan batu nisan. Hertz dalam Koentjraningrat (1987) memberi contoh upacara kematian memiliki tiga tingkat, mula-mula mayat di beri suatu pemakaman sementara. Kemudian ada suatu masa-antara yang biasanya berlangsung tiga hingga lima tahun, dalam waktu mana para kerabat dekat orang yang meninggal itu hidup dalam keadaan sacre’ (sifat keramat). Mereka harus mentaati beberapa pantangan, dan dilarang berhubungan dengan manusia lain kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Disamping itu mereka berkewajiban untuk memelihara roh orang yang meninggal itu, yang dalam jangka waktu itu dianggap masih tetap berada di sekitar tempat tinggal manusia. Jadi selama itu roh belum terlepas sama sekali dari kedudukan sosialnya yang lama diantara orang-orang di alam dunia. Kecuali dengan sajian, para kerabatnya juga harus melakukan berbagai upacara yang maksudnya memperkuat kesaktian roh itu, dan mempersipkannya untuk menempati kedudukannya yang baru nanti di dunia baka.

 

Upacara Kematian, Perbedaan Pandangan dan Nilai Integritas Dalam Beragama

(1). Upacara Kematian dan Perbedaan Pandangan

(a). Pandangan Ajaran Islam

Agama Islam memandang kelomok Towani Tolotang sebagai penyembah berhala, karena pusat kegiatan ritus mereka di makam seperti di Perrinyameng, Bacukiki dan Wani. Adapun pemimpin mereka yang dikenal dengan sebutan Uwa, Menurut pandangan orang Islam, Uwa melakukan pemerasan melalui ajaran kepercayaan. Sajian nasi dan lauk pauk yang diserahkan kepada Uwa dalam setiap acara orang Towani Tolotang tidak satu bakul tetapi sampai mencapai puluhan bakul sehingga biayanya cukup besar (Mudzhar, 18 tahun). Apabila ada orang Towani Tolotang yang bersengketa tanah warisan, maka Uwa yang bertugas mendamaikan perselisihan itu dan mendapat bagian tanah dari tanah itu. Sehingga tidak heran kalau tanah atau luas sawahnya selalu bertambah setiap tahun dan menjadikan Uwa bertambah kaya. Proses kematian dalam komunitas Towani Tolotang menurut orang Islam bertentangan dengan agama Islam kecuali memandikan jenazah, di sholati lalu di umumkan kepada semua orang mengenai utang si jenazah. Menurut Sukri (40 tahun),  ritual kematian itu hanya sebuah budaya.Penduduk yang beragama Islam datang melayat ke rumah orang Towani Tolotang dan sebaliknya yang di dasari dengan adanya hubungan kekeluargaan, antara tetangga, dan toleransi antar umat beragama. Kalau pengambilan keputusan Towani Towani Tolotang berdasarkan Uwa dibandingkan dengan Towani Tolotang Benteng dimana kadang dalam setiap keputusannya di putuskan oleh Imam.

Menurut pandangan Islam, ajaran Towani Tolotang tidak sesuai dengan ajaran mereka dan Towani Tolotang tidak mau di samakan dengan Islam. Namun dalam komunitas Towani Tolotang terdapat konsep pada idi yang mengandung nilai kebersamaan, kegotong royongan, tolong menolong karena persatuan, hal itulah yang membuat komunitas ini tetap bertahan. Sebagian pemeluk agama Islam di Amparita juga melakukan mengeluarkan mayat untuk dimakamkan melalui jendela bukan pintu karena budaya.

Kekuatan Uwa sangat besar, penganut Towani Tolotang percaya Uwa akan menanggung semua kesalahan mereka. Informasi mengenai Towani Tolotang tidak bisa diberikan oleh   warga biasa (Sukri, 40 tahun). Pandangan Islam dalam upacara kematian komunitas Towani Tolotang, khususnya mattampung yakni pemotongan kerbau, Islam memandang setiap hewan yang hendak dimakan kecuali ikan dan belalang, haruslah disembeli dahulu atas nama Tuhan (Allah Swt). Masyarakat Towani Tolotang menjadikan hewan tersebut sebagai persembahan di makam, bukan karena Tuhan, sehingga daging yang dipotong sebagai penyembahan di makam tidak dinilai terlarang dimakan oleh orang Islam (Mudzhar, 2002: 183). Ketidaksediaan orang Islam memakan daging sembelihan orang Towani Tolotang pada tingkat tertentu memperlihatkan upaya mempertahankan hubungan sosiala antara orang Islam dengan orang Towani Tolotang, apabila orang Islam tetap hadir di tiap ritual komunitas Towani Tolotang. A. Makkasau (52 tahun) mengatakan :
“ Dari segi kepercayaan, Islam memandang Towani Tolotang tidak menyembah Tuhan yang murni karena mereka juga meminta-minta kepada kuburan, dalam ajaran Islam hal itu tidak sesuai. Istilah itu sering disebut sebagai “sesajen” yang biasanya berisi sokko (terbuat dari beras ketan), ayam, telur, dan jenis makan lain. Menurut komunitas Towani Tolotang, orang sudah meninggal telah berada pada masa peralihan dari dunia ke alam baka.”

 

Sebagai salah seorang penganut Durkheim, Hertz dalam Koentjraningrat (1987) menganggap bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya, yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian analisa terhadap upacara kematian harus lepas dari perasaan pribadi para pelaku upacara terhadap orang yang meninggal, dan harus dipandang dari sudut gagasam kolektif dalam masyarakat tadi. Gagasan kolektif mengenai gejala kematian adalah bahwa mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu kedudukan sosial yang lain, ialah kedudukan sosial dalam dunia ini ke suatu kedudukan sosial dalam dunia mahluk halus.

Ada kemiripan dalam upacara kematian antara ajaran Islam dengan ajaran komunitas Towani Tolotang. Kedua ajaran ini sama-sama mengadakan prosesi mattampung, namun Towani Tolotang tidak ada tahapan mengaji secara bersamaan sementara di dalam ajaran Islam mengaji al-qur’an pada saat acara mattampung. Sebagaimana penuturan Hj. Lemmpeng (50 tahun). Dalam hal ini Ibu Ratna (47 tahun) berpendapat bahwa :

“Kalau melihat ajaran orang Towani Tolotang, menurut saya, kita tetap memegang ajaran masing-masing. Begitu juga mereka, kita harus menghargainya melakukan kepercayaan mereka sendiri. Siapa kita, siapa mereka”

 

Dalam hal lain terdapat pendapat tentang eksistensi Towani Tolotang. Menurutnya, ada tiga hal yang menjadi pegangang Towani Tolotang untuk bertahan, yaitu ajaran yang bersifat mistik, masyarakat Towani Tolotang biasa (bukan Uwa atau petinggi yang lain) tidak diperkenankan untuk membuka kitab ajaran mereka dan tidak diperkenankan (masyarakat biasa Towani Tolotang) untuk banyak mempertanyakan perihal kepercayaan mereka, kecuali yang akan melanjutkan kepemimpinan komunitas ini.

 

(b). Pandangan Ajaran Tolotang Benteng

Towani Tolotang Benteng di pimpin oleh seorang Imam, mereka juga sembahyang sama seperti Agama Islam bahkan shalat di Masjid. Dalam upacara kematian pada komunitas Towani Tolotang, dalam acara matampu’, Uwa membersihkan dan menyapu. Dalam memotong tedong (kerbau), ada yang dibantu oleh orang yang beragama Islam, mereka memotong tedong dan pinang. Ajaran Tolotang Benteng menjadikan Islam sebagai payung mereka (Wa Soenarto, 50 tahun). Menurut orang Tolotang Benteng, para Uwa di komunitas Towani Tolotang saat ini sudah menyalahi janjinya dulu, mereka memprlakukan dirinya seperti Raja, sedangkan pada zaman dahulu mereka hanyalah penjaga rumah raja yang harus diperkenankan berdiri pada tangannya. (Mudzhar, 2002:182). Ritus upacara komunitas Tolotang ini sama dengan pandangan Hertz dalam Koentjraingrat (1997) menunjukkan bagaimana dalam rangka upacara kematian dari banyak suku-bangsa di dunia ada lima anggapan yang juga ada di belakang upacara inisiasi pada umumnya. Seperti (1) anggapan bahwa peralihan dari satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial yang alin adalah suatu masa krisis, suatu masa penuh bahaya gaib, tidak hanya bagi individu bersangkutan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat. (2) anggapan bahwa jenazah dan juga semua orang yang ada hubungan dekat dengan orang yang meninggal itu, dianggap mempunyai sifat keramat (sacre’). (3) anggapan bahUwa peralihan dari satu kedudukan sosial ke suatu kedudukan sosial lain itu tak dapat berlangsung sekaligus, tetapi setingkat demi setingkat, melalui serangkaian masa antara yang lama. (4) anggapan bahwa upacara inisiasi harus mempunyai harus mempunyai tiga tahap, yaitu tahap yang melepaskan si objek dari hubungan masyarakatnya yang lama, tingkat yang mempersiapkannya bagi kedudukannya yang baru, dan tingkat yang mengangkatnya ke dalam kedudukan yang baru. (5) anggapan bahUwa dalam tingkat persiapan dari masa inisiasi, si objek harus dikuatkan dengan berbagai upacara ilmu gaib.

Hertz dalam Koentjraningrat (1987) memberi contoh upacara kematian memiliki tiga tingkat, mula-mula mayat di beri suatu pemakaman sementara. Kemudian ada suatu masa antara yang biasanya berlangsung tiga hingga lima tahun, dalam waktu mana para kerabat dekat orang yang meninggal itu hidup dalam keadaan sacre’ (sifat keramat). Mereka harus mentaati beberapa pantangan, dan dilarang berhubungan dengan manusia lain kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Disamping itu mereka berkewajiban untuk memelihara roh orang yang meninggal itu, yang dalam jangka waktu itu dianggap masih tetap berada di sekitar tempat tinggal manusia. Jadi selama itu roh itu belum terlepas sama sekali dari kedudukan sosialnya yang lama diantara orang-orang di alam dunia. Kecuali dengan sajian, para kerabatnya juga harus melakukan berbagai upacara yang maksudnya meperkuat kesaktian roh itu, dan mempersiapkan roh tersebut untuk menempati kedudukannya nanti di dunia baka. Pandangan Tolotang Benteng dalam ajaran Towani Tolotang yaitu , Towani Tolotang adalah penduduk asli Amparita menurut kisah sejarahnya.(A. Makkasau, 52 tahun).

 

(c). Pandangan Ajaran Towani Tolotang

Towani Tolotang memandang Islam sebagai ajaran yang selalu menekan kelompoknya dan berusaha agar meninggalkan kepercayaannya untuk masuk Islam. Orang Islam dianggap sebagai pengganggu kepercayaan orang lain dan mau berbuat kekerasan terhadap orang lain. Komunitas Towani Tolotang mempercayai adanya Tuhan Yang Satu atau Dewata Seuawe. Mereka juga percaya akan terjadinya hari kiamat yang akan mengantarkan manusia ke periode berikutnya di hari kemudian yang disebut dengan Lino Peimeng, namun tidak percaya dengan neraka (Mudzhar, 1998: 148), karena segala sesuatunya ditanggung oleh Uwa. Bagi mereka kehidupan ini adalah kehidupan kedua yang sebelumnya pada masa Sawerigading dipercaya kalau dia adalah cucu kedua Patotoe selaku pemilik alam raya ini.

Kepecayaan komunitas ini mengakui adanya Molalaleng yang berarti kewajiban yang harus dijalankan sebagai pengabdian kepada Dewata Seuwae. Kewajiban-kewajiban itu ditunjukkan melalu beberapa prosesi ritus yang sakral seperti Mappenre Inanre, Tudang Sipulung, dan Sipulung dengan kepercayaan bahwa besar-kecilnya pastisipasi mereka terhadap kewajiban-kewajiban tersebut mempengaruhi bagian mereka di kemudian nanti (Mudzhar, 2001:150). Bagi Masyarakat Towani Tolotang, ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam setahun mengambil tempat di Perrinyameng yang merupakan lokasi kuburan I Pabbere. Kelengkapan ritual masyarakat Towani Tolotang termasuk kewajiban membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk, yang diyakini sebagai bekal di hari kemudian. Sehingga semakin banyak sesajian yang dibawa, akan semakin banyak pula bekal yang akan dinikmati di hari kemudian. Hal ini tergolong sebagai wujud dari sistem ritus dan upacara melalui aktifitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek-moyang atau mahluk halus lain, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya itu. Tergantung dari isi acaranya, suatu ritus atau upacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua atau beberapa tindakan, seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari, dan menyanyi, berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa intoxikasi, bertapa dan bersemadi (Koentjraningrat, 1997:201-210).

Berbagai bentuk ritus upacara ini sejalan dengan pengokohan dengan norma-norma sosial yang turut menertibkan dan mengatur sistem sosial, sebagaimana yang tercantum dalam GBHN 1978 bahwa :

“Nilai budaya Indonesia terus dibina dan dikembangkan guna memperkuat kepribadian bangsa mempertebal rasa harga diri dan kebangsaan nasional serta memperkokoh jiwa persatuan nasional”.

 

Ritual Sipulung ini dilakukan dengan maksud berkumpul bersama setahun sekali diatas kuburan I. Pebbere di Perrinyameng, biasanya setelah panen sawah tadah hujan. Bila hari sudah ditentukan, maka datanglah komunitas Towani Tolotang ini dengan berbondong-bondong ke Perrinyameng dengan berjalan kaki dan tidak menggunakan alas kaki. Kecuali para undangan membawa perbekalan makanan untuk diserahkan kepada Uwa, misalnya pejabat pemerintah, dan pengunjung lainnya yang bukan penganut Towani Tolotang.

Menurut Koentjaningrat (2002:378), dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana dan peralatan, seperti: tempat atau gedung pemujaan (masjid, langgar, gereja, pagoda, stupa, dan lain-lain), patung dewa, patung orang suci, alat bunyi-bunyian suci (orgel, gendering suci, bedug, gong, seruling suci, gamelan suci, lonseng dan lain-lain), dan para pelaku upacara seringkali harus mengenakan pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat suci (jubah pendeta, jubah biksu, mukenah dan lain-lain). Selain berkunjung ke makam, komunitas ini juga menggunakan daun siri dan talas ditiap prosesi ritual mereka. Dengan mengenakan kemeja putih panjang, sarung dan kopiah di atas kepala dicirikan untuk laki-laki, sedang bagi pihak wanita sendiri biasanya menggunakan kebaya dan sarung, umunya mereka tidak menggunakan alas kaki. Leluhur mereka telah memperlihatkan satu komitmen yang kuat dalam mempertahankan kepercayaan ini karena menurut sejarah Wajo salah satu leluhurnya rela melepaskan sebagian hal keduniaannya demi untuk mempertahankan tentang apa yang telah diwahyukan.

Sebagaimana perjelasan Uwa Soenarto (50 tahun) saat diwawancari di kediaman beliau, terdapat empat patokan yang dipegang kuat dan menjadikan komunitas ini mampu bertahan, yakni lempu’ (jujur) tetteng (konsisten), tongeng (benar, menyakini apa yang ditradisikan) dan temma passidengeng (tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain). Lempu’ (jujur) dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu lempu lauli nyaewe yang artinya jujur kepada diri sendiri, lempu lo ripadatta ri patau yang artinya jujur kepada orang lain, lempu lao seo-seopabungge artinya jujur kepada ciptaan Yang Maha Kuasa, dan lempu lao ri bonu yang artinya jujur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Untuk tetteng atau konsisten artinya konsisten dengan apa yang telah diamanahkan, telah ditradisikan dipegang kuat. Menyakini apa yang telah diwahyukan, diberikan, ditradisikan dan apa yang telah dilakukan secara turun-temurun menyakini keberadaannya. Serta yang terakhir temma passidengeng artinya tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya.

Hal itu juga yang menandakan ciri khas mereka, dimana siapa saja yang lahir dan tumbuh besar di keluarga Towani Tolotang, maka Ia harus tunduk dan patuh terhadap ajarannya tersebut, tanpa banyak Tanya karena sesungguhnya sebagai manusia biasa tidaklah diperbolehkan mempertanyakan persoalan keyakinan mereka. Cukup mereka ikuti saja segala perintah dari Uwa sebagai penghubung dengan Dewata Seuwae. Komunitas Tolotang Towani bukanlah persoalan agama, melainkan tentang budaya. Umumnya, mereka sulit menerima orang Islam untuk di temani bicara soal keyakinan karena mereka memegang kuat keyakinannya sendiri.

 

(2). Toleransi dan Integritas Umat Beragama

Perbedaan ajaran atau keyakinan adalah hal yang cukup sensitif dan dapat memicu perpecahan antar kelompok keyakinan. Namun, di sisi lain, terdapat pula nilai-nilai budaya yang membuat kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dapat berjalan secara berdampingan. Bukan hanya dalam pergaulan sehari-hari, namun yang lebih menarik adalah pada saat pelaksanaan upacara kematian itu sendiri. Di satu sisi, umat Islam maupun umat lain yang tidak “sepakat” dengan kepercayaan dan praktik ritus kematian komunitas Towani Tolotang, memandang hal tersebut adalah sesuatu yang sangat berntentangan dengan ajaran mereka, di sisi lain, mereka pun turut serta dalam upacara kematian yang berlangsung, bahkan sebagian dari umat Islam sendiri melakukan praktik yang hampir menyerupai dengan upacara kematian komunitas Towani Tolotang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sukri (40 tahun) :

“Ritual kematian itu hanya sebuah budaya. Hubungan antara muslim dengan Towani Tolotang terlihat pada upacara-upacara tradisional salah satunya upacara kematian, seperti muslim datang melayat ke rumah orang Towani Tolotang dan sebaliknya. Hubungan itu didasari dengan adanya hubungan kekeluargaan, pertetanggaan, toleransi antar umat beragama.”

 

Alasan mereka (muslim) membantu Towani Tolotang karena aspek tetangga dan keluarga. Islam di Amparita dan sekitarnya dari dulu hingga sekarang tetap sama, tidak ada yang berubah. Berbeda dengan pengambil keputusan Towani Tolotang yang dilakukan oleh Uwa, Towani Tolotang Benteng setiap keputusannya diputuskan oleh Imam. Menurut pandangan Islam, ajaran Towani Tolotang tidak sesuai dengan ajaran mereka sehingga tidak mau disamakan dengan Islam. Namun dalam komunitas Towani Tolotang terdapat konsep pada idi yang mengandung nilai kebersamaan, kegotong royongan, tolong menolong karena persatuan, hal itulah yang membuat komunita ini tetap bertahan. Ibu Ratna (47 tahun) menyatakan  :

“ Kalau melihat ajaran orang Towani Tolotang, menurut saya, kita tetap memegang ajaran masing-masing. Begitu juga mereka, kita harus menghargainya melakukan kepercayaan mereka sendiri. Siapa kita, siapa mereka.

 

PENUTUP

Upacara untuk menghormati dan mensucikan sang Tuhan Yang Satu Dewata Seuwae merupakan wujud kearifan lokal komunitas Towani Tolotang yang dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat yang dan tidak diakui sebagai agama yang diresmikan oleh pemerintah, memiliki pemahaman bahwa adanya kecenderungan untuk menyembah sesuatu yang berada di luar diri, alam semesta melalui pensucian dan pelestarian upacara-upacara tradisional. Hal ini dapat kita lihat pada upacara kematian yang terbagi menjadi tiga tahapan. Dimulai dari persiapan upacara dari penyediaan peralatan, prosesi permandian dan penguburan dengan daun siri dan talas, Bilampenni dan mattampung dengan menentukan hari-hari menyelenggarakan potong tedong atau kerbau serta mengadakan pembacaan barsanji. Prosesi yang hampir sama dengan Ajaran Islam ini merupakan warisan nenek moyang mereka, mengingat Amparita adalah daerah Bugis yang terletak di Sidendreng Rappang bagian dari tempat penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.

Agama Islam memandang kelompok Towani Tolotang sebagai penyembah berhala dan termasuk musyrik, karena pusat kegiatan ritus mereka di makam setiap tahunnya. Sebaliknya, Towani Tolotang memandang Islam sebagai kelompok yang selalu menekan kelompoknya dan berusaha agar meninggalkan kepercayaannya dan masuk Islam. Orang Islam dianggap sebagai pengganggu kepercayaan orang lain dan mau berbuat kekerasan terhadap orang lain. Namun Hubungan antara muslim dengan Towani Tolotang di Amparita dan sekitar sangatlah baik terlihat pada upacara kematian, seperti muslim datang melayat ke rumah orang Towani Tolotang dan sebaliknya. Hubungan itu didasari dengan adanya hubungan kekeluargaan, pertetanggaan, toleransi antar umat beragama. Yang tak terpisahkan dengan konsep pada idi seperti kebersamaan, kegotongroyongan, tolong menolong yang membuat Towani Tolotang tetap bersatu.

Berbeda halnya dengan orang Islam, menurut orang Tolotang Benteng, para Uwa di komunitas Towani Tolotang sekarang sudah menyalahi janjinya dulu, mereka memeperlakukan dirinya seperti Raja, sedangkan pada zaman dahulu mereka hanyalah penjaga rumah raja yang harus diperkenankan berdiri pada tangannya. Mengingat ajaran komunitas Tolotang Benteng adalah perpaduan antara Towani Tolotang dengan Islam, namun kenyataannya Tolotang Benteng tidak mau disebut sebagai Towani Tolotang. Dan Towani Tolotang memandang merekalah penduduk asli Amparita menurut kisah sejarahnya. Namun, rupanya perbedaan-perbedaan tersebut, sekali lagi, dalam praktek kehidupan sehari-hari, seakan-akan bukan merupakan suatu persoalan. Pada tataran konsep, mereka sangat berbeda, namun dalam praktiknya, mereka terlihat sebagai suatu masyarakat yang rukun satu sama lain.

Berbagai keyakian yang dilakukan komunitas Towani Tolotang (akan suatu keseluruhan yang kompleks) mengenai pengetahuan yang teraplikasi dalam tindakan lalu membentuk kebudayaan yang dijadikan milik bersama dalam waktu cepat maupun lambat dapat terlihat dari berbagai ritus upacara-upacara tradisional di Amparita. Aplikasi dari wujud keyakinan tersebut dapat dilihat dari penyelenggaraan upacara sebagai salah satu kegiatan yang berguna untuk mengungkapkan emosi keagamaan yang telah dianut oleh masyarakat Towani Tolotang. Upacara kematian ini berfungsi untuk mengukuhkan norma-norma dan nilai-nilai budaya. Mengikuti jalannya upacara, akan memperoleh kekhidmatan dan memperoleh makna yang dikandung oleh simbol-simbol upacara, sebab hampir semua kebudayan (termasuk upacara kematian) di tanah air ini terinspirasi dari nilai dan gagasan yang berakar dari kepercayaan yang hidup dalam masyarakat.

Apalagi hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengembalikan identitas budaya kita dengan serangkai kebijakan dalam perundang-undangan seperti salah satunya yang bertujuan untuk mengangkat norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya sebagai suatu kegiatan dalam rangka memelihara warisan budaya bangsa guna menjadi ramuan menuju pembentukan kepribadian bangsa melalui kebudayaan dari upacara kematian yang lahir di komunitas Towani Tolotang. Agar sesuai dengan upaya membina nilai budaya dan dikembangkan guna memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan kebangsaan nasional serta memperkokoh jiwa kesatuan nasional, yang terdapat dalam GBHN tahun 1978 dalam (Depdikbud: 1992-1993).

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Badan Pusat Statitstik. Kabupaten Sidendreng Rappang Kecamatan Tellu Limpoe Dalam Angka tahun 2011.

 

Ibrahim. 1993. Menggali butir-butir pengenalan terhadap mandar. Makassar

 

Koenjtraningrat. 1897. Pengantar Ilmu Antropologi. PT. RINEKA CIPTA: Jakarta (cetakan ketiga).

 

——————- 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. PT. RINEKA CIPTA: Jakarta (cetakan kedelapan).

 

Koenjtraningrat. 1987. Pengantar Ilmu Antropologi II Pokok-Pokok Etnografi. PT. RINEKA CIPTA: Jakarta (cetakan ketiga).

 

Koentjraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hadikusuma, Hilman. Prof. S. H. 1983. Antrpologi Agama Bagian I. Bandung: PT Citra Adytia Bakti.

 

Laporan Profil Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Lompoe Pemerintah Kabupaten Sidendreng Rappang Tahun 2010

 

Rahman Patji, Abdul 2004. Meneliti Agama Lokal Bagian I.  UI : Jakarta

 

Mudzhar, Atho. H. Dr. pendekatan studi islam dalam teori dan praktek. Cetakan IV. Pustaka Pelajar: Yogjakarta.

 

Upacara Tradisional (Upacara Kematian). 1992-1993. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Departemen pendidikan dan kebudayaan direktorat jenderal kebudayaan balai kajian sejarah dan nilai tradisional Selawesi Selatan.