Dari Kabupaten Selayar Ke Kabupaten Kepulauan Selayar (Perspektif Maritim dalam Memahami Perubahan Orientasi Pemerintah Daerah Selayar di Era Otonomi Daerah)

DARI KABUPATEN SELAYAR

KE KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

(Perspektif Maritim dalam Memahami Perubahan Orientasi Pemerintah Daerah Selayar di Era Otonomi Daerah)

 

FROM SELAYAR REGENCY TO SELAYAR ARCHIPELAGO

(Maritime Perspective in Understanding Changes in Selayar Local Government’s Orientation in Local Autonomy Era)

 

  1. THAMRIN MATTULADA

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Makassar, 2017

 

Abstract

This article focusing it’s study on maritime historical perspective in understanding modification made in the change of name of Selayar Regency into Regency of Selayar Archipelago. Maritime perspective uses to understand the social-historical dynamics on the local level in post-reform era. Dynamics in changing the name Selayar Regency to Selayar Archipelago indded cause pro and cons. But the most important part of the process is the emerge of historical conscious of the people of Selayar to restrore “maritime glory” of the past. By doing so, maritime history can change the viewpoint which is not considered objective about area or region if seen geographically, as well as historical consciousness. Just as how Selayar Regency known all this time as an agricultural region even though geographically, most of it’s area is an archipelago/seas.

Keyword: Maritime Perspective, Maritime Regency, Archipelago Regency

 

ABSTRAK

Artikel ini memfokuskan kajiannya pada perspektif sejarah maritim dalam memahami perubahan nama kabupaten Selayar menjadi kabupaten Kepulauan Selayar. Perspektif maritim digunakan untuk memahami dinamika sosial historis pada tingkat lokal pasca reformasi. Dinamika dalam proses perubahan nama kabupaten Selayar menjadi kabupaten Kepulauan Selayar tentu saja menimbulkan sikap pro dan kontra. Tetapi yang lebih penting dipahami dalam proses tersebut adalah munculnya kesadaran historis masyarakat Selayar untuk mengembalikan “kejayaan maritim” di masa lalu. Dengan demikian sejarah maritim dapat mengubah pandangan yang kurang sesuai dengan pandangan obyektif terhadap suatu daerah atau wilayah yang jika dilihat secara geografi, maupun berdasarkan kesadaran historis. Seperti kabupaten Selayar yang selama ini lebih dikenal sebagai daerah agraris padahal secara geografi sebagian besar wilayahnya adalah laut/kepulauan.

Kata Kunci : Persfektif Maritim, Kabupaten Maritim, Kebupaten Kepulauan.

 

PENDAHULUAN

Pada Desember 1996, Kantor Arsip Nasional Cabang Sulawesi Selatan menyelenggarakan sebuah Seminar Internasional dengan tema “Masyarakat, Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan. Seminar ini dihadiri oleh Sejarawan dan Antropolog terkemuka dari berbagai belahan dunia di antaranya adalah Katheryn Robinson, Christian Pelras, Ian Caldwell, C.C. Macknight, Helen Ceperkovic, David Bulbeck, Horst H. Liebner, Jennifer W. Nourse, Elizabeth Morrel, Jackie Alder Linda, Linda Chistianty dan Anton Lucas.

Salah satu pemakalah utama dalam seminar tersebut adalah Chistian Pelras, seorang antropolog yang berkebangsaan Prancis menyajikan makalah dengan tema “Budaya Bugis: Sebuah Tradisi Modernitas”. Pertanyaan menggelitik yang diajukan Pelras dalam makalah tersebut adalah benarkah masyarakat Sulawesi Selatan adalah masyarakat pelaut atau masyarakat bahari? Bagi Pelras anggapan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan adalah masyarakat bahari adalah salah satu anggapan utama yang terus menerus dihidupkan dan tidak hanya orang luar daerah ini saja, tetapi juga orang Sulawesi Selatan sendiri (Abd. Latif dkk: Makassar, 2001, hlm.142). Anggapan tersebut tidak pernah diuji, tetapi terus-menerus dipertahankan, dan tentu saja memiliki banyak “bahaya”. Namun, “bahaya” yang terbesar dari anggapan ini adalah kenyataan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan terutama masyarakat petani, khususnya petani tanaman pangan (Lihat, Dias Pradadimara dkk, Yogyakarta: 2004, hlm.vii-xix).

Tentu saja kita bisa berbeda pendapat dengan penyataan-pernyataan Pelras  tersebut, akan tetapi dalam realitasnya dari sekian banyak makalah yang dipresentasikan pada seminar tersebut, hanya empat dari empat belas makalah yang bersentuhan dengan maritim. Selebihnya adalah membahas tentang politik, sosial dan budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang bersentuhan dengan “budaya agraris” seperti yang disebutkan oleh Pelras (Kathryn Robinson dkk:  Makassar 2005).

Akan tetapi, diantara makalah-makalah yang membahas “maritim”, dua diantaranya membahas tentang Kabupaten Selayar yakni: Hors H. Leibner, tema “Empat Versi Lisan Cerita Leluhur Orang Bajo di Selayar Selatan”, dan Jackie Alder dan Linda Christiaty, “Taka Bonerate: Membangun Strategi Pengelolaan Sumber Daya Laut Berbasis Masyarakat”. Dalam berbagai kajian tentang Sulawesi Selatan, khususnya tentang Selayar yang dikenal sebagai daerah kepulauan pun, kadang-kadang dikategorisasikan sebagai daerah “agraris”, baik oleh peneliti-peneliti dari luar, maupun oleh peneliti dalam negeri sendiri.[1]

Jika demikian adanya, maka tidak heran jika penelitian ilmu-ilmu sosial, budaya dan sejarah akhir-akhir ini terkadang “sulit” memberikan jalan keluar atas berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini. Misalnya persoalan-persoalan menjelang dan pasca reformasi yang berkaitan dengan separatisme, disintegrasi bangsa dan hubungan pusat -daerah.

Untuk memecahkan persoalan-persoalan bangsa tersebut dibutuhkan perspektif baru yang mampu menjembatani hubungan antar wilayah, kesatuan sosial politik yang lebih adil. Dalam hubungan itu akar-akar sosial, politik, ekonomi dan budaya yang menjadi landasan hubungan antar wilayah. Kajian historis terhadap persoalan ini sangat penting untuk dilakukan, khususnya bidang sejarah Maritim (M. Djuliati Soroyo, dkk:Makassar 2007, hlm.2).  Mengingat studi sejarah Indonesia hingga sekarang lebih banyak mementingkan peristiwa yang terjadi di darat, walaupun sesungguhnya lebih dari separuh wilayah Republik Indonesia terdiri dari laut. Ini suatu petunjuk bahwa cukup banyak orang Indonesia menggantungkan diri secara langsung atau pun langsung pada laut.

Pendekatan sejarah maritim Indonesia hendaknya melihat seluruh wilayah perairannya sebagai pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah itu. Dalam perkembangannya tingkat integrasi bisa berbeda-beda baik secara geografis maupun secara politis, ekonomis, sosial dan kultural.

Sejak tahun 2006 pemerintah Kabupaten Selayar mengajukan permohonan persetujuan kepada DPRD Kabupaten Selayar mengenai perubahan nama Kabupaten Selayar menjadi Kabupaten Maritim Selayar. Pembahasan permohonan antara pemerintah daerah dan DPRD melahirkan keputusan DPRD Kabupaten Selayar Nomor 09 Tahun 2006 tanggal 17 Nopember 2006 tentang Persetujuan DPRD terhadap perubahan nama Kabupaten Selayar menjadi Kabupaten Maritim Selayar.

Selanjutnya Pemerintah Kabupaten Selayar mengusulkan perubahan nama tersebut kepada Meteri Dalam Negeri. Berdasarkan usulan tersebut Menteri Dalam Negeri menyarankan perlunya rekomendasi dari Gubernur Sulawesi Selatan. Kemudian Bupati Kabupaten Selayar memohon dukungan perubahan nama Kabupaten Selayar menjadi Kabupaten Maritim Selayar kepada Gubenur Sulawesi Selatan. Melalui surat Nomor 135/896/OTODA tanggal 26 Februari 2006, Gubernur Sulawesi Selatan meminta persetujuan kepada Menteri Dalam Negeri di Jakarta untuk mengabulkan perubahan nama Kabupaten Selayar untuk dapat diproses.

Pada perkembangan selanjutnya, setelah melalui kajian terminologis dan etimologis oleh Pakar Toponimi dan Kelautan, nama maritim tidak layak digunakan sebagai nama rupabumi, karena maritim hanyalah program yakni kegiatan pembangunan yang terkait dengan laut. Disamping itu sesuai Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, tidak dikenal adanya Negara Maritim melainkan Negara Kepulauan.[2]Dengan demikian, maka nama Kabupaten Selayar selanjutnya diusulkan diubah menjadi Kabupaten Kepulauan Selayar.[3]

Keinginan untuk mengubah nama Kabupaten Selayar pada dasarnya diilhami oleh keinginan masyarakat dengan melihat faktor kondisi geografis, dimana hal tersebut menjadi visi Kabupaten Selayar yaitu “Terwujudnya Selayar Sebagai Kabupaten Maritim yang Mapan, Mandiri dan Berkelanjutan”. Visi tersebut telah dituangkan dalam Pola Dasar Pembagunan Daerah Kabupaten Selayar Tahun 2002-2006 dan dijabarkan dengan Program Pembagunan Daerah Tahun 2002-2006 dan Rencana Strategis (Renstra) Kabupaten Selayar Tahun 2003-2006. berangkat dari visi tersebut, maka muncullah ide untuk merubah nama Kabupaten Selayar menjadi Kabupaten Maritim Selayar.

 

METODE PENELITIAN

Metode penelitian berasal dari kata “metode” yang bermakna cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, dan “logos” bermakna ilmu atau pengetahuan. Jadi metodologi dapat diartikan sebagai cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Adapun “penelitian” adalah suatu kegiatan untuk mecari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya. Penelitian bermaksud untuk memperoleh pengetahuan baru untuk menambah pengetahuan yang telah ada. Proses yang dimaksud ialah proses yang bersistem atau yang disebut sebagai saintifik, bukannya proses yang membentuk  perasaan. Penyelidikan mempunyai tujuan untuk menerangkan, meramal dan mengamati fenomena dengan mengandaikan sebagai tingkah laku dan peristiwa yang terjadi secara teratur dan konsisten. Oleh sebab itu dalam proses menuju tujuan saintifik tersebut, ilmu tentang masalah yang diteliti perlu diperoleh melalui berbagai sumber. Di antaranya  yang bersumber dari pengalaman, deduksi, induksi, serta kaedah saintifik lainnya. Sehubungan dengan itu, kajian ini memamfaatkan metode sejarah yang dianggap bersesuian dalam melakukan penelitian ini.

Tahap awal penelitian ini adalah penelusuran data atau sumber dalam ilmu sejarah disebut heuristic. Penelusuran sumber pertama-tama dilakukan di perpustakaan-perpustakaan di Kota Makassar, seperti: Perpustakaan BPNB, Perpustakaan Wilayah Sulawesi Selatan, Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin, Perpustakaan Gubernur Sulawesi Selatan, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin dan Koleksi Koran Fajar di Perpustakaan Yusuf Kalla di Kantor Harian Fajar.

Selanjutnya penelitian lapangan dilakukan di Kabupaten Kepulaun Selayar, yakni di DPRD Kabupaten Kepulauan Selayar, Kantor Bapeda Kabupaten Kepulauan Selayar, Kantor Bupati Kabupaten Kepulauan Selayar. Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kepulauan Selayar, Kantor Badan Perwakilan Statistik (BPS) Kabupaten Kepulauan Selayar, dan Instansi yang terkait. Selama penelitian lapangan di Kabupaten Kepulauan Selayar yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah wawancara dengan informan “kunci” yang berkaitan langsung dengan kajian ini.

Penelusuran sumber dilanjutkan di Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan. Sumber arsip sebagai pendukung kajian ini antara lain: Inventaris Arsip Kabupaten Kepulauan Selayar, Inventaris Arsip (Rahasia) Propinsi Sulawesi 1946-1960), Inventaris Arsip Pemerintah Propinsi Sulawesi 1950-1960, dan Inventaris Arsip (Rahasia) Propinsi Sulawesi Selatan Tenggara (Sulselra) Propinsi Sulawesi Selatan), dan Memorie Van Overgave Der Onderafdeling Saleier J. Van Bodegom.

Setelah berbagai sumber baik primer maupun sekunder telah dikumpulkan, selanjutnya yang dilakukan adalah memilih dan memilah berbagai data yang ada. Proses ini dalam ilmu sejarah dikenal dengan kritik sumber. Karena kajian ini menggunakan koran, arsip dan wawancara sebagai sumber utama, maka proses seleksi mutlak untuk dilakukan. Proses seleksi sumber ini dilakukan dengan cara membandingkan (komparasi) antara sumber yang satu dengan sumber yang lain, yang bertujuan untuk mendapatkan data yang lebih valid.

Setelah kritik sumber dan interpretasi data dilakukan, barulah sampai pada tahap penulisan. Dengan demikian, penelitian ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian sejarah, yang dimulai dengan tahap pencarian sumber, kritik sumber, interpretasi data dan penulisan laporan. Dengan menggunakan metode ini, diharapkan dapat menghasilkan sebuah tulisan sejarah yang ilmiah dan bukan hanya sekedar deretan fakta.

 

PEMBAHASAN

Menakar “Potensi Maritim”Kabupaten Selayar

 

Meskipun memiliki wilayah lautan yang sangat luas, akan tetapi sektor kelautan dan perikanan tidak memberi konstribusi yang signifikan terhadap perekonomian kabupaten Kepulauan Selayar. Bahkan sebaliknya, sektor pertanian adalah sektor andalan kabupaten ini. Tidak jauh berbeda dengan kabupaten lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan yang mengandalkan sektor agraris, kabupaten Kepulauan Selayar yang selama ini dikenal sebagai daerah “kepulauan” juga masih mengandalkan sektor agraris.

Penelitian Sukirman A. Rahman pada tahun 1994/1995 menguatkan pendapat yang menyebutkan bahwa Kabupaten Selayar adalah daerah agraris. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan data yang menyebutkan bahwa pada tahun 1984/1985 sekitar 85 persen penduduk Kabupaten Selayar bekerja di Sektor Pertanian (perkebunan, pertanian sawah) dan 15 persen sisanya bekerja di Sektor Perdagangan, Perindustrian dan usaha-usaha lainnya (Sukirman A. Rahman: Ujung Pandang, 1994/1995, hlm. 36-37). Sektor pertanian yang banyak menampung tenaga kerja yang dimaksudkan adalah sektor perkebunan. Jenis tanaman yang paling banyak ditanam oleh masyarakat saat itu adalah kelapa dengan luas sekitar 13.823,85 ha, kemudian menyusul jenis tanaman pala 751,86 ha, cengkeh 583,46 dan jambu mente 462,10 ha (Sukirman A. Rahman: Ujung Pandang, 1994/1995, hlm. 37).

Sedangkan kegiatan usaha di sektor perikanan laut di tahun 1994/1995 masih menggunakan alat tangkapan yang sederhana, namun sudah ada beberapa diantaranya yang menggunakan mesin sebagai penggerak perahu yang digunakan sebagai sarananya. Pengadaannya antara lain bantuan pemerintah yang dibayar secara kredit melalui sistem perbankan. Usaha perikanan darat juga sudah mulai dirintis melalui usaha-usaha tambak/empang. Dengan luas areal lebih 52 ha, perluasan usaha tambak ini berkat bantuan dari salah satu Cabang BRI di Kabupaten Selayar (Sukirman A. Rahman: Ujung Pandang, 1994/1995, hlm.. 37-38).

Sektor agraris terus menjadi sektor andalan di Kabupaten Kepulauan Selayar setidaknya hingga reformasi dan pasca reformasi. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat konstribusi masing-masing lapangan usaha terhadap angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Kepulauan Selayar.[4] Berdasarkan data angka PDRB tahun 2011-2014 menunjukkan bahwa sektor agrarislah yang memberikan konstribusi yang cukup signifikan terhadap PDRB kabupaten  ini yakni sebesar 42,25 persen. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 12,16 persen, Sektor Jasa 19,43 persen, Sektor Angkutan dan Komunikasi 10,09 persen dan sektor lainnya 16,07 persen (Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar: Benteng, 22 Juni 2015, hlm. 11-12).

Kebijakan pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar dalam pengembangan jenis-jenis komoditas pertanian, perternakan dan perkebunan dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan yang terencana dan berkelanjutan sehingga dapat menunjang pembangunan daerah. Pembangunan sektor pertanian sangat ditentukan oleh pengembangan agribisnis dengan lingkup kegiatan pembinaan pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian.

Komoditas tanaman pertanian secara umum dapat dibedakan menjadi dua kelompom yaitu tanaman pangan yang terdiri atas pada dan palawija (jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau dan kedelai) dan kelompok holtikultura yang terdiri atas sayur-sayuran dan buah-buahan. Komoditas tanaman pangan yang mempunyai tingkat produksi yang cukup tinggi di Kabupaten Kepulauan Selayar adalah padi dan jagung. Selanjutnya kelompok hortikultura di Kabupaten Kepuluan Selayar tingkat produksinya tidak besar dan hanya dikonsumsi untuk tingkat lokal kecuali untuk beberapa komoditas buah-buahan yang mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan, antara lain jeruk keprok, jeruk nipis, mangga dan pisang.

Perhatian yang besar Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar terhadap Sektor Pertanian terlihat pada program “mercusuar” percetakan sawah 1000 hektar pada tahun 2005 di Pulau Jampea. Dengan memanfaatkan sungai-sungai kecil yang mengalir di pulau tersebut. Sebanyak 12 sungai sepanjang 49,63 km dimanfaatkan yang disamping untuk sumber air minum dan keperluan rumah tangga lainnya juga digunakan untuk pertanian. Untuk meningkatkan kapasitas sumber air baku pengairan, maka dibangunlah bendungan, embung, saluran dan tandon air. Hal tersebut bertujuan untuk menampung dan mengalirkan kelebihan air hujan dan aliran permukaan air di wilayah itu. Selain itu juga dibangun dam mini untuk menampung air parit-parit dan sungai-sungai kecil kemudian dialirkan ke areal pertanian (Rakhmat Zaenal (ed.): Selayar, 2014, hlm. 45-46).

Dan di saat yang sama, pemerintah daerah juga memberikan bantuan hand tractor dan mesin pompa air. Dampak dari berbagai bantuan yang diberikan Pemerintah Daerah Kabupaten Selayar tersebut, antara lain: Produksi padi meningkat dari 4.071 ton pada tahun 2005 menjadi 29.921,80 ton pada tahun 2013. Tingkat produktivitas lahan sawah juga kian membaik, di mana pada 2005 baru mencapai 2,5 ton Gabah giling (GKG) per hektar, tahun 2009 mencapai 5,5 ton/ha, da tahun 2014 GKG sudah mencapai 11,21 ton/ha dari Gabah Kering Padi (GKP) yang tahun 2014 telah mencapai 12,96 ton/ha.[5]

Sampai tahun 2014, jumlah daerah irigasi (DI) yang tahun 2005 di Jampea hanya 10 buah dengan luas daerah irigasi fungsional 971 ha, tahun 2013 meningkat menjadi 50 daerah irigasi termasuk di daratan utama Selayar dengan luas daerah irigasi 3.778 ha. Dari luas ini, indeks pertanian (IP) telah mencapai rata-rata 144,36 persen terutama untuk padi di Pulau Jampea, dan bahkan di Dodak, Desa Masungke, petani padi sudah melakukan panen 3 kali setahun. Target percetakan sawah 1000 ha sawah baru di Jampea tidak saja telah terpenuhi, tetapi juga telah memicu petani untuk memperluas areal tanam dan meningkatkan produksinya (Rakhmat Zaenal (ed.): Selayar, 2014, hlm. 47-48).

Untuk Kecamatan Pasimasunggu Timur sendiri, tahun 2014 lahan sawah sudah mencapai 1.763 ha dengan produksi untuk 2 kali panen pertama mencapai 16.043 ha. Pada September 2014, bahkan dilakukan Panen Raya walau seluruh wilayah Sulawesi Selatan sedang dilanda kemarau panjang. Semangat ini terus ddukung oleh Pemerintah Daerah melalui pemberian stimulan termasuk di daratan, berupa sarana produksi, bibit, pupuk, pestisida, mesin pertanian dan pendampingan.

Pada tahun 2008, hasil dari kebijakan ini mendapatkan apresiasi dari Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono, berupa penghargaan Peningkatan Produksi Pangan Tertinggi, yaitu 105 persen dan tahun 2009 mendapatkan Penghargaan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) (Rakhmat Zaenal (ed.): Selayar, 2014, hlm. 47-48).

Semua capaian ini telah menjadikan Kepulauan Selayar sejak tahun 2013 berswasembada beras, di mana sebelum itu masyarakat harus mendatangkan beras dari kabupaten tetangga. Capaian itu juga telah menjadikan Kabupaten Kepulauan Selayar keluar dari daerah rawan pangan. Alhasil luas panen bertambah dua kali lipat. Lewat program intensifikasi, produktivitas berhasil ditingkatkan dari 2,5 ton gabah kering giling per hektar, menjadi 5,5 ton. Jumlah produksi beras pun meningkat lima kali lipat, dari 2.573 ton menjadi 13.221 ton (Ruslan A Serang, “Syahrir Wahab-Saiful Arief, Selayar Telah Merdeka”,).

Pembangunan sektor pertanian sangat ditentukan pula oleh pengembangan agrobisnis dengan lingkup kegiatan pembinaan pasca panen, pengolahan, dan pemasaran hasil pertanian. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar dalam pengembangan jenis-jenis komoditas pertanian, peternakan dan perkebunan dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan yang terencana dan berkelanjutan sehingga dapat menunjang pembangunan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Komoditas tanaman pertanian secara umum dibedakan menjadi dua kelompok yaitu tanaman pangan yang terdiri atas padi dan palawija (jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, acang hijau, dan kedelai). dan kelompok hortikultura yang terdiri atas sayur-sayuran dan buah-buahan. Komoditas tanaman pangan yang mempunyai tingkat produksi yang cukup tinggi di Kabupaten Kepulauan Selayar adalah padi dan jagung. Sedangkan kelompok hortikultura di Kabupaten Kepulauan Selayar tingkat produksinya yang tidak begitu besar dan hanya dikonsumsi untuk tingkat lokal kecuali untuk beberapa komoditas buah-buahan yang mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan antara lain jeruk keprok, jeruk nipis, mangga dan pisang.

Ditinjau dari besarnya produksi, tanaman perkebunan yang menjadi unggulan utama di Kabupsten Kepulauan Selayar adalah Kepala. Komoditas perkebunan selain kelapa yang menjadi komoditas unggulan berdasarkan besarnya produksi adalah kemiri, jambu mete, cengkeh, pala dan kenari. Pada aspek potensi peternakan yang menjadi unggulan belum ada yang menonjol, namun terdapat beberapa jenis hewan ternak yang telah diusahakan oleh masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar yaitu Sapi, Kerbau, Kambing, Ayam Buras dan Itik. Untuk jenis ternak terjadi peningkatan populasi tiap tahunnya terutama jenis ternak Sapi, Kambing, Ayam Buras, dan Ayam Ras Petelur.

 

Menuju Kabupaten Maritim Selayar

Konsepsi “maritim” untuk Kabupaten Selayar, sebenarnya bukanlah sesuatu  yang baru. Konsep ini telah populer di awal reformasi dan terus berkembang hingga terselenggaranya otonomi daerah yang seluas-luasnya. Namun demikian jika ditelusuri lebih jauh, konsep maritim untuk Kabupaten Selayar terlebih dahulu telah digunakan oleh Bupati Selayar H.M Akib Patta sepanjang periode pemerintahannya 1999-2004).[6]Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa H.M Akib Patta adalah orang pertama yang menggagas, memperjuangkan dan mempopulerkan konsep maritim untuk Kabupaten Kepulauan Selayar. Konsep tersebut juga dicantumkan pada visi-misi pembangunan Kabupaten Selayar sebagai “Kabupaten Maritim” yakni “Terwujudnya Selayar Sebagai Kabupaten Maritim yang Mapan, Mandiri dan Berkelanjutan.[7]

Berbagai langkah dan strategi yang telah dilakukan oleh H.M Akib Patta guna mencapai predikat “kabupaten maritim” di antaranya pada 30-31 Oktober 2002, Pemerintah Daerah Kabupaten Selayar bersama Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, dan Yayasan Melania mengadakan sebuah kegiatan berupa workshop dengan tema “Pengelolaan Gugus Kepulauan Dalam Kerangka Kabupaten Maritim Selayar”. Kegiatan ini menghasilkan rekomendasi tentang perlunya model pengelolaan sumber daya perairan laut secara lebih terencana, terkonsep dan bervisi ke masa depan.

Dilhami oleh rekomendasi dalam workshop tersebut, maka pada bulan April 2003, Yayasan Melenia melakukan Studi Model Pengolaan Sumber Daya Perairan Laut secara komprehensip dalam kerangka “Kabupaten Maritim Selayar” berdasarkan rekomendasi dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Studi Model Pengelolaan Sumber Daya Perairan Laut tersebut melahirkan formulasi sistem manajemen pengelolaan sumber daya perairan laut yang komprehensif.

Berdasarkan pada serangkaian kajian dan kegiatan-kegiatan tersebut di atas, selanjutnya pemerintah Kabupaten Selayar melalui Surat Nomor 382/A/1-7/IX/2004, mengajukan permohonan dan dukungan tertulis kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk diakui oleh pemerintah pusat sebagai sebuah kabupaten maritim. Bagai dayun bersambut, permohonan tersebut mendapatkan persetujuan dan dukungan dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Maka, pada 25 September 2004, Menteri Kelautan dan Perikanan (Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.Si), Bupati Selayar (H.M Akib Patta), dan Ketua DPRD Selayar (H. Ince Langke IA) menandatangani “Deklarasi Kabupaten Maritim Selayar” yang disaksikan oleh ribuan masyarakat Selayar dan diramaian oleh ratusan armada perikanan.[8]

Pada kesempatan tersebut, Bupati Selayar, H.M. Akib Patta dan Menteri Kelautan dan Perikanan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S membahas strategi dan pencanangan “Kabupaten Selayar sebagai Kabupaten Maritim” dalam kerangka otonomi daerah. Konsep pengembangan Selayar sebagai kabupaten maritim di Sulawesi Selatan yang berhak mengaktualisasikan diri dalam bentuk otonomi utuh guna mengelola potensi daerah sebagai implementasi pelaksanaan otonomi daerah (Mangeppe, dkk: Makassar:, 2004, hlm. 34).

Paradigma Otonomi Daerah merupakan momentum strategis dalam pendekatan pembangunan wilayah. Peran pemerintah ditujukan untuk menciptakan pelayanan yang efisien dan efektif dengan titik berat pada pemerintahan kabupaten/kota. Dalam kerangka itulah, langkah selanjutnya yang ditemuh H. M Akib Patta adalah mengadakan pertemuan segitiga dengan Pemerintah Provinsi Suawesi Selatan dan Departemen Perikanan dan Kelautan guna membahas konsep dan kesiapan Kabupaten Selayar dan daerah lainnya sebagai sebuah kabupaten maritime (Mangeppe, dkk: Makassar:, 2004, hlm. 34)

H.M Akib Patta memahami bahwa kerangka konsepsi kabupaten maritim harus dipahami sebagai sebuah wewenang dan tanggung jawab membangun sumber daya pesisir dan lautan Selayar berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan daya dukung sumber daya daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara holistik dan integral.

Pembangunan wilayah berbasis maritim bagi Kabupaten Selayar saat itu menjadi satu pilihan karena Kabupaten Selayar secara geografis memiliki laut yang luas dan merupakan pintu gerbang Kawasan Indonesia Timur (KTI). Sebagai pintu gerbang Kawasan Indonesia Timur, Kabupaten Selayar perlu membangun kawasan terpadu untuk menyangga produksi perikanan yang dihasilkan oleh nelayan lokal dan oleh nelayan-nelayan pendatang dari berbagai daerah baik di Sulawesi Selatan maupun dari luar Sulawesi Selatan (Mangeppe, dkk: Makassar:, 2004, hlm. 59-60).

Untuk mendukung visi dan misi Selayar sebagai Kabupaten Maritim, H.M Akib Patta telah mencanangkan tiang pertama pembangunan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Bonehalang yang dirangkaikan dengan Festival Takabonerate IV, Peletakan Batu Pertama Pembangunan SMK Kelautan Selayar dan Pembangunan Budidaya Rumput Laut. Sebelum perubahan nama menjadi Kabupaten Kepulauan Selayar, kabupaten ini memiliki luas 22.326, 69 km2, sebanyak 21. 132, 41 km2 atau 94,68 persen merupakan wilayah lautan, akan tetapi produksi perikanan Kabupaten Selayar baru mencapai 12.800 ton/tahun. Padahal potensi perikanan tangkap di wilayah ini sekitar 29,007 ton/ tahun. “Potensi perikanan di Kabupaten Selayar semakin besar karena potensi perikanan budidaya mencapai 850,73 hektar”.

 

Dari Kabupaten “Maritim” menjadi Kabupaten Kepulauan Selayar

 

Sejalan dengan adanya dinamika dan aspirasi yang berkembang di masyakarat Kabupaten Selayar yang menginginkan adanya perubahan nama Kabupaten Selayar menjadi Kabupaten Maritim Selayar yang dilandasi pemikiran bahwa Kabupaten Selayar yang wilayahnya mencakup beberapa pula besar dan pulau kecil yang berada di perairan Laut Flores perlu didorong untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya laut secara optimal, baik kepada Pemerintah Daerah maupun kepada masyarakat setempat. Dorongan yang dimaksud antara lain perlu dilakukan dengan perubahan nama Kabupaten Selayar menjadi Kabupaten Maritim Selayar.[9]

Ide tersebut di atas ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan DPRD Kabupaten Selayar dengan menetapkan Keputusan DPRD Nomor 09 Tahun 2006 tanggal 17 November 2006 tentang persetujuan DPRD terhadap perubahan nama Kabupaten Selayar menjadi Kabupaten Maritim Selayar. Berdasarkan aspirasi masyarakat Kabupaten Selayar tersebut, Bupati Selayar melalui Surat Nomor 125.1/29/III/06/Hukum tanggal 8 Maret 2006 kepada Ketua DPRD Kabupaten Selayar menyampaikan permohonan persetujuan perubahan nama Kabupaten Selayar menjadi Kabupaten Maritim Selayar.

Selanjutnya pada tanggal 29 Desember 2006 dengan Surat Nomor 135/173/XII/06/DPK Bupati Selayar menyampaikan permohonan dan dukungan kepada Gubernur Sulawesi Selatan atas rencana perubahan nama Kabupaten Selayar menjadi Kabupaten Maritim Selayar. Menindaklanjuti surat Bupati Selayar tersebut di atas , Gubernur Sulawesi Selatan melalui surat Nomor 135/896/Otoda tanggal 26 Februari 2007 kepada Menteri Dalam Negeri memohon perubahan nama Kabupaten Selayar untuk dapat diproses berdasrkan persetujuan Gubernur Sulawesi Selatan.

Pada tanggal 29 Mei 2007, Rapat Penyamaan persepsi antara Pemerintah Kabupaten Selayar dengan Departemen Dalam Negeri yang terdiri dari Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah dan Biro Hukum Sekretariat Jenderal Departemen Dalam Negeri.

Pada bulan berikutnya diadakan lagi rapat dengan agenda Rapat Penyusunan Draf Rancangan Peraturan Pemerintah Perubahan nama Kabupaten Selayar Menjadi Kabupaten Maritim Selayar. Rapat tersebut diadakan bersama antara Pemerintah Kabupaten Selayar dengan pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri, Sekretariat Negara, Departemen Kelautan dan Perikanan serta Direktur Harmonisasi Ditjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM.

Pada perkembangannya selanjutnya, setelah melalui berbagai kajian terminologis dan etimologis oleh Tim Pakar Toponimi dan Kelautan, nama maritim tidak layak digunakan sebagai nama rupabumi karena maritim hanyalah program yakni kegiatan pembangunan yang terkait dengan laut. Di samping itu sesuai Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut, tidak dikenal adanya Negara Maritim melainkan Negara Kepulauan.

Secara terminologi dan etimologi, Kepulauan adalah suatu gugusan pulau termasuk bagian kepulauan dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain-lain. Wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya sehingga pulau-pulau perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi (ekologis), ekonomi, pertahanan keamanan dan politik yang hakiki atau historis dianggap demikian.

Arti Istilah Maritim dan Kepulauan dari segi terminologi dan etimologi, sesuai dengan UNCLOS 1982, Maritim adalah bagian dari kegiatan di laut yang mengacu pada pelayaran/pengangkutan laut, perdagangan, navigasi, keselamatan pelayaran, kapal, pengawakan, pencemaran laut, wisata laut, kepelabuhanan baik nasional maupun internasional, industri dan jasa-jasa maritim. Maritim tidak hanya dari sosial ekonomi, tetapi juga dari segi militer. Maritim berasal dari bahasa Inggris yaitu “maritime” yang berarti navigasi, maritime atau bahari. Dari kata ini kemudian lahir istilah maritime power yaitu negara maritim atau negara samudera. Dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai berkenan dengan laut, berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut.

Namun demikian, istilah maritim juga mengandung ambiguitas. Apakah maritim yang dimaksud adalah maritim dalam pengertian sempit yaitu hanya berhubungan dengan angkatan laut atau angkatan laut dalam hubungan dengan kekuatan darat dan udara, atau bahkan dalam arti yang seluas-luasnya yaitu angkatan laut dan semua kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan komersial nonmiliter dengan laut.

Sedangkan istilah kepulauan diartikan sebagai kumpulan pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan atau archipelagic state. Kata archipelago sering diterjemahkan sebagai “kepulauan”. dalam hal ini sesungguhnya ada perbedaan yang fundamental antara kepulauan dan archipelago. Kepulauan adalah kumpulan pulau-pulau, sedangkan istilah archipelago berasal dari Bahasa Latin “achipelagus” yang berasal dari kata archi yang yang berarti utama dan pelagus yang berarti laut, sehingga memiliki arti “laut utama” Istilah ini mengacu pada laut Tengah pada masa Romawi. Oleh sebab itu sesungguhnya makna asli dari kata archipelago bukan merupakan “kumpulan pulau”, tetapi laut di mana terdapat sekumpulan pulau (A. M. Djuliati Soroyo, dkk: Semarang, 2007, hlm. 8-9).

Dengan demikian, maka nama Kabupaten Selayar selanjutnya diusulkan diubah menjadi Kabupaten Kepulauan Selayar. Berkaitan dengan hal tersebut, sesuai dengan Surat Bupati Kabupaten Selayar Nomor 135.8/17/I/08 Pemerintahan tanggal 22 Januari 2008 perihal Permohonan Persetujuan Perubahan Nama Kabupaten Selayar menjadi Kabupaten Kepulauan Selayar. Maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Selayar sepakat untuk mengubah nama “maritim” menjadi “kepulauan” melalui surat keputusan Nomor 05 Tahun 2008 tentang persetujuan DPRD Kabupaten Selayar terhadap perubahan nama Kabupaten Selayar menjadi Kabupaten Kepulauan Selayar.

 

Memahami Perbedaan Pemaknaan Tentang Kepulauan

Dalam dinamika dan perubahan sosial politik di Kabupaten Kepulauan Selayar pasca reformasi, khususnya ketika bergulir gagasan untuk mengubah nama kabupaten Selayar menjadi kabupaten  maritim atau kabupaten kepulauan. Maka, konsep mmaritim dan kepulauan dipahami beragam makna sesuai dengan porsi dan kepentingan masing-masing.

Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar memahami perubahan nama tersebut sebagai sebuah lompatan yang besar dan signifikan. Pemerintah Daerah memaknai kata kepulauan adalah sebagai sebuah model kebijakan, pendekatan dalam pembangunan. Bagi Pemerinta daerah Selayar, kata kepulauan tidak saja berdampak pada perubahan luas daerah secara signifikan dan menegaskan eksistensi geografi Selayar sebagai gugusan kepulauan, tetpi juga akan merubah cara pandang dan pendekatan pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan dan mengelola pembangunan.

Pemerintah daerah memaknai perubahan nama kabupaten Selayar sebagai salah satu stressing point untuk “berbicara” dengan pemerintah pusat, yang tujuan awal dan akhirnya adalah bagaimana perubahan itu memberikan manfaat bagi kabupaten Kepulauan Selayar, lepas dari perbedaan penafsiran mengenai “manfaat” pemakaian nama maritim atau kepulauan. Dampak dari perubahan tersebut antara lain pengukuran ulang luas wilayah Kepulauan Selayar yang hasilnya adalah perubahan drastis dari luas sebelumnya yang “hanya” 1.357,03 kmmenjadi 10.503,69 km2.

Perubahan tersebut juga telah merubah pendekatan pemerintah pusat maupun provinsi, terutama dari sisi peningkatan anggaran. Anggaran itu tentu saja memberikan manfaat langsung pada peningkatan infrastruktur dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Kepulauan Selayar. Perubahan ini tentu saja harus diikuti dengan perubahan paradigma, terutama paradigma pembangunan yang harus secara bertahap dan bergerak maju (gradual change).

Pemerintah daerah kabupaten Kepulauan Selayar juga meyakini bahwa dengan mengelola potensi kepulauan secara optimal dapat meningkatkan kesejahteraan daerah (Antar News.com: Minggu, 30 November 2008, hlm. 1). Potensi sumber daya alam yang dimiliki daerah ini berada di wilayah laut terutama yang dapat dikelola langsung masyarakat seperti perikanan dan pariwisata bahari, sehingga pemerintah daerah masyarakat setempat termotivasi merubah orientasi kebijakan untuk lebih mengarahkan program dan kegiatan pembangunan pada pengelolaan SDA (sumber daya alam) di laut dengan tetap memperkuat pembangunan di daratan sebagai pendukungnya (Antar News.com. Minggu, 30 November 2008, hlm. 1).

Terkait hal tersebut di atas, Aruddini, mengharapkan perubahan nama Selayar menjadi Kepulauan Selayar dapat menghasilkan suatu transformasi dalam jangka panjang terhadap dua sektor utama yakni pertanian dan kelautan di satu sisi dan transformasi dalam bidang sosial kemasyarakatan. Karena keduanya memberikan konstribusi yang besar terhadap pembangunan Kepulauan Selayar. Sektor pertanian tidak bisa disepelekan karena konstribusinya juga sangat besar, hal yang sama juga pada sektor kelautan. Transformasi pada kedua sektor tersebut dibutuhkan untuk mendorong peran dan konstribusi sektor kelautan dan perikanan menjadi sektor yang tangguh. Sedangkan transformasi sosial dibutuhkan untuk mendorong terjadinya pergeseran budaya dari budaya agraris ke budaya maritim atau bahari. Kedua proses transformasi ini hendaknya berjalan secara silmultan melalui pemangku kepentingan yang ada (Aruddini: Makassar 2015, hlm. 48-50).

Kata kepulauan juga kadang-kadang dimaknai secara “administratif” yakni tempat yang berada dan berkedudukan di pulau-pulau atau wilayah di kepulauan. Setidaknya ada 5 (lima) kecamatan yang disebut sebagai daerah kepulauan, antara lain kecamatan Pasimarannu di Bonerate, kecamatan Pasimasunggu di Jampea, kecamatan Pasimasunggu Timur di Ujung Jampea, Kecamatan Taka Bonerate di Kayuadi, dan kecamatan Pasilambena di Kalaotoa.

Sebaliknya, lawan dari kepulauan adalah daratan yang selama ini disebut sebagai Selayar daratan. Selayar daratan yang dimaksud adalah Selayar Benteng tempat ibukota Kabupaten Kepulauan Selayar berkedudukan. Tetapi, dalam perkembangannya selanjutnya, Selayar daratantidak lagi terbatas hanya di Benteng, akan tetapi mencakup seluruh daerah daratan. Daerah-daerah tersebut antara lain: kecamatan Bontoharu di Matalalang, kecamatan di Pariangan, kecamatan Bontomanai di Pulebunging, kecamatan Buki di Buki dan kecamatan Bontomatene di Batangmata.

Kata kepulauan kadang bermakna sebagai tempat yang menakutkan, bahkan bila perlu dijauhi karena dianggap sebagai “momok”. Momok bagi aparatur pemerintah daerah yang dicap bermasalah. Bahkan, kepulauan juga bermakna penjara bagi mereka yang dianggap berseberangan dengan kebijakan pemerintah daerah. Juga sebagai tempat bagi mereka yang berbeda pilihan “politik” dengan “penguasa”. Mereka yang pada saat Pilkada secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi memilih atau mengkampanyekan calon-calon bupati pesaing bagi bupati yang terpilih (Wawancara dengan Juhri, Pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten, Kepulauan Selayar, Benteng, 19 Februari 2017).

 

HPMKS: Himpunan Pelajar “Pejuang” Kepulauan

Daerah kepulauan identik dengan keterbelakangan, daerah tertinggal, penduduk yang miskin, dan daerah dengan sumber daya manusia yang rendah. Intinya daerah kepulauan adalah daerah yang termarginalkan (Katheryn Robinsindkk: Makassar, 2005,  hlm). 375-376.Padahal potensi kekayaan alamnya sangat melimpah. Kemiskinan dan ketertingalan di daerah kepulauan oleh banyak kalangan dipahami dapat terjadi karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap daerah ini.

Telah digambarkan pada bab terdahulu bahwa potensi kekayaan sumber daya alam laut di kepulauan tentu dapat menjadi “anugerah” dan sekaligusjuga dapat menjadi “bencana”. Bagi para nelayan yang bermukim di daerah pesisir kondisinya dapat dikatakan sangat memprihatinkan. Kondisi geografis wilayah pesisir ternyata berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat yang berada di wilayah tersebut. Kemiskinan dan kesulitan hidup merupakan gambaran obyektif kondisi masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan di Kabupaten Kepulauan Selayar.

Salah satu sebab dari kemiskinan yang dialami oleh nelayan, terkhusus nelayan tradisional adalah monopoli hasil tangkap dan pasar yang dilakukan oleh industri-industri perikanan sehingga nelayan hanya sedikit mendapatkan hasil tangkapan dengan harga yang relatif murah. Sementara cost untuk melakukan aktifitas tangkap terbilang sangat tinggi.

Berdasarkan data tahun 2010 tercatat sebanyak 7.889 kepala keluarga miskin di Kabupaten Kelapuan Selayar yang menerima raskin (beras untuk masyarakat miskin) jumlah ini terus bertambah hingga tahun 2014 menjadi 9.215 kepala keluarga. jumlah ini tersebar di sebelas kecamatan yang ada di Kabupaten Kepulauan Selayar (BPS Kab. Selayar 2015,  hlm. 387).

Kemiskinanadalah permasalahan yang sangat kompleks di Kabupaten Kepulauan Selayar. Bagaimana tidak, jika mengacu pada data yang berbeda yakni  statistik tahun 2005 dan 2011 jumlah Rumah Tangga kemiskinan sangat signifikan pada periode ini. Jika berdasarkan Data ProgramPendataan Layanan Sosial (PPLS) tahun 2011 dapat diketahui bahwa di Kecamatan Pasimarannu terdapat 173 rumah tangga yang sangat miskin, 284 rumah tangga miskin, 494 rumah tangga yang hampir miskin dan rumah tangga yang rentan miskin sebanyak 943 kepala keluarga. Jadi total kepala keluarga dalam empat kategori ini adalah 1.894. Padahal berdasarkan data yang ada total jumlah kepala keluarga di Kecamatan Pasimarannu sebanyak 2.616, sehingga dengan demikian dipahami bahwa 72, 40 persen di kecamatan ini rentan dengan permasalahan kemiskinan. Jumlah ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 2005 yang tercatat hanya 667 kepala keluarga (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Selayar,  hlm. 383-386). Pada tahun 2005 tercatat sebanyak 433 kepala keluarga miskin di Kecamatan Pasilembana. Jumlah ini terus bertambah hingga tahun 2011 menjadi 1.225 dengan perincian 225 kepala keluarga dalam kategori sangat miskin, 329 kepala keluargamiskin, 392 hampir miskin dan 517 kepala keluarga rentan miskin.

Kemiskinan terkait dengan besaran pendapatan sehari-hari, atau akumulasi pendapat secara keseluruhan. Studi yang dilakukan Alder dan Christanty di Pulaua Atol, Taka Bonerate menunjukkan betapa rendahnya pendapatan perkapita masyarakat nelayan di pulau tersebut. Kebanyakan penghasilan yang diperoleh dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk membeli air minum. Tingkat pendapatan  sebagian besar rumah tangga nelayan relatif rendah, berkisar Rp. 50.000,- hingga Rp. 250.000,- perbulan (pada tahun 1991). Pendapatan perkapita pertahun sekitar Rp. 460.000,-, termasuk tingkat terendah secara nasional. Seperti diketahui bahwa rata-rata tingkat pendapatan perkapita di Indonesia Rp. 705.000,-.[10]

Pasca Reformasi, kata “pulau” juga dimaknai sebagai “perlawanan” terhadap kemiskinan dan ketertinggalan. Perlawanan yang ditujukan kepada apa yang menghambat dan menghalang-halangi proses kemajuan dan modernitas di kepulauan Selayar, sehingga wilayah ini tertinggal jika dibandingkan dengan wilayah daratan Selayar. Bentuk perlawanan tersebut diperjuangkan oleh HPMKS (Himpunan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Selayar). Organisasi daerah ini mewakili 5 Kecamatan Kepulauan itu ikut mewarnai kehidupan sosial politik masyarakat kepulauan. Konstribusi sosialnya yaitu masyarakat kepulauan menjadi melek pendidikan ditandai oleh kesadaran masyarakat kepulauan untuk ikut menentukan nasib kepulauan dengan berpartisipasi politik demi pembangunan kepulauan (Mohd. Yacub dkk: Makassar: 2015, hlm. xii).

Organisasi ini melahirkan Deklarasi Alauddin pada tanggal, 18 Mei 2003 yang melahirkan paradigma baru bagi semua palajar dan mahasiswa asal Kepuluan, khususnya yang sedang menjalani pendidikan di Makassar saat itu. Paradigma yang dimaksud bagi misi HPMKS, yaitu dapat membuat keadaan menjadi bermakna dan bernilai perjuangan atas nama Daerah Kepulauan Selayar.

Kondisi Kepulauan yang dimana waktu itu masih terdiri dari 4 (empat) Kecamatan sampai tahun 2005 sangar memprihatinkan.[11] Tidak sedikit bukti yang dapat membenarkan argumen di atas, dan parahnya, dan parahnya kondisi yang memprihatinkan itu hampir menyentuh semua aspek kehidupan. Kesimpulannya Kepulauan seolah dimasukkan ke dalam daftar daerah yang dipelihara dalam penjara ketertinggalan struktural. Berat untuk mengatakan tidak, tetapi melihat kondisi obyektif Kepulauan kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten Selayar (nama Kabupaten waktu itu). Sebut saja diantaranya persoalan pendidikan di Kepulauan saat itu masih jauh dari intervensi ideal kebijakan pemerintah Kabupaten. Persoalan pendidikan Kepulauan waktu itu, diantaranya jumlah sekolah yang belum memadai dan tidak tersebar merata di semua Kecamatan Kepulauan, jumlah guru yang sedikit ditambah lagi guru yang sedikit itu lebih lama meninggalkan tempat tugas dibanding melaksanakan kewajibannya sebagai seorang guru. Bukan hanya persoalan pendidikan, melainkan persoalan sosial, politik, ekonomi, dan semua persoalan tersebut terakumulasi akibat marginalisme Kepulauan.

Menurut Syahrir Wahab, membayangkan Kepulauan sebelum tahun 2003, maka stigma yang muncul adalah sederetan image negatif (masyarakat Kepulauan yang bodoh, miskin, tertinggal, dan termarginalkan). Fakta demikian dipengaruhi oleh perhatian pemerintah yang kadang abai terhadap prinsip keadilan. Kehadiran HPMKS menjadi motor terhadap gerakan merubah perwajahan Kepulauan dengan mendodorng kepemimpinan orang pulau di Kabupaten. Sejak tahun 2003 dan 2 kali Pilkada Selayar (Pilkada 2005 dan Pilkada 2015) HPMKS menunjukkan peranan penting dengan terlibat aktif mendorong orang-orang pulau untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan ((Mohd. Yacub dkk: Makassar: 2015, hlm. Xii).

 

“Kepulauan” Dalam Dinamika Politik

Pemilukada sebagai bagian dari sejarah politik tingkat lokal di Indonesia adalah sebuah momen untuk melakukan suksesi kepemimpinan lokal sebagai wujud implementasi demokrasi yang partisipatif. Sejak tahun 2005, bangsa Indonesia memasuki babak baru berkaitan dengan penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat lokal. Kepala daerah, baik bupati/walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara tidak langsung oleh DPRD, sejak 2005 dipilih secara langsung oleh rakyat melalui proses pemilihan kepala daerah langsung yang populer dengan sebutan Pilkada Langsung (M. Thamrin Mattulada: Makassar: 2014, hlm. 45).Pilkada langsung pertama 2005 diselenggarakan di sepuluh kabupaten di Sulawesi Seatan dan salah satunya adalah Kabupaten Selayar. Pemilukada pertama di Kabupaten Selayar tersebut dimenangkan oleh pasangan Syahrir Wahab-Nur Syamsina, sedangkan pemilukada langsung kedua tahun 2010 kembali dimenangkan oleh Syahrir Wahab yang kali ini berpasangan dengan Saiful Arif. Bagi pengamat, kemenangan yang kedua kali Syahrir Wahab bukan hal yang terjadi secara kebetulan. Wacana geo-politik antara “pulau” dan “daratan” didesain secara terencana dan massif oleh Syahrir dan pasangannya. Faktor Syahrir Wahab sebagai “orang pulau” adalah sebuah kekuatan politik yang mengantarkannya menjadi bupati pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat Kepulauan Selayar.

Terpilihnya Syahrir Wahab pada Pemilukada 2005 dan 2010 bukanlah gerakan tanpa bentuk, HPMKS (Himpunan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Selayar) adalah organisasi pelajar dari mahasiswa asal kepulauan (5 kecamatan pulau di Kabupaten Kepulauan Selayar) yang memiliki peranan besar dalam mensosialisasikan Syahrir Wahab. Kesadaran politik “orang pulau” dibangkitkan oleh mahasiswa kepulauan. Persatuan sikap politik masyarakat kepulauan berbuah manis, selama dua kali pemilihan bupati secara langsung. Persatuan itu tidak diikat oleh kepentingan yang variatif, melainkan hanya faktor kepulauan, karena mereka “orang pulau”, maka mereka memilih “orang pulau”.

Tingginya tingkat keterdukungan Syahrir Wahab dalam kedua pilkada di Selayar dipengaruhi oleh karena beliau adalah orang pulau. Pernyataan tersebut bukanlah isapan jempol belaka yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Fakta menunjukkan bahwa tingkat popularitas  Syahrir Wahab pada pemilukada 2005 sangat rendah. Tetapi fakta elektabilitas berbicara lain, berkat dukungan masif orang pulau, Syahrir Wahab menjadi orang nomor satu Kabupaten Kepulauan Selayar selama dua periode(Mohammad  Yacub, “Kilas Balik 2 Pemilukada Selayar”),

Besarnya dukungan “orang pulau” terhadap kemenangan Syahrir Wahab pada dua kali Pemilukada tahun 2005 dan 2010 di Kabupaten Kepulauan Selayar juga  tercermin dalam kutipan berikut: “…Syahrir Wahab adalah Bupati Selayar pertama yang berasal dari kepulauan, dan Bupati Selayar pertama yang dipilih langsung oleh masyarakat pasca reformasi…. Syahrir  Wahab menjadi fenomenal karena tidak ada yang pernah membayangkan kepada Tuhan harus memilih putra “asli” Selayar di antara ratusan ribu masyarakat Selayar, menyusuri pulau-pulau dan bukan daratan utama Selayar…”. (Rakhmat Zaenal (ed.): Selayar, 2014, hlm. 2-3).

Pada pemilukada Kabupaten Kepulauan Selayar Tahun 2005, pasangan Ince Langke dan Kompol Muh. Arsyad yang diusung oleh Partai Golkar hanya memperoleh 28 persen suara. Pasangan ini dikalahkan oleh pasangan Syahrir Wahab dan Nur Syamsina Arumpala yang diusung oleh PPP, PBB dan PKB dengan perolehan 30 persen suara. Pada pemilu legislatif tahun 2004, Partai Golkar meraih suara terbesar di daerah ini yakni (32 persen) atau 8 dari 25 total kursi DPRD yang diperebutkan pada pemilu legislatif. Sedangkan gabungan partai pemenang Pilkada 2005 yakni PPP, PBB dan PKB hanya memperoleh 3 kursi atau (12 persen) kursi legislatif. Dengan demikian jika dibandingkan dengan pemilu legislatif, maka Partai Golkar kehilangan 4 persen suara, sedangkan Gabungan Partai pemenang Pilkada mendapatkan tambahan suara sebanyak 18 persen pada Pilkada 2005 di Kabupaten Selayar(M. Thamrin Mattulada: Makassar: 2014, hlm. 90).

Tingginya tingkat keterdukungan Syahrir Wahab didominasi karena faktor beliau adalah orang pulau. Pernyataan tersebut bukanlah isapan jempol belaka yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Fakta menunjukkan bahwa tingkat popularitas  Syahrir Wahab pada pemilukada 2005 sangat rendah. Tetapi fakta elektabilitas berbicara lain, berkat dukungan masif orang pulau, Syahrir Wahab menjadi orang nomor satu Kabupaten Kepulauan Selayar selama dua periode. (Mohammad  Yacub, “Kilas Balik 2 Pemilukada Selayar”).

Terpilihnya Syahrir Wahab pada Pemilukada 2005 dan 2010 bukanlah gerakan tanpa bentuk, Himpunan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Selayar (HPMKS) adalah organisasi pelajar dari mahasiswa asal kepulauan (5 kecamatan pulau di Kabupaten Kepulauan Selayar) yang memiliki peranan besar dalam mensosialisasikan Syahrir Wahab. Kesadaran politik “orang pulau” dibangkitkan oleh mahasiswa kepulauan. Persatuan sikap politik masyarakat kepulauan berbuah manis, selama dua kali pemilihan bupati secara langsung. Persatuan itu tidak diikat oleh kepentingan yang variatif, melainkan hanya faktor kepulauan, karena mereka “orang pulau”, maka mereka memilih “orang pulau”.

 

 

PENUTUP

Perspektif sejarah maritim dapat digunakan untuk memahami dinamika sosial historis pada tingkat lokal pasca reformasi. Dinamika dalam proses perubahan nama kabupaten Selayar menjadi kabupaten Kepulauan Selayar tentu saja menimbulkan sikap pro dan kontra. Tetapi yang lebih penting dipahami dalam proses tersebut adalah timbulnya kesadaran historis masyarakat Selayar untuk mengembalikan “kejayaan maritim” di masa lalu. Dengan demikian sejarah maritim dapat mengubah pandangan yang kurang sesuai dengan pandangan obyektif suatu daerah atau wilayah yang jika dilihat secara geografi, maupun berdasarkan kesadaran historis. Seperti kabupaten Selayar yang selama ini lebih dikenal sebagai daerah agraris padahal secara  geografi sebagian besar wilayahnya adalah kepulauan.

Meskipun memiliki wilayah lautan yang sangat luas, akan tetapi sektor kelautan dan perikanan tidak memberi konstribusi yang signifikan terhadap laju perekonomian kabupaten Kepulauan Selayar. Bahkan sebaliknya, sektor pertanian adalah sektor andalan kabupaten ini. Jika demikian adanya, maka tidak jauh berbeda dengan kabupaten-kabupaten lainnya (kabupaten daratan) di Provinsi Sulawesi Selatan yang juga mengandalkan sektor agraris. Kabupaten Kepulauan Selayar yang selama ini dikenal dan disebut-sebut sebagai daerah “kepulauan”, hingga saat ini  masih mengandalkan sektor agraris.

Perubahan nama Selayar menjadi Kepulauan Selayar dapat menghasilkan suatu transformasi dalam jangka panjang terhadap dua sektor utama yakni pertanian dan kelautan di satu sisi dan transformasi dalam bidang sosial kemasyarakatan. Karena keduanya memberikan konstribusi yang besar terhadap pembangunan Kepulauan Selayar. Sektor pertanian tidak bisa disepelekan karena konstribusinya juga sangat besar, hal yang sama juga pada sektor kelautan. Transformasi pada kedua sektor tersebut dibutuhkan untuk mendorong peran dan konstribusi sektor kelautan dan perikanan menjadi sektor yang tangguh. Sedangkan transformasi sosial dibutuhkan untuk mendorong terjadinya pergeseran budaya dari budaya agraris ke budaya maritim atau bahari.

Dampak dari perubahan itu antara lain pengukuran ulang luas wilayah Kepulauan Selayar yang hasilnya adalah perubahan drastis dari luas sebelumnya yang hanya 1.357,03 km2 menjadi 10.503,69 km2. Perubahan ini telah merubah pendekatan pemerintah pusat maupun provinsi, terutama dari sisi peningkatan anggaran. Anggaran itu tentu saja memberikan manfaat langsung pada peningkatan infrastruktur dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Kepulauan Selayar.

Namun dalam perkembangannya kata kepulauan pun dipahami dengan beragam arti dan makna. Seperti halnya dengan kata maritim yang diliputi dengan pro dan kontra, maka kata kepulauan juga demikian. Jika maritim diperdebatkan di tingkat pusat, maka sebaliknya kata kepulauan diperdebatkan ditingkat lokal. Ada yang memahami bahwa membayangkan daerah “kepulauan” maka stigma yang muncul adalah sederetan image negartif. Daerah kepulauan identik dengan keterbelakangan, tertinggal, miskin, dan daerah yang memiliki sumber daya manusia yang rendah.

Kata kepulauan kadang bermakna sebagai tempat yang menakutkan, bahkan bila perlu dijauhi karena dianggap sebagai “momok”. Momok bagi aparatur pemerintah daerah yang dicap bermasalah. Bahkan, kepulauan juga bermakna penjara bagi mereka yang dianggap berseberangan dengan kebijakan pemerintah daerah. Juga sebagai tempat bagi mereka yang berbeda pilihan “politik” dengan “penguasa”. Mereka yang pada saat Pilkada secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi memilih atau mengkampanyekan calon-calon bupati pesaing bagi bupati yang terpilih

Namun demikian dari serangkaian dinamika yang ada berkaitan dengan dinamika sejarah perubahan nama Selayar menjadi kabupaten Kepulauan Selayar dengan perspektif maritim hendaknya melihat seluruh wilayah perairan Selayar atau seluruh daerah kepulauan sebagai pemersatu yang mengintegrasikan ratusan pulau yang terpisah-pisah, bukan sebagai pemisah.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Djuliati Soroyo, dkk. Sejarah Maritim Indonesia I: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17. Semarang: Penerbit Jeda, 2007.

 

Dg. Mangeppe, dkk. Drs. H.M. Akib Patta Si Petani Vanili. Makassar: Pustaka Cipta Mandiri, 2004.

  1. Thamrin Mattulada. Pertarungan Elit Lokal di Bumi Batara Guru. Makassar: Pustaka Sawerigading, 2014.

Mohd. Yacub dan Noer Amin Arsyad. HPMKS (Himpunan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Selayar) Dalam Sejarah dan Pemikiran. Makassar: Bambu Press, 2015.

Mukhlis Paeni dan Kathrin Robinson. Politik Kekuasaan dan Kepemimpinan di Pedesaan. Ujung Pandang: Lephas, 1987.

Pelras, Christian.“Patron-client ties among the Bugis and Makassarese of South Sulawesi.” In: Roger Tol, Kees van Dijk and Greg Acciaioli (eds). Authority And Enterprise Among The Peoples Of South Sulawesi. Leiden: KITLV Press, 2000.

Rakhmat Zaenal (ed.) “Takkan Lahir Pelaut Ulung Di Laut Yang Tenang”: Selayar Di Bawah Nahkoda Syahrir Wahab. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar, 2014.

Robinsin, Kathryn dan Mukhlis Paeni, Tapak-Tapak Waktu: Kebudayaan, Sejarah dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan. Makassar: Ininnawa, 2005.

Sukirman A. Rahman. Sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II Selayar. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai

 

 

 

[1]Tentu saja tidak bisa dipungkiri jika kajian sejarah menggambarkan masyarakat Indonesia yang sebagian besar menggantungkan diri pada bidang pertanian. Mereka mengolah tanah pertanian, hidup di desa-desa, memiliki kegotong-royongan yang kuat dan sebagainya. Tetapi ada juga realitas yang menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia sebagai masyarakat maritim, bangsa pelaut.

 

[2]Tentang Latar Belakang perubahan dari Kabupaten Maritim Selayar ke Kabupaten Kepulauan Selayar dapat dilihat pada Penjeasan Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2006 Tentang Perubahan Nama Kabupaten Kepalauan Selayar Menjadi Kabupaten Kabupaten Kepulauan Selayar Provinsi Sulawesi Selatan.

 

[3]Pada tanggal, 13 September 2007 membahas tentang definisi “Maritim dan Kepulauan” dari segi terminologi dan etimologi dengan mengundang Pakar Toponomi, Departemen Kelautan dan Perikanan dan Jawatan Hidro Oseanografi TNI-Angkatan Laut. Hasil Rapat Pembahasan yang dimaksud menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:Maritim ditinjau dri segi definisi teknis merupakan kegiatan pengelolaan yang dilakukan pada level Mezo Pelagic sampai dengan permukaan laut. Sesuai dengan UCLOS 1982, tidak dikenal dengan istilah Negara Maritim, tapi disebutkan pada Pasal 46 istilah Negara Kepulauan. Maritim adalah bagian dari kegiatan di laut yang mengacu pada pelayaran/pengangkutan laut, perdagangan, navigasi, keselamatan pelayaran, kapal, pengawakan, pencemaran laut, wisata laut, kepelabuhanan baik nasional maupun internasional, industri dan jasa-jasa maritim. Maritim tidak hanya dari sosial ekonomi, tetapi juga dari segi militer.

Kepulauan adalah suatu gugusan pulau termasuk bagian kepulauan dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain-lain. Wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya sehingga pulau-pulau perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi (ekologis), ekonomi, pertahanan keamanan dan politik yang hakiki atau historis dianggap demikian.

 

[4]PDRB merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dalam suatu periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat diartikan sebagai kemampuan daerah dalam menyediakan berbagai sumberdaya ekonomi dalam jangka panjang yang terus meningkat dalam memenuhi kebutuhan penduduknya. Tingkat pertumbuhan ekonomi ini ditentukan oleh pertambahan nilai yang diperoleh dari produk barang dan jasa. Berdasarkan tingkat pertumbuhan yang dicapai dari tahun ke tahun, maka secara kasar dapat dinilai prestasi dan kesusksesan suatu daerah jika mempunyai kemampuan untuk meningkatkan nilai tambah terhadap produk barang dan jasa yang sifatnya jangka panjang. Semakin besar persetase suatu sektor dalam PDRB, maka semakin besar pula pengaruh sektor tersebut dalam perekonomian suatu daerah.

 

[5]Angka-angka yang disajikan ini dapat juga dibandingkan dengan “Visi Misi dan Kebijakan Pokok Drs. H. Syahrir Wahab, MM dengan H. Saiful Arif, SH”, sebagai Calon Bupati Kabupaten Kepulauan Selayar Periode 2010-2015 Bab II, hlm. 3.

 

[6]H.M Akib Patta, lahir di Selayar 26 Juni 1948 adalah mantan Bupati Kabupaten Selayar yang menjabat selama dua periode yakni dari tahun 1994 hingga tahun 2004. Ia merupakan alumni Fakultas Ekonomi Univeritas Hasanuddin. Sebelum menjadi Bupati Selayar, Jabtan-jabatan strategis di Provinsi Sulawesi Selatan pernah diembannya. Ia pernah tercatan sebagai Kepala Biro Keuangan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan (1988-1990), selanjutnya menjadi Kepala Dinas Pendapat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan (1990-1994).

 

[7]Visi tersebut telah dituangkan dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Selayar Tahun 2002-2006 dan Rencana Strategik (Restra) Kabupaten Selayar Tahun 2003-2006.

 

[8]Deklarasi Kabupaten Maritim Selayar yang diselenggarakan pada 25 September 2004, secara harfiah MARITIM dimaknai sebagai, (M) menata masa depan masyarakat Selayar yang adil dan makmur di bawah ridha Ilahi yang maha pengampun, memerlukan komitmen total semua pihak. (A) Alam dan ingkungan adalah pinjaman dari anak cucu yang diamanahkan Allah, maka perlu dimanfaatkan secara lestari. (R) Rentetan dan gugusan pulau dalam wilayah Selayar adalah bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. (I) Iman, ilmu dan ibadah merupakan prasyarat utama bagi terwujudnya Baldatun Thayyibun Gahfur. (T) Tanpa karang kira bukan Selayar, maka selamatkan terumbu karang “sekarang”. (I) Impian akan menjadi kenyataan jika ditindaklanjuti dengan kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. (M) Maka dengan mendasari dukungan moril Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Pemerintah dan Masyarakat Selayar.

 

[9]Lihat Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008, Tentang Perubahan Nama Kabupaten Selayar Menjadi Kabupaten Kepulauan Selayar Provinsi Sulawesi Selatan.

[11]Saat ini sudah tercatat 5(lima) kecamatan yang terdapat di wilayah kepulauan, antara lain kecamatan Pasimarannu yang ibukotanya di Bonerate, kecamatan Pasimasunggu ibukotanya di Jampea, kecamatan Pasimasunggu Timur ibukotanya di Ujung Jampea, Kecamatan Taka Bonerate ibukotanya di Kayuadi, dan kecamatan Pasilambena yang ibukotanya di Kalaotoa.