You are currently viewing Aspek Sosial Budaya dan Efektifitas Kerja Pada Industri Pembuatan Tempe Tahu di Desa Bontosunggu Kabupaten Gowa

Aspek Sosial Budaya dan Efektifitas Kerja Pada Industri Pembuatan Tempe Tahu di Desa Bontosunggu Kabupaten Gowa

ASPEK SOSIAL BUDAYA DAN  EFEKTIFITAS KERJA PADA  INDUSTRI PEMBUATAN TEMPE TAHU  DI DESA BONTOSUNGGU KABUPATEN GOWA

Raodah

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Jalan Sultan Alauddin Km7 Makassar, 90221

raodahtul.janna@yahoo.com

 

Abstrak

 

Artikel ini merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan pada usaha industri pembuatan tempe di Desa Bontosunggu Kabupaten Gowa. Industri tempe tahu memiliki peran yang sangat besar didalam usaha pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan peningkatan pendapatan. Industri ini pada umumnya dilakukan oleh orang Jawa dengan menerapkan budaya manajemen tradisional dalam pengelolaannya. Tujuan penelitian  untuk mengetahui dan mendeskripsikan aspek sosial budaya dan penerapan manajemen efektifitas kerja pada industri pembuatan tempe tahu. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini bersifat deskriftif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara dan studi pustaka. Dari hasil penelitian di ketahui bahwa tumbuhkembangnya usaha industri pembuatan tempe tahu, tidak lepas dari aspek sosial budaya meliputi aspek kekerabatan, politik, religius dan aspek kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedang penerapan efektifitas kerja dilakukan mulai dari perolehan bahan baku,  perekrutan tenaga kerja, proses pembuatan hingga pada pemasaran dan pendistribusian hasil industri.

Kata kunci, Aspek sosial budaya, efektifitas kerja,  tempe tahu

 

  1. PENDAHULUAN

Tempe dan tahu merupakan makanan asli di Indonesia. Makanan tersebut dibuat dengan cara fermentasi (peragian), tetapi tahu menurut beberapa pustaka, berasal dari negeri Cina, namun kedua jenis makanan tersebut sudah akrab dengan lidah kita. Budaya makan tempe sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu terutama di pulau Jawa. Ini terbukti dari manuskrip serat centini yang diterbitkan tahun 1875 di Kraton Solo, Jawa Tengah. Sejak 25 tahun belakangan penelitian-penelitian dasar mengenai tempe berkembang sangat pesat, terutama di belahan bumi utara yaitu Amerika dan Jepang yang sangat maju dalam teknologi fermentasi. Perusahaan tempe yang pertama di Eropa dimulai di Belanda oleh para imigran dari Indonesia. Penyebaran tempe di luar negeri banyak dipengaruhi oleh kehadiran orang Indonesia khususnya suku Jawa serta warga Belanda yang pernah menetap di Indonesia. Di Eropa tempe mulai populer melalui orang-orang Belanda, menurut Stahel, pada tahun 1946, tempe mulai diperkenalkan di Amerika, tempe juga berkembang di negara Jepang yang dirintis oleh Kiku Murata. Pada tahun 1984 sudah tercatat 18 perusahaan tempe di Eropa, 53 di Amerika dan 8 di Jepang (Deliani, 2008: 5)

Kata “tempe” diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada zaman Jawa Kuno terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi. Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan makanan tumpi tersebut. Selain itu terdapat rujukan mengenai tempe dari tahun 1875 dalam sebuah kamus bahasa JawaBelanda. Sumber lain mengatakan bahwa pembuatan tempe diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa. Pada saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi dan kedelai, sebagai sumber pangan. (Syarief ddk.1999:2)

Selain itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tempe mungkin diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis, yaitu koji kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus. Sedang “tahu”  berasal dari  bahasa Cina, yakni : “tao-hu” atau “teu-hu”.suku kata “tao” atau “teu” berarti kacang kedelai, sedangkan “hu berarti hancur menjadi bubur. Dengan demikian secara harfiah tahu adalah makanan yang bahan bakunya kedelai yang dihancurkan menjadi bubur  (Hieorenymus, 1995:37).  Selanjutnya, teknik pembuatan tempe tahu menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air.

Di Indonesia pembuatan tempe dan tahu terhitung sudah menjadi industri rakyat, karena bisa dibilang setiap orang mampu membuat tempe dan tahu, sehingga industri pengrajin tempe  dan tahu ini tersebar dimana – mana. Menurut perkiraan jumlah perajin tempe tidak kurang dari 85 ribu (Fahri dalam Adya 2012: 31). Implikasi dari demikian banyaknya perajin tersebut adalah bahwa industri tempe sangat kompetitif dan baik untuk pemerataan kesempatan berusaha. Hal ini berpengaruh positif bagi pengurangan ketimpangan penghasilan masyarakat.

Ditinjau dari aspek tenaga kerja dan pemerataan kesempatan berusaha, usaha tempe sangat menonjol perannya. Perusahaan tempe pada umumnya padat karya dan merupakan industri rumah tangga.  Ribuan jumlah industri pembuatan tempe yang beroperasi selama ini dan menampung banyak tenaga kerja berpenghasilan rendah, serta  banyak keluarga yang menggantungkan pendapatannya pada industri tersebut, baik mereka yang terikat langsung dengan kegiatan produksi maupun yang tidak langsung.

Demikian halnya masyarakat etnis Jawa yang bermukim di Desa Bontosunggu Kabupaten Gowa, beberapa diantara mereka telah mendirikan industri pembuatan tempe dan tahu, dengan budaya manajemen yang masih bersifat tradisional atau berskala rumah tangga (Home industry). Seluruh tahap proses pembuatannya dilakukan secara manual, dan melibatkan tenaga kerja dikalangan etnis Jawa itu sendiri.  Kelompok manajemen dengan tanggungjawab utamanya menggerakkan orang lain, dalam hal usaha pembuatan tempe dan tahu dimana pengelolaannya (manajemen) diartikan sebagai penggunaan secara efisien sumber-sumber yang terdapat dalam organisasi yang dalam keadaan terbatas yaitu modal, tenaga kerja dan tanah untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi sebagai tujuan akhir.

Aspek sosial budaya dan efektifitas kerja dalam manajemen pada industri pembuatan tempe tahu adalah merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian dan pengarahan, pengkoordinasian serta pengendalian faktor-faktor produksi, hal tersebut dilaksanakan menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan dalam masyarakat tersebut untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik.

Pengetahuan mengelola industri pembuatan tempe dan tahu ini diperoleh dari para pendahulu mereka yang diteruskan kepada generasi berikutnya agar kelompok itu dapat bertahan hidup. Sejalan dengan hal tersebut menurut Ralph Linton (dalam Poerwanto, 2000:97), menyatakan bahwa pada umumnya anggota generasi mengambil over kebiasaan-kebiasaan orang tuanya dan kemudian melanjutkan kepada anak-anaknya dengan tambahan-tambahan atau perubahan-perubahan sesuai dengan pengalaman-pengalamannya. Manajemen tradisional dalam usaha perekonomian dilakukan dengan jalan mewariskan kepada anak cucunya secara turun temurun. Seperti kepandaian mengolah kedelai menjadi bahan makanan berupa tempe dan tahu pada dasarnya tidak diturunkan secara formal kepada anak-anak mereka tetapi dengan mengajaknya untuk terlibat langsung dalam proses pembuatannya, sehingga lama kelamaan anak itu terbiasa dalam melakukannya.

Sistem manajemen tradisional  yang bersifat kekerabatan dikalangan perajin tempe dan tahu yang tersebar di seluruh Indonesia, nampaknya mencerminkan kekhasan budaya manajemen industri tersebut, baik dalam proses produksi maupun pada pola distribusinya. Menurut Suyadi (2001:1), manajemen produksi (operasi) adalah perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dari urutan berbagai kegiatan (set of activities) untuk membuat barang (produk) yang berasal dari bahan baku dan bahan penolong lain. Proses kegiatan yang mengubah bahan baku menjadi barang lain yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi disebut proses produksi.

Demikian halnya pada industri pembuatan tempe dan tahu, manajemen  produksi  dilaksanakan sesuai dengan tahap-tahap pelaksanaaan kegiatan mulai dari penyediaan bahan baku hingga proses pembuatannya, sampai menjadi bahan jadi dilakukan secara manual dengan melibatkan tenaga kerja di kalangan keluarga sendiri. Penerapan budaya manajemen dalam proses produksi disesuaikan dengan modal yang tersedia, selanjutnya menyediakan atau membeli beberapa faktor produksi seperti bahan baku, bahan penolong, tenaga kerja dan sebagainya. Seluruh faktor produksi tersebut berinteraksi dalam proses produksi. Untuk mengetahui budaya manajemen pada industri pembuatan tempe dan tahu, maka yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah:  Bagaimana bentuk dan penerapan  budaya manajemen pada industri pembuatan tempe dan tahu di Desa Bontosunggu Kabupaten Gowa, yang di rumuskan dalam bentuk pertanyaan :1) Bagaimana aspek sosial budaya  dalam bidang produksi dan distribusi  pembuatan tempe dan tahu di Desa Bontosunggu kabupaten Gowa. 2) Bagaimana pengaruh penerapan budaya efektifitas kerja dalam industri pembuatan tempe dan tahu. Tujuan tulisan ini  untuk mengetahui dan mendeskripsikan aspek sosial budaya dan efektifitas kerja dalam bidang produksi dan distribusi industri pembuatan tempe dan tahu di Desa Bontosunggu Kabupaten Gowa.

METODE PENELITIAN   

Artikel ini ditulis dari hasil penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang mendiskripsikan budaya manajemen pada usaha industri pembuatan tempe  dan tahu. Materinya berkaitan dengan  aspek sosial budaya dan efektifitas kerja dalam manajemen produksi dan distribusi dalam pembuatan tempe dan tahu, serta pengaruh penerapan budaya manajemen terhadap efektifitas kerja  industri pembuatan tempe dan tahu.

Penelitian ini  dilakukan  di Desa Bontosunggu Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa. Pemilihan lokasi didasarkan pada  adanya aktivitas sebagian penduduk melakukan usaha perajin tempe tahu, sebagai mata pencaharian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian berasal dari dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder.  Data primer diperoleh melalui wawancara dengan beberapa pemilik usaha perajin tempe tahu, para pekerja pada usaha industri pembuatan tempe tahu, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemerintah setempat. Sedang data sekunder berupa dokumen dari berbagai artikel, hasil penelitian, majalah, buku dan media internet yang berkaitan dengan judul  tulisan.

 

HASIL PEMBAHASAN

Profil Usaha Industri Pembuatan Tempe Tahu di Desa Bontosunggu.

         Industri pembuatan tempe tahu berlokasi di Desa Bontosunggu Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa. Industri ini berpusat di dusun Laccu-laccu yang menempati areal sekitar 18 ha, pabrik tempe tahu itu dibangun pada tahun 1997 yang di kelolah oleh orang-orang Jawa dari beberapa kepala keluarga sebagai pemilik usaha. Bentuk bangunan semi permanent yang  sangat sederhana yang terdiri dari 3 bangunan, pada bagian belakang ada dua bangunan berbentuk rumah yang dindingnya terbuat dari kayu papan dan beratap seng dan belum dilantai, luasnya sekitar 8×10 meter  digunakan sebagai tempat pembuatan tempe. Selanjutnya terdapat bangunan berbentuk rumah panggung yang hanya beratap tidak berdinding, digunakan sebagai tempat fermentasi tempe yang telah dicetak. Pada bagian depan terdapat bangunan untuk pembuatan tahu yang berukuran sekitar 12×10 meter. Disamping bangunan pembuatan tahu berjejer kamar-kamar yang digunakan untuk tempat tinggal para pekerja dan pemilik usaha.

Industri pembuatan tempe tahu yang ada di Desa Bontosunggu masih berskala kecil dalam kategori home industry (industri rumah tangga). Hal ini terlihat dari modal usaha yang digunakan  masih modal sendiri dari kisaran Rp.10.000.0000 hingga Rp.15.000.000.,  modal awal tersebut untuk digunakan untuk pembelian peralatan dan bahan baku. Demikian pula tenaga kerja yang terlibat dalam usaha ini pada umumnya adalah anggota keluarga dan kerabat pemilik usaha, yang datang dari daerah Jawa misalnya dari  Banyuwangi dan  Kediri, yang sudah mempunyai keahlian dalam pembuatan tempe tahu. Pengelolaan manajemen pada industri ini masih bersifat tradisional, mulai pada proses produksi, sampai pada proses pendistribusian dan pemasaran.

Bahan baku pembuatan tempe tahu berupa kedelai dan bahan pembantu berupa ragi atau laru tempe yang digunakan dalam proses fermentasi. Jenis kedelai yang digunakan pada umumnya adalah kedelai kuning yang memiliki biji besar yang bobotnya antara 11-13 gram (Hieronymus, 1993:18). Untuk mendapatkan hasil produksi yang baik para perajin tempe tahu lebih banyak menggunakan kedelai import utamanya kedelai Thailand, karena kedelain import  biji besar dan terjaga kebersihannya. Ragi yang digunakan dalam pembuatan tempe adalah ragi instant dan asam cuka untuk pembuatan tahu.

 Aspek Sosial Budaya

  1. Aspek Kekerabatan Dalam Manajemen Produksi dan Pemasaran

                   Dalam usaha industri tempe dan tahu yang berbentuk home industry pada umumnya melibatkan anggota keluarga dalam memproduksi dan memasarkan produk yang dihasilkan. Dalam proses manajemen produksi dan pemasaran, anggota kekerabatan yang termasuk dalam kelompok keluarga yang bersangkutan harus ada saling kerja sama. Kerjasama tersebut perlu diatur dan diadakan pembagian tugas yang harus dilaksanakan masing-masing bagian atau individu. Pembagian tugas,ini dilakukan oleh pemilik usaha yang melibatkan anak, isteri dan kerabat lainnya dalam produksi dan pemasarannya..

Penerapan manajemen produksi dan pemasaran  dilakukan secara terorganisir  dengan melibatkan tenaga kerja upahan dan anggota keluarganya yang  mempunyai tugas sendiri-sendiri. Pemilik usaha mengkoordinir pekerjaan, mulai dari penyediaan modal, perekrutan tenaga kerja,  pengadaan bahan baku, bahkan terlibat langsung dalam pembuatan tempe dan tahu  sampai pada pemasarannya. Selaku pemilik industri  yang mengkoordinir dan terlibat dalam proses produksi hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan  yang dilakukan oleh pekerja yang terlibat di dalam proses pembuatan. Karena dalam proses pembuatan tempe perlu ketelitian, kecermatan, dan ketepatan dalam mencampur bahan-bahan yang digunakan, disamping itu faktor kebersihan merupakan  yang terpenting dalam proses pembuatan tempe, karena apabila bahan baku berupa kedelai tidak bersih atau terjadi kesalahan dalam pemberian ragi maka akan berakibat fatal pada proses fermentasi dan mengakibatkan produksi tempe mengalami kegagalan.

Budaya manajemen yang diterapkan para perajin tempe tahu, pada umumnya  adalah manajemen tradisional yang bersifat kekeluargaan, sehingga segala keputusan terletak pada pemilik usaha yang juga merupakan kepala rumah tangga, baik pada kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan, maupun pada penggunaan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses produksi. Perekrutan tenaga kerja yang berasal dari kalangan keluarga atau kerabat dekat yang telah berkecimpung dalam usaha industri ini, merupakan suatu cara  yang dianggap efektif, karena tidak lagi memerlukan  pelatihan  khusus untuk melakukan tugas-tugas yang diberikan,  para tenaga kerja ini sudah faham betul dengan  pekerjaan yang akan dilakukan.

Pada umunya pemilik industri tempe tahu di Desa Bontosunggu, menggunakan tenaga kerja dari kerabat dekat yang berasal dari daerah Banyuwangi dan Kediri. Sebagaimana kita ketahui masyarakat yang berasal dari daerah tersebut adalah tenaga-tenaga trampil dalam usaha kerajinan industri tempe tahu. Selain keterampilan yang dimiliki secara otodidak, juga memiliki motivasi untuk bekerja secara sungguh-sungguh, karena para tenaga kerja  yang bekerja di industri ini mempunyai tanggungjawab yang besar terhadap keluarga mereka yang ada di daerah asalnya. Seperti yang diungkapkan Mas Tastari (35 tahun):

” saya harus bekerja dengan sunggu-sunggu karena sudah berkeluarga dan mempunyai 2 orang anak yang tinggal di Kediri, setiap bulan saya mengirimkan uang ke istri saya untuk biaya kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak-anak. Maju mundurnya usaha industri tempe tahu ini sangat tergantung dari keuletan kami sebagai tenaga kerja” ((wawancara, 12 April 2011).

Perekrutan tenaga kerja dari kalangan keluarga atau kerabat terdekat nampaknya menjadi ciri khas industri ini. Selain motivasi kerja yang tinggi, tentunya masalah kepercayaan juga menjadi pertimbangan sehingga para pengrajin tempe tahu lebih memilih kerabat atau anggota keluarga mereka untuk dijadikan tenaga kerja di industri ini. Nampaknya  para perajin tempe dimana-mana di seluruh Indonesia, menggunakan tenaga kerja dari kalangan keluarga dan kerabat sendiri, walaupun mereka membuka usaha di daerah lain di luar Pulau Jawa. Kecenderungan industri tempe tahu menggunakan tenaga kerja dari suku Jawa, erat kaitannya dengan daerah asal mula makanan ini. Demikian pula halnya industri tempe tahu yang ada di Desa Bontosunggu, walaupun pemilik industri ini sudah lama menetap di Daerah Gowa dan memperistrikan wanita yang berasal dari daerah ini, akan tetapi tidak melibatkan warga masyarakat setempat dalam proses produksinya. Kepercayaan akan kemampuan orang–orang Jawa dalam pembuatan tempe tahu sudah membudaya dimana– mana. Hal ini tampak pada salah satu usaha milik Mas Jumangin (45 tahun) dalam proses pembuatan tahu, ia mempercayakan 1 orang tenaga kerja untuk mengkoordinir 4 orang pekerja.  Setiap pekerja mempunyai tugas tersendiri yang dapat di roling atau dialihkan kepada tugas yang lainnya, sehingga seluruh pekerja mengetahui secara keseluruhan tahap-tahap proses produksi. Seperti bagian pencucian dan penggilingan kedelai, perebusan, pemberian cuka dan pencetakan tahu. Jadi apabila salah seorang pekerja berhalangan, maka pekerja lainnya dapat mengabil alih pekerjaan tersebut. Untuk mengoptimalkan pekerjaannya, para tenaga kerja yang datang dari Pulau Jawa ini, oleh pemilik industri  dibuatkan tempat tinggal yang  bersebelahan dengan pabrik tahu dan tempe, sehingga mereka dapat bekerja  dengan  waktu yang maksimal.

Dalam pemasaran industri tempe tahu pada umumnya melibatkan orang-orang Jawa, sebagai penjual.  Namun ada juga sebagian kecil masyarakat di daerah ini yang berusaha sebagai penjual tempe tahu baik sebagai pengecer maupun sebagai agen yang mendrop ke pasar-pasar tradisional.  Umumnya yang dikenal oleh masyarakat Makassar sebagai penjual tempe adalah orang Jawa, karena pembuatan bahan makanan ini identik dengan usaha orang Jawa. Begitu juga kenyataan yang ada  pada masyarakat di daerah Gowa atau pada daerah-daerah lain yang ada di Indonesia  bahwa usaha pembuatan  tempe tahu  yang berbentuk  usaha rumah tangga hampir seratus persen dikelolah oleh orang Jawa selain mempekerjakan keluarga inti, mereka juga menggunakan tenaga upahan dari luar yang masih ada hubungan kekerabatan dengan pemilik industri.

Kecenderungan untuk memasarkan hasil industrinya nampak juga pada industri-industri kecil kerajinan tempe tahu yang ada di daerah Pangkabinanga Kecamatan Palangga Kabupaten Gowa. Dari hasil wawancara dengan beberapa pembuat tempe tahu yang ada di wilayah ini mengatakan bahwa selain mereka membuat tempe juga memasarkan sendiri hasil industrinya, hal ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang yang lebih maksimal. Membuat sekaligus memasarkan dapat dilakukan karena mereka memproduksi tempe dalam jumlah kecil sekitar 200 kg sehari, berberda dengan industri tempe tahu  yang memproduksi tempe tahu dalam jumlah besar.

Pada uraian di atas nampaknya bahwa aspek kekerabatan dalam manajemen produksi dan pemasaran industri tempe  dan tahu, dimana peranan keluarga inti dan kerabat terdekat  merupakan  lingkup organisasi  yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Kepercayaan terhadap tenaga kerja yang direkrut dari kalangan keluarga dan kerabat terdekat menjadikan usaha ini terorganisir dengan baik untuk menghasilkan keuntungan yang maksimal.

  1. Aspek Politik dalam Manajemen Produksi dan Pemasaran.

Dalam setiap jenis usaha atau kegiatan, baik yang berskala besar maupun kecil, peranan manajemen sangat penting guna menunjang keberhasilan  tercapainya tujuan yang diinginkan terutama dilihat dari aspek politiknya. Oleh karena aspek politik adalah sesuatu atau hal-hal yang berhubungan dengan keteraturan dan ketertiban hidup. Kehidupan yang teratur dan tertib merupakan kebutuhan sosial manusia . Oleh sebab itu tidak seorangpun  manusia normal yang tidak membutuhkannya.

Untuk lebih jelasnya agar ada gambaran nyata mengenai kehidupan politik pada umumnya di masyarakat  terutama pada mereka yang bergerak pada usaha home industri tempe dan tahu yang ada di Desa Bontosunggu, maka dibawah ini akan diuraikan secara mendetail yang didukung dari hasil wawancara dengan para informan.

Dalam manajemen produksi dan pemasaran  tidak terlepas dari peranan pemerintah daerah dalam mengarahkan usaha–usaha industri kecil untuk berkembang, karena disamping dapat menumbuhkembangkan industri kecil, juga dapat menyerap lapangan kerja yang dapat menurunkan tingkat pengangguran. Pada instansi terkait  seperti Dinas Industri dan Perdagangan Kabupaten Gowa  tentunya dapat memberi kontribusi  berupa pengarahan-pengarahan yang dapat meningkatkan  mutu bagi industri perajin tempe dan tahu yang ada di Kabupaen Gowa.

Selain arahan dan petunjuk dari instansi terkait yang diharapkan oleh para pemilik home industry, tentunya ada perhatian pemerintah dalam hal permodalan  dengan melibatkan lembaga keuangan seperti Bank Pemerintah atau koperasi-koperasi  yang dapat memberikan kredit lunak dengan bunga rendah dan jaminan yang dapat dijangkau oleh para pemilik industri ini. Menurut Jumangin mengemukakan bahwa, peranan lembaga keuangan sangat membantu mereka dalam mengembangkan usahanya. Pada tahun 2005 pernah melakukan pengambilan kredit pada salah satu bank pemerintah untuk menambah modal usahanya  dengan jaminan sertifikat tanah dan berhasil mengembangkan usahanya  dengan membuka pabrik tahu walaupun bangunannya sangat sederhana, namun itu sangat membantu untuk memperbesar omset produksinya. (wawancara 10 April 2013).

Namun disisi lain, sebagian informan mengatakan bahwa pemberian kredit yang diberikan pada perajin  tempe tahu masih dirasakan sangat berat dengan tingkat bunga yang masih tinggi, sehingga mereka  masih berpikir untuk menggunakan jasa bank untuk ekspansi usahanya, begitu juga dengan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak bank, terkadang tidak dapat dijangkau oleh  pemilik industri yang rata-rata beromset kecil.

Disamping  peranan pemerintah yang sangat membantu industri tempe  dan tahu yang di Desa Bontosunggu ini, mereka tidak lupa pula menjalankan kewajibannya sebagai pembayar pajak penghasilan yang dilaksanakan setiap tahun. Sebagai pembayar pajak yang baik tentu saja mengharapkan kontribusi kepada pemerintah setempat untuk memperbaiki jalan menuju ke lokasi  industri ini karena hal ini dapat memperlancar usaha mereka, demikian pula bagi masyarakat disekitarnya dapat  menikmati transportasi yang lancar.

Keterlibatan pemerintah atau instansi terkait yang ada di Kabupaten Gowa pada aspek  pemasaran tentunya dapat meningkatkan omset penjualan dari para perajin tempe tahu. Apabila kita membandingkan para perajin tempe tahu yang ada di daerah Jawa, dimana hasil industri tempe dan tahu sudah menjadi bahan komoditi ekspor, tentunya merupakan suatu hal yang dapat meningkatkan penghasilan dari para pengrajin tempe tahu sekaligus dapat menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Dari wawancara beberapa pengrajin tempe tahu yang ada di daerah Gowa,  mereka berharap  bahwa kedepannya industri kerajinan tempe tahu ini dapat menjadi perhatian dari pemerintah untuk meningkatkan  kuantitas dan kualitas industri ini agar dapat dijadikan bahan makanan yang mempunyai standar kualitas ekspor.

  1. Aspek Religius dalam Manajemen Produksi dan Pemasaran      

Aspek religius dalam kehidupan adalah melandasi pencaharian prinsip benar dan salah untuk mengatur  kehidupan. Kepercayaan yang dianut oleh kelompok manusia atau individu  itu disamping mempersatukan  sekelompok manusia dan kelompok manusia lainnya, juga dapat mengatur kehidupan  manusianya. Sejalan dengan itu Haviland (1988:193) mengungkapkan, bahwa relegi adalah kepercayaan dan pola perilaku yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah penting yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan teknologi dan teknik organisasi.

Jadi dalam relegi terdapat nilai yang bermakna yang mendorong manusia mempercayai suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, dan berbagai cara untuk menjalin hubungan dengan kekuatan tersebut. Kepercayan seperti ini dan konsep-konsep yang terdapat di dalamnya berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia.

Demikian halnya  dengan masyarakat etnis Jawa yang bermukim di Desa Bontosunggu, masih sangat menjunjung tinggi kebudayaan dan adat istiadat  daerah mereka maupun adat istiadat masyarakat setempat. Kepercayaan itu mencerminkan cara mereka bertindak baik dalam berproduksi maupun dalam manajemen pemasarannya.  Sebelum mereka melakukan  suatu usaha, tentunya kepercayaan terhadap hari dan waktu yang baik tentunya menjadi pedoman mereka dalam bertindak. Kepercayaan ini diyakini akan membawa kebaikan, dengan harapan bahwa akan membawa keberhasilan dan keuntungan bagi usaha mereka.

Walaupun masyarakat di desa ini  adalah penganut agama Islam yang taat, namun kepercayaan akan campur tangan makhluk gaib masih saja mewarnai kehidupan mereka, oleh sebab itu mereka senantiasa melakukan upacara-upacara sebagai penghormatan kepada makhluk-makhluk halus dan penolak bala. Sesuatu yang dianggap gaib pada dasarnya dapat mendatangkan kebaikan dan  juga  malapetaka oleh sebab itu perlu dilakukan upacara dengan memberi sesajen  agar tidak menganggu usaha mereka. Kepercayaan terhadap kekuatan gaib sangat diyakini, menurut pengakuan Mas Jumangin:

”Saya pernah mengalami pengalaman gaib, selama sebulan penuh  pembuatan tempe saya mengalami kegagalan, saya tidak tahu persis apa penyebabnya karena cara atau proses yang dilakukan sudah sesuai dengan prosedur, namun ada keanehan fermentasi kedelai untuk menjadi tempe selama sebulan mengalami kegagalan. Secara akal sehat kejadian ini diluar penalaran yang rasional, namun itulah yang terjadi,  usaha saya mengalami kerugian. Kemudian saya melakukan ritual untuk mengusir kekuatan gaib dengan bantuan paranormal dan ustadz, setelah kejadian tersebut proses produksi tempe saya kembali mengalami perbaikan” (wawancara, 15 April 2013).

Selain kepercayaan akan kekuatan gaib yang mempengaruhi proses produksi tempe tahu, diyakini sebagai sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh tindakan yang rasional namun keberadaannya menjadi  sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Demikian pula dalam memasarkan hasil produksinya, diyakini bahwa ada sesuatu hal yang mendorong orang atau konsumen untuk membeli. Kepercayaan akan penglaris dalam berjualan nampaknya diyakini sebagian besar para perajin, kepercayaan ini mewarnai perilaku mereka dalam memasarkan hasil industrinya.

Selain upacara menolak bala, mereka juga menyelenggarakan upacara syukuran apabila mereka mendapatkan keuntungan dengan melakukan pembacaan doa yang dipimpim oleh imam mesjid atau ustazd dengan mengucap   puji syukur kepada Tuhan  atas limpahan rezeki yang telah diberikan, dengan menyediakan makanan kemudian disantap bersama dengan para kerabat dan tenaga kerja yang bekerja di industri ini.  Penyelenggaraan upacara ini dilakukan setiap tahun sebagai ungkapan syukur  dengan harapan bahwa kegiatan produksi terus mengalami peningkatan. Disamping itu tujuan penyelenggaraan upacara ini diharapkan dapat menjalin hubungan yang erat antara kerabat, pemilik usaha dan para tenaga kerja.

  1. Aspek Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Manajemen Produksi dan Pemasaran

                      Perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini di berbagai bidang, tentunya membawa kemajuan, seiring dengan  perkembangan ekonomi  yang sangat pesat, sehingga  terciptanya  berbagai macam kegiatan  ekonomi sebagai upaya  untuk memenuhi  kebutuhan manusia  yang kian hari kian meningkat. Perkembangan pengetahuan dan  penerapan teknologi tentu juga berdampak pada usaha industri tempe   dan tahu, bagaimana  mereka dapat menerapakannya agar dapat meningkatkan  produksi dan mutu  begitu pula pada manajemen pemasarannya.

Penggunaan teknologi pada proses produksi sebagian telah mengalami perubahan hal ini terlihat pada sebagian peralatan yang digunakan, seperti pada penggunaan mesin pemecah kedelai untuk memproduksi tempe  dan mesin penggiling kedelai untuk pembuatan tahu. Alat ini dirasakan sangat membantu perusahaan yang memprosuksi tempe tahu secara besar-besaran. Penggunan teknologi juga nampak pada perebusan kedelai dimana pemanasan dilakukan dengan menggunakan pipa yang dihubungkan dengan drum yang diisi air kemudian mengalirkan uap panas pada tungku perebusan. Metode ini digunakan agar hasil perebusan tidak menglami perubahan warna seperti pada tahu, apabila dilakukan pemanasan langsung dengan api maka mengakibatkan warna tahu menjadi kecoklatan.  Perebusan tanpa menggunakan api secara langsung merupakan salah satu penerapan teknologi pada industri ini.

Penggunaan bahan-bahan yang berkualitas baik tentu dapat meningkatkan mutu  hasil produksi, tersedianya bahan kedelai import untuk mensuplay kebutuhan. Hal ini terlihat pada penggunaan ragi tempe  untuk fermentasi sudah tersedia dalam bentuk instant dengan penggunaan yang praktis  sehingga tidak lagi mengolahnya secara tradisional. Dari segi peralatan dan proses pembuatan pada umumnya masih sangat sederhana, sehingga produk yang dihasilkan tentunya masih standar lokal yang pemasarannya masih sekitar wilayah dimana pengrajin tempe tahu itu berada. Walaupun ada harapan atau keinginan dari para perajin untuk menjadikan hasil produk mereka bisa menjadi salah satu komoditi ekspor, agar mempunyai nilai jual yang lebih baik.

Dari hasil pengamatan di berbagai industri tempe yang ada di Kabupaten Gowa, rata-rata mereka dalam memproduksi dan memasarkan masih dengan pola manajemen yang sangat sederhana. Kebanyakan dari penjual tempe tahu menjajakan barang dagangnnya dengan menggunakan sepeda, walaupun sudah  ada sebagian yang   menggunakan sepeda motor.  Penggunaan teknologi  nampaknya hanya terbatas pada  pemenuhan kebutuhan keseharian mereka para pemilik industri atau pada tenaga kerjanya, seperti penggunaan telepon seluler  untuk berkominikasi dengan para pedagang pengecer yang menjadi langganannya  atau  kepada  pemasok kedelai. Penggunaan telepon genggam ini sangat membantu dalam memperlancar usahanya

                  Kemajuan teknologi dalam bidang industri nampaknya tidak banyak dilakukan dalam proses produksi  maupun pemasarannya. Sehingga untuk menjadi suatu industri yang besar agaknya masih jauh dari harapan, pengelolaan secara tradisional tidak memungkinkan tempe tahu bertahan lama, sehingga peluang ekspor pun sangat terbatas yang dilakukan para perajin tempe tahu di daerah Gowa.

   Penerapan Budaya Efektifitas Kerja Industri Tempe Tahu

Kemajuan suatu usaha baik pada industri yang menghasilkan produk maupun pada usaha jasa, sangat ditentukan  dengan pola manajemen yang baik. Penerapan  budaya manajemen yang sesuai dengan budaya organisasi atau industri dapat berpengaruh pada efektivitas kerja,  dimana  suatu keadaan tercapainya tujuan yang diharapkan atau dikehendaki melalui penyelesaian pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Menurut Sondang (2001:24) memberikan definisi sebagai berikut: “Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya”. Efektivitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan, jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya. Demikian halnya dengan industri tempe tahu yang masih  menerapkan manajemen tradisional, dapat terus berkembang apabila penerapan budaya manajemennya dapat meningkatkan efektivits kerja perusahaan secara menyeluruh.

  1. Efektivitas Kerja dalam Produksi Pembuatan Tempe Tahu

                    Efektifitas kerja dalam proses produksi yang diterapkan para pemilik usaha industri tempe tahu yang ada di Desa Bontosunggu dapat dikatakan cukup efektif, dimana  setiap tahap dapat dikelola dengan baik  mulai dari permodalan, penggunaan tenaga kerja sampai pada tata cara pembuatannya. Pengelolaan modal yang berawal dengan modal sendiri sampai pada bantuan kredit yang diberikan untuk menambah modal usahanya sehingga berkembang dengan pesat. Hal ini berdampak pada  peningkatan omzet produksi tempe dimana pada mulanya industri ini hanya mampu   mengelola kedelai sebanyak 50 Kg mengalami peningkatan menjadi 350 kg perhari. Perluasan areal usaha dapat dilakukan dengan bertambahnya volume kerja, dimana pada awalnya industri ini hanya memproduksi tempe, namun dengan kemampuan usahanya industri ini mendirikan pabrik  tahu yang dapat mengolah kedelai sebanyak 400 sampai 500 kg perhari.

Perekrutan tenaga kerja  yang dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja dari kalangan keluarga dan kerabat terdekat yang mempunyai kemampuan dibidang pembuatan tempe tahu dapat meningkatkan efektivitas kerja. Hal ini tercermin dari perilaku tenaga kerja yang mempunyai motivasi dan ketekunan yang tinggi  dalam melaksanakan pekerjaannya, sehingga meningkatkan produktivitas industri ini. Sebagai pemilik usaha  Jumangin (45 tahun) dapat melakukan kontrol secara menyeluruh dari setiap aspek produksi. Memperlakukan karyawan sebagai salah satu asset atau investasi  untuk pengembangan usaha dilakukan dengan pendekatan yang bersifat kekeluargaan dengan  memberikan kompensasi yang maksimal untuk meningkatkan motivasi  kerja karyawannya.

.Pada penggunaan bahan baku dan bahan pembantu pada produksi tempe tahu dilakukan dengan memilih kedelai import untuk pembuatan tempe dan kedelai lokal untuk pembuatan tahu. Pemilihan bahan baku seperti ini dilakukan untuk menekan biaya produksi, dimana pada pembuatan tempe yang digunakan kedelai impor untuk mendapatkan kualitas tempe yang baik, walaupun harga kedelai impor lebih tinggi dibanding kedelai lokal, namun hasilnya lebih berkualitas. Berbeda dengan produksi tahu yang hanya menggunakan kedelai lokal karena pada produksi tahu yang diambil hanyalah sari kedelai, jadi tidak mempengaruhi kualitas dari produk tersebut. Dengan demikian cara seperti ini tentu saja dianggap efektif untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari kedua produk tersebut.

Demikian pula pada penggunaan bahan pembantu untuk produk tempe dan tahu. Pada pembuatan tempe diketahui menggunakan bahan pembatu seperti ragi, daun pisang dan plastik. Pada kebanyakan industri tempe menggunakan ragi yang dibuat sendiri secara tradisional, namun ada pula industri yang menggunakan ragi instan yang dapat dibeli di pasar.  Ragi ini dianggap lebih efektif ketimbang membuat ragi sendiri, karena kualitasnya lebih terjamin dan mengurangi resiko kesalahan dalam fermentasi. Demikian halnya dengan pembungkus tempe yang hanya menggunakan daun pisang, penggunaan daun pisang dianggap lebih murah dibanding menggunakan bahan dari plastik, disamping itu daun pisang dapat memberi aroma khas pada tempe dan memberi cita rasa tersendiri.

                       Pada pembuatan tahu bahan pembatu yang digunakan seperti cuka atau jeruk terkadang dapat menaikkan biaya produksi, sehingga untuk menekan biaya produksi bahan pembantu yang digunakan untuk fermentasi sari kedelai menjadi tahu digunakan larutan asam  dicampur gula merah dan hasilnya hampir sama apabila menggunakan bahan larutan cuka atau jeruk, bahkan cita rasa dan aroma tahu lebih gurih apabila menggunakan larutan asam gula merah.

                      Penerapan budaya manajemen yang efektif pada industri ini nampak pula pada perekrutan tenaga kerja dengan sistem kekeluargaan, dimana tenaga kerja yang digunakan terdiri dari anggota keluarga sendiri  seperti anak, istri dan saudara, serta dari kalangan kerabat yang ahli dalam pembuatan tempe tahu. Cara ini dianggap efektif karena secara tidak langsung mereka melakukan pewarisan keterampilan kepada anggota keluarganya, disamping itu upah kerja bisa ditekan dibanding menggunakan tenaga kerja dari luar dimana  upah kerja tentunya harus  dibayarkan sesuai  standar upah minimun regional yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Perekrutan tenaga kerja dari kalangan kerabat yang telah mempunyai keterampilan dibidang pembuatan tempe tahu  juga dianggap efektif karena dapat menekan biaya pelatihan dan mengurangi resiko kesalahan dalam proses produksi. Menurut Mas Jumangin:

” tenaga kerja yang diambil dari  kalangan keluarga atau kerabat terdekat dapat dipercaya, hal ini terlihat dari ketekunan dan motivasi kerja dari orang-orang bekerja di industri ini. Untuk memaksimalkan dan memudahkan mereka dalam bekerja, para pekerja  yang berasal dari Pulau Jawa, saya beri tempat tinggal bersebelahan dengan pabrik tahu dan tempe. Tanpa membebani mereka dengan sewa, hal ini dilakukan untuk memaksimalkan upah yang mereka peroleh dari membuat tempe dan tahu” (wawancara 20 April 2013)

Penerapan budaya manajemen dalam pembayaran upah senantisa dilakukan kesepakatan dengan pekerja. Pemilik industri tidak membuat perjanjian kerja atau kontrak kerja secara tertulis terhadap pembayaran upah, tetapi mereka saling percaya bahwa antara pemilik industri dan tenaga kerja tidak akan dirugikan. Budaya gotong royong juga nampaknya mewarnai kesepakatan kerja mereka. Hal ini nampak pada apabila ada diantara mereka mengalami kesulitan atau musibah, biasanya pemilik industri selalu memberikan bantuan pada karyawannya. Misalnya apabila pekerja mengalami kesulitan keuangan, pemilik usaha memberi pinjaman atau membantu mereka secara moril apabila ada diantara karyawannya yang mengalami kesulitan. Demikian pula sebaliknya para karyawan rela bekerja dengan upah yang minimun apabila perusahaan mengalami kerugian. Satu hal yang perlu ditiru dari budaya manajemen ini adalah memberi kesempatan kepada para karyawan untuk mengembangkan potensi diri. Apabila ada karyawan yang mau berusaha membuka usaha sendiri, maka si pemilik industri tidak menghalangi, bahkan  memberi kebebasan disertai pinjaman modal usaha. Kegotongroyongan  inilah yang mendasari mereka tetap eksis  dalam menjalankan usahanya.

  1. Efektivitas dalam Pemasaran

                Menurut Philip Kotler (dalam Angipora 2002 :49) mengatakan bahwa, lingkungan pemasaran perusahaan terdiri dari pelaku-pelaku dan kekuatan yang mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk mengembangkan dan mempertahankan transaksi-transaksi dan hubungan yang menguntungkan dengan pelanggan sasarannya. Berdasarkan defenesi  tersebut terlihat jelas bahwa dalam melaksanakan kegiatan–kegiatan perusahaan menghadapi pihak yang merupakan pelaku-pelaku yang terlibat secara langsung atau tidak langsung baik yang berasal dari dalam perusahaan itu sendiri maupun yang berasal dari luar perusahaan yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi aktivitas perusahaan.

Demikian pula pada perusahaan industri tempe tahu dimana manajemen pemasarannya dilakukan dengan cara sederhana, mengutamakan kerjasama yang menguntungkan antara pemilik industri dengan pelaku-pelaku pemasaran. Pemasaran ada yang dilakukan secara langsung dan ada yang tidak langsung. Tenaga-tenaga yang terlibat dalam pemasaran tempe tahu  adalah pemilik industri,  pedagang perantara dan pedagangan pengecer.

  1. Pemasaran langsung

Pendistribusian sebagai kegiatan pemasaran yang berusaha memperlancar dan mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen sehingga penggunaannya sesuai dengan yang diperlukan (Fandy,1997:23).  Pemasaran dilakukan secara langsung oleh pemilik industri kepada konsumen dengan melakukan penjualan di pasar-pasar tradisional terdekat dengan lokasi industri. Pada usaha industri tempe tahu yang ada Desa Bontosunggu, pemasaran produksinya langsung dilakukan dengan membawa ke Pasar Limbung Gowa, yaitu pasar tradisional yang terdekat dengan lokasi industri dan ke Pasar Sentral Takalar, dengan menggunakan angkot. Di Pasar Takalar pengusaha tahu tempe memberikan kepada para pedagang pengecer dengan harga yang sama apabila si pedagang pengecer membeli langsung ke lokasi industrinya, walaupun memerlukan biaya transportasi tapi omzet penjualan bisa lebih besar dibanding menunggu pedagang pegecer datang membeli ke tempatnya. Disamping itu untuk memperluas pangsa pasar dengan melakukan persaingan pada industri tempe tahu yang banyak terdapat di daerah Gowa dan Takalar.

Pemasaran langsung dilakukan pula oleh para istri pemilik usaha, dengan membawa langsung  ke Pasar-pasar terdekat dan menjual langsung kepada konsumen dengan harga yang sama dengan pengecer lainnya yang berjualan di pasar tersebut. Penjualan langsung ini dapat memberikan keuntungan yang maksimal disamping itu  dapat menjaring informasi dari konsumen dan mengetahui perbandingan  tentang kualitas dari tempe tahu yang dikelolahnya  dengan  tempe tahu yang diproduksi oleh perajin tempe lainnya. Ini  dilakukan sebagai bahan masukan untuk perbaikan baik menjaga kualitas maupun melakukan persaingan harga diantara para pengrajin tempe tahu.

  1. Pemasaran Tidak Langsung

                        Pendistribusian merupakan kegiatan pemasaran yang berusaha memperlancar dan mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen sehingga penggunaanya sesuai dengan kebutuhan.  Untuk memasarkan hasil produksinya dengan cepat tidak dapat terpenuhi dengan cara melakukan pemasaran langsung saja, akan tetapi memerlukan kerjasama dengan tenaga pemasaran, baik melalui pedagang perantara maupun  pedagang pengecer yang menjajakan langsung ke konsumen. Sistem pemasaran ini dianggap efektif karena tempe tahu yang diproduksi pada hari itu harus habis terjual, mengingat bahan makan makanan ini tidak  dapat bertahan lebih dari 24 jam, karena akan terjadi pembusukan. Menurut Mas Yudi (29 thn) penjaja tempe tahu yang setiap hari berjualan dengan menggunakan sepeda, berkeliling kompleks perumahan bercerita bahwa

” Saya setiap hari  mulai berjualan sekitar jam 06.00 pagi, dan selesai sekitar jam 12 siang dengan keuntungan maksimal antara  Rp 50.000 sampai Rp.75.000 perhari dengan mengeluarkan modal usaha sekitar Rp 250.000 sampai Rp.300.000.” (wawancara 17 April 2013).

Berbagai cara yang dilakukan pedagang tempe tahu untuk menghabiskan barang dagangannya apabila menjelang sore hari tempe tahu masih ada yang  tersisa, seperti yaitu dengan menjual separuh harga yang penting kembali modal. Tempe yang dipotong dengan ukuran  20 x 20  cm dijual dengan harga Rp. 5.000,-. sedang ukuran 10 x 20 cm dijual dengan harga Rp. 3.000,- per potong. Sedang tahu yang berukuran 10 x 10 cm di jual dengan harga Rp.2.000 per 5 potong.  Keuntungan dapat diperoleh secara maksimal apabila seluruh dagangannya habis terjual dengan harga seperti yang disebutkan di atas.

PENUTUP

  1. Simpulan

                  Penerapan budaya manajemen produksi dan pemasaran pada pembuatan tempe tahu yang ada di Desa Bontosunggu Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa  tidak jauh berbeda dengan industri-industri sejenis yang ada di seluruh Indonesia. Sebagai industri rumah tangga usaha kerajinan tempe tahu masih mengutamakan aspek sosial budaya yang meliputi aspek kekerabatan, aspek politik, aspek religius, dan aspek ilmu pengetahuan dan penerapan kemajuan teknologi dalam manajemen produksi dan pemasarannya. Tradisi kegotongroyongan dan saling percaya disertai dengan motivasi yang tinggi dari segenap tenaga yang terlibat dalam industri pembuatan tempe tahu merupakan investasi bagi pengembangan usaha ini ke depan.

Penerapan budaya manajemen  yang diterapkan pada industri tempe tahu dapat meningkatan efektifitas kerja, baik dalam proses produksi maupun dalam pemasarannya. Hal ini terlihat pada peningkatan volume kerja dan omzet yang dihasilkan industri ini mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pengelolaan modal, penggunaan tenaga kerja, dan tata cara pengolahan tempe tahu dianggap efektif, karena dapat  mengembangkan usaha ini yang semula dari usaha rumah tangga yang dilakukan sendiri dapat meningkat dengan mendirikan pabrik dan merekrut tenaga kerja.

Efektifitas kerja juga nampak pada pemasaran hasil industri tempe tahu, dengan menerapkan  dua sistim yaitu pemasaran langsung dan tidak langsung. Pemasaran langsung yang dilakukan oleh perajin tempe tahu langsung ke konsumen dapat memberikan keuntungan maksimal. Namun pada pemasaran tidak langsung yang menggunakan pedagang perantara dan pengecer dapat mempercepat distribusi hasil industri ini ke konsumen.  Kedua sistim ini dapat mengefektifkan pemasaran tempe tahu. sampai ke pelanggan, ketika bahan  makanan ini masih dalam keadaan segar, karena mengingat tempe tahu tidak dapat bertahan sampai 24 jam.

  1. Saran-saran
  2. Aspek sosial budaya dan manajemen efektivitas kerja yang diterapkan industri pembuatan tempe tahu yang ada  di Desa Bontosunggu Kabupaten Gowa  belum sepenuhnya dapat mengacu perkembangan home industry ini untuk meningkatkan kualitas yang dapat dijadikan standar komoditi ekspor. Olehnya itu perlu pembinaan dan pengarahan dari instansi terkait.
  3. Di beberapa tempat pembuatan tempe tahu yang ada di Kabupaten Gowa, tampak lokasi atau pabrik yang dibangun seadanya sehingga terkesan kumuh, sehingga jauh dari kesan higenis. Untuk itu diharapkan bagi pemerintah setempat untuk dapat melakukan pembenahan dan pemberian bantuan guna merelokasasikan tempat pengolahan yang layak.
  4. Di beberapa industri tempe tahu yang ada di Kabupaten Gowa, belum melakukan pembuangan limbah menurut standar yang ditetapkan oleh pemerintah, sehingga dapat mencemarkan lingkungan disekitranya. Untuk itu pemerintah setempat perlu melakukan penertiban dan penerapan standar limbah yang baik.

 

                                               DAFTAR PUSTAKA

Adya Hermawati, 2012. Peranan Aspek Sosial Ekonomi Perajin Tempe terhadap Pendapatan dan Partisipasinya sebagai Anggota Primkopti. Jurnal Sains Manajemen Program Magister Sains Manajemen UNPAR Volume I, Nomor 1, September 2012

.

Angipora, Marius P. 2002, Dasar-dasar Pemasaran. Edisi 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

 

Deliani.2008. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Protein, Asam Lemak, dan Asam Fitat Pada Pembuatan Tempe. (Tesis). Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

 

Fandy. Tjiptono, 1997.  Strategi Pemasaran Yogyakarta: Penerbit Andi

 

Hasibuan, Melayu, S.P. 1990. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Gunung Agung

 

Haviland, William A.1988. Antropologi. Jakarta: Erlangga

 

Hieronymus, Budi Santoso. 1995. Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai. Yogyakarta: Kanisius

 

Poerwanto, Hari, 2000. Kebudayaan dan L:ingkungan (Dalam Perspektif Antropologi), Yogyakarta:  Pustaka Pelajar

 

Syarief, R. dkk. 1999. Wacana Tempe Indonesia. Surabaya: Universitas Katolik Widya

Mandala

Suyadi Prawirasentono, 2001, Manajemen Operasi Analisis dan studi kasus. Jakarta: Bumi Aksara.

 

Sondang P. Siagian. 2001. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara