Bicara orang Waropen tidak lepas dari mite-mite yang hidup bersama dalam kehidupan yang turun temurun dalam budaya Waropen. Mereka percaya bahwa asal orang Waropen pada awalnya mereka menetap di daerah pedalaman dari Gunung Tonater, Wamsopedai dan bermigrasi ke pantai. Sementara penggunaan istilah Waropen mempunyai hubungan dengan kata Oropang/Erropang yang awalnya digunakan oleh Jacob Weyland (1705). Sebab migrasi mereka dari pedalaman ke pantai sebagai akibat dari adanya tumpahan air bah/ banjir yang menghanyutkan orang Waropen yang kemudian tersebar ke sebelah barat dan mereka dikenal dengan orang Waropen Ambumi dan orang Waropen Ronari di sebelah timur, sedangkan yang terhanyut tidak terlalu jauh adalah tertinggal di pesisir Waropen yaitu orang Waropen Kaai.
Dr. G.J. Held (1947) membagi wilayah Waropen atas tiga (3) wilayah hukum adat dengan merujuk pada perbedaan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Wilayah tersebut adalah wilayah Waropen Ambumi, wilayah Waropen Kaai, dan wilayah Waropen Ronari. 1) Masyarakat hukum adat Waropen Ambumi terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang masuk ke wilayah kabupaten Nabire mendiami kampung-kampung Napan, Wenami, Masipawa, Makimi, Moor, Mambor dan Ambumi. Serta kelompok yang masuk wilayah kabupaten Teluk Wondama dan mendiami kampung-kampung Yendeman, Syabes, War, Kayob, dan Menarbu. 2) Masyarakat Hukum Adat Waropen Kaai, yaitu masyarakat yang mendiami kampung-kampung Senamui, Wapoga, Desawa, Waren, sedangkan kampung-kampung Paradoi, Sanggei, Mambui, Nubuai yang kini tergabung dalam satu pemukiman yang disebut Urey Faisei, Risey Sayati dan Wonti, Bokaro, Koweda.; 3) Masyarakat Hukum Adat Waropen Ronari, yaitu masyarakat yang mendiami kampung-kampung Barapasi, Sosora, Sorabi, Kerema, dan Tamakuri, Teba, Janke, Baitanisa, yaitu yang mendiami daerah pedalaman Waropen sebelah Timur sampai ke pegunungan Van Rees.
Pengelompokan di atas sekaligus memetakan orang waropen secara luas dan sebagai identitas orang Waropen sampai sekarang. Dan dalam perkembangan saat ini berkaitan dengan pemekaran wilayah administrasi pemerintahan kabupaten berpatokan pula pada ciri-ciri kultural yang dimiliki orang Waropen seperti yang saat ini termasuk dalam wilayah pemerintahan kabupaten Waropen adalah masyarakat hukum adat Waropen Kaai.
Dalam budaya orang waropen banyak kita temui folklor berupa cerita rakyat, puisi, ungkapan tradisional, permainan rakyat, makanan tradisional dan lainnya. Salah satu dari sekian kekayaan folklor dalam budaya orang waropen adalah Munaba atau Munai yang turun temurun masih dilaksanakan orang waropen baik waropen Ambumi, Kaai dan Ronari. Munaba sebagai warisan budaya leluhur mereka merupakan salah satu bentuk unsur kebudayaan yang punya fungsinya termasuk dalam folklor lisan yang penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut ( atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya (Danandjaja 2002).
Sebelum membahas lebih jauh mengenai tradisi Munaba, maka perlu kami memberikan beberapa pendapat orang Waropen yang berkaitan dengan beberapa istilah yang berkaitan dengan nyanyian adat orang waropen yang dikenal umum yaitu muna atau munaba. Karel Maniagasi dan E. Saroi mengemukakan beberapa konsep seperti taghara, kanisa, we, kowa. Beberapa istilah ini sering digunakan secara tidak tepat taghara atau saghara yang berarti menyanyi menurut mereka adalah merupakan sebutan yang digunakan untuk mendefinisikan nyanyian adat tertentu yang ditampilkan pada waktu dan peristiwa tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Sementara menurut Martin Sawaki seorang budayawan waropen mengatakan seperti nyannyian adat yang yang dinyanyikan seperti di atas oleh orang Waropen sebagai nyanyian kehidupan seperti dalam kalimat kitghara rano artinya mereka menyanyikan lagu, asaghai rano mato tagharo artinya engkau menyannyikan lagu-lagu supaya kita bernyanyi. Di sini menurut mereka lagu yang mereka nyanyikan jelas untuk nyanyian kehidupan. Lebih lanjut Sawaki mengemukakan bila ada nyanyian kehidupan maka sudah pasti ada nyanyian kematian dalam budaya orang waropen. Sedangkan dalam bentuk nyanyian adat kematian ada istilah kanisa atau nyanisa yang berarti ‘menangis’ atau lebih tepat ‘meratap’. Nyanyian kematian ini berupa muna-muna panjang dan pendek yang bernada kesedihan yang diratapkan di rumah duka (saat jenasah disemayamkan) sampai ke pemakaman dan Munaba yang dibawakan pada ritual yang disebut dengan Owa Munaba. Dalam ekpresi nyanyian muna yang diratapkan tidak tepat menggunakan kata atau istilah taghara/saghara (nyanyian) seperti yang telah diuraikan sebelumnya sebagai contoh saghara muna artinya menyanyikan muna atau saghara munaba artinya menyanyikan nyanyian besar kematian,’ penggunaan ini kurang tepat penggunaannya. Yang tepat adalah dengan menggunakan istilah kanisa atau yanisa sehingga istilah yang di gunakan adalah kanisa muna atau yanisa muna yang berarti meratapkan nyanyian kematian atau kanisa munaba berarti ‘meratapkan syair/nyanyian besar kematian’.
A. PENGERTIAN MUNABA
Munaba secara morfologis terdiri dari kata Muna dan Ba. Muna berarti nyanyian dan Ba berarti besar dan mulia. Muna sebagai bentuk puisi yang dinyanyikan atau dilagukan/dilantunkan dapat diidentifikasi ke dalam dua jenis yaitu Muna yang berkaitan dengan kehidupan disebut sebagai nyanyian kehidupan dan muna yang berkaitan dengan kematian yang di sebut dengan muna nyanyian kematian atau Munaba.
Dengan demikian Muna dalam konteks Munaba adalah Muna untuk kematian (nyanyian ratapan kematian). Arti Munaba secara harfiah adalah nyanyian/ ratapan besar kematian.
Makna atau arti lain dari kata muna yang menjadi dasar bagi munculnya makna munaba yang lebih mendalam adalah muna sebagai suatu bentuk nyanyian kematian yang di dalamnya termuat tingkah laku, perilaku, perbuatan, sifat, sikap, watak atau karakter seseorang yang menunjuk pada perorangan atau pribadi, dalam hal ini jiwa dan mental serta keseluruhan pribadi sebagai individu yang mempunyai dinamika dan kesadaran akan eksistensi selama hidup. Muna dapat juga berarti cerita atau kisah karena dalam muna dikisahkan kembali perjalanan hidup seseorang.
Munaba dapat juga digambarkan sebagai sosok dari hidup itu sendiri yang menggambarkan sifat-sifat umum seperti sikap perilaku, perbuatan, karakter yang melengkapi eksistensi hidup dan kehidupan manusia dalam perjalanan hidupnya nanti, ketika pribadi itu telah melewati batas atau periode kehidupannya maka dinamika personnalitas (pribadi) itu (Munanya) akan di angkat kembali untuk memaknai, dihormati dan diingat oleh semua orang yang ditinggalkannya. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan suatu komitmen budaya dalam tradisi lisan orang waropen yakni Muna dan Munaba dalam wujud diratapkan. Di dalam membawakan Munaba (nyanyian besar kematian), terkandung dua unsur atau hal yang padu yaitu bercerita/berkisah atau bertutur yang dilagukan ataupun diratapkan dengan lantunan irama sesuai dengan jenis Muna yang dibawakan.
Menurut Karel Maniagasi bila mencermati dalam Munaba sebagai suatu bentuk ekspresivitas budaya orang Waropen, berciri sastra lisan berupa puisi-puisi yang dituturkan atau dinyanyikan dengan cara meratapkannya berupa ‘nyanyian ratapan kematian’ dalam owa munaba.
Dahulu Munaba yang ditampilkan baik di rumah duka dan khususnya di pesta dansa Owa Munaba hanya dimiliki dan diberlakukan bagi marga yang berketurunan Sera atau raja.
B.JENIS DAN BENTUK MUNABA
Dalam budaya orang Waropen, Munaba atau nyanyian besar merupakan nyanyian tradisional yang menurut Dharmojo dilihat dari bentuknya muna termasuk genre sastra lisan yang memiliki pola-pola dan bentuk seperti puisi lama yang terdiri atas dua larik dalam satu bait yang kedua larik itu merupakan isi (Dharmojo 2005; 55-56).
Dan sebagai nyanyian tradisional dan juga dalam ritual dalam siklus kehidupan orang Waropen terdiri dari dua jenis muna yaitu : 1) muna kehidupan dan 2) muna kematian. Muna kehidupan disebut juga muna biasa yang biasa dilantunkan sehari-hari dalam kegiatan kehidupan seperti saat perjalanan menggunakan perahu di laut, di sungai, pergi ke dusun sagu, ke dusun bobo, ke kampung-kampung, membangun rumah,membuat perahu, membuat dayung, membuat panah dan busur, anyaman tikar alat penangkap ikan dan lainnya. Muna- muna kehidupan atau biasa ini dilantunkan baik perorangan dan juga kelompok pada saat santai. Aktifitas kehidupan orang Waropen tidak lepas dari perahu karena kondisi geografis perairan dan sungai. Maka muna biasa ini mereka sebut juga Muna dayung dan iramanya lebih cepat (kakowai muna). Munai ini dibawakan tanpa menggunakan tifa dan biasanya spontan seperti percintaan, kerinduan, melihat sesuatu yang lucu, keindahan alam, semangat kehidupan,penyesalan ataupun saling mengejek.
Sedangkan munaba merupakan bagian dari jenis muna yang berkaitan dengan kematian. Pada muna kematian (munaba) atau nyanyian besar kematian, berkaitan dengan ritual munaba sebagai bagian dari prosesi upacara kematian. Munaba kematian ini di waktu dulu hanya bagi mereka keturunan sera atau raja dan yang berstatus sosial tinggi dalam struktur sosial orang Waropen. Munaba nyanyian kematian ini diratapkan saat jenazah masih di rumah duka menungggu sanak saudara kerabat dan masyarakat datang untuk melayat. Munaba yang diratapkan oleh wanita tua dan muda yang dibawakan mengelilingi jenazah adalah yang berhubungan dengan jenazah selama keberadaannya hidup di tengah keluarga dan masyarakat.
Sepintas muna biasa dan munaba kematian dalam membawakannya temponya sangat berbeda. Baik muna biasa dan munaba kematian ini memiliki judul dan bisanya judul ini dikiaskan. Menurut Dharmojo pada wanita yang meratapi jenazah dengan muna-muna pendek (4 – 8 bait) dengan topik muna yang bervariasi, misalnya tentang penyesalan, pujian atau sanjungan, keputusaan, kepasrahan bahkan dalam bentuk pernyataan sebab-sebab meninggal dan sebagainya (Dharmojo 2005;57).
Dalam Munaba kematian ada istilah Yanisa Munaba yaitu nyanyian ratapan kematian yang berasal dari yanisa dari kanisa dan Owa Munaba. Yanisa Munaba berasal dari kata yanisa artinya dia atau penutur meratap atau menangis dan munaba artinya nyanyian besar. Jadi Yanisa Munaba ialah syair-syair nyanyian besar yang diratapkan oleh para wanita pada peristiwa kematian ketika jenazah masih berada di rumah duka sampai jenazah diantar ke tempat pemakaman (Dharmojo 2005;59).
Owa Munaba mengandung arti ‘tarian nyanyian besar kematian’ atau lebih tepat adalah dansa nyanyian besar kematian. Owa Munaba adalah bentuk dari suatu sistem ritual acara adat yang berkaitan dengan kematian seseorang. Owa Munaba merupakan salah satu upacara adat dalam siklus hidup budaya orang Waropen karena orang waropen beranggapan bila ada kikowa saira (pesta adat kehidupan) maka ada saatnya untuk kikowa Munaba ( pesta adat nyanyian besar kematian). Dalam pelaksanaannya Owa Munaba sebagai bentuk ritual namun dari segi suasananya seperti pesta yang ramai karena dihadiri banyak orang dengan nyanyian adat Munaba yang dituturkan oleh Binabawa (penutur utama munaba).
C.FUNGSI DAN TUJUAN MUNABA
Munaba sebagai bagian dari kehidupan dalam budaya orang Waropen sudah tentu mempunyai fungsi-fungsi tertentu seperti fungsi Munaba;
Sebagai bentuk penghormatan kepada Arwah orang Mati
Fungsi ini sangat mendasar, karena sesuai dengan budaya dalam religi orang waropen yang sangat percaya akan adanya keberadaan manusia setelah kematian. Mereka percaya adanya kekuatan-kekuatan dalam bentuk Rosea atau roh yang masih hidup di sekitar kehidupan manusia. Rosea ini akan mengganggu kehidupan manusia oleh sebab itu mereka harus didamaikan atau ditenangkan. Dan untuk itulah dilakukan oleh mereka salah orang Waropen yaitu dengan meratapkan Munaba bagi figure yang meninggal agar arwahnya damai dan tenang, puas, senang atas perlakuan yang di berikan baginya dan selain itu dengan meratapkan Munaba mengantarnya ke tempat yang menjadi bagian dari Rosea yaitu Inggoi Ndu.
Sebagai Legitimasi Status Sosial
Munaba dalam Owa Munaba dapat berfungsi sebagai media pengakuan keberadaan status sosial penyelenggara Owa Munaba dan juga bagi para pelaku Owa Munaba seperti penutur dan penari dalam Owa Munaba. Suatu Owa Munaba dilaksanakan membutuhkan persiapan yang cukup berupa bahan makanan dan minum, rokok, tembakau pinang sirih, tempat arena dansa dan juga untuk membayar para Binabawa yang berperan sebagai penutur Munaba. Persiapan logistik ini sangat penting karena Owa Munaba dilaksankan 3 sampai 4 hari bahkan seminggu lebih. Di waktu dulu bila orang Waropen mengetahui bahwa si penyelenggara adalah keluarga Sera atau keluarga orang terkenal, maka tak segan kaum kerabat pun ikut memberi andil berupa bantuan-bantuan dan orang-orang ini akan menjadi bahan pembicaraan orang banyak (dipuji, disanjung, dihargai) dan disinilah terlihat bagaimana status seseorang.
Sedangkan para pelaku Owa Munaba yang terdiri dari Binabawa (penutur) dan penari termasuk pemukul tifa tidak luput dari pengakuan status sosial mereka dengan artian ada semacam pengakuan dalam masyarakat terhadap mereka. Binabawa dengan keprofesionalannya mampu menuturkan Munaba dalam Owa Munaba, pelaku akan dihargai dengan pembayaran yang mahal juga para penari dan pemukul tifa.
Dalam Owa Munaba ini para pemukul tifa, penari, dan penutur akan memberikan penampilan terbaik dan tak luput dari bahan tontonan dan pembicaraan dan keluarga penyelenggara akan menghargai jasa mereka dengan membayar dan memberi makanan ciri khas Waropen.
Fungsi Ritus Religi
Suasana Owa Munaba memang menunjukkan suasana pesta tetapi pada hakekatnya kereligiusanya nampak dan dirasakan para peserta yaitu dengan tertib tidak banyak bertingkah saling mengganggu. Ada semacam kontak dan komunikasi khusus antara penutur dan para hadirin. Dan ciri lain yang paling terasa yaitu cara si penutur menuturkan Munaba dengan cara meratapkan (yanisa Munaba) di sini unsure kedukaan masih nampak pada perilaku Binabawa sebagai penutur atau yanisa Munabaugha.
Ada semacam anggapan pelaksanaan Owa Munaba dimulai saat matahari terbenam sampai bintang pagi muncul dilangit sebelah timur dan Owa Munaba harus dihentikan karena jika tidak dihentikan sampai matahari terbit maka roh-roh halus atau arwah-arwah orang mati yang dipercaya saat itu ikut berdansa akan terperangkap oleh siang sehingga tidak bisa kembali ke kerajaan roh (Inggoi ndu). Resikonya mereka akan marah dan merusak hidup manusia(K Maniagasi 2002;85). Dr G.J Held memperkuat fungsi religius ini dengan mengatakan Munaba merupakan “ritual of death”, karena suasana religius yang dirasakan oleh segenap orang yang terlibat di dalam Owa Munaba.
Fungsi Sebagai Media Komunikasi, Informasi dan Kontrol Sosial
Dalam materi Munaba banyak mengandung berbagai pesan atau informasi yang dapat disimak para peserta atau masyarakat yang mengikuti Owa Munaba. Sebagai contoh dalam Munaba yang mengisahakan tokoh-tokoh, disitu mengisahkan perilaku-perilaku baik yang dapat dijadikan tauladan bagi mereka juga bagaimana mereka dalam kehidupan sehari menyikapi bagaimana membangun hidup antar mereka dan juga terhadap lingkungan alam sekitar mereka. Dalam lirik Munaba juga banyak mengandung semacam kritik atau protes sosial sebagai contoh bila dalam masa hidupnya almarhum mempunyai hubungan sosial yang kurang baik maka penyair dapat menuturkan begitu juga bila ada perlakuan masyarakat yang tidak terpuji terhadap almarhum semasa hidupnya. Dampak dari Munaba demikian justru dapat menjadi pelajaran bagi peserta Munaba sehingga sikap-sikap seperti itu tidak terulang kembali dan biasanya yang banyak muncul adalah konflik antar kerabat sehingga dimunculkan juga munaba yang memberikan bagaimana bersikap yang baik.
D.PELAKU DALAM OWA MUNABA
Peserta atau pelaku dalam Owa Munaba atau dansa nyanyian besar kematian adalah;
Penutur Utama Munaba (Bina Bawa)
Munaba sebagai suatu bentuk puisi yang dinyanyikan atau diratapkan dalam ritual kematian yang dilantunkan sangat ditentukan oleh pembawa atau si penyair Munaba atau juru munaba. Pesta adat akan berlangsung meriah jika penyair sebagai juru Munaba ada dan siap terlibat dengan menampilkan segala kemampuannya selama berhari-hari selama pelaksanaan Owa Munaba. Penyair Munaba atau juru Munaba pada umumnya sejak dulu sampai sekarang diperankan oleh kaum wanita. Dalam hal ini biasanya wanita tua yang sudah berpengalaman (binabawa) yang memiliki atau menguasai pengetahuan budaya setempat (waropen) yang cukup, menyangkut adat, mitos-mitos dan legenda dan sejarah setempat seperti latar belakang sejarah biografi figur-figur/tokoh-tokoh adat orang keturunan bangsawan dan terkemuka seperti Mambri (kepala perang), Sera (raja/kepala adat), kepala suku/kepala klen dan juga pengetahuan tentang benda-benda pusaka.
Penari dan Penyanyi
Penari dan penyanyi merupakan pendukung dalam Owa Munaba yang pada umumnya diperankan oleh kaum perempuan baik dewasa, tua maupun remaja. Mereka di bantu oleh beberapa penari laki-laki biasanya 2 atau 4 orang yang berperan sebagai pemukul tifa (siwa).Walaupun demikian ada juga pemukul tifa perempuan.
E.ATRIBUT DALAM MUNABA
Atribut perlengkapan pendukung utama dalam Munaba yaitu tifa (siwa) dan perelengkapan berupa asesoris yang digunakan disini adalah perhiasan oleh para penari dan penutur munaba (Binabawa). Binabawa (penyair munaba) dan penari perempuan, busana yang mereka gunakan yaitu Rario yaitu semacam cawat khusus untuk perempuan berupa kain yang dihiasi dengan sobekan kain lain yang dianyam. Di waktu dulu busana ini terbuat dari bahan tali hutan yang dianyam menjadi cawat juga dari bahan pelepah pisang yang dikeringkan lalu ditumbuk-tumbuk, bahan untuk cawat wanita disebut Ghono. Busana kain yang dipakai dengan ukuran panjang mulai dari pusar sampai betis kaki bagian bawah. Perhiasan pelengkap lainnya yang dikenakan para perempuan penari dan juga Binabawa yaitu; ghayake yaitu kalung manik-manik, koru rawo manik-manik, sare yaitu manic-manik yang agak besar yang dipakai menyilang pada dada, saparo yaitu gelang dari kulit kerang yang dipakai di kedua lengan tangan bagian atas, rario yaitu kain yang dihiasi atau ditempel atau dianyam dengan sobekan kain lainnya dan sarako,gelang besi atau logam lainnya.
Sedangkan busana penari laki-laki biasanya yang digunakan dalam Owa Munaba adalah umame (jenis cawat dari kain) dengan ukuran mulai dari pusar atau sedikit di bawah pusar sampai di bawah lutut atau betis kaki bagian bawah seperti halnya pada perempuan. Atribut pelengkap lainnya yang dikenakan sebagai hiasan pada tubu laki-laki yaitu; mani sarana yaitu burung cenderawasih yang telah di awetkan, sura atau misura yaitu sisir bambu sebagai tempat pengikat burung cenderawasih yang nanti ditancapkan pada rambut, worai wuro adalah model penataan rambut bagi laki-laki yang disisir tegak, sireghi yaitu kain panjang yang dipakai dari pusar sampai mata kaki, pondisi yaitu anyaman gelang dari daun tikar yang dipakaikan pada lengan atas, sire yaitu berupa anyaman manik-manik kecil dalambentuk motif segi empat.
F.WAKTU DAN PELAKSANAAN OWA MUNABA
Owa Munaba dilaksanakan ketika dibuatnya rumah makam. Hal ini biasa dilakukan dalam jangka waktu 1 atau 2 tahun sejak almarhum atau almarhumah meninggal dunia. Jangka waktu tersebut dimaksudkan gundukan tanah pada kuburan tersebut telah stabil sehingga memungkinkan untuk pembuatan rumah makam atau nisan tersebut. Disamping itu pertimbangan selama jangka waktu tersebut pihak keluarga yang meninggal menyiapkan segala kebutuhan yang berhubungan dengan pesta dansa Owa Munaba. Pelaksanaan pesta dansa Owa Munaba bisanya 4-5 hari atau satu minggu tergantung kemampuan keluarga penyelenggara Owa Munaba dalam hal penyediaan bahan makanan. Pelaksanaa pesta dansa Owa Munaba dimulai ketika matahari terbenam sampai dengan menjelang pagi yang ditandai dengan terbitnya sampari (bintang pagi) dibelahan langit bagian timur. Waktu pelaksanaan pesta dansa Owa Munaba yang sampai beberapa hari dimaksudkan menunggu tamu dari kampung-kampung sekitar dimana jarak antar kampung cukup jauh dan juga semacam prestise bahwa mereka mampu melaksanakan Owa Munaba.
Sepintas kami gambarkan dalam Owa Munaba penutur (Binabawa) bisa terdiri dari beberapa orang yang bertugas secara bergantian untuk menuturkan syair-syair Munaba kepada para peserta Owa Munaba khususnya para pedansa yang kemudian akan dilagukan atau dinyanyikan secara bersama dalam dua kelompok penari sesuai dengan larik dalam bait Munaba. Larik pertama akan diambil oleh kelompok pertama yang di depan kemudian akan disambut oleh kelompok ke dua yang di deretan belakang. Dalam Munaba Larik pertama disebut Ghareo yang artinya depan atau Uri artinya pucuk. Sedang larik ke dua disebut Ghavera artinya belakang atau euw artinya bagian bawah atau pokok. (Ar.MacAp)
Sumber;
- Abdul R.Macap,2012 Laporan Penelitian BPNB Papua
- Dharmojo, 2005.Sistem Simbol Dalam Munaba Waropen Papua, Depdiknas Pusat Bahasa
- Maniagasi Karel , 2002, Munaba Dalam Kehidupan Etnis Waropen Dimensi Masa Lampau dan Masa Kini. Jayapura. Skripsi Universitas Cenderawasih.