Keunikan budaya adat istiadat marga dan sub marga di pulau Numfor menjadi daya tarik tersendiri yang tidak jauh berbeda dengan suku-suku Papua lainnya yang berada di kawasan teluk pesisir cenderawaih.
Tradisi pemberian maskawin atau dalam bahasa biak iyakyaker adalah salah satu warisan budaya leluhur yang masih melekat dalam adat istiadat masyarakat di pulau Numfor. Sebagaimana suku-suku di Papua yang menempatkan maskawin sebagai harta yang sangat berharga yang memiliki nilai tersendiri dalam ritual-ritual adat tertentu.
Maskawin di Papua dapat berupa, hewan babi, manik-manik, guci, piring antik, hasil kebun, hasil laut, hewan hasil buruan, serta beragam harta benda lainnya. Maskawin biasanya dapat digunakan dalam ritual adat lainnya seperti penjemputan tamu, pelantikan kepala suku, pembayaran denda, dan ritual lainnya. Piring antic (ben bepon), dan guci masih sering di jumpai dalam ritual adat terutama dalam prosesi peminangan.
Harta benda berupa maskawin biasanya dipersiapkan jauh hari oleh keluarga sebagai bekal bagi anak-anak mereka yang dikandung dan dibesarkan dalam tatanan keluarga kelak menjalani masa proses peminangan dengan pihak keluarga lain melalui satu ikatan perkawinan adat yang syah.
Sebagaimana yang dilakukan keluarga besar Krey dari keluarga pihak laki-laki dengan keluarga besar Marisan dari pihak perempuan yang menjalani proses tahapan perkawinan adat antara Daniel Krey dengan Marlina Marisan di Pulau Numfor yang merupakan hasil film dokumentasi oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura-Papua.
Awal memasuki rumah tangga lewat orang tua itu yang pertama sejak anak masih dalam kandungan mempersiapkan supaya Ararem. Ararem ini dapat terkumpul melewati prosesi adat orang biak sejak kecil hingga menjelang dewasa. Antara lain mengeluarkan anak dari kamar, menggendong anak, menggunting rambut, membawa anak ke gereja semua ini harus dilakukan dengan pembayaran maskawin dari pihak marga atau ipar-ipar dalam tatanan adat suku Biak. Ararem ini nantinya akan disimpan ditempat khusus yang disebut arem.
Dalam masa peminangan masing-masing keluarga tentu dapat memberi penilaian tentang perilaku kehidupan marga yang dalam tradisi Biak Numfor disebut fafuke.
Fafuke adalah tindakan pengamatan yang dilakukan oleh orang tua terhadap marga-marga yang ada di dalam kampung berupa pola hidup, tindakan, karakter dan juga penilain terhadap wanita yang akan dijadikan anak mantu. Dalam arti mereka mencari sosok Showi yaitu seorang anak mantu yang baik terhadap keluarga mereka.
Setelah menentukan calon anak mantu maka orang tua akan mengundang om dan tante dari pihak ibu untuk melakukan peminangan. Peran saudara om atau paman dalam keluarga sangatlah penting mulai dari proses peminangan, penentuan maskawin hingga pembayaran maskawin.
Apabila pihak perempuan menerima lamaran pihak laki-laki maka pihak perempuan akan mengajukan besaran maskawin kepada pihak laki-laki. Adapun besarnya jumlah emas kawin biasanya ditentukan oleh status perempuan, latar belakang keluarga, keperawanan, maupun kecantikan dan saat sekarang ini faktor pendidikan juga ikut menentukan besaran jumlah emas kawin. Biasanya yang di minta berapa banyak piring kepala (moremore/capero), resa-resa paramasi, jowi, baisus, bensarampa, benuai, ini semua merupakan bentuk maskawin yang lazim digunakan oleh suku Biak di Pulau Numfor. Tahapan berikut adalah menentukan waktu untuk pembayaran maskawin yang ditentukan.
Dalam tradisi masyarakat pulau Numfor mengenal tiga bentuk perjodohan antara lain: anembe dalam makanan pernikahan (an=makanan, embe= nikah), indakwer artinya pada saat peminangan secara terhormat di dalam keluarga bila ada saudara laki-laki yang belum menikah makan indakwer ini akan dilaksanakan. Sementara perjodohan insarmer adalah versi peminangan dengan bentuk perencanaan seorang laki-laki yang ingin membawa perempuan dengan cara yang kasar dalam arti bukan dalam kesan penculikan.
Sayangnya dengan perkembangan globalisasi membuat terkikisnya budaya suku-suku yang ada di Papua termasuk tradisi budaya orang Biak di Pulau Numfor, sehingga tatanan adat tidak lagi sempurna. Namun demikian sebagaian besar masyarakat Biak Numfor masih mempertahankan nilai-nilai budaya yang merupakan warisan leluhur. Perkawinan adat yang ditandai dengan simbol-simbol maskawin tentu sangat mengikat ketika proses tahapan peminangan itu berjalan sesuai dengan tatanan adat.
Tidak hanya mengantar maskawin berupa piring antik dan gusi tetapi yang menarik dalam proses ini adalah adanya bendera merah putih sebagai simbol lambing Negara juga mendapat penghargaan dalam ragam kebhinekaan adat di pulau Numfor.
Memang kebiasaan mengantarkan prosesi emas kawin dengan membawa bendera Merah Putih atau juga simbol bendera yang lain tidak diketahui sejak kapan berlaku. Namun yang jelas dalam budaya Papua tradisi membawa bendera memang belum ada dan baru berkembang sejak masuknya Papua ke dalam bingkai Negara Kesatuan Repbulik Indonesia (NKRI).
Sebaliknya pihak perempuan yang sudah menerimah pihak keluarga laki-laki juga menyiapkan sesuatu berupa barang-barang rumah tangga sehingga dalam menjalan kehidupan kelak tidak mengalami kesulitan. Selain itu juga menjadi sikap dasar pihak perempuan yang nantinya kedepannya tidak jadi penilaian yang kurang baik dari pihak laki-laki.
Semua proses ini berjalan sesuai rambu-rambu adat yang sudah ditetapkan yang wajib dilaksanakan namun dalam puncaknya menuju pada wafwoker dimana wor acara adat pimpinan adat memberikan restu kepada keduanya menjadi suami istri yang syah secara adat dibangrengi dengan nasehat dari petua-petua adat dalam keluarga dua belah pihak. Nasehat-nasehat berupa ungkapan-ungkapan yang mengadung simbol bahwa kita hidup di dunia untuk saling menopang, menunjang dalam bentuk showi ini.
Tradisi perkawinan di Papua khususnya di pulau Numfor ini tentu saja menjadi cerminan budaya Papua yang tentu hasana untuk memperkaya budaya bangas Indonesia yang perlu dilestarikan.