Fola Sowo Hi : Arsitektur Tradisional Tidore Kepulauan

0
9881

Julian J. Pattipeilohy

Rumah Adat Masyarakat Tidore Kepulauan

Kata Fola asal dari  bahasa Tidore, yang diterjemahkan dalam bahasa Gurabunga[1] berarti rumah, dan Sowohi : tuan rumah.[2] Dalam tradisi masyarakat Tidore rumah selalu menunjuk pada angka ganjil dan angka genap dalam kosmologi masyarakat Tidore. [3] Istilah lain untuk rumah musyawarah di Tidore adalah  langkie jiku sorabi, yang berarti rumah dengan empat tiang utama. Istilah tersebut dipakai untuk menekankan oposisi kosmologi antara langkie yang dimaksud di sini adalah lima marga pembentuk Tidore dan jiku sorabi atau empat jiku (sudut) yang melambangkan sebuah pemerintahan adat yang akan di bangun dan di perintah oleh seorang raja di Fola Sowohi sendiri. Kata lain yang sama adalah batangan, yang sebenarnya adalah bangunan yang terdapat dibawah atap. Dalam hal Fola Sowohi, istilah sabuah dalam bahasa Melayu Maluku bisa berarti  rumah dengan atap dari rumbia yang konstruksi bangunannya melambangkan kekayaan budaya komunitas tertentu  ( Marsadi 1980 :386).

 Masyarakat di desa Gurabunga di Kecamatan  Gurabunga menyebut rumah tempat musyawarah  mereka dengan nama “Fola Sowohi  artinya rumah  yang besar dalam desa  atau sabua.Karena rumah adat Fola Sowohi merepresentasi kumpulan dari lima marga pembentuk Tidore. Sedangkan masyarakat di desa-desa lainnya menyebut semua rumah yang ada dalam desa sebagai Fola. Dapat disimpulkan bahwa Fola Sowohi adalah rumah pertama dari semua rumah yang dibangun pada suatu lokasi perkampungan. Dalam perkembangan selanjutnya, Fola itu menjadi tempat berkumpulnya semua keluarga di dalam kampung untuk bermusyawarah. Walaupun mereka berasal dari pedalaman namun Foila Sowohi menyimbolkan sebuah arsitektur utama yang ada di Tidore. Ini tampak jelas  dalam susunan dan fungsi bangunan (Joseph & Rijoli 2005 ).

 B.Tipologi Fola Sowohi

Rumah  musyawarah Fola Sowohi merupakan salah satu sarana penting yang merupakan simbol masyarakat adat di Kecamatan Gurabunga.  Di tempat ini  berlangsung seluruh aktifitas masyarakat yang berkaitan dengan adat istiadat, seperti musyawarah untuk membuka kebun baru, panen  serta penyelesaian sengketa-sengketa adat lainnya. Selain itu juga berfungsi sebagai ritual adat yang berkaitan dengan ritual magis yang menunjuk pada penyembahan bagi roh leluhur untuk penyembuhan, bagi mereka yang sakit dan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan, jabatan dan lainya. Untuk itu pembangunan rumah musyawarah Fola Sowohi harus mengikuti tata aturan adat yang telah ada sejak dahulu .

  Bentuk bangunan Fola Sowohi yang didirikan di atas tanah memiliki denah berbentuk bidang geometris empat persegi panjang yang terbagi atas susunan antara lain (1) Ruang tengah  berbentuk empat persegi panjang dengan empat tiang utama,(2), Ruang samping yang mengelilingi ruang tengah berbentuk empat sudut yang ditopang  dengan  empat tiang pinggir luar dan 5 tiang tengah antara tiang luar dan tiang induk ruang tengah. (3). Susunan konstruksi atas terdiri dari atap samping dengan kemiringan rendah berpaut pada pinggir atas ruang tengah yang bersudut atap lancip.(4),Letak bangunan arah timur-barat, Fola Sowohi terdiri dari susunan atas dengan kemiringan rendah memiliki atap tengah berbentuk segi tiga sama kaki yang tinggi lancip. Dapat disimpulkan bahwa Fola Sowohi memiliki tipologi geometris dalam bentuk empat persegi, dengan susunan atap lancip berbentuk segi tiga.

 C.Konstruksi Bangunan Bawah (Gambar) Fola Sowohi Bagian bawah

Fola Sowohi memiliki lantai dasar yang terdiri dari timbunan tanah yang dipadatkan. Agar tanah tidak berserakan ke luar, maka pinggiran tanah ditahan oleh susunan batu kali membentuk sudut 8. Timbunan lantai dasar ini lebih tinggi kira-kira 30-40 cm dari halaman luar bangunan yang disebut “bangir”. Pada bangir diletakan dasar-dasar tumpuan tiang batu yang tertanam separuhnya pada dasar lantai yang terdiri dari 8 buah dasar tiang induk “Belo”, 12 tumpuan tiang samping luar .

D.Konstruksi Bangunan Tengah

Fungsi Fola Sowohi sebagai tempat musyawarah meggunakan dinding dari bambu. Tiang-tiang tidak ditanam dalam tanah tetapi dialas dengan batu. Tiang-tiang tersebut antara lain  adalah :

  • yaitu 4 buah tiang induk yang ada pada sentral bangunan. Tiang-tiang ini lebih besar dari pada tiang-tiang lain, selain itu juga pada konstruksi bagian tengah di buat agak berbeda dengan Sasadu  yang ada di Halmahera Barat. Dimana dari segi fungsi Fola Sowohi lebih sebagai media penyembahan pada roh leluhur. Dalam kebudayaan masyarakat Tidore pada setiap sudut akan ada empat tiang penopang hal ini lebih meguatkan filososfis religi bahwa pada masyarakat Tidore penyebar agama islam pertama adalah empat sahabat karib yaitu Abubakar, Aliusman,dan Umar. Selai itu juga pada konstruksi bagian tengah terdapat empat tiang penopang juga untuk Jeteri (teras) sehingga pada konstruksi Fola Sowohi bagian tengah menampilkan unsur kekususan yang berkaitan dengan esensi kepercayaan masyarakat Tidore.

Desain konstruksi bagunan tengah Fola Sowohi bila di lihat akan memunculkan dua ruangan besar yang di gunakan sebagai media penyembahan antara lain pada jateri atau teras dan juga ruang inti yang akan dilakukan acara ritual adat. pada masing-masing sisi ujung ruangan timur dan barat.

 E.Konstruksi Bangunan Atas

Pada umumnya Fola Sowohi berloteng dan seluruh ruangan konstrusi atas tertutup. Pada konstruksi bagian atas terdapat 1 buah tiang raja yang menopang empat balok yang mengeratkan satu dengan yang lain. Sistem dan gaya Fola Sowohi adalah dengan meggunakan pen yan terbuat dari bambu. Sehingga boleh dikatakan hampir semua konstruksi Fola Sowohi menggunakan bambu sebagai kelengkapan pembuataan rumah adat Fola Sowohi. Pada konstruksi pemasangan atap selalu didekatkan pada kosmos masyarakat yang mengharuskan pemasangan atap selalu di mulai dari kanan ke kiri

Ada tiga jenis pemasangan atap pada Fola Sowohi :

(1) Atap samping utara dan selatan atau muka dan belakang terdiri dari  4 susunan lembaran atap yang disebut yang ditutup mulai dari kiri ke kanan teritis, berjumlah 5 sambungan. Susunan ini berjumlah tetap tersusun sampai ke atas bubungan.(2) Susunan atap samping timur dan barat dimulai dari teritis dimulai dari 4 susunan, tiap baris naik sampai ke atas manumata dan seterusnya menyudut ke puncak bungan-bungan timur dan barat disebut.(3) Susunan atap pada ke-4 sudut rumah yang terpancang dimulai dari teritis menuju ke atas.

Sistem menutup atas pada Fola Sowohi, dimulai dari baris teritis kiri ke kanan pada masing-masing sisi dengan ujung atap kanan menutup ujung kiri atap sambungan berikut dan seterusnya. Jarak pemasangan tora-tora atau kasau antara 50 sampai dengan 60 cm. sesuai dengan panjang bangkawang atau tulang bambu atap dari bawah ke atas antara  15 cm pada ujung kasau, bawah teritis dipasang batang kulit pinang selebar 10-15 cm dengan lengkung ke arah luar sebagai lesplang  pada pemasangan atap teritis digunakan 2 lembar lapis atap, yang dialas oleh 2 belahan bambu. Yang menarik adalah pemasangan 2 bilah bambu diikat dengan bentuk hiasan jajaran genjang dengan bahan tali ijuk. Ikatan ini dimulai dari teritis  pintu depan Fola Sowohi menyambung mengelilingi teritis bangunan, kembali dan berakhir pada tempat dimulainya ikatan tersebut.

Bagian-bagian lain yang menarik dari Fola Sowohiadalah adanya fona sebagai pelengkap atau penutup rumah. Fona adalah bambu yang di pajang pada bumbungan rumah yang selalu dipasang melebihi sedikit dari rumah tersebut. Pada umumnya arsitektur Tidore lebih dibangun memotong gunung dengan arah selalu menghadap ke matahari

Konstruksi Fola Sowohi sangat berbeda dengan Sasadu yang dilengkapi dengan beragam ornamen. Dimana Sasadu di Jailolo Halmahera Barat mengandalkan ornamentasi perahu yang selalu berada buritan dan haluan. Seperti jugadi  Maluku Tenggara tepatnya di kepulauan Kei, Aru, Tanimbar, dan  Babar, arsitekturnya selalu mengambarkan  perahu yang  bukan hanya sarana angkutan tetapi juga mempunyai arti yang lain. Fola Sowohi di daerah Tidore selalu diangap sebagai media kehidupan. Dimana didalam rumah terdapat satu dunia kecil (mikro kosmos)  yang selalu merepresentasi kehidupan bersama. Selain itu juga Fola Sowohi merupakan rumah tempat tinggal bagi marga yang memiliki tita sebagai raja dan desa dianggap  sebagai tuan tanah. sedangkan penduduk acapkali menganggap dirinya sebagai awak kapal dan penumpang.  Mereka menyamakan perahu mereka sebagai manusia. Seperti manusia, perahu terdiri atas unsur  laki-laki dan perempuan, dalam pembuatan perahu  digunakan  juga penggabungan kedua unsur tersebut. Di  dalam diri manusia kekuatan hidup yang terpancar dari tubuh dan jiwa mereka, merupakan bagian penting. Di Babar ( Dawerlor ) rumah adat dianggap sama dengan perahu, yang berlayar sejalan dengan arah matahari, yaitu dari timur ke barat. Para penghuni rumah adat tersebut menemakan diri mereka tergantung pada letak kamar mereka di dalam rumah adat, yaitu sebagai jurumudi atau mualim. Lambang perahu juga digunakan sebagai simbol kesuburan, selain itu lambang ini juga mempunyai peranan pada saat seseorang memenggal kepala musuhnya dan kemudian membawa-nya pulang sebagai hasil kemenangan. De Jonge &Toos van Dijk,1995).

 Pada saat upacara, yang hadir di fola Sowohi hanyalah orang laki-laki dan perempuan yang menjadi wakil klen-klen yang paling terkemuka dalam kelompok yang merepresentai marga pembentuk Tidore dan sebagainya, yang juga dianggap sebagai tuan tanah di sana. Tempat duduk mereka diatur menurut keanggotaan dalam salah satu klen melalui garis keturunan laki-laki (patrilineal), dan menurut posisi (kedudukan) hirarkhis klennya dalam kelompok-kelompok teritorial yang lebih besar (Iosenegoru).

Di Gurabunga posisi klen selalu digambarkan dengan cara demikian, dan seseorang yang dianggap mewakili nenek moyangnya menempati bangku nenek moyangnya dulu. Oposisi pada upacara adat jateri atau (teras) dijadikan sebagai bahagian dari kelengkapan upacara adat. Dimana para perwakilan yang marga yang datang akan berada di Jateri. Sementara oposisi yang berlangsung pada Fola Sowohi yakni para wanita mengambil tempat duduk sesuai dengan kedudukan suami atau ayahnya. Apa yang biasanya disebut sebagai tradisi atau adat di sini tidak lain adalah konsep-konsep mengenai keteraturan kosmologis yang ada dalam berbagai bagian dalam kebudayaan Tidore yang diwujudkan misalnya dalam kode-kode tertentu yang berkaitan dengan ruang.

Mengenai anggota klen selama upacara di rumah adat, adanya oposisi antara Mahita (sebagai Kapita) Fola Sowohi (Raja) Toduho, Tosofu Makene, Tosofu Malomo. untuk menekan  oposisi ini mengambarkan adik dan kakak. Dalam pelaksanaan upacara adat adik selalu berhadapan dengan kakak, dimana semua peserta mengambil tempat di Fola Sowohi akan berhadapan. Dan sesekali menyuarakan pantun adat untuk mengundang kehadiran roh leluhur yang di pujah. Sementara pada posisi ini perempuan akan menarikan berbagai tarian adat dengan pembakaran sesajen. Sambil sesekali histeris karena kamasukan roh leluhur.

Terlepas dari oposisi antara kelompok-kelompok tersebut, ada oposisi lain yang lebih universal, yaitu antara peserta laki-laki dan perempuan.

 Aspek pemanfaatan ruang yang ditampilkan Fola Sowohi dalam pendekatan kebudayaan masyarakat Tidore adalah selain dijadikan sebagai media upacara adat yang berkaitan dengan pelantikan raja dan penyesaian berbagai permasalahan adat tetapi juga bisa dijadikan sebagai tempat pemujaan roh leluhur serta media pengobatan supranatural yang mengandalkan kekuatan magis.  Pada umumnya rumah adat Fola Sowohi menampilkan konfigurasi kebudayaan leluhur yang masih di pertahankan dengan memadukan berbagai tradisi adat yang masih di lestarikan. Sebuah tradisi yang dipertahankan adalah selalu menjadi alternatif pengobatan surpranatural yang di jalankan hingga sekarang. Tempat laki-laki adalah sisi ‘laut’ (pada arah laut) dan perempuan dari sisi ‘darat’ (pada arah darat).

    FOLA SOWOHI DAN TRADISI MENDIRIKAN ARSITEKTUR

A.Sebelum Mendirikan Bangunan

Kebudayaan membangun arsitektur tradisional di Indonesia menjadi sebuah tradisi utama dalam menentukan keberlanjutan dari kebudayaan masyarakat tradisi yang telah ada dan menjadi pola keteraturan sosial dalam masyarakat. Komunitas adat akan peka terhadap referensi  alam yang akan selalu menunjuk pada local wisdom sebagai unsur utama dalam melekatkan tradisi leluhur. Sebuah rumah tempat tinggal yang didalamnya berlangsung kehidupan manusia akan didominasi beragam totemisme yang mempegaruhi cara pandang komunitas terhadap peletarian kebudayaanya. Unsur ragam hias akan menjadi konstruksi utama bagi masyarakat Gurabunga dalam melakukan ritual utama menentukan pembagunan arsitektur Fola Sowohi.  Bentuk tradisi adat masyarakat akan mengacu pada beberapa upacara sebelum mendirikan Fola Sowohi dan sesudah mendirikan Fola Sowohi. Bagi masyarakat boso kene merupakan ritual yang dilaksanakan guna mengetahui penentuan waktu yang tepat untuk melakukan penebangan tiang raja yang diikuti dengan tiang-tiang pendukung Fola Sowohi. Unsur pelengkap pembagunan Fola Sowohi  dari konstruksinya menggunakan bambu sebagai kekuatan perumahan yang diandalkan masyarakat. Filosofis akan selalu berpegang pada pendirian bahwa “kekuatan tetap abadi ibarat gunung yang tidak pernah rubuh” atau bahasa sehari-hari nya seperti begini    “gunung runtuh, baru rumah runtuh”.

Demikianlah sebuah kalimat yang diucapkan oleh tua adat Imam Togubu pada upacara ritual  pemotongan tiang bermula atau tiang pertama/ (Ngasu ulamo). Penyelenggara upacara tersebut adalah tetap megacu pada lima marga utama pendukung kebudayaan yang ada di Tidore. Karena itu pada prosesi ini Imam Togubu yang memiliki status sebagai tuan tanah akan melakukan pemotongan pertama di susul dengan kelima marga yang hadir tersebut dan juga para tukang yang ditetapkan untuk merancang konstruksi utama Fola Sowohi. Dalam tradisi masyarakat setempat setelah bambu di potong maka selama seminggu bambu akan di remdam di air laut dengan tujuan agar bambu akan lebih tahan. Selain itu juga ada kepercayaan bahwa air laut akan memberikan kehidupan bagi masyarakat. Konstruksi  Para petua adata kan melakukan lagi ritual boso kene dengan berharap petunjuk dari para leluhur untuk menentukan lokasi yang tepat untuk pendirian sebuah bagunan tradisional yang merepresentasi kebudayaan masyarakat Tidore secara keseluruhan. Tentu dalam pendekatan ini sisi arah matahari terbit akan menjadi acuan utama dengan posisi rumah akan membela gunung.

 Instrumen yang digunakan pada pelaksanaan upacara tersebut  ialah : (1)Tiang Utama, (2)Sirih pinang, (3) mata uang, yang diletakan pada dasar tiang utama dan (4)air di mangkuk.

B.Tata Pelaksanaan upacara.

Semua bahan-bahan bangunan sejak sore  hari telah dipisahkan oleh kepala tukang setelah upacara penyiraman dengan air

Tiang utama diletakan ditengah denah bangunan, dengan tanda-tanda khusus dari pemotongan. Peserta upacara berkumpul terdiri dari kepala tukang dan tua adat, sambil berdiri mengelilingi denah bangunan

Upacara doa oleh tua adat ditengah bangunan berserta kepala tukang.

 6.1.2. Jalannya upacara

Setelah semua peserta berkumpul mengelilingi denah, maka tua adat menaikan doa yang diambil oleh Imam Togobu sambil beberapa orang mengangkat tiang utama dan diletakan ditempatnya. Sebelum diletakan di atas tanah, kemudian diletakan denah rumah dengan posisi tiang-tiang bambu yang menjadi tuang penopang dari kasu dan tiang raja di buat konstruksinya dengan menggunakan pen. Setelah di naikan tiang diletakan, diskors dengan tahanan–tahanan kayu kemudian disiram dengan air disekitarnya. Acara ini merupakan pembukaan pekerjaan pendirian bangunan, disusul dengan tiang-tiang yang lain dan didirikan dengan cara yang sama, yaitu diskors dengan tiang bantu untuk menegakkan bangunan. Air yang sisa dikebaskan juga pada tiang-tiang inti bangunan oleh tua-tua adat, dari setiap marga yang ada di kampung. Selanjutnya, pelaksanaan bangunan Fola Sowohi dikerjakan  terus-menerus, sampai selesai (rampung).

 C. Setelah Mendirikan Bangunan

Nama upacara, kurang jelas tetapi dari informan atau tua adat diadakan pesta adat selama  3 hari. Pada saat meresmikan “Fola Sowohi sebagai tempat musyawarah

Tujuan upacara, sebagai salah satu acara kegembiraan seluruh masyarakat desa dan syukuran pada Yang Maha Kuasa karena“Fola Sowohi sebagai rumah musyawarah sebagai simbol sebuah bahtera hidup, maka segala kegiatan hidup, kerukunan dan kerjasama  dapat berjalan dengan baik sesuai dengan hakekat hidup para leluhur di zaman lampau.

Tempat upacara dilaksanakan pada bangunan baru dan halaman sekitarnya,  pada waktu petang dan pesta di malam hari. Penyelenggara upacara adalah seluruh masyarakat desa dan dikoordiner oleh panitia yang telah dibentuk bersama tua-tua adat.

Peserta upacara adalah seluruh masyarakat desa dan tua-tua adat yang tergabung dalam pemerintahan desa dan para undangan dari kampung-kampung tetangga sekitarnya.

 D.Jalannya Upacara

Setelah sambutan oleh raja yang menempati “Fola Sowohi  yang menjelaskan   tentang tujuan membangun rumah “Fola Sowohi, maka diadakan doa secara keagamaan  oleh Imam setempat  Acara adat, dengan menggunakan boro paha atau dikenal dengan nama minyak perkasa. Minyak ini akan dioles pada tiang raja atau tiang utama dilanjutkan dengan tiang-tiang rumah lainya.. hal ini menunjuk seolah-olah memohon berkat bagi bangunan dan masyarakat sekampung. Sesudah itu dilanjutkan dengan acara makan bersama yang dilaksanakan bersamaan dengan tari-tarian tradisional.

Pada saat  upacara tidak hanya orang-orang tua (bibiri’i) dari klen-klen penting saja yang ambil bagian dalam upacara di “Fola Sowohiini, juga wakil-wakil yang lebih muda seperti anak laki-laki atau perempuan yang tertua atau adik laki-laki dan perempuan bisa juga turut di situ. Umur tidak penting dalam hal ini ; seseorang dianggap lebih tua atau lebih muda menurut kedudukan genealogis dalam hirarkhi kelompok kekerabatan atau hirarkhi antara saudara sekandung dan saudara sepupu. Mereka yang belum melewati masa pubertas tidak diperbolehkan berada dalam “Fola Sowohi selama upacara. Upacara yang diadakan dalam “Fola Sowohi ini dimulai menjelang mangrib. Pada saat itu wanita membawa piring-piring yang penuh nasi dan sudah dimasak dalam daun pisang dalam tabung bambu ke“Fola Sowohiuntuk disusun menjadi semacam gunungan di atas sebuah piring cina, sedang para pemuda masing-masing membawa satu tabung bambu yang berisi tuak (saguer).

 Tulisan Ini Telah Dimuat Dalam Jurnal Peneltian No. 5 Edisi April 2013 Untuk Mendapatkan Lebih Lengkap Silakan Link Untuk Mendwnload Tuisan Ini.