Leihitu- Pukul Sapu atau dalam istilah lokal Baku Pukul Manyapu diselenggarakan setiap tanggal 8  bulan Syawal atau hari raya ke tujuh setiap tahun di Negeri Mamala, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Tradisi ini kini telah menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Mulanya pertunjukan ini merupakan perayaan keberhasilan pembangunan masjid yang selesai dibagun pada 7 syawal setelah Idul Fitri. Atraksi ini menggunakan sapu lidi sebagai properti utama yang terbuat dari pohon enau dengan panjang 1,5 meter. Bagian tubuh yang boleh dipukul adalah dari dada hingga perut. Para peserta yang bertelanjang dada itu, memulai atraksi dengan mengitari pelataran masjid sebanyak tiga kali, kemudian berbaris sesuai warna celana pendek dan ikat kepala yang dikenakan, yakni merah dan putih. Diringi irama tabuhan gendang oleh para tetua Desa Mamala, kedua kelompok dengan warna celana pendek yang berbeda saling berhadapan dengan memegang sapu lidi di kedua tangan dan secara bergantian saling pukul menggunakan sapu lidi. Suara cambukan lidi dan bekas sabetan lidi yang mengeluarkan darah semakin menambah sorak sorai penonton yang memadati lokasi.

Hebatnya para peserta seperti tidak merasakan kesakitan walaupun tubuh mereka mengeluarkan darah dari sabetan lidi. Hal ini seringkali dikaitkan dengan kekuatan magis, namun sesungguhnya  para peserta sudah melebur dalam semangat yang telah menghilangkan rasa sakit. Kemudian setelah atraksi selesai para peserta mengobati lukanya dengan mengoleskan minyak nyualaing matetu (minyak tasala) yang sebelumnya telah dibacakan doa dan dipercaya ampuh mengobati luka memar dalam waktu singkat.

Jika ditinjau dari sejarah, sekitar abad ke- XVI negeri Mamala diperintah dan dipimpin oleh tiga orang tokoh yakni:

  1. Latuliu ; yang bergelar Uku Latu Apel ( Tepil Kapitan Hitu ).
  2. Patti Tiang Bessy (Sina Rati Raja Nusaniwe yang pindah ke Mamala karena diserang Portogis.
  3. Imam Tuny (seorang pemuka agama yang pindah dari Passo pada tahun 1517 karena diserang oleh Portogis) Ketiga orang tersebut kemudian bermufakat untuk mendirikan masjid. Semua persiapan mulai diadakan berupa pengumpulan bahan-bahan bengunan khususnya kayu dengan mengerahkan rakyat untuk menebang kayu di lereng-lereng gunung dan perbukitan disekitar Mamala.

Hal ini yang membuat ketiga pemimpin di atas dan  masyarakat negeri Mamala mencari solusi yang tepat untuk menyambungkan kayu, sebab dalam kebutuhan pembanguan Masjid diperlukan balok kayu yang panjang dan tidak boleh disambung. Berbagai cara dan upaya yang dilakukan oleh masyarakat negeri Mamala belum juga menunujukkan hasil yang diharapkan baik dalam bentuk usaha fisik maupun dalam bentuk berdoa kepada Allah Swt untuk memohon petunjukNya. Dengan  kehendak Allah Swt do’a yang dipanjatkan kepadaNya dikabulkan. Kejadiannya berawal ketika pada suatu malam menjelang shubuh, tiba-tiba datanglah ilham sebagai petunjuk dari Allah Swt kepada Imam Tuny sebagai berikut: Hai Imam Tuny, ambilah minyak kelapa, bacalah ayat berikut ini yakni ayat-ayat al-Qur’an. Kemudian oleskan minyak itu pada bagian kayu yang patah. Selanjutnya tutupkan dan ikat dengan kain putih selama beberapa saat. Buka kembali penutup dan akan engkau saksikan apa yang selama ini diharapkan. Keesokan harinya ilham yang diperolah Imam Tuny segera dilaporkan kepada Latului dan Patti Tiang Besy dan menampakkan kegembiraannya. Dan ketiga pemimpin tersebut bermufakat untuk melakukan percobaan sesuai ilham yang diperoleh oleh Imam Tuny.Dengan disaksikan oleh seluruh masyarakat negeri Mamala percobaan dilakukan dilokasi balok kayu yang patah berjarak kira-kira 600 meter dari negeri Mamala dan dikenal dengan nama “tonggae” (tanah merah). Dari hasil percobaan ini apa yang menjadi dambaan dan harapan masyarakat negeri Mamala ternyata memberikan hasil yang sangat menggembirakan yakni dengan utuhnya/tersambung kembali balok kayu yang patah tersebut. Dengan diiringi ucapan puji syukur dan mengagungkan asma Allah Swt, balok kayu yang telah utuh kembali diangkat/ dipikul bersama-sama menuju lokasi pembangunan Masjid.Berdasarkan mitos di atas, maka ketiga pemimpin mereka berpendapat bahwa kalau terhadap kayu yang patah minyak yang telah dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an dapat berkhasiat maka kepada manusia pun akan bermanfaat. Musyawarah dilakukan dan musyawarah dicapai, yaitu dengan ditetapkannya tanggal dilakukan percobaan terhadap manusia dengan menggunakan lidi aren. Lidi aren menurut kepercayaan masyarakat merupakan senjata yang bertuah. Cara yang dilakukam adalah dengan membentuk kelompok kemudian selain memukul. Pada luka-luka yang ditimbulkan oleh pukulan lidi aren kemudian dioleskan minyak yang telah dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an. Beberapa saat kemudian ternyata luka-luka tersebut mengering dan sembuh. Dari sinilah atas musyawarah bersama masyarakat negeri Mamala maka ditetapkan pada tahun 1545 M., digelarkan acara ukuwala mahiate yang pertama kali sebagai percobaan terhadap manusia dengan menggunakan ukuwala! lidi aren dan dijadikan sebagai senjata dalam tarian adat ukuwala mahiate.

Baku Pukul Manyapu adalah tradisi  yang harus terus dijaga sebagai kekayaan budaya Maluku, tidak hanya menandai perayaan Idul Fitri, tapi event ini juga merupakan bentuk perdamaian dan rasa persatuan sekaligus menjadi potensi pariwisata Maluku.