Penulis: Mezak Wakim, Peneliti Antropologi Budaya
Sebagaimana Pancasila telah menjadi falsafah yang mengatur, mengontrol perliaku kehidupan berbangsa dan bernaegara maka konsepsi lokal Limuk-Limor Kweunun Kweamam pada masyarakat Masela Provinsi Maluku juga telah tumbuh secarah tradisional yang berfungsi mengatur pola kehidupan bersama yang diwariskan secara turun temurun. Konteks implementasi penerapan nilai-nilai pancasila tergambar jelas dalam kehidupan masayarakat Masela walaupun dalam prespektif geopolitik kadang terabaikan dalam kebijakan orientasi pembagunan.
PANCASILA MERANGKUL KEBERAGAMAN
Pada hakekatnya Pancasila merupakan dasar falsafah Negara Republik Indonesia yang secara resmi tercantum di dalam alenia ke-empat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Pancasila yang disahkan sebagai dasar negara yang dipahami sebagai aset budaya yang di gali dari sumber-sumber kebudayaan bangsa maka Pancasila selalu menjadi ideologi negara, yang mengontrol pola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia.[1] Indonesia dan Pancasila dari prespektif sejarah adalah realitas historis dari hasil perjuangan rakyat yang melepaskan diri dari penjajahan dan penindasan, untuk hidup sebagai bangsa yang lebih bermartabat dan lebih sejahtera. Pancasila sebagai ideologi bangsa mempunyai makna fungsional sebagai penopang solidaritas nasional dan sekaligus sebagai sumber inspirasi pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Komitmen kita pada eksistensi Pancasila sebagai dasar Negara sudah final. Simbol pemersatu dan identitas nasional yang bisa diterima berbagai kalangan harus terus di jaga. Mengharuskan tidak ada pilihan lain, kecuali Pancasila mesti terus di suarakan, memulihkan nama baiknya. Dengan membumikan susbstansi dan nilai yang dikandungnya. Sebagai konsep dan nilai-nilai normatif, tentu membutuhkan berbagai stakeholder bekerjasama dalam membagun orientasi pembagunan bangsa yang selalu mengedapankan akhlak dan moral bangsa. Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk menghidupkan kembali wacana publik tentang Pancasila sebagai suatu fakta riil akan identitas nasional. Pancasila yang selalau menjadi kebanggaan bersama tetap dijalankan dan diarahkan untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan NKRI. Oleh karena Pancasila di gali dari nilai-nilai budaya bangsa maka implementasinya pun harus sesuai dengan kultur bangsa, yang tetap menghargai kebersamaan, perbedaan dan nilai-nilai gotong royong yang selama menjadi ke-khasan budaya bangsa. Orientasi pelaksanaanya sebisa mungkin menghargai kearifan lokal dan kultur masyarakat yang sudah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, selama itu bermanfaat buat pembangunan bangsa dan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan pancasila yang dimaksudkan sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia yang eksplorasi dari kebudayaan bangsa maka di Provinsi Maluku juga telah hidup sebu ah falsafah warisan budaya masa lalu yang teraktualisasi dalam jiwa dan semangat Pancasaila sebagai pandangan hidup bangsa.
Manifestasi dari penerapan nilai-nilai pancasila dalam konsep hidup masyarakat Maluku memang selalau tersusun dari warisan budaya masa lalu dimana kehidupan orang basudara yang di tandai dengan Pela dan Gandong selalu mewarnai pola kehidupan masayarakat di Maluku secara universal.[2] Konsep orang basudara dimasksud dalam budaya pela dan gandong adalah (Salam-Sarani ; ungkapan orang Maluku untuk identitas religi atau Islam dan Kristen) yang memang pola kehidupanya telah di warisakan kuat dengan budaya pela dan gandong. Filosofis Hidup orang basudara sagu salempeng di pata dua[3]. Makna ini memang sangat kuat untuk mengurai beragam persoalan kebersamaan dalam hidup orang basudara di Maluku. Sekat-sekat perbedaan mendasar justru runtuh dengan kuatnya kultur pela dan gandong yang selalu di kedepankan dalam membagun Maluku yang aman damai dan religius. Keberadaan gong perdamain dunia di Maluku telah memberikan nuansa tersediri bagi Provinsi yang dikenal Ambon Manise Negeri Tanah Raja-Raja menjadi panutan bagi bangsa Indonesia yang selalu eksis membagun komunikasi antar etnis lewat penanaman kultur yang kuat dan terbukti konflik sosial dapat diatasi. Pengalaman ini menjadi tolak ukur kembali dalam melihat masa lalu dan masa kini dan ternyata di Maluku tidak hanya tumbuh budaya pela dan gandong, tetapi ada juga budaya baru Limok-Limor Kweunun Kweaman (susah senang kita tetap bersama-sama) yang di wariskan juga pada masyarakat Masela di Kepaulan Babar Kabupaten Maluku Barat Daya.[4]
LIMUK LIMUR KWEUNUN KWEAMAN : SEBUAH REALITAS BUDAYA
Ungkapan Limuk Limor Kweunun Kweamam secara etimologis mengandung unsur budaya lokal yang di presepsikan masayarakat adat Masela sebagai berikut; Limuk-Limor ; susah, sengsara, dan Kweunun-Kweamam ;selalalu bersama-sema bergandeng tangan) sehingga secara harafiah ungkapan lokal ini mengandung pengertian susah senang kita bersama-sama.[5] Dalam komposisinya sebagai wilayah dengan luas lautan cukup besar menjadikan pulau Masela sebagai daerah dengan tingkat orientasi aktivitas paling tersibuk di lakukan di laut. Laut dalam prespektif sejarah turut menghadirkan berbagai pengalaman heroik masayarakat Masela dalam melakukan berbagai perlawanan dengan suku-suku lainya sehingga di Pulau Masela terbukti ungkapan ini muncul pertama kali ketika terjadinya perang antar suku di Pulau Masela. Istilah lokal ini memberikan penguatan bagi masyarakat adat untuk mempertahankan eksistensi wilayahnya dari tindak semena-mena dari suku lain. Dengan kata lain bila tifa besar (praya) telah di bunyikan ini berarti dalam konsekwensi apapun perang siap dilaksanakan.[6] Semangat menghadapi perang semakin kuat jika ungkapan lokal yang bernilai magis ini sesekali di suarakan dalam membakar semangat pantang mundur dan berjuang bersama sama sampai titik darah penghabisan. Mengait konsep ini dalam realitas perjuangan bangsa mengusir penjajah dari bumi Maluku ungkapan ini juga menjadi dasar perjuangan masayarakat Masela dalam megusir penjajah dan mempertahankan eksistensi wilayahnya dengan tidak memberikan kesempatan bagi kolonial mengeksploitasi kekayaan masayarakat untuk kepentingan kolonialis. Berbagai gejolak perang yang terjadi di pulau Masela hingga tahun 1916 menguatkan semangat Limuk Limor Kweunun Kweamam dalam melakukan perang melawan Belanda. Konsep Limuk Limor Kweunun Kweamam menjadi sumber kekuatan besar dalam perjuangan melawan penjajah akan tetapi juga telah menjadi inspirasi kehidupan masyarakat dalam konteks masa kini. Konsep penerapanya lebih di orientasikan pada masalah-masalah sosial yang berujung pada mengeratkan kehidupan kebersamaan. Aspek pemanfaatan ungkapan lokal Limuk Limor Kweunun Kweamam tidak lagi diterapkan dalam konteks perang akan tetapi lebih diaktualisasikan dalam kehidupan sosial budaya. Penggarapannya yang menggunakan pendekatan kebudayaan lokal masayarakat menjadikan ungkapan ini menjadi falsafah hidup masayarakat Masela yang begitu kuat bukan saja dalam megatur pola kehidupan masayarakat akan tetapi juga telah menjadi sumber inspirasi pembagunan masyarakat yang bernuansa pada kebudayaan lokal.
Konsep masa kini juga dimaksudkan dalam penggunaan ungkapan Limuk Limor Kweunun Kweamam adalah pada tataran kehidupan sosial yang berkaitan dengan daur hidup masyarakat seperti; panen hasil kebun, pembuatan kebun baru, melayat duka, upacara perkawainan adat, pembagunan rumah, pembagunan gereja dan lain sebagainya. Masayarakat Masela hidup dari tradisi budaya lokal yang diwariskan secara turun- temurun menjadikan kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Limuk Limor Kweunun Kweamam yang sarat dengan makna sosial sebagai wujud falsafah hidup.
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KONSEP HIDUP LIMUK-LIMOR KWEUNUN KWEAMAN
Nilai-nilai Pancasila telah memperlihatkan nafas humanisme, karenanya pancasila dapat dengan mudah diterima oleh siapa saja. Pancasila pantas menjadi sumber berbagai aspek kehidupan bangsa. Pancasila menjadi falsafah dan pandangan hidup bangsa. Hakekat ini memang melekat erat pada konsep budaya yang dijadikan sebagai falsafah hidup masyarakat Masela yakni Limuk Limor Kweunun Kweamam. Nilai-nilai Pancasila yang digarap dari sumber kebudayaan bangsa terukir jelas dalam budaya hidup Limuk Limor Kweunun Kweamam.. Impelemtasi dari unsur budaya Limuk Limor Kweunun Kweamam di kaitkaan dengan nila-nilai Pancasila antara lain;
Upler ra Yaouw.[7] Konsepsi lokal yang dalam budaya dan tradisi masayarakat menggambarkan cara orang Masela melihat adanya Tuhan. Kebersamaan dalam menjalankan perintah dan ajaran keagamaan selalu didasarkan pada injil yang masuk di Maluku di bawah oleh pendeta Jeseph Kam konteks kebersamaan dalam budaya Limuk Limor Kweunun Kweamam menjadikan masyarakat tetap rukun dan toleransi dengan masyarakat yang beragama lain. Tentunya pada point ini sangat erat dengan pemaknaan sila pertama dari Pancasila.
Nyolya[8] adalah budaya masayarakat Masela yang begitu kuat dalam mengatur pola kehidupan masyarakat untuk tetap saling menghormati satu sama lain, membuka ruang bagi etnis yang lain untuk selalu bersama-sama memajukan dan mencerdaskan bangsa lewat pendidikan. Walaupun terisolir dari pusat-pusat modernisasi. Dari implementasi ini telah tumbuh budaya nyekora yang antara lain mengatur pola kebersamaan yang berujung pada keadilan sosial dalam mengatasi persoalan ekonomi masayarakat. Limuk Limor Kweunun Kweamam tetap menjadi pegangan masayarakat sehingga ragam kebudayaan baru yang di munculkan selalau berpegang pada nilai-nilai budaya Limuk Limor Kweunun Kweamam .
Ilmyer wakmer, menjadi bagian dari satu kesatuan budaya yang terwujud dalam hukum adat masyarkat yang mempersatukan masayarakat Masela secara keseluruhan. Berbagai persoalan yang muncul diatasi dengan semangat satu kesatuan yakni kita adalah satu dari daratan pulau Masela yang di persatukan oleh hukum adat Ilmyer wakmer, [9]terwujudnya unsur budaya Limuk Limor Kweunun Kweamam menjadi falsafah hidup yang melahirkan berbagai hukum adat yang mengatur sistem kebersamaan dalam masyarakat. Selain itu juga dapat di implementasikan dalam wujud mempertahankan eksistensi kewilayahan dari tangan penjajah.
Unsur musyawarah untuk mufakat sejalan dengan cerminan pancasila secara tradisonal hal ini telah dilaksanakan dan biasanya bagi masyarakat adat mempergunakan Lakpona untuk bermusayawarah bersama untuk mendapatkan kata mufakat. Lakpona [10]sebagai wadah kegiatan berkumpul masayarakat dalam membicarakan hal-hal yang bersifat lokal misalnya; pembagunan, rumah, pembukaan lahan bersama, upacara perkawinan dan lainya sebagainya.
Kewra kola (pata lidi) [11]sebagaimana falsafah hidup Limuk Limor Kweunun Kweamam susah senang kita bersama maka pada masayarakat Masela berlaku budaya pemabagian beban sehingga tetap memunculkan unsur keadilan sosial. Imlementasi dari unsure ini terlihat dalam acara perkawainan adat dan penyelesaian adat dimana semua kerabat dibagi bebanya sampai habis. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
PANCASILA SUDAH FINAL
Pancasila dan konsep hidup Limuk Limor Kweunun Kweamam telah menjadi falsafah hidup yang berfungsi sebagai pengontrol kehidupan bermasayarakat. Dalam kebudayaan masayarakat Masela falsafah Limuk Limur Kweunun Kweamam menjadi pendorong berkembangnya berbagai kebudayaan baru sebagai bentuk apresiasi terhadap kebudayaan lokal. Pemakanaan filosofis Limuk Limor Kweunun Kweamam dari presepektif sejarah tidak lagi untuk perang akan tetap lebih pada konteks sosial kemasyarakatan.
Nilai-nilai budaya yang diwariskan melalui konsep Limuk Limor Kweunun Kweamam akan selalu terjaga dan tetap hidup dengan tidak bergeser dari nilai-nilai Pancasila. Implementasinya sebagai pedoman hidup masyarakat dalam konteks penerapan nilai-nilai Pancasila selalu terjaga kelestarianya. Simbol kelokalan yang tertanam dalam budaya masayarakat Masela selalau bersumber dari penerapan nilai-nilai Pancasila. Eksistensi Limuk Limor Kweunun Kweamam menjadi inspirasi sejarah masa lalu yang bermanfaat dalam konteks ke-kinian. Upaya mendorong pemanfaatan hasil kebudayaan lokal yang berfungsi sebagai pedoman dalam pola kehidupan berbangsa dan bernegara sesungguhnya mendorong orientasi pembagunan yang selalu beraklak dan bermoral bagi kelangsungan pembagunan di Indonesia. Aset budaya Limuk Limor Kweunun Kweamam telah menjembatani kehidupan sosial budaya masayarakat Masela. Produk budaya masa lalu akan selalau terjaga dan terus di suarakan untuk generasi muda secara berkelanjutan. Akan berimplikasi baik terhadap kemajuan dan kesejaterahan bangsa sesuai dengan amanat Pancasila sebagai dasar falsafah Negara, dan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi Negara.
Acuan
Cooley.F.L 1987, Mimbar dan Tahta. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan
Johana Uniberua 2008, Tari Ehe Lawan dan Pewarisanya pada Masayarakat Masela (Skripsi S1 Sejarah Universiatas Pattimura Ambon)
Mezak Wakim, 2009, Perubahan dan Pergesran Nilai dalam Upacara Perkawinan Adat di Pulau Masela (Makalah disampiakan dalam kegiatan Seminar Nasional Peneliti se- Indonesia di Jayapura
2005, Studi Tentang Im (Rumah Aadat) di Desa Nura Puukau Masela (Skripsi S1 Sejarah Universitas Pattimura Ambon)
Sahusilawane, 2004, Sejarah Lahirnya Pela dan Gandong di Pulau Ambon. BKSNT Ambon
Steveanus Tiwery dkk, 2010 Inventarisasi Budaya Tak Benda di Pulau Masela. BPSNT Ambon
Syahrial Syarbaini , 2002 Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta : Ghalia Indonesia
[1] Dalam kehidupan bangsa Indonesia diakui bahwa nilai-nilai Pancasila adalah falsafah hidup atau pandangan hidup yang berkembang dalam sosial budaya Indonesia. Nilai pancasila dianggap nilai dasar dan puncak atau sari budaya bangsa. lihat dalam Syahiral Syarbaini ed Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hal 17.
[2] Tradisi Budaya Pela yang dimaksud dalam kebudayaan orang Maluku adalah berasal dari kata pelania yang artinya sudah atau selesai. Kalimat selesai dalam budaya pela diartikan sebagai sebuah peristiwa sosial besar yang terjadi dan kemudian dinyatakan selesai atau berakhir. Dan biasanya ditandai dengan komitmen bersama antar kominitas adat yang menunjuk pada tradisi kebersamaan yang diikat dalam sebuah ikatan hubungan persaudaraan. Lihat Cooley Mimbar dan Tahta (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal 149.
Pela bagi masyarakat Maluku dikenal Pela Tuni yaitu pela yang didasarkan atas penyelesaian perang dengan perdamaian. Pela Temapat Sirih, diartikan sebagai jenis pela yang berlaku atas ikatan persaudaraan yang tumbuh akibat penanggulangan bersama penyelesaian masalah ekonomi.Semetara Gandong diartikan sebagai kandung yang diasosiasikan dengan satu rahim dalam dialektika Ambon yaitu satu gandong . Lihat Sahusilawane Sejarah Lahirnya Pela dan Gandong di Maluku (Ambon : BPSNT Ambon, 2004), hal 27.
[3] Filosofis yang tergambar dalam ekspresi masayarakat yang mengandalkan sagu sebagai kekuatan pangan lokal yang tidak hanya berfungsi sebagai subsistem tetapi juga bermakna dalam penguatan jati diri sebagai masayarakat Maluku. Konsepsi hidup orang basudara (ungkapan dialek Ambon ; kehidupan kebersamaan) Sagu Salempeng di Pata Dua (tepung sagu yang di jadikan kue tradisional yang membentuk persegi empat di bagi dua; diasosiasikan sebagai kehidupan kebersamaan dimana bila kita senang harus bersama-sama dan susahpun harus bersama-sama).
[4] Kabupaten Maluku Barat Daya adalah merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Tenggara Barat dengan dasar hukum Undang-Undang No 31 Tahun 2008 tentang Pemekaran Maluku Barat Daya dan Tiakur di tetapkan sebagai pusat pemerintahan. Pemekaran wilayah Maluku Barat Daya dilakukan untuk meningkatkan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam memanfaatkan potensi daerah. Kebutuhan mendasar dalam mengelolah kekayaan daerah wujud memutus mata rantai sentralisasi memang merupakan acuan esensi dalam memekarkan Kabupaten Maluku Barat Daya dengan kapasitas teritorium yang sangat mendukung.
[5] Lihat Jahana Uniberua Sejarah Tari Ehe Lwan dan Pewarisanya di Desa Baibiyotan, Telalora, Iblatmumtah di Pulau Masela Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Skripsi S1 Sejarah UNPATTI) hal 4
[6] Istilah praya mengartikan kebudayaan masayarakat Masela yang menggunakan hasil komuditi ternak lokal kambing untuk dijadikan sebagai alat musik tradisonal yang berfungsi untuk memanggil dan mengumpulkan masyarakat bila ada peristiwa besar yang akan terjadi baik itu perang maupun lainya. Lihat Stevanus Tiwery dkk dalam Inventarisai Warsan Budaya Tak Benda di Kepulauan Masela (Ambon : 2010 BPSNT Ambon) hal 11
[7] Upler ; Up ; diatas, Ler ; Tuhan sehingga dapat diartikan Tuhan yang diatas. Pengerian ini juga telah membedakan konsep Tuhan yang diyakini masayarakat Masela secarah tradisonal yakni selain upler juga ada Mukrom diasosiasikan sebagai Jesus Sang Juruselamat Mezak, Studi Tentang Im (Rumah Adat di Desa Nura Pulau Masela (Skripsi S1 Sejarah Universitas Pattimura, tidak dipublikasi) hal 20
[8] Nyolya atau lebih dikenal sebagai adat istiadat masayarakat Masela. Dari budaya ini menghasilkan kehidupan masayarakat yang lebih menghargai satu dengan yang lainya.
[9] Ilmyer wakmer adalah Hukum adat tertinggi yang mengatur sisten sosial masyarakat adat Masela. Unsur ini juga menarik karena ternayata dapat terlihat kekerabatannya di tarik menurut garis kepabapaan. Anak-anak yang lahir dari suatu perkawinan marga/fam mengikuti ayahnya.
[10] Lakpona ; sekarang dikenal balai desa, tetapi masayarakat adat menggunakan istilah lakpona yang artinya tempat berkumpul untuk bermusyawarah
[11] Untuk hal ini lihat Mezak Wakim Inventarisasi Wariasan Budaya Tak Benda di Pulau Masela 2010 hal 14