Takdir Pulau Galang Jadi Daerah Pahlawan Kemanusiaan

0
678
Eks Kamp Vietnam di Pulau Galang, Kota Batam. Di lokasi ini rencananya dibangun rumah sakit (RS) pasien corona.

Pulau Galang, Kota Batam kembali ramai dibicarakan. Di Kamp Eks Pengungsi Vietnam yang ada di pulau ini akan disulap menjadi lokasi pembangunan rumah sakit (RS) khusus pasien yang positif penyakit Corona alias terjangkit virus COVID 19. Pulau Galang kembali penyelamat dan mengulang kembali kenangan 41 tahun yang lalu. Galang menjadi lokasi pengungsi Vietnam dan mengangkat pamor Indonesia dibidang kemanusiaan.

Sejarawan Asvi Warman Adam di dalam buku Pulau Galang, Wajah Humanisme Indonesia (2012) karya Peneliti Madya BPNB Kepri, Dr Anastasia Wiwik Swastiwi membagi tiga periode sejarah pengungsian di Indonesia. Pertama, periode 1975-1978, ditandai dengan berdirinya kamp-kamp pengungsian di beberapa pulau di Indonesia. Kedua, periode 1979-1989, ketika berdiri kamp pengungsian yang terkonsentrasi di Pulau Galang, Kepulauan Riau. Ketiga, periode 1989 hingga kini.

Sebelum ditampung di Galang, para pengungsi masuk ke wilayah Kepulauan Riau disejumlah daerah. Pengungsi Vietnam atau yang dikenal sebagai Manusia perahu yang pertama kali dan ingin menetap di Indonesia, yaitu manusia perahu yang mendarat di Pulau Laut, Kepulauan Natuna pada 25 Mei 1975. Pada saat yang sama, pengugungsi Vietnam juga sudah masuk Tarempa, yang saat ini masuk wilayah Kabupaten Anambas. Ribuan orang pengungsi juga tiba di Bintan, dan pulau-pulau sekitarnya.

Laporan Tempo edisi 19 Mei 1979 di dalam artikel “Penggalangan di Pulau Galang” disebutkan, hingga 9 Mei 1979 berdasarkan keterangan Bupati Kepulauan Riau Firman Eddy, ada 13.939 pengungsi yang tersebar di 14 tempat penampungan di Kepulauan Riau. Pada Mei 1979, sebanyak 18 negara membicarakan nasib pengungsi Vietnam di Jakarta. Disebutkan, berbagai ekses negatif yang terjadi antara pengungsi, penduduk, dan pemerintah daerah, mendorong 11 kedutaan besar meninjau kamp penampungan di Pulau Galang.

Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja mengatakan masih ada lampu hijau dari Kepala Perwakilan UNHCR Erick Morris untuk mengajukan uang membangun Pulau Galang. Usaha patungan itu datang dari Amerika Serikat sebanyak US$120 juta, pada 1980 ditingkatkan menjadi US$140 juta, lainnya sumbangan dari Jepang, Jerman Barat, dan Kanada. Penetapan Pulau Galang menjadi kamp pengungsian Vietnam diputuskan pada 21 Februari 1979, saat ASEAN bersama UNHCR mengadakan rapat di Bangkok, Thailand. Pulau Galang direncanakan menampung 10.000 pengungsi yang ada di Asia Tenggara dan Indonesia.

Pulau Galang dipilih karena lokasinya yang strategis, relatif mudah diakses, dan untuk memisahkan para pengungsi dari populasi lokal, serta meminimalisir pembauran aktif. Luas pulau itu 80 hektare. Hanya ada 200 orang Indonesia yang menetap di sana pada 1979. UNHCR menyebut, Pulau Galang mengakomodir lebih dari 170.000 pengungsi hingga kamp ditutup secara resmi pada 1996.

Sejarah Galang

Peneliti BPNB Kepri, Dr Anastasia Wiwik Swastiwi menulis berdasarkan cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat sekitar, Galang memiliki arti yang bermakna landasan. Pulau tersebut dikenal sebagai sebuah pulau yang memiliki potensi kayu seraya. Kayu seraya diyakini sebagai bahan dasar untuk membuat perahu atau kapal yang memiliki kualitas baik. Dari pulau inilah kemudian terlahir sebuah “lancang” (bahtera raja) yang diyakini masyarakat setempat sebagai kapal milik Sultan Malaka. Dari kisah terciptanya kapal tersebut lahirlah toponimi Galang.

Pulau Galang dan sekitarnya berdasarkan cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat setempat, kemudian menjadi pusat konsentrasi para lanun atau bajak laut yang memiliki kekuatan “luar biasa”. Mereka hanya bisa dikalahkan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung. Para lanun tersebut diketuai oleh 7 orang panglima yang terlahir dari 7 orang wanita hamil anak pertama. Ke-7 orang wanita hamil anak pertama itulah yang menjadi landasan turunnya “lancang” ke laut. Karena rasa “dendam” akibat dijadikannya ibu mereka sebagai landasan “lancang”, sifat mereka menjadi pemberani dan tidak pernah putus asa.

Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang seperti tersebut di atas, ketujuh panglima galang yang menjadi “koordinator” lanun di sekitar Pulau Galang tersebar di Pulau Abang, Pulau Sembur, Pulau Cate, Pulau Tokok, Pulau Selat Nenek, Pulau Pecung dan Pulau Panjang. Cerita rakyat yang berkembang seperti dalam uraian di atas, ternyata juga tertulis dalam beberapa sumber sejarah tertulis bahwa di perairan Pulau Galang pernah terjadi penyerangan lanun.

Pulau Galang dan Lanun

Penaklukan yang dilakukan oleh Belanda terhadap Kerajaan Melayu Riau pada tahun 1784 menimbulkan rasa tidak puas dan rasa dendam yang mendalam pada beberapa pemimpin Kerajaan Melayu Riau. Walaupun perlawanan secara terang-terangan tidak dapat dilakukan lagi, secara diam-diam telah diorganisir suatu gerakan yang dikenal dengan gerakan Lanun (gerilya di laut). Gerakan ini bertujuan merebut kembali kedaulatan Kerajaan Melayu Riau. Gerakan-gerakan lanun cukup membuat resah pemerintah Belanda dan Inggris. Gerakan lanun melakukan aksinya dengan merampok setiap kapal asing yang memasuki perairan Riau. Akan tetapi, kapal-kapal anak negeri tidak diganggu sama sekali. Pusat-pusat kegiatan lanun ini tersebar di seluruh perairan Riau. Kapal-kapal lanun tidak memiliki tanda pengenal tertentu. Penyerangan lanun selalu dilakukan secara tiba-tiba di tempat-tempat yang strategis.

Pada tanggal 28 Juni 1837 terjadi pertempuran yang sengit di Pulau Galang. Pertempuran tersebut pecah ketika sepasukan lanun membajak sebuah kapal perang Inggris yang bernama Andromache yang dipimpin oleh Kapten H.D. Chods. Dalam pertempuran tersebut, pihak Inggris dengan bersusah payah akhirnya dapat menghancurkan armada lanun. Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap isi seluruh kapal lanun yang berhasil ditawan, ditemukan beberapa dokumen berisi instruksi-instruksi dengan tanda penyerangan yang diatur dan ditandatangani oleh seorang pangeran bernama Haji Abdurrachman putra almarhum Raja Idris saudara almarhum Raja Jaafar. Semenjak itu, Belanda dan Inggris mengetahui dengan jelas bahwa gerakan-gerakan lanun tersebut mempunyai tendensi potitik dan berasal dari Pulau Galang dan Lingga. Untuk memberantas kegiatan lanun sampai ke akarnya, Belanda memerintahkan agar Sultan Riau dengan segenap rakyatnya turut aktif dengan cara menempatkan orang–orang kepercayaannya di tempat-tempat yang diduga menjadi sarang lanun.

Tindakan Inggris menghancurkan armada lanun di Pulau Galang mendapat protes dari Belanda karena bertentangan dengan Traktat London 1824 yang isinya antara lain menyebutkan: “Tindakan Inggris untuk memberantas lanun harus dilakukan bersama-sama dengan Belanda”.
Sultan Riau menganggap tindakan Inggris di Pulau Galang tersebut sebagai suatu pelanggaran yang dilakukan oleh Inggris terhadap Traktat London tersebut di atas. Oleh sebab itu Sultan terpaksa meminta perlindungan Belanda dengan jalan menyerahkan seluruh kerajaan kepada Belanda. Sebagai ganti rugi, Sultan meminta ganti rugi sebesar f 40.000,- sebulan. Namun permintaan tersebut ditolak oleh Belanda.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut di atas, pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi yang terdiri atas Residen Riau dan Mayor D.H. Kolff untuk berunding dengan Sultan. Dari hasil perundingan tersebut diperoleh kata sepakat bahwa dalam memberantas lanun di perairan Riau, pemerintah Belanda dan Inggris jika perlu dapat bertindak sendiri secara langsung tanpa memberitahukan kepada Sultan terlebih dahulu. Sultan harus menghukum rakyat yang melakukan pembajakan tanpa pandang bulu dan hukum harus dikenakan kepada negeri dan tempat-tempat terjadinya pembajakan.
Selain itu, pemerintah Belanda akan menempatkan satu pasukan kecil di Lingga atau di salah satu pulau-¬pulaunya untuk memberi dan mengawasi rute-rute jalan laut. Belanda memberikan bantuan kepada Sultan dalam upaya pemberantasan lanun-lanun. Dengan demikian, pemerintah Belanda mengharapkan lanun-lanun tersebut dapat diberantas, sedangkan hubungan baik dengan Sultan tetap dapat dijalin. Inggris bertindak sendiri memberantas lanun-lanun hanya di lautan terbuka atau di pelabuhan dan tempat-tempat yang sering menjadi sarang lanun tanpa meneruskan operasi-operasi minter di daratan. Jika perlu, tindakan tersebut tanpa seizin pemerintah Belanda. Meskipun demikian, perlawanan-perlawan dari para lanun terus terjadi di perairan Riau dengan motif utama mengusir dan mengganggu orang Belanda dari perairan Riau. **