PULAU SINGKEP : MASA PENAMBANGAN TIMAH

0
13129

Oleh : Anastasia Wiwik Swastiwi
Peneliti Madya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjungpinang

Pendahuluan
Singkep adalah nama sebuah pulau di wilayah Kepulauan Riau. Dalam perjalanan sejarahnya, Pulau Singkep merupakan sebuah kecamatan dengan ibu kotanya Dabo. Pulau Singkep dikenal sebagai Pulau Penghasil Timah dengan reputasi penambangan selama hampir dua abad (1812-1992). Singkep pernah mengalami masa kejayaan baik di bidang perekonomian dan kesejahteraan dikarenakan adanya pertambangan timah (PT. Timah,atau UPTS ) yang cukup besar yang menopang segala kemajuan di Singkep.
Namun sekitar tahun 1990-an Singkep mengalami masa kemunduran karena tutup PT.Timah dan sekian tahun lamanya Singkep berada pada masa-masa transisi yang dipenuhi berbagai masalah,baik ekonomi,kesejahteraan, krisis kejiwaan karena halusinasi masa-masa kemewahan maupun dampak-dampak negatif yang terus jadi momok yang menakutkan bagi masyarakat Singkep seperti penyakit-penyakit malaria yang menyerang karena lobang-lobang (kolong) bekas galian PT.Timah maupun banyaknya permasalah yang datang silih berganti. Pada saat ini, pulau ini dipenuhi dengan danau-danau bekas galian timah tanpa upaya rehabilitasi secara signifikan. Kondisi ini semakin diperparah dengan hadirnya Perusahaan Penambangan Pasir Tailing Timah sejak 1993.

Pengelolaan Penambangan Timah
Pulau Singkep, Kepulauan Riau, dikenal sebagai salah satu tambang timah terbesar selain Bangka di Sumatera Selatan. Penambangan telah dimulai sejak 1812.Di Indonesia hanya ada tiga pulau penghasil timah yaitu Bangka, Belitung dan Singkep. Setelah Indonesia merdeka, PT Timah mengambil alih pengelolaan tambang tersebut. Mereka membangun infrastruktur hingga terbentuk kota baru.
Sejarah timah di Pulau Singkep, merupakan rentetan perjalanan sejarah yang sangat panjang. Sekitar dua abad lalu, masa Sultan Riau-Lingga yaitu Sultan Abdul Rahman Syah ( 1812 – 1832) yang menetap di Lingga, timah di Pulau Singkep sudah didulang secara tradisional. Ketika itu, keadaan di Lingga, sebagai pusat Kerajaan Riau – Lingga bertambah ramai karena telah ada tambang timah di Pulau Singkep yang menghasilkan bijih timah.
Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883), yang merupakan Sultan Riau-Lingga pertama yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, kebijakan kerajaan adalah memfokuskan program kerjanya untuk meningkatkan penghasilan rakyat . Selain menggalakkan sagu, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II juga menggalakkan penambangan bijih timah di Pulau Singkep (Daud Kadir, 2008 : 188). Namun demikian, seiring dengan berkembangnya Lingga sebagai pusat Kesultanan Riau-Lingga dan membaiknya perekonomian kerajaan, Belanda semakin berusaha untuk mengetatkan kendali terhadap perekonomian Kesultanan Riau-Lingga. Maka pada tanggal 1 Desember 1857 dilaksanakan perjanjian antara sultan dengan Belanda tentang diizinkannya pengusaha Belanda untuk membuka tambang timah (Daud Kadir, 2008:171). Perjanjian tersebut antara lain berbunyi :
………
Fasal yang kesepuluh
Maka berdjandjilah Paduka Sri Sultan dan mentri2nja hendaq ia melebihkan kebadjikan ra’jatnya dan memegang pemerintahan dengan adil dan memeliharakan perusahaan tanah dan segala perusahaan orang dan hal perniagaan dan pelajaran kapal dan perahu didalam keradjaan dan tiada dia hendaq membuat barang suatu aturan yang boleh memberi kesukaran pada segala perkara itu.
Fasal yang kesebelas
Maka berdjandjilah Paduka Sri Sultan dan mentri2nja tiada dia hendaq melepaskan haqnja akan menggali didalam tanah serta beroleh hasil daripada penggaliannya itu kepada orang jang bukan anaq buminya djika tiada dengan mupaqat dan sebitjara dengan wakil Paduka Sri Jang Dipertuan Besar Gubernur Djenderal di Riau supaja penggalian itu diaturkan dengan ditjahari seboleh2nja untung Paduka Sri Sultan dan mentri2nja dan dengan tiada diambil oleh gubernemen sebahagian daripada untung itu hanjalah dengan menilik kepada pergunaan tanah Hindia Nederland jang sedjati serta dengan serta keputusan Baginda Sri Maharadja Nederland jang terputurs pada 24 hari bulan Oktober tahun 1850 ……..
(Arsip Nasional Republik Indonesia, 1970: 96-97)
Penjelasan dari Fasal di atas adalah :
Bahwa inilah titah kita Sri Paduka Baginda Magaradja Willem Ketiga yang bersemajam dengan segala kebesaran dan kemuliaan diatas tachta keradjaan negeri Nederland dan segala rantau ta’luqnja”. Adapun kita telah melakukan aturan jang tersebut dibawah ini
Fasal jang pertama
Adapun diberi idzin akan buka tambang didalam daerah tanah Hindia Nederland kepada sekalian orang Welanda kepada sekalian orang Walanda jang dudu’ dinegeri Nederland atau ditanah Hindia Nederland jang empunja perolehan tjukup akan pekerdjaan itu jaitu atas timbangan gubernemen beserta dengan aturan jang tersebut dibawah ini ja’ni
Fasal jang kedua
Segala perdjandjian hal idzin buka tambang itu akan dibitjarakan dan ditetap dengan Sri Paduka Jang Dipertuan Besar Gubernur Djendral dari tanah Hindia Nederland maka segala permintaan akan membuka tambang itulah akan diatur terus kepada Sri Paduka Jang Dipertuan Besar itu atau kepada Tuan Menister jang melakukan hal pemerintahan segala negri jang ta’luq kepada Nederland
Fasal jang ketiga
Apabila orang minta’ idzin buka tambang jang belum diperiksa kekajaan tanahnja maka Sri Paduka Jang Dipertuan Besar Gubernur Djenderal akan suruh periksa kekajaan itu beserta dengan haq anaq negeri atas tanah tambang itu supaja tahu berapa patut akan gantinja dan disuruh periksa djuga besarnja modal jang tjukup akan melakukan pembukaan tambang itu dengan patut maka jang hendaq buka tambang itu boleh djuga menjuruh suruhan atas belandjanja sendiri ikut pemeriksaan itu bersama2 jang disuruh oleh gubernemen
Fasal jang keempat
Pekerdjaan buka tambang itu akan dibantu dan dilindungi oleh Gubernemen dengan segala upaja jang dipikir harus dan dibitjarakan dengan jang beroleh idzin akan pekerdjaan itu. Adapaun segala belandja baharu jang dikeluarkan sebab perbantuan atau lindungan itu akan dibajar oleh jang beroleh idjin itu dan mereka itu akan diberi tanggungan pembajaran itu maka sekali2 gubernemen tiada akan memberi pandjaran
Fasal jang keenam
Adapun djika jang diberi idzin buka tambang tiada boleh dapat orang2 negeri merdeka akan bekerdja tambang itu dengan perdjandjian jang patut maka gubernemen akan beri idzin kepadanja akan djemput orang bekerdja merdeka daripada negri lain dengan aturan supaja tiada berubah ketetapan di dalam negeri
Fasal jang ketudjuh
Adapun pekerdjaan buka tambang itu akan melaku dengan seharusnja kepada waktu jang ditentukan didalam surat Perdjanjian..sjahdan apabila pada waktu itu pekerdjaan itu belum berlaku maka segala perdjanjian djadi sia2 tetapi jang diberi idzin buka tambang itu akan ganti djuga segala belandja gubernemen akan pemeriksaan tanah tambang dan idzinnja2
Fasal jang kedelapan
Apabila diberi idzin buka tambang kepada sehimpunan orang sekutu maka jang djawatan pekerdjaan itu hanjalah orang Welanda yang dudu’ dinegeri Nederland atau ditanah Hindia Nederland dan sebagai lagi jang diberi idzin buka tambang baik seorang sendiri baik sehimpunan orang sekutu ta’ dapat tiada ia angkat seorang djadi wakil muthlaqnja ditanah Hindia Nederland
Fasal jang kesembilan
Adapun jang telah beroleh idzin buka tambang tiada boleh serahkan haqnja itu baik semata2 baik sebagianja kepada orang lain hanjalah dengan idzin gubernemen Hindia Nederland dan sekali2 haq itu tiada boleh pindah kepada barang siapa hanjalah orang Welanda terberi kepada 24 hari hari bulan Oqtober tahun 1850 bertanda oleh Sri Paduka Maharadja Willew bertanda oleh Tuan Minister jang melakukan hal pemerintahan segala negri jang ta’luq kepada negri Nederland
(Arsip Nasional Republik Indonesia, 1970: 96-97)

Dalam perkembangannya, perusahaan Belanda Pulau Singkep Tin Maatschaappij (SITEM) pada tahun 1934 menggarapnya secara besar-besaran. Tahun 1959, penambangan timah pun diambil alih pemerintah sampai akhirnya pulau itu ditinggalkan di awal tahun 90-an. Sejarah panjang ini, membuat penuturan warga Pulau Singkep sudah menyatu dengan timah. Biji timah membuat mereka hidup penuh kelimpahmewahan. Kota Dabo menjadi salah satu kota paling maju di Riau, bahkan lebih maju dari Tanjung Pinang, ibukota kabupatennya saat itu.Belum lagi kehidupan warga yang dapat menikmati langsung rezeki timah sebagai karyawan.
Menginjak tahun 1985, merupakan tahun dimulai merosotnya kejayaan timah. Ketika itu terjadi peristiwa yang disebut tin crash atau malapetaka timah, yang ditandai dengan ambruknya harga timah di pasaran dunia. Harga timah anjlok dari 16.000 Dolar AS menjadi 8.000 Dolar AS per metrik ton. Kemerosotan harga itu, membuat usaha penambangan, khususnya di Pulau Singkep menjadi lesu. Eksplorasi berkurang, laba menurun, dan mulailah dampak atas karyawan terasa. Pemutusan hubungan kerja dan lainnya. Seiring itu pula, penambangan timah di Pulau Singkep dan semua akitifitasnya dipindahkan ke Karimun dan Kundur.Perubahan drastis langsung menerpa mereka yang mengantungkan hidupnya pada PT Timah. Berangsur-angsur, 2.400 karyawannya diberhentikan dan diberi ”uang tolak” alias pesangon. Sebagian yang diberhentikan, meninggalkan Pulau Singkep. Sedangkan pegawai yang tidak diberhentikan mutasi ke lokasi tambang lain di Bangka, Tanjung Batu dan Tanjungbalai, Karimun.
Pulau Singkep, dan khususnya Kota Dabo mulai terjerembab.
Warganya mulai hengkang, terutama kalangan usahawan, banyak yang pindah ke Tanjungpinang atau Batam. Anak-anak mudanya berhamburan merantau, mencari pekerjaan. Akibatnya, Dabo Singkep jadi sepi.

Pusat-pusat Penambangan Timah
Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS Kabupaten Lingga dalam Kecamatan Singkep Dalam Angka Tahun 2007/2008, jumlah kolong besar dan kecil di Pulau Singkep sebagai bekas pusat penambangan timah berjumlah lebih kurang 41 buah. Jumlah itu tersebar di daerah Kebun Niur, Air Panas dan Singkep Barat.

Peninggalan Kejayaan Timah
Kondisi geografis Pulau Singkep pasca penambangan timah terbagi oleh dua jalur pengerukan timah, mulai dari ujung Pantai Timur hingga ke ujung Pantai Barat. Di wilayah Barat, kondisi ini kian diperparah dengan aktivitas penambangan pasir yang kian marak dan sulit dikendalikan. Kolong-kolong sebagai harta karun peninggalan PT. Timah hampir dua abad, kini kian bertambah lebar dan dalam oleh keperkasaan Penambangan Pasir di pulau tersebut.
Wajah pulau seluas 829 km2 porak poranda. Ratusan lubang yang menganga bekas tambang timah yang bertebaran di seluruh Pulau Singkep yang dalamnya belasan meter. Kolong-kolong yang menyerupai danau itu menjadi sarang empuk nyamuk anopheles, penyebar malaria. Jika melihat Pulau Singkep dari udara, seakan pulau ini ”disayat-sayat”.
Bangunan infrastruktur yang tersisa dipakai untuk puskesmas, perumahan, instalasi air minum, serta jaringan jalan. Bangunan yang terbengkalai antara lain bangunan pengolahan bijih timah dekat Pasar Dabo. Bangunan itu keropos dan atap sengnya banyak berlubang.
Rumah berarsitektur khas Belanda yang dulu ditempati para petinggi UPTS (Unit Penambangan Timah Singkep) yang menjadi ciri khas dan kebanggaan kota itu (karena terletak indah di atas bukit dilindungi pohon pisang kipas dan pohon rindang), kini sebagian sudah dijual dengan harga murah kepada yang mau membeli, dan kebanyakan eks karyawan UPTS dan pejabat setempat.
Sebuah bank dengan kantor lumayan megah, kini sudah tutup. Memang ada bank, tetapi statusnya berganti dengan kantor unit. Kantor-kantor bekas PT Timah kosong melompong. Gudang-gudang dan bengkel yang terlantar, ditumbuhi semak belukar. Lapangan terbang hanya sesekali disinggahi pesawat udara. Ruko-ruko yang berjejer di jalan utamanya, boleh dihitung dengan jari yang masih buka dan diusahakan. Pukul lima sore, semuanya sudah tutup.
Sebuah rumah sakit yang cukup besar, yang dulunya punya perlengkapan yang canggih. Bangunannya kini ditempati untuk puskesmas, namun peralatan kedokteran, seperti alat deteksi jantung dan perangkat operasi lainnya, tak ada lagi. Akibatnya, kalau ada pasien yang sakit berat terpaksa dikirim ke Tanjungpinang.

Pengelolaan Bekas Lahan Timah
Pulau Singkep sebenarnya memiliki potensi lain di bidang perkebunan. Namun hingga saat ini belum ada investor yang ingin membuka perkebunan sawit di Pulau Singkep. Padahal potensinya cukup besar, mencapai lebih dari 20.000 hektar. Juga ada jeruk yang dikelola warga. Potensi itu juga belum dioptimalkan. Selama ini perolehan pemerintah setempat hanya dari hasil perikanan, perkebunan, dan terutama dari penambangan pasir. Ada enam perusahaan penambang pasir di Dabo-Singkep yang bekerja di atas lahan seluas 239.282 hektar.
Setiap tahun Pemerintah Kabupaten Lingga memperoleh Rp 2 miliar dari penambangan pasir. Sekitar Rp 70 miliar perolehan pemerintah dari pajak. Perolehan pemerintah daerah juga masih seret karena belum ada peraturan daerah tentang retribusi beberapa kegiatan ekonomi. Seperti misalnya untuk usaha sarang walet yang saat ini sedang menjamur di Dabo.
Pasca kejayaan penambangan timah yang dulu sempat memakmurkan warga Dabo-Singkep, jika tidak berhati-hati, kekayaan lainnya pun akan ikut pergi jika tidak dikelola dengan baik. Namun yang pasti warga masih mengais dan mendulang timah di kolong-kolong tambang timah. Beberapa aktivitas yang dilakukan untuk pemanfaatan kolong-kolong tambang timah tersebut antara lain :
1. Pemanfaatan kolong bekas penambangan timah di lembah Bukit Tumang Kampung Tengah dan di Desa Tangsi Rasep untuk usaha budidaya sayuran dalam rumah plastik.
2. Budidaya kolam ikan air tawar di kolong-kolong bekas galian timah.
Namun demikian, usaha-usaha yang masih berskala kecil seperti tersebut di atas, sangat potensial untuk dikembangkan pada skala yang lebih besar. Permasalahan klasik yang dihadapi di lapangan adalah pemasaran dan modal usaha. Padahal, bekas lahan timah yang ada di Pulau Singkep dapat dimanfaatkan penduduk seperti sumber air minum dan bahkan bila dikelola dengan baik dapat dimanfaatkan untuk wisata memancing.

Dampak Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Pulau Singkep kini, bukan lagi penghasil timah. Pulau itu kini terlantar dan sudah ditinggalkan, dengan mengalami kerusakan lingkungan yang hebat dan perubahan sosial yang dashyat. Pulau yang berbentuk teko itu, telah “terkuras isi perut”nya lebih dari 150 tahun, kini menjadi pulau yang paling baik untuk bahan studi tentang ekologi. Dampak ekologi, sosial ekonomi dan perubahan yang terjadi pulau Singkep memang luar biasa. Warga kini menggali kolong-kolong tambang timah bekas PT Timah, namun hasilnya tidak memuaskan. Mereka tidak memiliki peta tanah seperti yang dimiliki PT Timah.
Lingga sebagai kabupaten baru dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi penduduk dua kecamatan Dabo dan Singkep yang berpenduduk 38.000 jiwa itu. Dabo-Singkep merupakan kecamatan terpadat Kabupaten Lingga yang berpenduduk total 70.000 jiwa. Apalagi Dabo-Singkep merupakan kecamatan terpadat di Kabupaten Lingga yang total penduduknya mencapai 70.000 jiwa lebih.
Melalui pemekaran wilayah itu diharapkan pemerintah dapat membuka lapangan kerja baru seluas-luasnya bagi warga Dabo. Selama ini sebagian besar pemuda di Dabo lebih memilih pindah ke Batam, Tanjung Pinang, atau kota-kota lain di Indonesia untuk bekerja. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila penduduknya pelan-pelan menyusut. Pada tahun 1990, penduduk Singkep masih tercatat 39.000 jiwa. Lima tahun kemudian, tinggal 21.000 jiwa saja. Meskipun sekarang ada kecenderungan naik kembali, tetapi statistik tahun 1997 baru sekitar 35.000 jiwa.
Sendi-sendi sosial ekonomi warga terimbas langsung akibat perginya PT Timah dari Singkep. Terjadi kejutan kultural yang cukup keras pada warga. Tambang timah tidak ada lagi. Pulau Singkep seperti ”dikelupas dan diobrak-abrik”. Kolong-kolong makin menganga. Tanah menjadi danau yang ”sambung menyambung”. Pantai Batu Berdaun, yang dulu jadi pantai wisata, kini terlantar. Restoran makan lautnya sudah roboh dan tenggelam ke dalam danau. Jalan-jalan berlobang dan berdebu.
Program pemulihan lingkungan oleh masyarakat sendiri, dengan
mengambil konsep kebun percobaan, dengan membuat pemukiman baru dan menanaminya ternyata berhasil. Seperti di Bukit Kabung, Sergang, Tanah Putih, Pasir Kuning dan lainnya. Itulah sebabnya, ketika PT Timah “angkat kaki” dan kemudian menghibahkan dana sekitar Rp1 miliar untuk memperbaiki kehidupan pulau itu yang oleh warga Dabo Singkep disebut ”dana pampasan” banyak pihak yang menyarankan agar dana itu dikonsentrasikan ke pembangunan sektor perkebunan dalam skala kecil, tetapi melibatkan banyak masyarakat. ”

Penutup
Setelah masa Penambangan Timah, Pulau Singkep memang benar-benar terpuruk, dan berkembang secara apa adanya. Pola pembangunan yang ada pun tidak jelas karena tidak memiliki landasan ekonomi yang kukuh. Masyarakat Singkep sebelumnya merasa di”manja” oleh pendapatan timah, dan dapat menikmati kehidupan modern jauh lebih cepat dari daerah lain di Kepulauan Riau, seperti melimpah ruahnya listrik, air bersih, bahan makanan, fasilitas kesehatan dan penidikan, serta kemajuan olahraga. Namun setelah masa penambangan timbah, Pulau Singkep menjadi daerah yang nyaris terbelakang.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Yusuf dkk. Dari Kesultanan Melayu Johor-Riau ke Kesultanan Melayu Lingga-Riau.Pemerintah Daerah Propinsi Riau. Pekanbaru.1993

Arsip Nasional Republik Indonesia. Surat-Surat Perdjanjian Antara Kesultanan Riau Dengan Pemerintah2 V.O.C Dan Hindia –Belanda 1784-1909. Djakarta. 1970

A. Samad Ahmad. Kerajaan Johor-Riau. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pelajaran Malaysia.1985Buletin Cagar Budaya. edisi pertama Vol. I I No 2 September 1999

Andaya, B.W. “Recreating a Vision, Daratan and Kepulauan in Historical Context”, Bijdragen tot de Taal,- Land-en Volkenkunde, vol. 153, hal.: 483-508, 1997.

———.Kerajaan Johor 1641-1728 Pembangunan Ekonomi Dan Politik. Terj. Shamsuddin Jaafar. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1987
.
Depdikbud. Sejarah Daerah Riau, Pekanbaru : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Cetakan ke-2 1986.

Daud Kadir, H. M. Sejarah Kebesaran Kesultanan Lingga-Riau. Pemerintah
Kabupaten Lingga. 2008-11-14.

Hidajat, Z.M. Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung. Penerbit Tarsito. 1984

Muhammad Yussof Hashim. Kesultanan Melayu Malaka. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. 1990.

Raja Haji Ahmad, dan Raja Ali Haji. Tuhfat Al-Nafis. Virginia Matheson (ed.). Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd. 1982.

Rida K. Liamsi. Tanjungpinang Kota Bestari, Tanjungpinang : Pemerintah Kotip Tanjungpinang dan Lembaga Study Budaya. 1989

Sijori Pos. 20 Januari 2002.

Virginia Matheson Hooker. Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu-Islam. Penterjemah Pengenalan Ahmad Fauzi Basri. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur. 1991.

Yusuf, Ahmad. Dari Kesultanan Melayu Johor-Riau Ke Kesultanan Melayu Lingga Riau. Pekanbaru: PEMDA Riau. 1993.