Peradaban Tua Kerinci, Provinsi Jambi

0
8434

Penulis : Hendri Purnomo

Dahulunya Kerinci merupakan kawasan hutan belantara, indah dan sejuk. Sekelilingnya adalah Taman Nasional Kerinci Seblat. Memperhatikan legenda sejarah yang berkembang selama ini. Nama Kerinci berasal dari kata, Kering dan cair. Ini memang benar adanya. Terkadang ramalan cuaca tidak cocok, karena curah hujan tidak teratur, hingga tidak bisa dipastikan.
Dibahagian lain, kata Kerinci ini ada yang memberi prediksi kata ci-ci, yang artinya anak Kunci. Dalam sejarah Tiang Bungkuk Panduko Rajo, berasal dari Cina. Kunci ini pembuka rahasia Kerinci. Anak kunci ini hilang di wilayah sekeliling Danau. Benar tidaknya sejauh ini belum dapat diungkapkan.
Berbicara tentang asal usul, Uhang Kincai Umar Ali ( 60 thn) Mantan Depati Atur Bumi mengungkapkan, “Bermula dari lembaran sejarah, Iskandar Zulkarnaen menikah dengan Zailun melahirkan empat orang anak, masing-masing bernama Maharajo Dipang turun ke negeri Cina, Maharajo Alip, Maharaja Diraja turun ke negeri Sumbar, tepatnya di negeri Perhiangan Padang Panjang. Dan yang keempat Indar Jati, orang pertama turun ke negeri Sumbar dengan menepati kawasan Gunung Emas atau Gunung Berapi, Pariaman Padang Panjang. Kemudian ia menikah dengan Indi Jelatang melahirkan keturunan sebanyak dua orang, diantaranya bernama Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Indarbaya.
Indar Jati dengan anaknya Indarbaya, berlayar pula ke Luhak Alam Kerinci. Sedangkan Perpatih Nan Sebatang. Karena asik bermain dengan rekannya, ia tidak ikut serta. Kemudian dipersiapkan alat untuk berangkat. Pertama payung sekaki, tombak, serta tongkat nan sebuah, keris nan satu dibawa pula kambing nan seekor. Dalam perjalanan menuju Luhak Alam Kerinci, ia mengalami kesulitan. Karena medan tempuh rute laut lepas. Kemudian Allah menurunkan petunjuk dengan menerbangkan daun sintuh dengan berlabuh di Gunung Jelatang.
Tahun berlalu musim berganti, Indarbaya menikah dan kemudian melahirkan anak sebanyak empat orang masing-masing bernama Indar Bersusu Tunggal, Indar Bertelawang Lidah, Indi Mariam serta Indar Bayo. Setelah anaknya dewasa, Indar Bersusu Tunggal dinikahkan dengan Puti Samaiyah. Kemudian penghuni Gunung Jelatang itu melahirkan pula anak dua orang, yang bernama Puti Dayang Indah dan Puti Dayang Ramaiyah. Puti Dayang Indah melahirkan lima orang anak. Yaitu bernama Dari Indah, Daristu, Indi Cincin, Mipin, dan Mas Jamain. Puti Dayang Ramaiyah melahirkan anak satu orang, yang bernama Sibungo Layu.
Puti Dayang Ramaiyah, dari pernikahan dengan seorang laki-laki bernama Abdul Rahman, asal Jawa Mataram, melahirkan keturunan sebanyak tiga orang, bernama Karban, Kartan, dan Kalipan. Mereka bertempat tinggal di Jambi. Sementara di Jawa Mataram terdapat tiga orang keturunannya pula. Yaitu bernama, Nahkudo Kubang, Nahkudo Belang, dan Gajah Mada.
Keturunan dari Puti Dayang Indah yang bernama Dari Indah melahirkan pula Incik Permato, Intan Bermato, Lilo Permato. Daristu melahirkan pula keturunan tiga orang yaitu Patimah, Unggu, dan Mangku Agung. Sedangkan Indi Cincin melahirkan keturunan bernama Jaburiyah dan Jabulino. Mipin melahirkan satu orang, Puti Sepadan. Mas Jamain yang bersuamikan, Sultan Maalim Hidayah, asal Pagaruyung melahirkan keturunan Sirujan Angin.
Dituturkan, Indar Jati yang tiada kembali dalam persemadian di alam gaib. Indar Bersusu Tunggal, gelar Depati batu hampar, setelah melihat ke hilir dan ke mudik air laut telah surut. Maka dipecahlah pembagian wilayah, untuk menunggu kawasan negeri yang dibagi itu masing-masing diberikan kepada Incik Permato menungu Latih Koto Pandan, Pondok Tinggi. Bajina Latih Koto limo Sering, mendapatkan wilayah Sungai Penuh. Ungguk menunggu Latih Koto Beringin, Rawang. Mangku Agung menunggu Tebat Tinggi, Sungai Tutung. Sibungo Alam menunggu Talang Banio, Kemantan. Yang terakhir, Puti Dayang Ramaiyah, mendapatkan kawasan Kemantan Darat. Dari Pembagian inilah yang disebut Latih yang enam Luhah Alam Kerinci.
Sementara itu di sebelah hilir, Sirujan Angin menunggu Tamia, mewarisi Depati Muaro langkap. Lilo Permato menungu Pulau Sangkar, mewarisi Depati Rencong Telang. Intan Bermato Sanggaran Agung, mewarisi Depati Biang sari.
Kemudian Indar Berusu Tunggal diangkat pula oleh Sultan Maalim Hidayah menjadi Depati Atur Bumi. Ini disebut Depati Empat Alam Kerinci. Selanjutnya, didirikan pula Kerinci Rendah yaitu dikuasai Karban, yang mewarisi Depati Setio Rajo, Bangko. Kartan mewarisi Depati Setio Nyato, Parentak. Sedangkan Kalipan, mewarisi Depati Setio Putih Limbur Tanah Cugguk. Ini disebut tigo di Baruih.
Sibungo Alam melahirkan keturunan empat orang, yaitu Cik Rah, Cik Kudo, Sijago-jago, dan Hulu Baling Rajo Siulak. Datang pula dari Jambi, Bandaro Putih dengan sebutan Pangeran Temengung dengan membawa kain kehormatan diberikan kepada Depati Muaro Langkap di Tamia. Depati Rencong Telang di Pulau Sangkar. Depati Biang Sari di Pengasi. Depati Atur Bumi di Hiang.
Oleh Depati Atur Bumi dibagi pula kain kebesaran olehnya menjadi delapan bagian, yaitu diserahkan kepada Depati Serah Bumi di Seleman, Depati Mudo Penawar, Depati Kepalo Ino, Tanah kampung. Depati Mudo bertelawang lidah di Rawang. Depati Sekungkung Putih di Sekungkung. Depati Kepalo Sembah di Semurup. Depati Setuo di Kemantan. Depati Atur Bumi/ Depati Atur Bayo di Hiang. Kemudian peristiwa ini dikenal dengan Delapan Helai di Kerinci.
Ada beberapa pusaka, Bukti dari zaman kerajaan ini, yang dinilai masih memiliki nilai mistik diantaranya, keris hingga kini belum diketemukan. Sedangkan tombak serta gading gajah, masih tersimpan. Konon, bila diritualkan dimusim panas, bisa mendatangkan karomah berupa hujan deras. Semua pusako ini tersimpan di rumah pusako Atur Bumi, yang hanya diturunmandikan secara sakral bila ada kenduri pusako, yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Dalam beberapa penelitian tentang asal usul uhang kincai, sebagaimana diuraikan dalam buku seminar adat Kerinci tahun 1985-1990, yang ditulis Yatim Abbas menguraikan secara gamblang. Ia menyebutkan bahwa nenek moyang orang Kerinci telah cerdas dan berperadaban. Ini mengacu pada sistem pembagian waris, yang telah ada aturannya. Khusus mengenai hukum waris ini telah ada beberapa ribu tahun yang silam.
Dengan hadirnya sistem dan cara pembagian waris, hal ini menunjukan bahwa mereka telah menanamkan asas-asas pengamanan yaitu secara preventif, untuk mencegah timbulnya hal-hal yang kurang baik bagi anak cucunya dikemudian hari. Dengan demikian unsur-unsur dalam Pancasila telah ada di Kerinci sejak dulu kala.
Dipaparkan, mulanya suku bangsa Kerinci pernah menganut sistem kekeluargaan yang tertua di dunia, yaitu sistem kepemimpinan berdasar garis keluarga ibu (matrilineal). Kemudian menganut sistim kekeluargaan berdasar garis kepemimpinan ibu-ayah (parental), tetapi belum dapat diketahui seberapa tuanya suku bangsa ini termasuk tipe mana suku bangsa Kerinci itu.
Dari perkakas yang ditinggalkan seperti benda-benda prasejarah ataupun sejarah dapat diketahui tingkat kecerdasannya. Mengenai tipe manusia penghuni alam Kerinci sepanjang bukti yang ditemui menunjukan suku bangsa Kerinci bertipe Melayu tua (Proto Malay) atau termasuk induk (ras) tertua. Hal ini didasarkan pada penelitian ilmuwan asing yang pernah menyelidiki Kerinci seperti Prof. Dr. Jasven Ali, MA. ahli sejarah berkebangsaan Australia tahun 1963, dengan countervarnya, Drs. Syofyan Sani, dari Markas Besar Kepolisian RI di Jakarta. Kemudian Dr. David Sundbukht ahli Antropologi berkebangsaan Swedia tahun 1980 dengan countervarnya, Idris Jakpar, SH. Lektor Jambi kala itu. Dr. J.P.H. Duyhendak ahli Antropologi berkebangsaan Belanda sebelum perang dunia kedua.
Bukti prasejarah dan sejarah tentang peradaban tua Kerinci yang ada di Pulau Sumatera hanya terdapat di sekitar Danau Kerinci, ditemukan benda-benda berupa kapak genggam, Flakes Obsidian yang disebut dengan Mikrolith, batu yang indah/permata. Bukti serupa ditemukan juga di dataran tinggi Asia Tenggara, tempatnya menurut Prof. Kern adalah di Tonkin. Dan menurut V.H. Golden, ilmuwan berasal dari Yunan, menjelaskan terdapat hubungan kebudayaan Kerinci dengan peradaban di dataran tinggi Asia Tenggara.
Temuan bukti-bukti itu dibenarkan oleh Dr. Bener Bron Sarjana Kesenian berkebangsaan Amerika dalam penelitianya tahun 1973, bahkan beliau berkata, ”Kerinci sudah terkenal didunia. Karena bukti sejarahnya yang tua.” Kemudian diperkuat pula oleh hasil penelitian Mr. Bill Watson, sarjana kebangsaan Inggris dalam penelitiannya tahun 1975.
Dari bukti-bukti yang ditemukan dapat dikemukakan bahwa suku bangsa Kerinci dilihat dari Antroplogi Fisik adalah Melayu Tua. Sedangkan bukti kebudayaan menurut Antroplogi Budaya, mereka telah melalui zaman Mesolitikum (zaman batu menengah) yang diperkirakan 400 tahun sebelum masehi.
Selain itu, Kerinci telah memiliki tulisan yang disebut dengan “Incong” terdapat pada Gading Gajah Hiang, dan Tanduk kambing yang menceritakan asal usul orang Kerinci tentang adat istiadat dan batas wilayah. Selain itu bangsa Melayu Tua lebih senang berada didataran tinggi, yang pada umumnya adalah orang-orang pegunungan.
Pada Zaman Neolitikum (zaman batu baru) nenek moyang suku bangsa Kerinci sudah bertempat tinggal tetap, tetapi tidak lagi mengumpulkan makanan (food gathering) tapi sudah menghasilkan makanan (food producting), artinya sudah bercocok tanam dan beternak.
Sementara itu tahun 2003 ditemukan pula di Gunung Raya, Sungai Hangat, tepatnya di SLTP Tiga berupa artefak fragmentaris, ekofak dinasti Cina terdiri dari gerabah keramik Cina dan obsidian, batu asahan dan manik-manik, pisau kecil, batu bulat, serta ekofak yang terdiri dari rahang gajah dan tanduk rusa.
Demikian juga dengan Tamia berupa batu patah sebelah utara dengan ukuran 2,27 meter x 1,5 meter, makam kuno dengan panjang arah Barat Timur 125 meter. Temuan ini, kata Alimin (Pegawai budaya, sejarah dan purbakala pada Dinas Pariwisata Kerinci) berdasarkan kesejarahan material diduga telah berumur 500 tahun sebelum Masehi. Ini dilihat pula pada periode sejarah data keramik Cina dinasti Sung, Qin, Ming, dan Yuan. Masa ini berlangsung pada periode tahun 960 s.d. 1279 M.
Penggalian dilakukan oleh empat orang peneliti asal Jerman masing-masing Dr. Raff Dominik Bonat, Dr.Doretha Mechild Main Mai leejoa, Dr. Ulrike Susane Summer dibantu rekanya, Betiene logman, Mahasiswa Leiden Universiti, Dra. Dwi Yukiani, M.Hum, Pusat penelitian Arkelogi Jakarta. Agus Widiatmoko,SS. Balai pelestarian penelitian Purbakala jambi dengan konsultan peneliti Poff. Dr.Wolfgang Marshell, pakar Arkeologi Switzerland. (Sbr: http://jonmisteri-kerinci.blogspot.com/2006/07/peradaban-tua-kerinci.html)