Oleh : Febby Febriyandi. YS (Peneliti Budaya BPNB Kepri)
Sejarah Intangible Heritage
Program Warisan Budaya Takbenda (WBTB) di Indonesia merupakan bagian dari program Intangible Heritage yang di agendakan oleh UNESCO selaku lembaga tertinggi yang mengurusi bidang kebudayaan. Pada awalnya UNESCO tidak membedakan antara Tangible dan Intangible. Pandangan UNESCO mengenai warisan budaya pada era pra-1990 berdasarkan pada konverensi Paris 17 Oktober 1972, yang masih terbatas pada Traditional Categories of Classical Art. Pandangan ini menyebabkan UNESCO lebih fokus pada Great Monuments dan Great Civilizations, yang dianggap sebagai master piece dari berbagai kebudayaan yang pernah dikenal manusia, sehingga kurang memperhatikan warisan-warisan budaya yang unik, tidak megah seperti misalnya lukisan pada dinding-dinding gua. Warisan budaya seperti itu tidak dapat masuk dalam daftar “Warisan Budaya”. Situasi demikian membuat sejumlah negara tidak puas dengan kebijakan UNESCO (Ahimsa-Putra, 2009).
Pada tahun 1982 diadakan konferensi kebijakan kebudayaan tingkat dunia di Mexico City. Dalam konferensi ini definisi Heritage diperluas meliputi The Whole Cultural Tradition. Warisan budaya mencakup The works of artists, architects, musicians, writers and scientists, and also the work of anonymous artists, expressions of people’s spirituality, and the body of values which give meaning to Life it includes both tangible and intangible works through which the creativity of that people finds expression : languages, rites, beliefs, historic places and monuments, literature, works of art, archives and libraries (UNESCO, 1982 :43). Dengan demikian, konsep intangible telah mulai dipakai pada konferensi ini.
Pada tahun 1985 UNESCO menyusun Legal Instrument untuk melindungi Folklore sebagai warisan budaya. UNESCO kemudian mengadopsi Recommendation on the safeguarding of traditional culture and folklore (Paris, November 1989). Namun hal ini tidak menarik perhatian banyak negara. Tahun 1993 pandangan UNESCO terhadap folklore mengalami perubahan. Jepang mengusulkan penggantian nama seksi Non-Physical Heritage (1982) menjadi Intangible Heritage. Istilah Traditional Culture and Folklore diganti menjadi Intangible Heritage. Maka kemudian dimulailah program Safeguarding and promotion of the intangible heritage, yang didanai oleh UNESCO dan Jepang (Ahimsa-Putra, 2009).
Perbincangan mengenai warisan budaya takbenda (intangible culture) kembali mengemuka setelah adanya konvensi UNESCO pada 17 Oktober 2003 di Paris (Armini, 2014). Dalam konvensi ini UNESCO menerbitkan definisi Intangible Culture sebagai suatu peninggalan yang masih hidup, hasil dari keragaman budaya masyarkat, berbagai praktik, representasi, ekspresi dan pengetahuan, serta keterampilan yang diakui sebagai bagian dari warisan budaya atas kreativitas yang berkelanjutan oleh komunitas, kelompok, dan individu (UNESCO, 2003). Tujuan pewarisan budaya takbenda ini menurut konvensi UNESCO 2003 adalah untuk memberikan rasa identitas dan keberlanjutan, membantu manusia memahami dunianya dan memberikan makna pada kehidupan dan cara manusia hidup bermasyarakat. Hasil konvensi UNESCO Tahun 2003 ini kemudian menetapkan 5 kategori karya budaya yaitu : 1) Tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya takbenda. 2) seni pertunjukan. 3) adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan-perayaan. 4) pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta. 5) kemahiran kerajinan tradisional. Hasil Konvensi UNESCO ini baru dapat dilaksanakan pada bulan April 2006 (Nagaoka, 2012 : 45).
Program WBTB di Indonesia
Pemerintah Indonesia menyambut baik kebijakan intangible culture UNESCO sebagai salah satu program untuk menghindari kepunahan warisan budaya takbenda yang dimiliki bangsa Indonesia. Pada Tahun 2007, pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden No 78 Tahun 2007 tentang pengesahan Ratifikasi Convention for The Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage. Selanjutnya Peraturan Presiden ini menjadi dasar hukum bagi pelestarian warisan budaya takbenda di Indonesia (Indriati, 2012 : 81). Sebagai panduan teknis pelaksanaan program pelestarian warisan budaya takbenda Indonesia kemudian lahirlah peraturan bersama menteri dalam negeri dan menteri kebudayaan pariwisata No.42/40 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan, Serta Permendikbud No 106 Tahun 2013 Tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
Kegiatan pencatatan warisan budaya takbenda di Indonesia baru dimulai pada tahun 2009, yang diawali dengan simposium dan workshop inventarisasi perlindungan warisan budaya takbenda yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Workshop yang dilaksanakan pada tanggal 19-20 Agustus 2009 ini bertujuan memberi pembekalan kepada petugas pencatatan di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) se Indonesia, sebagai Unit Pelaksana Teknis di bawah Ditjen Kebudayaan (Waluyo dkk, 2009). Pada tahun ini pencatatan warisan budaya takbenda belum mengacu pada formulir nominasi mata budaya ke UNESCO (Armini, 2014). Pencatatan bertujuan untuk mengumpulkan deskripsi berbagai mata budaya takbenda di Indonesia.
Untuk melakukan pencatatan warisan budaya takbenda Indonesia dengan lebih baik dan menampung semua bentuk mata budaya, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Kebudayaan mengembangkan lima kategori karya budaya dari UNESCO menjadi lebih rinci, yaitu : 1) Tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa, cerita rakyat, naskah kuno dan permainan tradisional. 2) Seni pertunjukan, termasuk seni visual, seni teater, seni suara, seni tari, seni musik dan film. 3) Adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan-perayaan, sistem ekonomi tradisional, sistem organisasi sosial dan upacara tradisional. 4) Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta, termasuk pengetahuan tradisional, kearifan lokal, pengobatan tradisional. 5) Kemahiran kerajinan tradisional, termasuk seni lukis, seni pahat/ukir, arsitektur tradisional, pakaian tradisional, aksesoris tradisional, makanan dan minuman tradisional, serta transportasi tradisional.
Akan tetapi tidak semua mata budaya yang termasuk dalam lima kategori warisan budaya takbenda tersebut langsung dapat diusulkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia. Dalam Permendikbud No.106 Tahun 2013 disebutkan bahwa kriteria warisan budaya takbenda adalah : 1) melambangkan identitas budaya dari masyarakat. 2) memiliki nilai penting bagi bangsa dan negara. 3) diterima seluruh masyarakat Indonesia. 4) memiliki nilai-nilai budaya yang dapat meningkatkan kesadaran akan jati diri dan persatuan bangsa. 5) memiliki nilai diplomasi. Dengan demikian seluruh mata budaya yang akan diajukan harus memenuhi kriteria tersebut. Selain itu ditetapkan pula syarat bagi mata budaya yang dapat dijadikan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia, yaitu : 1) Diteruskan dari generasi ke generasi. 2) Dikreasikan ulang secara berkesinambungan oleh komunitas dan kelompok. 3) memberikan penguatan jati diri (sens of identity and continuity) bagi komunitasnya. 4) mempromosikan penghargaan atas keragaman budaya dan kreativitas manusia. 5) sesuai dengan instrumen hak azazi manusia internasional (Rachman, 2009 : 2)
Sejak tahun 2010 Direktorat Jenderal Kebudayaan menargetkan pencatatan warisan budaya takbenda sebanyak 1000 karya budaya setiap tahunnya. Pencatatan ini dilaksanakan oleh 11 BPSNT di seluruh Indonesia. Sejak tahun 2010 format pencatatan telah disesuaikan dengan format pengusulan nominasi ke UNESCO. Pada tahun 2016 Direktorat Jenderal Kebudayaan mengeluarkan dua format yang berbeda. Satu format untuk pencatatan kekayaan budaya Indonesia dan satu lagi format untuk penetapan warisan budaya takbenda Indonesia. Setelah melakukan kegiatan pencatatan warisan budaya takbenda selama kurang lebih sembilan Tahun, saat ini Pemerintah Indonesia telah menetapkan 594 karya budaya sebagai warisan budaya takbenda Indonesia (lihat : kwriu.kemdikbud.go.id). Hingga tahun 2017 telah terdapat delapan elemen budaya Indonesia yang ditetapkan sebagai warisan budaya UNESCO yaitu : Wayang & keris (2008), Batik (2009), Angklung (2010), Tari Saman (2011), Noken (2012), 3 jenis tari Bali (2015), dan Pinisi (2017).
Kelemahan Program WBTB di Indonesia
Program WBTBI yang telah dijalankan selama ini patut mendapatkan apresiasi. Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, BPNB dan Dinas Kebudayaan di daerah-daerah telah berupaya menjalankan program ini sebaik mungkin. Namun seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”, program ini pun tidak luput dari kelemahan. Setelah hampir sembilan tahun program ini dilaksanakan, ternyata belum memberikan dampak yang maksimal bagi kelestarian budaya yang telah ditetapkan sebagai WBTBI. Dengan kata lain, materi budaya yang telah ditetapkan sebagai WBTBI kondisinya tidak makin membaik.
Sedikitnya ada tiga persoalan berkenaan dengan program WBTBI yang mesti segera diatasi. Pertama, wacana dan program pencatatan warisan budaya takbenda belum tersosialisasi secara luas kepada masyarakat. Beberapa kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan masih mencapai kalangan terbatas. Penyelenggara mengharapkan peserta sosialisasi meneruskan informasi dan pengetahuan mengenai WBTB, namun kenyataannya informasi yang diterima berhenti pada peserta sosialisasi.
Kedua, sudut pandang yang digunakan dalam pelaksanaan program ini masih bersifat patrimonialisme dimana pemerintah bertindak sebagai patron dan para pelaku budaya bertindak sebagai klient (Lindsay, 1995: 661). Pendekatan ini terlihat dari kuatnya tekanan pemerintah dalam menentukan berbagai kriteria dan syarat yang ditetapkan bagi mata budaya tertentu yang akan ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia. Syarat dan ketentuan ini dengan sendirinya akan menjadi filter bagi keragaman budaya di daerah. Budaya yang tidak memenuhi syarat akan ditinggalkan oleh pendukungnya sendiri.
Ketiga, terciptanya misorientasi dikalangan pelaku budaya dan pengelola kebudayaan di Daerah. Program warisan budaya takbenda yang seharusnya menjadi cara atau alat pelestarian kebudayaan justru menjadi tujuan utama. Pemerintah daerah dan para pelaku kebudayaan lebih fokus mencari pengakuan dan legitimasi pemerintah pusat atas suatu karya budaya, dari pada melestarikan materi budaya itu sendiri. Selain itu, disadari atau tidak muncul ketimpangan dalam upaya pelestarian kebudayaan. Hal ini terjadi karena pemerintah daerah yang diharapkan melestarikan warisan budaya takbenda yang telah disyahkan oleh pemerintah pusat, menjadi lebih fokus pada mata budaya yang telah ditetapkan saja, sedangkan mata budaya yang belum disyahkan dan yang dianggap sulit untuk diusulkan menjadi WBTBI kurang mendapat perhatian.
Ketiga persoalan ini harus segera diatasi, karena akan berpengaruh besar terhadap pencapaian tujuan hakiki program WBTB. Jika persoalan ini terus diabaikan, semangat pelestarian budaya yang menjadi roh digagasnya program intangible heritage justru akan segera memudar, dan berganti menjadi semangat peng-aku-an karya budaya yang sama sekali tidak bermanfaat bagi pelestarian budaya bangsa.**