Membentang Sejarah Perdagangan Timah Babel Abad 19-20

0
895

“Inilah tempat timah terkaya yang tidak ada bandingannya di dunia. Seluruh pulau (Bangka Belitung) nya akan menjadi tambah timah terbesar…” (Thomas Stamford Raffles,1812).

Kutipan Gubernur Jenderal Inggris legendaris itu dikutip diawal pembuka buku Lintas Sejarah Perdagangan Timah di Bangka Belitung Abad 19-20 yang ditulis tiga peneliti BPNB Kepri, Anastasia Wiwik Swastiwi, Hendri Purnomo dan Sasangka Adi Nugraha. Buku diterbitkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri tahun 2017 yang dicetak CV Genta Advertising.

Kajian tentang timah di Babel adalah sesuatu yang menarik. Babel identik dengan timah. Boleh dibilang Babel adalah daerah nomor satu penghasil timah di Indonesia. Daerah-daerah di Babel seperti Bangka, Belitung, Muntok identik dengan kemasyuran timah di Indonesia. Hal yang sama juga dengan Dabo Singkep dan Tanjung Batu di Kepulauan Riau yang dulunya surga timah dan kini tinggal kenangan

Cukup banyak buku dan tulisan yang mengupas sejarah timah di Bangka Belitung. Ada Sutedjo Sujitno dengan dua karyanya Dampak Kehadiran Timah Indonesia Sepanjang Sejarah dan Sejarah Penambangan Timah di Indonesia Abad 18-abad 20. Dua tulisan ini mengupas perdagangan timah di Indonesia sejak masa awal. Sejarawan LIPI Erwiza Erman juga menulis timah di Babel dengan judul Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung. Buku ini diterbitkan penerbit Ombak tahun 2009. Selain itu, Rahman Bustami juga menulis Menyoal Penambangan Timah Babel. Juga ada sejumlah tulisan tentang sejarah timah di
Babel.

Dalam buku ini penulis menegaskan, perdagangan timah di Babel mengalami pasang surut, namun timah sulit dipisahkan dari kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya. Latarbelakang sejarah yang telah berurat sejak masa lalu membuat daerah ini sulit berkembang ditopang oleh ekonomi lain, sekalipun itu lada. Pola perdagangan timah dari masa ke masa dalam kurun waktu abad 19-20 selalu berubah menyesuaikan pemegang kekuasaan di Babel.

Saat ini penambangan timah skala kecil masih banyak di Babel. Namun, keberadaan bijih timah yang ada di dalam tanah yang cukup dalam dan bukan di permukaan menjadi kendala bagi penambang rakyat. Pasalnya, tambang rakyat umumnya memakai alat yang sederhana. Penulis dalam saran penelitiannya menilai ke depannya, masyarakat Babel jangan terlalu ketergantungan pada timah. Timah semakin
menyusut. Ada baiknya masyarakat menggalakkan menanam lada atau sahang. Lada putih atau Muntok White Pepper juga menjadi ikon lada Babel. Daerah ini sangat cocok untuk budidaya penanaman lada.

Buku ini sangat cocok dibaca mahasiswa, peneliti atau peminat sejarah timah, termasuk juga oleh masyarakat Babel dan Kepulauan Riau. Dari buku bisa melihat pasang surut perdagangan timah di Babel. Ada masa-masa kejayaan dan ada pula saat timah mengalami titik nadir. Fenomena penambangan timah rakyat yang lebih dikenal dengan nama tambang inkonvensional (TI) juga dipaparkan dalam buku ini. TI menjamur yang jumlahnya ribuan. Produksi timah meningkat sementara disisi lain penyelundupan timah juga marak terjadi.

Buku setebal 119 halaman ini sayangnya tidak memberikan argumen atau penjelasan perbedaan buku ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Kajian sejarah pertambangan timah di Babel cukup banyak ditulis. Perbedaan itu bisa saja dari batasan temporal (waktu) kajian yang dalam buku ini mengupas abad 19-20. Selain itu juga bisa juga dari fokus kajian. Buku ini menitikberatkan pada sektor perdagangan yang dikaji dari segi sejarah. Diawal buku sudah disebutkan kajian ini masuk dalam kategori sejarah ekonomi. **

 

Tinjauan Buku

  • Judul buku : Lintas Sejarah Perdagangan Timah di Bangka Belitung Abad 19-20
  • Penulis :Anastasia Wiwik Swastiwi P.hD
    Sasangka Adi Nugraha SS
    Hendri Purnomo S.Sos
    Penerbit : Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri 2017
    Percetakkan : CV Genta Advertising
  • Tahun terbit :2017
  • Jumlah halaman :119