Menabuh Gamelan Melayu

0
1204

Oleh: M Hasbi (Penggiat Budaya Kabupaten Lingga)

Sebuah Diskusi dan Rekonstruksi Warisan Seni Melayu Yang Mati Suri

Boleh dikatakan, seni Gamelan Melayu di Indonesia khususnya di Lingga telah mati suri sejak ratusan tahun silam. Jejaknya pun masih tercecer dalam sejarah bangsa Melayu yang besar. Seni Gamelan ini masih menjadi tanda tanya besar, bagaimana Gamelan yang identik dengan Jawa tersebut juga hidup dan pernah berkembang dalam Kesultanan Melayu. Bagaimana pula bentuk dan juga fungsinya dalam masyarakat saat itu. Bagaimana juga hubungan kerajaan Melayu dan Jawa dalam interaksi kebudayaan?

Konon, Seni Gamelan Melayu ini berasal dari Daik Lingga semasa menjadi pusat Kesultanan Melayu Lingga-Riau (1787-1901) dan dibawa ke negeri Pahang Malaysia. Di dalam buku Pahang Dalam Sejarah menyebutkan “pada tahun 1835 Yang Mulia Dato Bendahara Seri Maharaja (1806-1857) telah berangkat ke Lingga karena Yang Maha Mulia Sultan hendak mengangkat gelaran puteranya Sultan Mahmud Muzzafar Syah.

Perayaan tersebut diserikan dengan pelbagai upacara dan temasya, termasuk perjudian, menyabung ayam dan persembahan kesenian. Di antara kesenian yang dipersembahkan ialah Gamelan.

Yang Mulia Dato Bendahara Seri Maharaja Ali amat tertarik hati dengan persembahan Gamelan. Baginda langsung membawa balik ke Pahang satu set alat Gamelan yang terdiri dari satu set Kerombong (Bonang), satu set Gambang, satu set Demong, satu set Saron, satu set Kenong, satu set Gong dan satu set Gendang.”

Sementara untuk mengembangkan seni Gamelan tersebut di Pahang, seorang pemusik Gamelan dari Lingga yakni Encik Basuk juga dibawa sebagai jurutunjuk atau pengajar orang tempatan oleh istana. Gamelan Melayu atau Joget Pahang inipin terus berkembang dan menjadi salah satu sajian pertunjukan di Istana seperti dalam kegiayan adat istiadat.

Di Pahang, kesenian ini kemudian dikenal dengan nama Joget Pahang atau Gamelan Pahang. Sampai sekarang Gamelan yang berusia 183 tahun tersebut masih utuh tersimpan di Muzium Sultan Abu Bakar Pahang. Ada juga yang menyebutnya dengan nama Gamelan Malaysia.

Gamelan Melayu atau Joget Pahang dalam perkembangannya juga mengalami pasang surut. Pada tahun 1914 setelah Sultan Ahmad mangkat, tidak ada seorangpun dari waris baginda yang meneruskan untuk merawat kesenian ini. Sampai pada akhirnya tahun 1970 an barulah kesenian ini kembali dihidupkan oleh Kerajaan Negeri Pahang setelah menjadi Negara Malaysia dan terpisah dengan Lingga-Riau yang masuk dalam wilayah Indonesia.

Sedangakan di Lingga sendiri, yang menjadi asal mula Gamelan Pahang tersebut belum banyak diketahui baik mengenai sejarah dan jejak instrumentasi serta para pelaku seni nya. Termasuk asal muasal Gamelan pertama kali sampai ke Daik Lingga.

Yang hanya bisa ditemukan di Daik, hanya empat buah bonang dan kini tersimpan di Museum Linggam Cahaya, Komplek Istana Damnah. Menurut pengurus Museum, ke empat bonang tersebut ditemukan oleh warga desa Kerandin kecamatan Lingga Timur dan telah terkubur di dalam tanah kemudian diserahkan kepada pihak Museum.

“Cemburu” dengan Perhatian Malaysia Terhadap Gamelan Melayu

Pengajar Gamelan Melayu, Universitas Pertahanan Nasional Malaysia yang juga Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Dwiono Hermantoro mengaku cemburu dengan perhatian negara Malaysia terhadap Gamelan Melayu tersebut. Sejak tahun 1997 menjadi tenaga pengajar di Malaysia hingga saat ini, Malaysia menurutnya memberikan perhatian serius terhadap seni Gamelan dan telan menjadi kegiatan ekstrakulikuler di Universitas Kebangaaan Malaysia (UKM) sejak tahun 1980.

Dalam setiap kali diskusi Gamelan Melayu terang pria yang akrab disapa Herman ini nama Daik Lingga selalu disebutkan sebagai sejarah asal Gamelan tersebut.

“Yang menjadi pemicu kenapa saya tertarik menghidupkan kembali Gamelan Malayu ini karena menjadi satu tanggung jawab saya secara nasionalis. Saya cemburu dengan perkembangannya di Malaysia.
Padahal dalam tulisan sejarah, orang dari Malaysia menyebutkan dalam setiap pertemuan di dalam kelas, Gamelan berasal dari Daik seperti banyak dalam buku sejarah yg dituliskan. Ada tanggung jawab saya secara pribadi membangkitkan kembali, agar Gamelan di tabuh lagi di Lingga,” ungkap Herman di Daik Lingga usai Diskusi Gamelan Melayu, Senin (9/4) lalu).

Lingga sebagai daerah asal muasal Gamelan tersebut menurut Herman seharusnya memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga warisan kebudayaan dan seni ini. Sebab jelas menjadi kekayaan khazanah budaya. Meskipun telah lama hilang terang Herman selalu ada jalan jika para pelaku seni Lingga ingin menghidupkan lagi seni Gamelan Melayu tersebut.

“Bahwa gamelan itu sudah menjadi warisan budaya Indonesia. Tentu bukan menjadi sesuatu yang muskil menghidupkan kembali di pulau Lingga, di lingkungan melayu sebagai salah satu warisan seni nenek moyang yang boleh di teruskan,” jelasnya.

Untuk itu, Herman berharap lewat diskusi dan pengenalan kepada generasi muda serta perhatian pemerintah setempat Gamelan Melayu bisa di rekonstruksi kembali.

“Dulu kawan saya dari Malaysia pernah datang ke sini (Daik) dan ingin melihat Gamelan, tapi tidak ada. Kedepan ini menjadi tanggung jawab bersama para penggiat seni. Dari segi kesejarahan mencari narasumber mencari sumber cerita sejarah atau cerita rakyat yang berhubungan dengan gamelan itu di Lingga,” jelasnya.

Soal gamelan kenapa bisa ada di Lingga dan berkembang di dunia melayu menurut Herman itu hal yang lumrah. Gamelan menurut tradisi Jawa kata Herman memang menjadi instumentasi yang wajib dimiliki oleh kalangan berada dan status sosial yang tinggi. Namun sejarah pasti kapan dan siapa yang membawa gamelan tersebut ke Lingga masih perlu dikaji lebih lanjut.

“Saya sudah cukup lama mengkaji sejarah Gamelan baik di Jawa maupun dimana-mana. Ternyata sudah menyebar ke seluruh Indonesia, ada di Banjar dan Kutai juga ke Lingga. Dasar ini yang membuat saya ingin mengetahui lebih banyak apa sebenarnya berlaku dengan Gamelan Melayu di Lingga,” kata Herman yang mengenal Lingga dalam banyak buku sejarah.

Sementara soal Gamelan Melayu kata Herman memiliki nada yang berbeda dengan Jawa, Sunda, Bali dan daerah manapun. Sejumlah lagu yang kini berkembang di Malaysia dalam iringan Gamelan Melayu seperti Timang Burung, Tenun, Togok, Raden Inu, Topeng, Ketam Renjung, Selang Aruk dan Ayak-ayak.

“Set Gamelan Melayu yang dimainkan di Malaysia berlaras selendro dengan nada C diatonis,” pungkasnya.**