Ampek Gonjie Limo Gonop, Tradisi Tutur dari Merangin

0
1352
Dr Sri Purnama Syam, tenaga ahli warisan budaya takbenda (WBTB) Jambi dan pelaku tradisi ini. (foto:jambipro)

Ampek gonjie limo gonop hidup dan berkembang di Desa Muaro Kibul Kecamatan Tabir Barat Kabupaten Merangin. Tradisi diturunkan dari mulut ke mulut sejak nenek moyang orang Kibul. Namun sejak tahun 1980-an tidak lagi ditampilkan. Masyarakat sudah meninggalkan mata pencarian bertani (menanam padi) dan berkebun karet serta menambang emas.

Pengakuan dari Ketua Lembaga Adat Desa Muaro Kibul, yakni Hasyim yang bergelar Datuk Maninggi (65), menjelaskan tradisi ampek gonjie limo gonop, terakhir dilakukan tahun 1980, setelah itu tidak pernah lagi diadakan.

Tradisi Ampek Gonjie, Limo Gonop, berkaitan dengan pantun berbalas yang dilakukan oleh muda-mudi (bujang gadis) desa setempat, dan dilakukan di talang/kebun/sawah pada saat hendak panen (ketalang Petang), dan dilaksanakan di talang, bukan di desa atau dalam rumah. Dikatakan Hasyim, tradisi tua ini berusia ratusan tahun, berkaitan dengan adat, yang mengatur pergaulan bujang-gadis. Menurut dia, tak elok apabila dalam sebuah ruangan (belerong) hanya ada pasangan muda-mudi. Sehingga akan tampak genap (sesuai aturan) apabila ada orang tua perempuan sebagai penengah, yang berfungsi mengawasi.

Tradisi ini tertuang dalam seoko adat, yang berbunyi:

Ladang nan bejelo

Panjang nan bepetai

Menurut adat disitu tempatnyo

Sesuai dengan budayonyo

Tradisi tua ini mulai menghilang sejak 1980 silam. Namun setelah masyarakat setempat kembali bercocok tanam padi, tepatnya 2017 lalu, tradisi Ampek Gonjie Limo Gonop dilakukan masyarakat. Meskipun pelaku tradisi sekarang, dominan generasi tua dan bukanlah generasi muda.

Dahulu kala, saat bertemu musim panen padi. Pada malam harinya, warga kampung turun ke ladang/sawah. Kemudian muda-mudi berbalas pantun. Ungkapan hati yang tercermin dalam pergaulan anak muda ini, menarik sebagai tontonan sekaligus ajang perjodohan. Sesungguhnya, tradisi Ampek Gonjie Limo Gonop lahir untuk menangkal pergaulan bebas atau free sex anak muda.

Peneliti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Provinsi Jambi, Sri Purnama Syam mengatakan tradisi ampek gonjie limo gonop, secara harfiah bermakna kontradiktif. Namun secara filosofis terkandung nilai-nilai yang luhur, yakni mengatur pergaulan anak muda, agar selaras dengan adat-istiadat.

“Maksudnya kalau hanya empat muda-mudi atau sepasang yang berbalas pantun dirasa kurang pas (ganjil). Makanya harus ada orang tua (perempuan) yang hadir, agar terasa pantas (genap),” kata Purnama yang juga Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana ini.

Perempuan yang akrab disapa Ema ini, menjelaskan, ampek gonjie limo gonop adalah pembumian dari nilai-nilai adat-istiadat masyarakat setempat. Dengan kultural masyarakat yang terbuka, ninik mamak (tetua adat) tidak melarang adanya pergaulan anak muda (pacaran). “Tapi ada batas-batasan yang jangan sampai dilangar,” kata mantan Kepala Taman Budaya Jambi ini.

Menurut Ema, prosesi tradisi ampek gonjie limo gonop dilakukan bersamaan dengan masa panen, biasa disebut ketalang petang. Dimana, ampek gonjie limo gonop dilakukan sebelun panen (pagi hari) melainkan pada malam hari.

Tradisi ini sangat hidup, karena sebagian besar mata pencarian masyarakat adalah bertani. Masyarakat melakukan tradisi ampek gonjie limo gonop di pinggir ladang atau sawah, dengan membangun bilik-bilik kecil berukuran 2 X 3 meter persegi, yang biasa disebut belerong.

Jumlah belerong menyesuaikan jumlah pasangan muda-mudi, yang terlibat berbalas pantun. Lebih jauh, Ema menuturkan batas antar belerong, biasanya digunakan kain panjang. Belerong dibuat seolah ruang tamu yang menyimbolkan rumah pihak perempuan. Posisi duduk saat berbalas pantun, saling berhadapan. Berbalas pantun dilakukan dari malam hingga fajar (subuh).

“Setelah muda-mudi sepakat (saling mencitai) yang tergambar dalam pantun, maka perempuan (ibu) dari pihak pemudi, akan memutuskan untuk menerima atau menolak lelaki, untuk urusan ke jenjang pernikahan,” jelas Ema lagi.

Selain digunakan sebagai hiburan maka tradisi ampek gonjie, limo gonop juga merupakan sebuah ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta, atas berhasilnya panen. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Kayam (1981:60) bahwa kesenian tradisi merupakan ungkapan batin yang dinyatakan dalam bentuk simbolis yang menggambarkan arti kehidupan masyarakat pendukung.

Kegiatan berbalas pantun muda-mudi, harus ada yang mengontrol dan mengawasi. Pasalnya, takut ada ucapan pantun yang tidak baik (jorok) atau menyinggung perasaan. Kehadiran pihak keluarga perempuan, untuk memastikan bahwa pergaulan muda-mudi melalui tradisi ampek gonjie limo gonop berjalan sesuai adat. Tatanan pergaulan muda-mudi perlu diawasi, sebab balaas pantun menjadi media untuk melampiaskan rindu atau perasaan suka terhadap lawan jenis.

Sebagai tradisi, ampek gonjie limo gonop merupakan tradisi yang mengandung nilai kepribadian serta pandangan hidup masyarakat pendukungnya. Sehingga penuh dengan simbol bentuk, gambar dan warna, yang bermanifestasi dalam bahasa pantun (tutur).

Tradisi Ampek Gonjie Limo Gonop dilaksanakan setelai selesai makan malam dan akan berakhir pada saat matahari terbit. Sebagai penutup akan dihadirkan pantun yang berbunyi sebagai berikut :

Yo lah labuh belabuh

Labuh lah terjun ke batang hari

Hari siang embun lah berlabuh

Bulan lah betuka jo matohari. **