Makam Merah dan Alias Wello

0
2517
Muhammad Yusuf Al Ahmadi, Dipertuan Muda Riau X (sumber: www.rmkhalid.com)

Bupati Lingga, Alias Wello yang berdarah Bugis itu melantik para pejabatnya di Makam Merah, Daik Lingga, 29 Desember 2016. Makam Merah, nama lain dari Makam Muhammad Yusuf Al Ahmadi, Dipertuan Muda Riau X (1858 – 1899). Jabatan Dipertuan Muda identik menjadi ‘jatah’ keturunan Bugis. Kini nama Muhammad Yusuf Al Ahmadi juga diabadikan sebagai nama Gedung Perpustakaan Provinsi Kepri.
=================================================

Makam Merah tercatat dalam Registrasi Nasional Cagar Budaya (RGCB) 20040303.04.000501. Ini sesuai SK Menteri No : KM.14/PW.007/MKP/2004. Situs cagar budaya ini disebut Makam Merah karena dahulu lantai selasar dan bangunan atap makam semuanya berwarna merah. Tiangnya terbuat dari besi, pagarnya dari besi dan atapnya seng tebal. Makam ini tidak berdinding dan atapnya berbentuk segi empat
melingkari makam. Dari sejumlah situs cagar budaya di Lingga, Makam Merah ini sangat khas karena warna merah dan letaknya sangat strategis. Lokasinya tak jauh dari
pintu gerbang masuk ke Istana Damnah, Daik. Lokasi Makam Merah juga terletak dekat kantor Perpustakaan Linggam Cahaya yang juga kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lingga.

Makam Merah

Menurut Budayawan UU Hamidy, sosok Muhammad Yusuf Al Ahmadi berjasa besar dalam pengembangan khasanah budaya Melayu. Ia membangun perpustakaan yang bernama Kutub Khanah Yamtuan Ahmadi, yang kemudian lebih terkenal dengan Kutub Khanah Marhum Ahmadi. Pustaka ini memberi bukti bahwa di Riau pernah tampil pemegang teraju pemerintahan yang punya sentuhan budaya atau pejabat yang bernafaskan cendekiawan. Inilah raja atau pejabat yang punya kesadaran dan pandangan jauh ke depan tentang masyarakat, budaya dan agamanya. Dia dapat dikatakan sebagai raja yang punya sentuhan antropologis. Tidak hanya pandai bertitah tapi lebih banyak merenungkan tentang nasib rakyatnya.

UU Hamidy menilai Raja Muhammad Yusuf a1-Ahmadi tampaknya punya pemahaman yang memadai tentang tipologi masyarakat yang dipimpinnya. Dia melihat bagaimana puak Melayu telah nikah-kawin dengan perantau Bugis, lalu berikrar hidup bersama seia-sekata dalam Kerajaan Riau Lingga. Dia tentu melihat kenyataan betapa Riau terletak pada jalur dagang antar bangsa, sehingga anak negeri harus bergaul dengan berbilang bangsa. Sementara itu dia niscaya mengetahui tradisi Bugis yang suka membuat catatan pribadi serta kebiasaan orang Melayu yang suka berbual-bual. Jika kedua tradisi ini bisa bersampuk pada medan budaya, tentu dapat melahirkan generasi pengarang yang tangguh.

Tak diragukan lagi Raja Muhammad Yusuf adalah raja yang alim. Dia menganut tarekat Naksyahbandiyah. Sebagai seorang yang punya pemahaman agama yang memadai, tentulah pemegang teraju kerajaan ini dapat melihat bagaimana hubungan agama dengan ilmu serta hubungan ilmu dengan pustaka. Seorang Islam harus lebih dulu punya ilmu tentang agama ini, baru kemudian melaksanakan ajarannya. Tanpa ilmu, segala amal dan ibadah menjadi percuma lagi sia-sia. Selanjutnya, ilmu dan pustaka punya hubungan balas-membalas. Ilmu telah melahirkan pustaka, kemudian pustaka telah mendorong ilmu berkembang. Kutub Khanah Marhum Ahmadi dapat dikatakan sebagai pustaka Islam pertama di rantau Asia Tenggara. Sebab, ketika pustaka ini ditaja tahun 1866, belum pernah kita ketahui ada pustaka Islam yang lain di rantau ini. Mengapa Riau menjadi pusat bahasa dan budaya Melayu dalam abad ke 19, tak dapat dilepaskan dari peranan pustaka ini. Mengapa Riau berhasil menampilkan Rusydiah Klab sebagai semacam perkumpulan cendekiawan atau pengarang, pustaka ini juga merupakan satu di antara kuncinya.

Khazanah kitab-kitab perpustakaan ini telah ditanggulangi oleh Raja Muhammad Yusuf dengan membeli kitab-kitab dari Timur Tengah, yang sebagian besar adalah kitab mengenai kajian agama Islam. Jika ditaksir harga kitab-kitab yang telah dibeli untuk pustaka ini, tidak kurang dari 10.000 ringgit pada masa itu. Pustaka telah mengambil tempat pada Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat. Dengan demikian, para jamaah, musafir yang singgah di masjid ini serta pengunjung lainnya, dengan mudah memanfaatkan pustaka ini, sambil datang ke masjid untuk salat berjamaah serta kepentingan amal ibadah lainnya.

Dalam penelitian tahun 1981, peninggalan pustaka Kutub Khanah Marhum Ahmadi ini dapat dicatat ada 366 buah kitab. Dari jumlah sebanyak itu, 166 telah dapat dibuat identifikasinya. Sebelumnya, dari tahun 1958-1959 telah dilakukan upaya mengumpulkan dan alih aksara atas perintah Gubernur Riau, SM Amin, Haji Muhammad Yunus penasehat Gubernur dan Muhammad Apan Bupati Kepulauan Riau. Hasilnya ada 3 jilid, yang tiap jilid hampir 1.000 halaman. Tiap jilid telah diberikan kepada Gubernur SM Amin, Haji Muhammad Yunus, Bupati Apan dan Muhammad Yamin sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Tapi sayang, sampai sekarang belum ada satupun yang dapat dijumpai di antara karya yang amat beharga itu.

Dalam tahun 1982 dilakukan penelitian naskah kuno Riau. Dalam penelitian itu dapat dicatat 108 judul naskah lama Riau. Sedangkan kitab-kitab milik pustaka Kutub Khanah Marhum Ahmadi masih ada sebanyak 45 judul. Naskah kuno Riau dan kitab-kitab Kutub Khanah Marhum Ahmadi dapat terpelihara berkat jerih payah Raja Hamzah Yunus, yang mencoba memelihara khazanah ini dengan segala keterbatasan teknologi, bagaikan memelihara anaknya sendiri. Menurut keterangan Raja Hamzah Yunus, Buya Hamka pernah meminjam kitab dari pustaka ini. Kekayaan pustaka ini amat sulit sekali memeliharanya, karena kitab-kitab ini selalu mendapat serangan kuman atau hama di samping pengaruh udara dan tempat penyimpanannya. Dalam tulisan yang sederhana ini diberikan 15 judul kitab pustaka tersebut. Bagi yang ingin melakukan kajian lebih lanjut dapat membaca hasil penelitian kuno tahun 1982 dan mengunjungi Balai Maklumat di Pulau Penyengat.

Tak hanya berjasa dalam dunia cendikiawan, Muhammad Yusuf Al Ahmadi juga dikenang karena melahirkan generasi penerus Kerajaan Riau Lingga. Putranya, Abdul Rahman bergelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah (1885-1912)
yang hasil perkawinannya dengan Tengku Embong Fatimah binti Sultan Mahmud Muzzaffar Syah menjadi Sultan Riau Lingga terakhir. Putranya yang lain adalah Raja Ali Kelana, kelana atau calon Dipertuan Muda Riau terakhir Kerajaan
Riau Lingga. Raja Ali hasil perkawinannya dengan Encik Wan Sri Banun. Jadi Raja Ali Kelana dan Sultan Abdulrahman Mu’azam syah statusnya saudara tiri. Muhammad Yusuf Al Ahmadi jadi Dipertuan Muda Riau Lingga terakhir. Raja Ali Kelana mengundurkan diri sebagai kelana dan secara resmi jabatan Dipertuan Muda dihapuskan 1904. Sejak saat itu jabatan dan tugas Yang Dipertuan Muda Riau dipegang rangkap oleh Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah.

Tradisi baru dibangun Alias Wello. Acara pelantikan pejabat Pemkab Lingga sebelumnya pernah digelar di Istana Damnah, kini di Makam Merah. Tak hanya itu, pelantikan juga dilakukan di areal persawahan Sungai Besar, Lingga Utara. Dari dulu, Alias Wello memang suka berziarah ke Makam Muhammad Yusuf Al Ahmadi itu. Orang terdekatnya pun banyak yang tak tahu alasan, Awe sapaan akrabnya suka ziarah ke sana. Ini ziarah ke makam leluhur. Sama halnya dengan
sejumlah tokoh seperti Sejarawan Mukhlis PaEni yang setiap ke Tanjungpinang selalu suka datang ziarah ke Makam Daeng Celak di Hulu Riau. Mukhlis yang orang Bugis itu meyakini Daeng Celak sebagai leluhurnya.

Mengutip antarakepri.com, Alias Wello menyebut pelantikan di Makam Merah ada filosofinya. Ia ingin menunjukkan sekaligus mengingatkan para pejabatnya baik itu Sekda, Kepala Dinas, Camat dan Lurah yang merupakan ujung tombak kepala unit kerja Pemkab Lingga, pada wujud sebuah kematian seperti yang ada didepan mata mereka kelak. Semua manusia termasuk juga pejabat daerah harus menyadari bahwa hal yang paling dekat dengannya adalah kematian.
“Jabatan itu amanah. Waktu yang singkat harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sebaik mungkin sesuai jabatan yang diemban nanti. Kalau tidak memanfaatkan waktu yang singkat, rugi,” tutur Bupati yang akrab disapa Awe tersebut.

Menurutnya, jika nanti usia dan jabatan tersebut salah dimemanfaatkan, maka merugilah manusia tersebut. “Apabila baik yang mereka lakukan, maka akan dikenang baik lah sampai keturunannya. Seperti Makam Merah ini. Sebaliknya, kalau yang dibuat itu jelek pasti tidak akan diperhitungkan. Gunakan amanah sebaik-baiknya dalam waktu yang singkat,”tukas Awe.

Pelantikan dilokasi yang dianggap non formal jadi tren baru. Ada pelantikan di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, di Makassar pelantikan pejabatnya di atas kapal penishi, ada juga pelantikan pejabat di areal pelabuhan. Semuanya ada filosofinya. Namun hal yang terpenting adalah kinerja usai pejabat itu dilantik. Kerja dan kerja.**

Sumber:
Aswandi Syahri, Raja Ali: Kelana Terakhir Kerajaan Riau-Lingga 1860-1927. Tanjungpinangpos, 27 April 2013.
cagarbudaya.kemdikbud.go.id
UU Hamidy, Kutub Khanah Marhum Ahmadi, Pustaka Islam Pertama di Asia Tenggara.