Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar yang terletak kurang lebih 85 km, di sebelah selatan Pekanbaru ibu kota Provinsi Riau. Desa Kuntu termasuk desa tertua di Propinsi Riau yang syarat dengan lembaran. Dalam buku Sejarah Minangkabau terbitan Bathara Jakarta tahun 1970, di katakan bahwa Kuntu termasuk Wilayah Minangkabau Timur (Kerajaan Kuntu Timur).
Sejak abad ke-6 pedagang dari Gujarat India mengembangkan agama Budha di Kuntu. Ini dibuktikan dimana di Kota Tinggi (Sungai Sontan Kuntu) terdapat kuburan raja darah Putih (Gagak Jao) dengan batu nisan bertuliskan huruf Kawi yang belum bisa diartikan oleh penduduk setempat, pada masa inilah Permaisuri Raja Putri Lindung Bulan menyebut daerah ini dengan sebutan “Kuntu Turoba” yang berarti aku dari tanah tempatku berpijak.
Pada tahun 670-730 M, terdapat dua kerajaan besar yaitu Cina di timur (beragama budha Mahayana) dan Khalifah Muawiyah di barat (beragama islam) masing-masing hendak memonopoli perdagangan, menanamkan pengaruh ekonomi dan agama. Namun politik Muawiyah lebih berhasil dibanding Cina sehingga abad ke-8 agama islam (syi’ah) masuk dan berkembang di Kuntu.
Dakwah pengembangan islam terhenti selama 4 abad disebabkan Cina merasa terganggu kepentingan ekonomi dan pengembangan agamanya, maka Cina mengutus dua orang sarjana agama Budha yaitu: Wajaro Bodhi dan Amogha Bajra. Sejak saat itu, pedagang dari Arab dan Persi tidak datang lagi ke Kuntu Timur. Pada masa inilah apa yang diistilahkan “Apik Tupai, Panggang Kaluang” dimana pada saat itu penduduk kehilangan pedoman/tuntunan agama.
Pada permulaan abad ke-7 sesudah Rajendra Cola dari India Selatan berhasil melumpuhkan Sriwijaya. Maka raja Palembang bernama Aria Darma mengirim surat ke Muawiyah meminta dikirimkan Ulama/mubaligh. Menindak lanjuti permohonan raja Palembang tersebut, maka Khalifah Muawiyah mengutus Syekh Burhanuddin. Yang akhirnya sampai ke Kuntu untuk mengembangkan Islam Mazhaf syafi’i kurang lebih selama 20 tahun.
Kesultanan Kuntu Kampar terletak di Minangkabau Timur, daerah hulu dari aliran Kampar Kiri dan Kanan. Kesultanan Kuntu atau juga disebut dengan Kuntu Darussalam di masa lalu adalah daerah penghasil lada dan menjadi rebutan Kerajaan lain, hingga akhirnya Kesultanan Kuntu dikuasai oleh Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Kini wilayah Kesultanan Kuntu hanya menjadi sebuah cerita tanpa meninggalkan sedikitpun sisa masa kejayaan, Kesultanan Kuntu kini berada di wilayah Kecamatan Kampar Kiri (Lipat Kain) Kabupaten Kampar.
Kuntu di masa lalu adalah sebuah daerah yang sangat strategis baik dalam perjalanan sungai maupun darat. Di bagian barat daya Kuntu, di seberangnya ada hutan besar yang disebut Kebun Raja. Di dalam hutan yang bertanah tinggi itu, selain batang getah, juga ada ratusan kuburan tua. Satu petunjuk bahwa Kuntu dulu merupakan daerah yang cukup ramai adalah ditemukannya empat buah pandam perkuburan yang tua sekali sehingga hampir seluruh batu nisan yang umumnya terbuat dari kayu sungkai sudah membatu (litifikasi). Salah satu di antara makam-makam tua itu makam Syekh Burhanuddin, penyiar agama Islam dan guru besar Tarekat Naqsabandiyah yang terdapat di Kuntu. Makam itu berada dekat Batang Sebayang. Syekh Burhanuddin diperkirakan lahir 530 H atau 1111 M di Makkah dan meninggal pada 610 H atau 1191 M. Dengan peninggalannya yang ada sampai saat ini: Sebuah stempel dari tembaga bertuliskan Arab “Syekh Burhanuddin Waliyullah Qodi Makkatul Mukarramah” dan Sebilah Pedang, tongkat, sebuah kitab Fathul Wahab dan sebuah Khutbah. Sejak masuknya Syekh Burhanuddin di Kuntu mengembangkan islam Mazhaf Syafi’i, Islam Syi’ah yang datang sebelumnya ke Kuntu kehilangan kekuatan politik dan mundur pada tahun 1238 M.
Menurut buku Sejarah Riau yang disusun oleh tim penulis dari Universitas Riau terbitan tahun 1998/1999, Kuntu adalah daerah yang pertama di Riau yang berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari Cina, India, dan negeri Arab Persia. Kuntu juga daerah pertama yang memainkan peranan dalam sejarah Riau, karena daerah lembah Sungai Kampar Kiri adalah daerah penghasil lada terpenting di seluruh dunia dalam periode antara 500-1400 masehi. Zaman dahulu, Kuntu dikenal sebagai daerah yang subur dan berperan sebagai gudang penyedia bahan baku lada, rempah-rempah dan hasil hutan. Pelabuhan ekspornya adalah Samudra Pasai, dengan pasar besarnya di Gujarat. Kuntu juga adalah wilayah yang strategis sebab terletak terbuka ke Selat Melaka, tanpa dirintangi pegunungan.
Kuntu juga adalah tanah tua yang mula-mula dimasuki Islam yang dibawa oleh para pedagang dan di masa itu baru dianut di kalangan terbatas (pedagang) karena masih kuatnya pengaruh agama Budha yang menjadi agama resmi Sriwijaya di masa itu. Ketika Cina merebut pasaran dagang yang menyebabkan para pedagang Islam Arab-Persia terdesak, maka penyebaran Islam sempat terhenti. Para pedagang Arab-Persia-Maroko mulai kembali berdagang di Kuntu dalam abad ke XII Masehi di masa kekuasaan Kesultanan Mesir era Fatimiyah, dinasti yang mendirikan Universitas Al-Azhar di Kairo. Kuntu juga memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Islam Dayah di Aceh di bawah Sultan Johan Syah dalam hal perniagaan. Setelah kerajaan Pasai berdiri, mereka bahkan berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Kuntu.