Menulusuri Sejarah Awal Pemerintahan di Pulau Batam

0
6845

Dari hasil penelusuran bahan-bahan arsip dan sumber-sumber sejarah, didapati sebuah peristiwa sejarah dimana awal permulaan pemerintahan Riau-Lingga di Pulau Batam berawal dari Pemerintahan Raja Isa. Nama pulau Batam, yang kini lebih dikenal sebagai sebuah kota industri yang maju di Indonesia. Pulau Batam mengalami perkembangan yang pesat dan dinamis di Provinsi Kepulauan Riau.

Sebuah peta perlayaran VOC tahun 1675 yang kini tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, mencatumkan pulau Batam dengan nama pulau Batang (Batam) yang disandingkan dengan pulau Bintang (Bintan). Dengan kata lain dapatlah dikatakan bahwa Pulau Batam telah melewati perjalanan waktu yang panjang sehingga menjadi sebuah kota yang maju.

Dari penelusuran beberapa silsilah, diketahui Raja Isa adalah keturunan Yang Dipertuan Muda Riau. Ayahnya adalah Raja Ali Marhum Pulau Bayan Yang Dipertuan Muda Riau V ibni Daeng Kamboja Yang Dipertuan Muda Riau III. Sedangkan Ibunya adalah Raja Buruk binti Raja Abdulsamad ibni Daeng Kamboja Engku Wok Engku Wuk. Selain itu, ia juga mempunyai istri kedua yang tidak diketahui namanya. Dari kedua istrinya, Raja Isa memperoleh beberapa orang anak laki-laki, yang antara lain: Raja Yakup, Raja Idris, Raja Daud, dan Raja Husin . Pada masa lalu, Raja Isa dan keluarga menetap di Pulau Nongsa dan Sungai Nongsa. Hanya Raja Husin yang sebelumnya menetap di Pulau Nongsa, dilaporkan berpindah dan menetap di Pulau Penyengat ketika telah berusia 87 tahun.

Dalam dokumen-dokumen Belanda, Raja Isa dipandang sebagai tokoh penting dalam keluarga diraja Riau, dan namanya turut dicatat dan disandingkan dengan tokoh lain seperti, Raja Jakfar Yang Dipertuan Muda Riau VI, Raja Ahmad ayah Raja Ali Haji, Datuk Penggawa Ahmad, Arong Bilawa, dalan lain-lain. Tentang Raja Isa ibni Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau V dan keturunannya di Nongsa, Pulau Batam, dalam Tuhfat al-Nafis, Raja Ali Haji mejelaskannya sebagai berikut:
“…Sebermula Adapun Yang Dipertuan Muda Raja Ali ini, ialah Raja Muda yang kelima daripada bangsa Bugis anak cucu Opu Dahing Perani. Adalah ia mengadakan beberapa anak laki-laki dan perempuan. Adapun yang laki-laki bernama Raja Isa, ialah beranakkan Raja Yakup serta saudaranya. Adalah ibunya Raja Wok dan lagi anaknya bernama Raja Idris mengadakan anak laki-laki dan perempuan. Ada yang hidup, ada yang mati masa membuat silsilah ini. Adalah kebanyakan anak cucunya di Sungai Nungsa.”

Sebuah silsilah dan sumber lisan di Pulau Penyengat menyebutkan Raja Isa sebagai seorang tokoh yang membuka sebuah “kampung baru” di pulau Batam yang kini dikenal dengan nama Nongsa. Sebuah kampung yang dicantumkan oleh J.G. Schot dalam peta Kepulauan Batam (De Battam Archipel) yang dipublikasikan pada tahun 1882. Bahkan, sumber-sumber lisan dan cerita yang berkembang di pulau Penyengat menyebutkan bahwa nama Nongsa berasal dari nama timang-timangan Raja Isa sebagai putera tertua Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau Marhum pulau Bayan: Nong Isa.

Dari dua buah sumber Belanda tahun 1833 (Beknoopte Aantekening over het Eiland Bintang 1833) dan 1837 (Beknopte Aantekening van Het Eiland Bintang Nederlansch Etablissant en Eenige daar toe Behoorende Eilande 1837) yang ditemukan di Arsip Nasional (ANRI) dan Perpustakaan Nasional (PNRI), Jakarta, jelas menyebutkan bahwa Radja Issah/Raja Isa tinggal di Nongsa atau pulau Nongsa. Bahkan, bahan sumber yang ditulis pada 1833, lebih jauh menjelaskan bahwa Raja Isa berusia sekitar 50 tahun ketika itu, dan kampung kecil tempat ia menetap terletak di hulu Sungai Nongsa.

Selain dikenal sebagai tokoh yang membuka Nongsa sebagai sebuah kampung atau negeri yang baru, sebuah salinan dokumen yang ditemukan dalam koleksi Arsip Riouw di Arsip Nasional Jakarta, menyebutkan bahwa Raja Isa juga pernah diberi “kuasa” memegang perintah atas Nongsa dan daerah sekitarnya dibawah perintah Sultan dan Yang Dipertuan Muda Riau. Peristiwa ini terjadi 5 tahun setelah Traktat London tahun 1824, dan ditandai dengan surat Komisaris Jenderal sekaligus Resident Riouw, Letnan Kolonel Cornelis P.J. Elout pada tanggal 22 Jumadil Akhir 1245 Hijriah yang bersamaan dengan tanggal 18 atau 19 Desember 1829 Miladiah.

Secara historis, surat “pengukuhan” Raja Isa memegang perintah atas Nongsa dan daerah sekitarnya atas nama Sultan Abdulrahman Syah Lingga-Riau (1812-1832) dan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Jakfar (1808-1832) sangat penting bagi sejarah Batam, karena menandai sebuah “babak baru” dalam perjalanan sejarah pemerintahan lokal di Batam, setelah tidak lagi menjadi pusat perentah Temenggung Johor yang ditinggalkan oleh Temenggung Abdurahman Daeng Ronggek karena hijrah dari Pulau Bulang ke Singapura dengan membawa 150 orang pengikutnya pada tahun 1811, dengan membawa serta seluruh Orang Sabimba/Orang Senimba, penduduk asli Batam yang mendiami kawasan sekitar Teluk Senimba/Sebimba.

Setelah Raja Isa wafat pada tahun 1831, “wilayah adminitrasi pemerintahan” atas Nongsa dan sekitarnya mulai berkembang lebih maju dengan batasan-batasanwilayah yang lebih jelas dan mencakup seluruh kawasan Kepulauan Batam (Battam Archipel). Dari laporan J.G. Schot, dapat diketahui bahwa hingga tahun 1882, kawasan Kepulauan Batam telah dipecah menjadi tiga bagian. Masing-masing mempunyai pemerintahan terpisah membentuk sebuah wilayah administrasi pemerintahan yang disebut Wakilschap, namun tetap dibawah kendali Yang Dipertuan Muda Riau (Raja Muhammad Yusuf) di Pulau Penyengat.
Wilayah pertama yang terletak di bagian Utara pulau Batam, adalah Wakilschap Nongsa yang membentang dari muara Sungai Ladi di Pantai Utara Batam hingga muara sungai Doeriankang, Kangboi , dan Asiamkang. Sebuah wilayah paling kecil yang dipimpin oleh Raja Yakup bin Raja Isa dengan pangkat atau gelaran wakil. Dan ketika usia Raja Yakup telah lanjut, maka jabatan wakil diserahkan kepada puteranya yaitu Raja Mohammad Caleh (Saleh) bin Raja Yakup.

Wilayah kedua adalah wakilshcap yang mencakupi kawasan pulau Buluh dan pulau sekitarnya seperti Belakang Padang, Sambu, Bulang, Setoko, Rempang, dan Galang serta sebagian pulau Batam. Wilayah ini bukan wilayah apanase seperti halnya Nongsa, sehingga langsung Berada dibawah kedali Yang Dipertuan Muda Riau melalui seorang wakilnya yang bernama Raja Usman.
Wilayah Ketiga adalah wakilschap Sulit. Sebuah kawasan cukup luas yang mencakupi pulau Cembul, Kepala Jeri, Kasu, Telaga Tujuh, Sugi, Moro, Sangla (Shalar), Sandam, dan Durai serta Kateman.

Memasuki tahun 1895, perkembangan sistem pemerintahan lokal di Batam memasuki sebuah babak baru, ketika Yang Dipertuan Muda Riau X Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi melakukan “resuffel” besar-besaran terhadap jabatan wakil-wakilnya yang berada di sejumlah daerah dalam wilayah kerajaan Riau-Lingga. Reorganisasi ini dilakukan menyusul dikeluarkannya Undang-Undang Qanun. Sebagai daerah tempat kedudukan wakil kerajaan Riau-Lingga, maka Batam yang sebelumnya dibagi kedalam 3 daerah Wakilschap dibagi menjadi dua wilayah pemerintahan yang dipimpin oleh seorang yang berpangkat atau bergelar Amir dan seorang berpangkat Kepala dalam sistem pemerintahan kerajaan Riau-Lingga. Sebagai Amir pertama untuk pulau Batam diangkatlah Tengku Umar bin Tengku Mahmud berkedudukan di Batam (Pulau Buluh) berdasarkan besluit (surat keputusan) kerajaan Riau-Lingga No. 12, hari Selasa tanggal 12 Rabi’ul-akhir 1313 Hijriyah yang bersamaan dengan hari Selasa tanggal 1 Oktober 1895. Sedangkan untuk daerah Nongsa diangkat pula Raja Mahmud bin Raja Yakup sebagai wakil kerajaan berpangkat Kepala berdasarkan besluit kerajaan Riau-Lingga No. 9 tanggal 11 Rabi’ul-akhir 1313 Hijriyah yang bersamaan dengan hari Senin tanggal 30 September 1895 Miladiyah. Jabatan dan kedudukan Amir Batam di Pulau Buluh yang berada dalam lingkup Kerajaan Riau-Lingga dan daerah Takluknya terus belanjut dan dipegang oleh Raja Jaafar hingga menjelang penghapusan kerajaan Riau-Lingga oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1913.

Jika dilihat dari proses perjalanan sejarahnya, perkembangan sistem pemerintahan lokal/Inlandsche Bestuur kerajaan Riau-Lingga di wilayah Batam dan sekitar lebih dahulu terbentuk dan jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda menempatkan wakil Resident Riouw/Europesche Bestuur di wilayah Batam. Karena, secara resmi pemerintah Hindia Belanda baru menempatkan pegawai pemerintahan bangsa Eropa (plaatsing van Europeesche bestuur amtenaren) di Batam, Karimun, Daik, dan Bintan Utara pada tahun 1868, berdasarkan Stadblad (Lembaran Negara) No. 70. Sejak saat itu, sebagai bagian dari wilayah administrasi pemerintahan Hindia Belanda dalam Residetie Riouw, Batam menjadi sebuah Onderaffdeeling/Plaatselijk Bestuur yang dikepalai aleh seorang Controleur berkedudukan di Pulau Bojan, dan diletakkan dibawah Afdeeling yang bepusat di Tanjungpinang (Afdeeling Tandjongpinang).

Sampai batas tertentu, perkembangan tata pemerintahan di Batam diikuti pula dengan perkembangan dan pembangunan infrastruktur. Sebagai ilustrasi, dalam tahun 1882, J.G. Schot melaporkan telah ada jaringan jalan yang dibangun membentang dari Sungai Lekop ke Batoe Hadji, Tiban, Kranji, dan Senimba. Begitu juga jaringan jalan dari Tiban ke Sungai Panas, dan Kampung Blian. Demikian pula jaringan jalan dari Senggoenoeng menuju arah Tring serta Asiamkang. Bahkan bentangan jaringan jalan dari Sungai Panas ke arah Kangboi melewati bagian Selatan Bukit Ladi arah Batu Haji, yang diikuti dengan jaringan jalan dari Duriangkang ke arah Tiban.