Cengkeh Anambas Dalam Sejarah Rempah Indonesia

0
1746


Oleh : Anastasia Wiwik Swastiwi, Ph.D
Peneliti Madya di Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau

Mengenal Anambas
Kepulauan Anambas merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Natuna berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2008. Kabupaten ini terdiri dari pulau-pulau sedang dan kecil. Di antara pulau-pulau tersebut antara lain, Pulau Siantan, Pulau Matak, Pulau Jemaja, Pulau Bawah dan masih banyak lagi pulau-pulau kecil lainnya. Kepulauan ini secara geografis berada di Laut Natuna Utara yang jika diambil garis lurus dari Barat ke Timur sudah melewati Singapura dan sebagian daratan Malaysia di bawahnya.
Iklim di Anambas pun cukup berbeda dari kebanyakan wilayah Indonesia. Letaknya yang berada di dekat Laut Natuna Utara, membuatnya mendapatkan pengaruh angin dari berbagai wilayah.Anambas mendapatkan pengaruh dari empat penjuru mata angin, namun Angin Utaralah yang sering diwaspadai oleh masyarakat Anambas terutama para pelaut karena membawa angin kencang disertai hujan lebat.Tentunya sebagai ‘orang pulau’ warga Anambas sangat bergantung dengan laut, sebagai matapencaharian dan juga jalur transportasi, dalam hal ini cukup memahami perubahan musim tersebut secara detail dan turun temurun sebagai suatu pengetahuan dasar untuk bertahan hidup.
Kepulauan Anambas sejak lama dikenal sebagai jalur perdagangan internasional yang menghubungkan Laut Natuna Utara dengan Samudra Indonesia. Begitu ramai dan pentingnya jalur ini, maka pemerintah Belanda pun membangun sebuah mercusuar pada abad ke-18 di kepulauan ini untuk menjaga arus lalu lintas kapal-kapal dagang dari berbagai negara.Selain itu, sejak lama di Anambas juga dibangun tata pemerintahan olah Pemerintah Hindia-Belanda dengan membentuk Kewedanaan di Pulau Siantan. Keramaian lalu lintas perdagangan internasional itu mengundang beberapa kelompok masyarakat untuk menjadi ‘lanun’ atau bajak laut untuk mendapatkan keuntungan instan dengan merompak kapal-kapal dagang tersebut. Bukti keberadaan lanun adalah ditemukannya emas-emas bantangan dan juga barang-barang antik disalah satu pulau di Anambas.
Keberadaan lanun yang nyata secara historis dan empirik itu ternyata masih banyak mengundang kontroversi dikalangan masyarakat. Misalnya untuk perihal orang manakah para lalun tersebut, warga Tarempa (Ibukota Kab.Kepulauan Anambas) masih belum bisa memastikan. Sebagian warga berpendapat, lanun merupakan warga asal kepulauan Filipina yang memiliki markas di kepulauan Anambas sejak lama.
Kisah lanun yang mulai surut, berganti dengan perdagangan internasional yang semakin maju.Selain itu, munculnya institusi negara di wilayah Asia Tenggara menghadirkan kekuatan-kekuatan baru, seperti militer. Dengan situasi keamanan yang berangsur-angsur kondusif perdagangan di Asia Tenggara pun mulai mapan. Perdagangan internasional yang semakin ramai dan kompleks membuat beberapa pengusaha asal Singapura tertarik untuk menggarap lahan di Anambas. Beberapa pengusaha tersebut membeli lahan dari penduduk lokal untuk ditanami tanaman komoditas ekspor seperti; kelapa, karet, dan juga cengkeh. Keberadaan tiga tanaman itu cukup lekat dalam perkembangan sejarah wilayah ini.
Berdasarkan naskah Pohon Perhimpunan Peri Perjalanan yang ditulis oleh Raja Ali Kelana pada 1313 Hijrah bertepatan tahun 1896 M di Kepulauan Riau, mayoritas penduduk Pulau Tujuh adalah Melayu, namun terdapat juga penduduk Cina. Mereka berprofesi sebagai pedagang dengan cara membuka kedai. Peranan mereka sangat dibutuhkan oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga mengumpulkan hasil kebun mereka berupa kelapa. Orang Cina bersedia menampung kelapa tersebut.Meskipun hubungan orang Melayu dan orang Cina saling membutuhkan tetapi hubungan mereka seringkali renggang.Pada umumnya, matapencaharian masyarakat Pulau Tujuh selain sebagai nelayan adalah berkebun kelapa dan rumbia. Dari hasil berkebun tersebut, setiap tahunnya menghasilkan 1500 – 2500 buah per kampung. Dalam satu kampung rata-rata terdiri atas 350 kepala keluarga, dengan total jumlah penduduk per kampung mencapai 1750 jiwa. Namun demikian, naskah Pohon Perhimpunan Peri Perjalanan tidak menyebut tentang cengkeh.
Kisah perekonomian Anambas ini diperkuat catatan Antoine Cabaton (2015) bahwa di Kepulauan Natuna-Anambas terutama Bunguran pada abad itu, dihuni oleh 1.000 jiwa manusia, orang Laut, Melayu, dan Cina, yang hidup sebagai nelayan dan dari kelapa. Pulau-pulau lainnya hanya berpenghunikan total 1.400 jiwa seluruhnya yang tergolong lebih sulit kehidupan ekonominya dibanding orang-orang di Bunguran. Sedangkan sembilan puluh enam pulau kecil dengan hutan dan pegunungan yang membentuk kelompok Anambas dihuni sekitar 4.000 penduduk. Mereka mengolah sagu-sawit dan kelapa yang diolah menjadi kopra. Mereka memancing, membangun perahu, dan mengekspor sedikit kayu bangunan ke Singapura. Perdagangan utama pulau ini adalah dari satu sisi ke sisi lainnya, dari satu pelabuhan ke pelabuhan berikutnya. Karena perdagangan pulau ini terutama berada di tangan orang Cina, maka keuntungan yang diperoleh penduduk pribumi nyaris kecil.

Bagian Dari Sejarah Rempah
Fadly Rahman (2014) menyebut citra rempah banyak dinarasikan dalam catatan-catatan perjalanan sejak abad ke-13. Setidaknya para pedagang Tionghoa hingga abad itu masih menjadi kunci penyalur niaga rempah-rempah dari pusatnya di Maluku. Dari Banda mereka bergerak ke Barat melalui Sulawesi, Kalimantan, Jawa, lalu melintasi Selat Malaka, dan terus berlayar hingga India menuju pasar rempah-rempah di Malabar. Setelah itu kapal-kapal dari Arab mengirimkan rempah-rempah melintasi Samudra Hindia menuju Teluk Persia dan Laut Merah. Sejak abad ke-14 rempah-rempah akhirnya sampai juga ke tangan orang-orang Eropa di Mediterania.
Sejarah mencatat bahwa kolonialisme Belanda selama tiga setengah abad juga dipicu keinginannya memonopoli bumbu dan rempah-rempah. Sebelumnya, pada awal abad ke-16, Indonesia bagian Timur khususnya Maluku dan Ambon sudah lebih dulu di kuasai Portugis. Ini pun dikarenakan kekayaan rempah-rempah yang melimpah.
Dalam dunia kuliner, bumbu dan rempah-rempah digolongkan menjadi beberapa macam.Kategori pertama adalah bumbu basah, bumbu kering dan dan bumbu buatan. Termasuk dalam kategori bumbu basah adalah kunyit, kencur, temu kunci, jahe, serai, bawang-bawangan, cabai, daun bawang dan lain-lain. Sedangkan bumbu kering, diantaranya kayu manis, lada, pala, jinten, kapulaga, ketumbar, cengkeng dan lain-lain. Bumbu buatan terdiri atas garam, cuka , MSG, terasi, aneka kecap, aneka saus dan essens. Dengan demikian keberadaan cengkeh termasuk dalam kategori bumbu kering. Cengkeh sebagai bumbu kering, lebih sering dipakai dalam bentuk utuh. Cengkeh biasanya lebih pas ditambahkan pada hidangan manis seperti aneka kue, cake, pudding dan dan minuman.
Dalam perkembangannya, William Marsden (1999) menyebutkan bahwa prosedur kulturstelsel pemerintah Belanda di Betawi dimaksudkan untuk menjaga distribusi pala dan cengkeh dari Pulau Banda dan Ambon ke bagian lain India. Sementara itu, banyak orang-orang Inggris menganggap Pulau Sumatera cocok untuk penanaman kedua jenis rempah-rempah ini.Bahkan, mereka mencoba menerobos kewaspadaan Belanda untuk membawa bibit keluar, namun semua gagal.
Pada tahun 1796, ketika Inggris menduduki sumatera, kesempatan pun tiba ketika Robert Broff menjabat sebagai kepala keresidenan di Fort Marlborough, bibit-bibit pala dan cengkeh pun mulai dibudidayakan di Sumatera.Berdasarkan riset pada tahun 1799, Broff menyatakan puas menyaksikan kesuburan kebun-kebun pala dan cengkeh.Proporsi jumlah bibit pala dan bibit cengkeh yang didistribusikan ke beberapa daerah menunjukkan hasil yang memuaskan. Di Sumatera, paling tidak cengkeh hanya memerlukan waktu selama lima tahun dan Sembilan bulan. Padahal, di negeri asalnya cengkeh menghasilkan bunga setelah ditanam selama delapan tahun.Terbukti bahwa kebijaksanaan liberal yang terimplementasi dalam pengenalan dan penyebaran kultivasi, pala dan cengkeh membawa banyak keuntungan bagi bangsa Inggris.

Geliat Cengkeh Anambas
Beberapa abad semenjak kebijakan Broff, cengkeh ternyata menjadi pesona tersendiri bagi daerah Anambas. Demi menjaga agar penduduk di Anambas tidak eksodus menjadi Warga Negara Asing ataupun meninggalkan Anambas, pemerintah daerah mengambil kebijakan agraria yang menguntungkan perantau. Pada tahun 1970-an pemerintah daerah membagi lahan kepada warga rantau Anambas demi mengoptimalkan hasil cengkeh. Bibit cengkeh pada tahun 1970-an diambil dari Midai. Pohon lama meninggalkan biji yang kemudian menjadi bibit tanaman generasi berikutnya.Namun, pada masa sekarang banyak masyarakat yang mengambil bibit cengkeh dari Jawa.
Tanah yang dibagikan kepada para penghuni gunung, jika satu keluarga dapat mengelola 2 hektar kebun cengkeh maka akan diberikanlah tanah itu, asalkan karet tersebut disetorkan setiap harinya. Bagi warga yang dapat mengelola lebih maka tanah pun akan diberikan lebih. Namun, jika nyata-nyata kelebihan lahan tersebut tidak dioptimalkan, maka ada mandor yang berhak mengambil tanah tersebut untuk diberikan kepada warga lain.Kebijakan itu seiring dengan menurunnya hasil perkebunan rakyat lainnya yaitu kelapa dan karet.Cengkeh menjadi idola baru bagi masyarakat ini.
Tahun 1980-an adalah tahun keemasan cengkeh di wilayah ini. Pola perdagangan adalah melalui orang Cina yang sudah memasuki wilayah ini melalui jalur pelayaran Cina-Singapura-Anambas. Mereka menjadi pengumpul cengkeh maupun bahan pokok di setiap pulau wilayah Pulau Tujuh (termasuk Anambas). Keadaan ini berlangsung hingga sekarang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pola perdagangan cengkeh di wilayah Anambas tidak dapat dilepaskan dari peranan orang Cina di wilayah ini.
Harga cengkeh Anambas pada masa lalu harganya per kilo hanya Rp. 2000. Sekarang mencapai Rp. 75.000 Sekilo.Pemilik cengkeh biasanya tidak langsung menjual kepada pengumpul cengkeh secara sekaligus tetapi menjual sedikit demi sedikit tergantung kebutuhan mereka.Ada yang menjual hanya beberapa kilo. Cengkeh Anambas biasanya dapat dipanen sekali setahun pada bulan Februari – April. Rata-rata pengiriman cengkeh ke Jawa setahun 2 kali.
Dalam perkembangannya, meskipun kebututuhan pokok semakin mudah di dapat di Anambas, tetap saja kehidupan para perantau di wilayah ini sangat pas-pasan.Tidak adanya komoditas utama yang berharga tinggi membawa mereka kepada situasi yang dilematis. Sehingga banyak generasi kedua dari para perantau yang memutuskan untuk meninggalkan Pulau Siantan, kembali ke asal mereka mengadu nasib di wilayah lain yang lebih menjanjikan seperti; Jakarta, Pangkal Pinang, dan juga Batam. Dalam upaya mendapatkan modal untuk hijrah, mereka banyak menjual kayu-kayu (termasuk rumah mereka) dan juga binatang ternak. Tanah-tanah mereka tinggalkan begitu saja, dengan asumsi umum tidak akan laku. Hal ini dipahami karena tidak mungkin ada yang mau membeli tanah di gunung yang walaupun sudah masuk ke penghujung milenium baru, fasilitas jalan dan listrik masih sangat minim.
Gelombang Reformasi yang dipicu krisis ekonomi berkepanjangan mampu menghancurkan rezim Orde Baru dengan segala kekuatannya yang hegomoniknya. Hilangnya kekuatan pusat direspon dengan cepat oleh para elit-elit di daerah untuk berkuasa di wlilayah sendiri. Tak heran, semakin banyak pemekaran di tingkat Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan juga Desa di berbagai penjuru negeri. Dapat dikatakan bahwa meskipun cengkeh menjadi idola baru bagi masyarakat anambas mulai tahun 1980-an, namun demikian hasilnya relatif belum menjadi sumber utama pendapatan masyarakat Anambas. Hingga saat ini, perikanan menjadi sumber utama pendapatan masyarakat.

Penutup
Meskipun relative belum menjadi sumber utama pendapatan masyarakat Anambas, di antara tiga tanaman ekspor kelapa, karet dan cengkeh, cengkehlah yang menjadi pesona tersendiri bagi Anambas. Kebutuhan cengkeh nasional cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan permintaan luar negeri. Selain itu, produk cengkeh juga digunakan selain untuk rokok, seperti farmasi, kesehatan, spa dan aromaterapi. Agar daya saing cengkeh Indonesia berkembang, petani perlu juga menjaga kuantitas agar kebutuhan selalu terpenuhi.
Cengkeh tidak hanya bermanfaat pada tubuh dan bahan kecantikan saja, cengkeh juga bisa digunakan untuk perawatan rambut, para pakar melakukan penelitian dan menemukan hasil bahwasannya cengkeh juga digunakan untuk perawan tambut, cengkeh bisa digunakan menjadi kondisioner, karena kandungan minyak dalam cengkeh dapat memperbaiki berbagai masalah terhadap rambut, seperti halnya dapat menghitamkan rambut dan memperbaiki rambut yang bercabang dan rambut yang kering. Selain itu minyak dari tanaman cengkeh ini juga dapat mengurangi rambut yang rontok diakibatkan kurang sehatnya kulit kepala atau rambut yang rusak yang dapat menyebabka kebotakan.Caranya sangat mudah sekali untuk menggunakan minya cengkeh menjadi kondisioner ataupun untuk perawatan rambut, caranya hanya dengan mengoleskan minyak cengkeh pada kulit kepala kurang lebih 5-15 menit kemudian di bilas hingga bersih.
Kegunaan atau manfaat cengkeh selanjutnya selain dari untuk merawat rambut, cengkeh juga bisa digunakan untuk obat sakit gigi, sudah dari jaman dahulu bahwasannya cengkeh bnyak dimanfaatkan untuk obat sakit gigi, terutama minyak cengkehnya. Cara untuk menghasilkan minyak cengkeh yaitu dengan cara penyulingan serbuk kuntum cengkeh kering. Para dokter telah menyarankan penggunaan minyak cengkeh ini untuk meredakan rasa sakit gigi sebagai analgesik.
Cara melakukannya untuk obat sakit gigi adalah sebagai berikut, jika hasil dari penyulingan atau dari minyak cengkeh caranya cukup dengan meneteskan minyak cengkeh pada kapas, kemudian kapas yang sudah ditetesi dengan minyak cengkeh tadi ditempelkan pada bagian gigi yang berlubang. Jika berupa serbuk cengkeh maka dengan cara ambil serbuk secukupnya kemudian taruh pada lubang gigi yang sakit dan kemudian tutup dengan kapas.
Cengkeh merupakan salah satu tanaman rempah-rempah asli Indonesia yang sangat dibutuhkan terutama sebagai bumbu masakan, tidak hanya di indonesia saja, bahkan diseluruh dunia. Cengkeh adalah salah satu hasil kekayaan Indonesia karena cengkeh hanya bisa hidup di iklim tropis saja dan itu sangat cocok sekali jika hidup di negara Indonesia, karena indonesia memiliki iklim tropis. Salah satu kekayan Indonesia ini memiliki sejuta manfaat untuk kesehatan.Aroma khas yang dimiliki cengkeh merupakan hasil senyawa dari eugenol yang memiliki kandungan 75-90% senyawa utama penyusun kandungan minyak atsiri didalam cengkeh.
Senyawa eugenol memiliki sifat anestetik atau bius serta antiseptik yang berfungsi untuk melenyapkan bakteri pada gigi dan bau mulut.Mengkonsumsi cengkeh secara rutin dalam jumlah tertentu dapat membersihkan racun berbahaya serta mikroba-mikroba yang merusak tubuh manusia.

Daftar Pustaka

Arsip Nasional Republik Indonesia.Contract met Lingga, Riouw en Onderh, 18 Mei 1905. Djakarta. 1970)
Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Kuala Lumpur, Singapore, London, New York: Oxford University Press, 1971.

Azrila. Zul. Naskah Klasik Islam di Riau.IAIN Sultan Syarif Qasim di Riau.t.t
Abdullah Zakaria Ghazali, Prof. Dr. Naskhah Melayu : Permata Zakaria Ghazali.
Persidangan Antarabangsa Manuskrip Melayu 2009 Manuskrip Melayu
Warisan Negara. Anjuran bersama Jabatan Sejarah, Fakulti Sastera dan Sains
Sosial, Jabatan Kesusasteraan, Akademi Pengajian Melayu, Universiti Malaya Dengan Kerjasama Persatuan Sejarah Malaysia. 23 – 25 November 2009

Anastasia Wiwik Swastiwi. Pulau Tujuh : Sejarah dan Masyarakatnya Pada Naskah
Pohon Perhimpunan Peri Perjalanan. Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjungpinang. 2015.

Antoine Cabaton. Jawa, Sumatera , Dan Kepulauan Lain di Hindia Belanda. Yogyakarta.
Penerbit Ombak. 2015

Groeneveldt, W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from
Chinese Sourches.Djakarta: Bhratara.

Hall, Kenneth R. 1985. Maritim Trade and State Development in Early Southeast Asia.
Honolulu: University of Hawaii Press.

Hamzah, A. 1984.Laut Teritorial dan Perairan Indonesia. Jakarta: Akademika
Pressindo.

Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur. Terbitan Bersama Dewan Bahasa dan Pustaka dan
Yayasan Karyawan . 2008

Nooteboom, C. 1972.Sumatera dan Pelayaran di Samudera Hindia. Jakarta: Bhratara.

Pohon Perhimpunan Peri Perjalanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Riau. 1988/1989

Reid, Anthony, 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES

Sindu Galba, Drs. Naskah Kuno Riwayat Sejarah Riau. Bappeda Kabupaten
Kepulauan Riau dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Tanjungpinang. Tahun 2001.