Jejak Tradisi Kawa di Dataran Tinggi Kerinci

0
1478

Oleh:
M. Ali Surakhman (Pemerhati Kopi Jambi)

Kopi memainkan peran penting dalam sejarah dan literatur dunia. Hal tersebut dikarenakan luasnya efek industrial kopi terhadap budaya dimana kopi diproduksi atau dikonsumsi.Sejarah kopi berbeda-beda di setiap negara. Menurut catatan sejarah, tanaman kopi pertama kali ditemukan di dataran Afrika, tetapi minuman kopi pertama kali dibuat dan diracik oleh orang orang di negeri Arab.

Di Afrika Sejarah minuman kopi dimulai sekitar tahun 800 SM. Pada saat itu, banyak warga Ethiopia yang mengkonsumsi biji kopi yang dicampur dengan lemak hewan dan anggur untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuh.Berdasarkan legenda, seorang pengembala yang bernama Khallid dari Ethiopia, secara tidak sengaja mengamati sekawanan kambingnya yang tetap terjaga dan selalu kuat dalam menempuh perjalanan,setelah memakan sejenis buah berry, meskipun matahari telah terbenam.Lalu si pengembara ini mencoba mengkonsumsi biji yang juga dimakan oleh kawanan kambingnya itu dan biji itu ternyata biji kopi liar.Setelah beberapa ratus tahun berkembangnya kabar kopi di Ethiopia, barulah kopi ini dibawa melalui Laut Merah menuju Arab, dan disajikan dengan metode pengolahan yang lebih canggih pada saat itu.

Penyebaran Kopi pada Bangsa Arab yang miliki peradaban yang lebih maju daripada Afrika pada saat itu, tidak hanya memasak biji kopi, tetapi juga direbus untuk mengambil sarinya. Salah satu catatan tertulis pertama bercerita tentang Syeikh Omar, yang membawa kopi ke kotaMochapada tahun 1250.Kota ini sering disebut Mukhayang sekarang berada di Yaman modern.

Kedai kopi pertama di dunia dibuka di Makkahpada awal abad ke 15.Kedaikedai itu adalah tempat yang nyaman, dan tempat orang-orang memanjakan diri dan berdiskusi politik sambil menghadapi secangkir kopi.Pada tahun 1600, seorang peziarah bernama Baba Budan berhasil membawa biji kopi fertile keluar dari Mekkah, dan menumbuhkannya di daerah luar AraDi Indonesia sendiri, catatan tertulis menunjukkan bahwa Gubernur Belanda di Malabar, India mengirim bibit kopi Yaman atau kopi arabika kepada Gubernur Belanda di Batavia (yang sekarang dikenal Jakarta) pada tahun 1696. Bibit pertama gagal tumbuh dikarenakan banjir di Batavia pada saat itu. Pengapalan kedua biji kopi ke Batavia dilaporkan terjadi pada tahun 1699.Dan tanaman ini berhasil tumbuh pada tahun1711, dan ekspor pertama dikirim dari Jawa ke Eropa oleh perusahaan dagang Belanda yang dikenal dengan VOC (Verininging Oogst Indies Company) yang didirikan pada tahun 1602.

Selama 10 tahun, ekspor meningkat menjadi 60 ton pertahun, dan Indonesia adalah tempat pertama kali kopi dibudidayakan secara luas diluar Arab dan Ethiopia. Kopi tersebut dikapalkan ke Eropa melalui pelabuhan Batavia.Pada tahun 1700, kopi yang dikapalkan dari Batavia dijual seharga 3 Guilders per kilogramnya di Amsterdam. Income tahunan Belanda di tahun itu sekitar 200-400 Guilders, hal ini sebanding dengan beberapa ratus dollar tiap kilogram saat ini. Di akhir abad 18 harga jatuh menjadi 0,5 Guilders per kilogram dan tradisi minum kopi meluasmulai dari kalangan elit sampai masyarakat kebanyakan.

Di pertengahan abad 17, VOC mengembangkan area tanam kopi arabika di Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Kepulauan Timor.Di Sulawesi kopi pertama kali di tanam tahun 1750. Di dataran tinggi Sumatera Utara, kopi pertama kali tumbuh di dekat Danau Toba pada tahun 1888, diikuti oleh dataran tinggi Aceh (Gayo) dekat Danau Laut Tawar pada tahun 1924.

Kopi Di Kerinci.

Kopi dalam bahasa Kerinci di sebut Kawa atau Kawoa,yang diambil dari bahasa arab qahwah. Kapan mulainya penduduk menanam kopi di dataran tinggi Kerinci ?, tidak ada catatan atau penelitian tentang ini, namun sejak VOC masuk ke Kerinci tahun 1901, untuk melakukan ekspedisi mencari emas, dan dibunuhnya 3 utusan VOC dari Muko Muko Bengkulu, tahun 1902 VOC kembali ke Kerinci untuk melaksanakan ekspedisi balas dendam, 1903 meletus perang hebat Kerinci dengan VOC, sampai 1906, Setelah pertempuran 1903-1906 nyaris tidak terjadi perlawanan berarti dari rakyat di alam Kerinci.
Sejak 1906 Kerinci dipertahankan sebagai daerah otonom, dalam arti tidak termasuk bagian dari Sumatera Barat dan bukan juga bagian dari Jambi sebagaimana yang dikenal saat ini. Karena struktur tanahnya yang banyak mengandung alluvial, granite dan andesit di dataran tinggi Kerinci Utara dan Kerinci Selatan menyebabkan tanah di kawasan ini sangat cocok untuk ditanami aneka tanaman perkebunan untuk eksport seperti teh, kopi, kina, dll. Disamping itu semua jenis sayur mayur dapat tumbuh dan hidup dengan subur di dataran tinggi alam Kerinci.

Sebelum tahun 1924, hampir seluruh tanah “erfpacht perceel” di daerah Sumatera Barat termasuk Kerinci dilakukan penanaman Kopi, pada awal tahun 1924 dilakukan penggantian tanaman kopi, karena pada saat itu harga kopi dipasaran internasional kurang memuaskan dan pada saat itu terjadi serangan penyakit yang menyerang tanaman kopi. Keadaan tersebut menyebabkan munculnya penanaman teh dan kina di daerah Keresidenan Sumatera Barat, sebenarnya jauh sebelumnya yakni tahun 1903 telah dilakukan penanaman teh dan Kopi di Pulau Sumatera di daerah Akar Gadang ( 1903 ) dan Kebun Kina di Kebun Taluk Gunung (1907), namun usaha perkebunan tersebut belum dilakukan secara optimal. Penanaman secara besar-besaran mulai dilakukan setelah tahun 1924. Khusus untuk perkebunan teh di wilayah Keresidenan Sumatera Barat mencapai 5.473.925 hektar dan lahan kopi seluas 831 hektar yang merupakan lahan “erfpacht”. Untuk hasil perkebunan teh pada saat itu cukup menggembirakan dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan lainnya.

Pada masa Kolonial Belanda di alam Kerinci terdapat pusat Onderneming dengan 3 lokasi perkebunan yang dibangun oleh Belanda yakni Kopi di kawasan Batang Merangin (1928), Kina dan teh di Pulau Sangkar dan Kayu Aro.

Untuk mewujudkan pembangunan kebun Kopi, kina dan teh pada tiga lokasi onderneming tersebut, Belanda mendatangkan tenaga kerja (Koeli Kontrak) dari pulau Jawa. Usaha perkebunan Kopi Belanda membuka lahan perkebunan di kawasan Pematang Lingkung Batang Merangin, bedeng 4,5,6,7,8 dan bedeng 12. untuk Kina/Teh dibanggun pemukiman di kebun baru dan kebun lima, sementara untuk teh dan kopi di wilayah Kebun Baru-Pulau Sangkar dan Batang Merangin, dan teh pembangunan dihentikan dan dibangun di kawasan Kayu aro di kaki Gunung Kerinci dengan pusat di kawasan Bedeng VIII, Sungai Jambu, Kersik Tuo hingga ke kaki gunung Kerinci

Namun sebelum belanda tanaman kopi di Kerinci sudah ada, berdasarkan catatan William Marsden seorang pegawai EIC ( East India Company) dalam bukunya History Of Sumatera 1780, ia bersama adiknya seorang Dokter John Marsden dan rekan rekannya di Bengkulu Charles Miller dan John Chrisp yang punya peranan penting memberi informasi sebelum William datang lansung, di bukunya William Marsden menulis, ia menemukan tanaman kopi sudah banyak di tanam oleh penduduk setempat di daerah Bengkulu dan Kerinci, namun kualitasnya jelek, dan jarak tanamnya terlalu dekat dan tidak beraturan, dalam catatan lain seorang Kapten Belanda 1902, menyebutkan masyarakat Kerinci sudah ada tradisi minum kopi, namun tidak buahnya tapi dari daunnya yang di tuang di dalam bambu.

Dalam tradisi masyarakat dataran tinggi Kerinci, daun kopi di kenal dengan “Minun Kawoa”, Kawoa atau Kawa untuk pengertian masyarakat Kerinci adalah Kopi Daun, Daun Kopimuda yang sudah melalui proses penjemuran dan pengasapan. Kemudian diseduh di dalam tabung kawoa, yang terbuat dari bambu betung tua dan pegangannya dari kayu sigi (Pinus Strain Merkusi) atau kayu Pacat endemik Kerinci, serta di minum di batok kelapa di campur gula enau (Aren).

Kalau di tilik dari tradisi minun kawoa tanaman kopi sudah ada di Kerinci sejak abad ke 14 mungkin bisa jadi diatas abad 14, kenapa penulis mengatakan tradisi minun kawoa sudah ada sejak abad 14, sesuai temuan tabung kawo di dusun Sungai Penuh, yang menurut antropolog Leiden University Dr. Jet Bakels, yang meneliti di Kerinci tahun 1992-1996, ragam hias di tabung kawoa tersebut sama dengan ragam hias temuan gerabah dan arsitektur traditional Kerinci, tapi yang pastinya belum ada uji karbon atau carbon dating tentang ini.

Hubungan motif atau ragam hias “tabung kawoa” dengan temuan arkeologi dari zaman perunggu, ada baiknya sedikit kita ulas tentang kebudayaan perunggu ini, bukti arkeologi menunjukkan bahwa artefak logam tertua ditemukan di Turki yang diperkirakan berasal dari tahun millennium ke 6 SM (Haryono, 2001: 2). Sementara itu, di Asia Tenggara zaman logam diperkirakan di mulai pada tahun 2000 SM. Hal ini berdasarkan pada tinggalan-tinggalan produk budaya bendawi berupa artefak logam perunggu yang ditemukan di Thailand (Haryono, 2001). Van-Heekeren (1958:1) mengemukakan bahwa di Indonesia tidak dikenal adanya zaman tembaga atau zaman perunggu karena temuan perunggu di Indonesia pada umumnya terdapat pada lapisan yang sama dengan temuan besi, karena itu dia menggunakan terminologi zaman perunggu-besi untuk menyatakan zaman logam di Indonesia.

Heekeren juga berpendapat bahwa kebudayaan perunggu Indonesia berasal dari luar yaitu dari Dong Son, wilayah Vietnam Utara saat ini. Para ahli berbeda pendapat dalam hal ihwal kapan dimulainya zaman perunggu di wilayah Dong Son, namun H. Geldern menduga bahwa masa perunggu Dong Son di mulai sekitar abad ke-8 dan ke-7 SM (Haryono, 2001: 50). Berbagai bentuk budaya Dong Son telah diimpor ke Nusantara di masa perundagian, baik itu yang sifatnya bendawi maupun ilmu pengetahuan dalam teknik pembuatannya. Menurut Hoop (1932) masuknya logam di Indonesia diperkirakan pada tahun 500-300 SM.

Di antara artefak logam temuan Indonesia yang menunjukkan ciri kentara pengaruh kebudayaan Dong Son adalah nekara perunggu, kapak perunggu, patung perunggu, dan bejana perunggu. Pada masa selanjutnya artefak perunggu sudah diproduksi secara lokal seperti contohnya nekara tipe pejeng ataupun moko yang ditemukan di Bali dan Nusa Tenggara Timur (Bintarti, 2001). Bejana perunggu salah satu produk budaya bendawi masa perundagian, telah menjadi objek peneilitian menarik dalam ilmu arkeologi. penelitian yang berkembang hanya menyangkut aspek teknis untuk mengetahui bagaimana bejana dibuat pada masa silam atau lebih menekankan analisis bahan dengan pendekatan saintifik untuk melihat bagaimana persamaan komposisi bahannya dengan artefak perunggu lainnya yang dihubungkan dengan paradigma difusi. Sayangnya, dari sisi keartistikan dan estetika dengan berbagai motif indah pada permukaan bejana sedikit sekali peneliti yang berminat untuk mengkajinya.

Haffiful Hadi Suliensyar dalam kajian ragam hias bejana perunggu di Kerinci menyatakan : dalam pola dan ragam hias yang ada pada bejana menunjukkan ciri khusus yang ada padanya. Van-Heekeren (1958) mencatat bahwa kajian-kajian terhadap bejana perunggu yang telah dilakukan pada saat itu hanya terbatas pada deskripsi bentuk, motif hias dan teknik pembuatannya saja. Analisis bahan hanya dilakukan pada satu objek bejana saja yaitu yang ditemukan di Asemjaran, Madura. Sementara itu, Sumardjo (2002) pernah melakukan penafsiran terhadap makna pola hias bejana perunggu Kerinci secara hermeneutis-historis. Setelah itu, penulis belum menemukan referensi tentang kajian-kajian berikutnya dengan objek bejana perunggu tersebut. Ahimsa-Putra (1999a) dalam artikelnya telah menawarkan cara baru dalam mengupas masalahmasalah arkeologi terutama arkeologi semiotik, yaitu melalui pendekatan strukturalisme LeviStrauss. Lebih lanjut Tanudirjo (2016) mengemukakan bahwa analisis struktural mencoba menemukan prinsip-prinsip dasar pikiran manusia sebagaimana yang tertuang dalam unsur budaya dominan seperti pola perkampungan, pola hiasan, kekerabatan mitos dan lainnya.

Penulis mencoba menggunakan cara analisis dengan pendekatan struktural Levi-Strauss pada objek bejana perunggu dengan tujuan untuk mengetahui makna dan struktur apa yang terdapat dalam motif hias bejana-bejana perunggu yang ditemukan di Kerinci.

Pendekatan struktural dalam arkeologi dapat didefinisikan sebagai penafsiran data arkeologi yang didasari oleh anggapan bahwa tindakan manusia dipadu oleh kepercayaan dan konsepsi simbolis yang sebenarnya berakar dari struktur pikiran manusia (Tanudirjo, 2016). Dalam perspektif arkeologi (terutama pasca-prosesual), budaya dianggap sebagai struktur simbol yang dianut bersama dan merupakan hasil akumulasi hasil pikir manusia. Analisis struktural yang dilakukan bertujuan untuk
menemukan prinsip-prinsip dasar pikiran manusia yang tertuang dalam unsur-unsur budaya dominan seperti budaya bendawi (Tanudirjo, 2016).

Ada beberapa premis dalam strukturalis yang dikemukakan oleh Tanudirjo. Pertama, ada pola pikir manusia yang berulang-ulang dalam tindakan-tindakan yang akhirnya memberi ciri khas pada suatu budaya tertentu. Kedua, struktur pikiran dalam suatu lingkungan budaya tertentu secara terpadu melatarbelakangi berbagai aspek kehidupan manusia dalam. Ketiga, pola pikiran disatu aspek kehidupan akan tercermin dalam aspek kehidupan lain, misalnya pola hias pada bejana perunggu mencerminkan pola religi masyarakat pendukungnya.

Dari serangkaian konsepkonsep yang dikemukakan oleh Levi-Strauss, dikatakan bahwa benda-benda arkeologis juga dapat dianalisis seperti yang dilakukan oleh ahli bahasa. Hal ini bila dilihat dari perspektif bahwa artefak-artefak atau materi kebudayaan bukan sekedar diciptakan untuk tujuan ekonomis semata, tetapi merupakan suatu sistem simbol dan sistem tanda. Melalui benda-benda tinggalan tersebut dapat diungkap ide-ide, pandangan mereka, yang semuanya merupakan pesan yang bersifat sosial ataupun individual (Ahimsa-Putra, 1999b).

Motif ragam hias bejana perunggu di Kerinci yang terdapat di tabung Kawoa, adalah motif tumbuhan dan ragam hias segitiga (tumpal), bentuk huruf kapital ‘J’ dan motif spiral pada dasarnya tidak hanya ditemukan pada pada bejana perunggu saja tetapi terdapat pula pada produk-produk bendawi lainnya yang dihasilkan oleh berbagai etnik di Nusantara seperti pada ukiran kayu dan motif kain tradisional. Suku Kerinci yang mendiami Dataran Tinggi Jambi menyebut motif segitiga (tumpal) dengan sebutan motif pucuk rebung, dan motif huruf ‘J’ disebut dengan motif keluk paku.

Motif ini diambil dari dua jenis tumbuhan yaitu tumbuhan paku-pakuan dan tumbuhan bambu. Seperti yang diketahui bahwa tumbuhan paku memiliki ciri khas dengan daun yang masih muda menggulung. Pola-pola relung daun paku muda inilah yang dinamakan sebagai motif keluk paku oleh orang Kerinci. Sementara itu, tunas bambu muda akan terlihat berpola seperti segitiga. Motif berbentuk pola-pola segitiga (tumpal) dikatakan sebagai motif pucuk rebung. Baik bambu maupun pakis keduanya adalah dua jenis tanaman yang banyak dijumpai di daerah Kerinci. begitu pula dengan wilayah lainnya di Indonesia yang beriklim tropis basah.

Tanaman pakis dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh beberapa suku di Indonesia sama halnya dengan rebung. Akan tetapi tanaman bambu lebih banyak dimanfaatkan dalam berbagai hal. Tanaman paku-pakuan merupakan tanaman yang berkembang biak sangat cepat terutama pada iklim tropis basah. tanaman paku muda tumbuh melalui spora yang tersebar dari tanaman induknya. Hal ini menjadikan tanaman paku memiliki nilai filosofis tersendiri bagi orang Kerinci. Istilah adat mereka menyebutkan istilah patah tumbauh ila bagentoi (patah tumbuh hilang berganti) dan mati so tumbu saribu (mati satu akan tumbuh seribu), kedua kalimat adat diterjemahkan bahwa segala sesuatu yang sudah mati tidak akan lenyap begitu saja tetapi akan terus meregenerasi menjadi ratusan bahkan ribuan pengganti yang lebih baik.

Secara singkat, motif keluk paku menjadi lambang bagi kesuburan. Oleh karena tunas paku menjadi lambang kesuburan bagi suku Kerinci, motif ini juga terdapat pada ukiran-ukiran kayu di rumah dan lumbung padi mereka.

Motif Hias Pucuk Rebung pada Naskah Surat Incung, suku Kerinci memanfaatkan potongan bambu sebagai atap rumah. Bambu yang dipecah disebut pelupuh digunakan sebagai dinding dan lantai rumah (Schefold, 2008). P. Voorhoeve (1970) mengatakan bahwa surat Incung orang Kerinci yang berisi ratapan-ratapan ditulis pada media tabung bambu karena bambu dinilai mempunyai daya magis.

Motif spiral dalam masyarakat Kerinci disebut sebagai motif pilin (Rassuh, 2008), Melihat bahwa dalam motif ini, pola relung paku berada pada sisi berbeda dan arah hadap berlawanan tetapi disatukan dalam batangan lurus, kemungkinan merupakan simbol dari penyatuan oposisioposisi yang ada di alam semesta. Sumardjo (2002: 121) menyebutkan bahwa motif huruf S (spiral) sebagai lambang dari perpaduan antara lelaki (sifat maskulin) dan perempuan (sifat feminin) sehingga mewujudkan sebuah harmoni atau keselarasan semesta.

Motif Persegi Hal yang paling menonjol dalam motif persegi ini adalah munculnya pola bilangan empat seperti empat buah sisi dan empat buah sudut yang menjadi pembentuk pola persegi. Bilangan empat ini banyak muncul dalam aspek sosial-budaya berbagai etnik di Nusantara. Suku Kerinci dalam tatanan adat mereka mengenal istilah kato nan mpat, negeri nan mpat, undang-undang nan mpat, adat nan mpat, lembago nan mpat, dan parbokalo bungkan yang barempat (Yakin, 1986; Zakaria: 1984). Istilah parbakalo bungkan yang barempat misalnya merujuk kepada empat orang yang dipilih sebagai dewan pertimbangan dalam pemerintahan adat Kerinci, ke empat orang ini ditempatkan dalam empat sisi permukiman sebagai lambang keseimbangan.

Bukti lainnya tanaman kopi sudah ada di Kerinci sejak abad 14 adalah naskah kuno Melayu pasca pallawa Kitab Undang Undang Tanjung Tanah (KUUTT) sebagai naskah transkrip Melayu tertua di dunia, yang terdapat di Tanjung Tanah Kerinci, yang sudah ada uji dating carbonnya, pertama kali di kaji oleh Dr. P. Voorhoeve tahun 1941, kemudian Prof. UliKozok, filologi asal Jerman, telah mengejutkan dunia penelitian bahasa dan sejarah kuno Indonesia. Lewat temuan sebuah naskah Malayu kuno di Kabupaten Kerinci, yang ia lihat pertama kali di tangan penduduk pada 2002, “Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah” yang ditemukan Kozok merupakan naskah pertama yang menggunakan aksara Pasca-Palawa berdasar uji radio karbon di Wellington, New Zealand naskah ini diperkirakan dibuat pada zaman Kerajaan Adityawarman di Saruwasa (Tanah Datar, Sumatera Barat) antara 1345 hingga 1377.

Dalam naskah itu disebutkan bahwa Kerinci sudah menjadi pusat pertanian dan perkebunan karena kesuburan tanahnya. Komoditas yang menjadi andalan adalah teh, sayur mayur, kayu manis dan kopi. Ini membuktikan bahwa tradisi minun kawa sudah ada sebelum Belanda datang, dan dalam naskah tersebut di tulis oleh Kuja Ali gelar Depati Selunjur Alam Kerinci, dari nama tersebut masyarakat Kerinci kuno sudah kontak dengan para pedagang Timur Tengah, bisa jadi kopi dibawa oleh pedagang Timur Tengah tersebut, karena ditilik dari sejara awal kopi, adalah minuman sakral para ahli tasauf, dan Islam awal di Kerinci adalah Islam dengan kajian tasauf, yang juga dibuktikan dengan isi tambo tambo aksara incung.

Bukti arkeologis lain masyarakat Kerinci kuno sudah mengadakan hubungan dagang dengan bangsa luar adalah temuan benda keramik Cina dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M) yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta, yang menurut Abu Ridho, ketiga benda keramik tersebut berupa bejana penjenazahan dari dinasti Han (abad 1 – 2 M), mangkuk sesaji dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M), dan guci tempat anggur bertutup dari dinasti Han (abad 1 – 2 M) (1979:105 – 118).

Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha pun hampir tidak terlihat di Kerinci dan Merangin. Hingga kini belum ditemukan situs-situs Hindu-Buda di kedua wilayah tersebut, tetapi di Kerinci ditemukan arca lepas berupa dua buah arca Boddhisattwa perunggu berukuran kecil (tinggi 16 cm) (Schnitger,1937:13).

Keramik Cina dari dinasti Sung (960 – 1270 M) banyak ditemukan di dataran tinggi Kerinci, dan daerah lembah kaki Gunung Raya . Temuan tersebut membuktikan bahwa ketika di dataran rendah Jambi berkembang pesat kerajaan Malayu bercorak budis, di dataran tinggi Jambi bertahan kehidupan bercorak tradisi megalitik. Bahkan tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci bertahan hingga kedatangan Islam. Tradisi megalitik di kawasan tersebut tampaknya baru berakhir pada abad ke-18,
Masyarakat bercorak tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci mungkin sekali menghuni lahan di sekitar batu monolit yang mempunyai nama lokal batu gong, batu bedil atau batu larung. Bukti-bukti hunian di sekitar batu megalitik ditemukan dalam ekskavasi Bagyo Prasetyo tahun 1994 di Bukit Talang Pulai, Kerinci . Tinggalan artefak menonjol di situs megalit adalah pecahan tembikar yang merupakan bukti pemukiman.Melalui analisis C-14 yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, arang yang ditemukan dalam tempayan diketahui berumur 810 ± 120 BP (tahun 1020 — 1260 M). Sementara itu, situs Bukit Batu Larung berumur 970 ± 140 BP (tahun 840 — 1120).

Sebuah temuan akan membuka gerai sejarah masa lalu, dan pola hidup masyarakat saat itu, begitu pula tradisi minun kawao di dataran tinggi Kerinci, yang sudah ada sebelum bangsa Belanda datang, dan ada istilah pameo “Melayu Kopi Daun”, yang selama ini dianggap oleh masyarakat istilah yang di berikan Belanda kepada kaum pribumi, kita tidak menyangkalnya namun tradisi minum kopi daun sudah ada sebelum Belanda datang, kemudian sejak dikembangkanya perkebunan kopi oleh Belanda dan tradisi minum serbuk buah kopi, dan kopi pernah menjadi emas hitam buat Belanda, cara pandang itu berubah, suatu sisi kopi daun sakral buat masyarakat, satu sisi pandangan penjajah Belanda seolah menertawakan tradisi tersebut karena yang mereka minum adalah serbuk dari buah kopi yang diluar sana harganya mahal, dan daun kopi tidak ada harganya.

Parahnya secara turun temurun pola pikir masyarakat kita “mengiyakan” pandangan ini sehingga mengikis tradisi kita sendiri dan menukarnya dengan tradisi luar yang dianggap lebih prestige tinggi, namun kebudayaan itu selalu maju dan berubah, tinggal kita menyikapi secara bijak dalam memperkuat karakter anak bangsa.