Buku Selak Bidai, Lepak Subang Tun Irang Diluncurkan

0
367

Buku Novel Selak Bidai, Lepak Subang Tun Irang
Karya Sastrawan Rida K Liamsi akan diluncurkan, Rabu (17/7) di Ruang Multi Media, Gedung Perpustakaan dan Arsip Daerah Kepri. Novel sejarah ini akan dibedah Dr Abdul Malik M.Pd dari Umrah, Sejarawan Aswandi Syahri dan Peneliti Budaya BPNB Kepri, Sita Rohana MA. Bertindak sebagai moderator Fatih Muftih, Penanggungjawab Halaman Jembia Tanjungpinangpos.

Kegiatan ini ditaja Dinas Perpustakaan dan Arsip Kepri, Yayasan Jembia Emas dan Harian Tanjungpinangpos. “Para undangan yang hadir akan dapat novel kami saat registrasi. Undangan terbatas, makanya jangan lepaskan kesempatan ini,”kata Rida K Liamsi, penulis novel sekaligus Pembina Yayasan Jembia Emas.

Siapakah Tun Irang? Mengutip Hasan Junus, dalam khazanah Kerajaan Melayu Riau Lingga yang berkuasa 190 tahun (1722-1912), setidaknya ada tiga tokoh perempuan hebat yang sangat penting peranannya. Bukan hanya mewarnai sejarah dan kejayaan, tetapi juga membuat dan mengubah jalannya sejarah Kerajaan Melayu Riau Lingga, penerus Kemaharajaan Melaka dan Johor.

Tiga wanita hebat itu adalah Tengku Tengah (Tun Irang) yang hidup di era Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1722-1760), Raja Hamidah (Engku Putri) di era Sultan Mahmud Riayat Syah (1760-1812) dan Tengku Embung Fatimah dimasa Sultan Mahmud Muzzafarsyah (1841-1857) dan Sulaiman Badrul Alamsyah (1858-1887). Ketiganya bukan sekedar pembisik melainkan pembuat sejarah dan penentu haluan sejarah Kerajaan Riau Lingga Johor Pahang.

Penulis novel ini Rida K Liamsi memberi judul novelnya: Selak Bidai, Lepak Subang Tun Irang. Terinspirasi dari sepotong teks dalam Tuhfat al Nafis (hal.60): “Kemudian Tengku Tengah atau Tun Irang pun berdiri di pintu selasar, membuka (menyelak) bidai, melepak subang di telinganya, sambil dia berkata: “Hai Raja Bugis, jikalau sungguh tuan hamba berani, tutupkanlah aib beta anak beranak, adik beradik. Maka, apabila tertutup aib beta semua, maka relalah beta menjadi hamba Raja Bugis”. Kalimat puitis diucapkan seorang bangsawan dihadapan para pendekar dari Luwuk yang sedang dalam pengembaraan.

Novel sejarah ini bercerita tentang sosok Tun Irang. Tengku Tengah yang bernama asli Tun Irang mengubah sejarah Kerajaan Johor Riau Pahang dan Trengganu didetik-detik keruntuhannya. Tahun 1719, Kerajaan Johor diambil alih Raja Kecik, pewaris Kerajaan Johor putra Sultan Mahmudyyah II dan dibesarkan di Pagaruyung. Disinilah peran Tun Irang. Tahun 1712, Raja Kecik berhasil dikalahkan.

Tun Irang berhasil mengubah haluan sejarah dan Kerajaan Johor menjadi kerajaan baru bernama Kerajaan Riau Johor dan Pahang. Tun Irang dengan selak bidai dan lepak subang di telinganya bisa memikat hati Upu-Upu Bugis Luwuk. Bersama abangnya, Tengku Sulaiman dan Tun Abbas, mereka mengalahkan Raja Kecil. Pusat pemerintahan pun dipindahkan dari Johor Lama ke Ulu Riau di Pulau Bintan.

Dendam membara Tun Irang kepada Raja Kecik disebabkan masalah percintaan dan kemudian dendam itu makin memuncak setelah Raja Kecik membunuh Tun Abdul Jalil, Sultan Johor yang merupakan ayah Tun Irang. Luka sejarah bermula setelah Raja Kecik berhasil mengalahkan Tun Abdul Jalil dan Raja Kecik dilantik menjadi Sultan Johor. Tun Abdul Jalil diangkat sebagai bendahara. Dalam merekat hubungan dengan bendaharanya ini, Raja Kecik bersedia menjadikan anak Tun Abdul Jalil sebagai permaisuri. Dipilihlah putri tertua

Tun Abdul Jalil bernama Tun Irang sebagai calon istri. Rencana perkawinan itu gagal karena Raja Kecik terpikat kepada adik bungsu Tun Irang bernama Tengku Kamariah yang jelita. Tun Irang merasa sangat terhina karena pertunangannya dibatalkan, apalagi Raja Kecik kemudian mengawini adik kesayangannya. Dari sinilah bara dendamnya pada Raja Kecik berkobar dan membakar hidupnya. (hal.37).

Sosok Rida

Tua tua keladi, makin tua makin menjadi. Rida K Liamsi (75), sastrawan Riau Kepulauan Riau ini makin menggemari sejarah. Penulis sejarah yang produktif. Ini novel sejarah keempat beliau, Selak Bidai, Lepak Subang Tun Irang (2019). Sebelumnya, Bulang Cahaya (2007), Megat (2016), dan Mahmud Sang Pembangkang (2017). Seperti kata Taufik Ikram Jamil (TIJ), di tangan Rida K Liamsi, sejarah bukan sesuatu yang beku, suatu rentetan masa lalu, tapi memiliki kaitan langsung dengan masa kini.**