Festival Bahari Kepri dan Nilai Sejarah

0
933

Bahari mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti: dahulu kala, indah atau elok sekali, dan tentang laut. Menurut sejarawan AB Lapian, nusantara dalam talian bahari dapat diartikan masa lalu (sejarah) yang indah di laut. Dalam sejarah nusantara pernah mengalami kejayaan di laut. Laut sejarah adalah sebuah perumpamaan betapa laut merupakan kehidupan (manusia) yang menempati ruang masa lalu yang terus bergerak ke masa kini. Laut adalah kehidupan, tempat banyak orang bergantung. Laut menjadi sumber penghidupan, dilihat dari dimensi temporal kehidupan itu sendiri adalah sejarah. Dalam konteks inilah menjadi relevan dengan ungkapan puitis a sea of history-a history oh the seas (laut sejarah-sejarah laut) yang ditulis Hendrik E Niemeijer.

Cara pandang kenyataan historis masyarakat yang hidup di kepulauan harus diubah. Sudah menjadi ungkapan yang kemudian diterima umum, bahwa bukan pulau yang dikelilingi laut tapi laut yang ditaburi pulau pulau untuk mengambarkan kondisi geografis Indonesia, termasuk Provinsi Kepri. Dalam kenyataannya, bangsa ini belum memandang laut sebagai yang utama. Wilayah kepulauan tapi orientasinya daratan. Kondisi ini yang menjadi faktor betapa kecilnya perhatian terhadap matra laut baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Ini persoalan besar sebagai daerah kepulauan yang harus dijaga kedaulatannya dan memanfaatkan potensinya untuk mensejahterakan masyarakat.

Banyak cara untuk membangkitkan potensi bahari, termasuk nilai kesejarahannya. kini perhelatan nasional Festival Bahari Kepri (FBK) bakal digelar, seiring dengan Sail Karimata, 20 sampai 30 Oktober 2016 mendatang. Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai Kepri terkait Sail Karimata ini, yaitu ingin menjadikan Kepri Pintu Gerbang Wisata Bahari Indonesia. Kepri sangat pantas menjadi pintu gerbang wisata bahari Indonesia. Sebab, 96 persen wilayahnya laut dan keindahan alam bahari yang mempesona. Lokasinya yang sangat strategis memiliki 2.408 pulau. Tradisi bahari Semenanjung Melayu pada masa lampau juga melegenda. Melayu dengan peradaban maritimnya pernah jaya dengan bukti historis pernah menguasai Selat Malaka.

Dunia Melayu yang erat dengan tradisi maritim, khususnya peradaban selat (Malaka dan sekitar Kepulauan Riau) kini gaungnya sudah tinggal cerita dan tak bisa lagi berbicara banyak. Itu karena mereka telah membelakangi selat, kata Yusmar Yusuf. Padahal asal muasal orang Melayu hidup dalam tradisi maritim. Tak bisa hidup dilepaskan dari namanya laut. Dari Bukit Siguntang, Bangka, Bintan, Johor dan Malaka, semuanya hidup dalam tradisi maritim atau bahari.

Menoleh kebelakang, FBK bukan event pertama yang membawa embel-embel ‘bahari” yang skalanya nasional digelar di Kepri. Tahun 2009, Departemen Pariwisata dan Kebudayaan menggelar event Arung Sejarah Bahari IV yang mengambil tema: Menguak Jalur Pelayaran di Peradaban Melayu: Tanjungpinang-Lingga-Batam. Pengambilan lokasi disebabkan pada masa lampau, kawasan laut ini sangat penting dan strategis dalam pelayaran. Di kawasan ini, kita diingatkan oleh sejarah bahwa pernah berjaya sebuah kesultanan yang wilayahnya cukup luas mencakup Johor-Riau-Lingga dan ibukota pindah-pindah.

Gubernur Kepri saat itu, Ismeth Abdullah yang melepas arung sejarah bahari menyebutkan, laut adalah jalan raya bagi orang kepulauan. Membangun daerah kepulauan banyak masalah dibandungkan daratan.Berbeda dengan transportasi darat, penyediaan transportasi laut lebih mahal.Idealnya, anggaran pembangunan untuk daerah yang berkharakter laut harus lebih besar dari daerah daratan. Ironisnya, penghitungan dana alokasi umum (DAU) dari pemerintah, kriterianya luas daratan. Ini salah satu menjadi kendala dalam pembangunan daerah kepulauan.

Event besar seperti FBK dengan target untuk kemajuan pariwisata Kepri itu bagus. Namun, diharapkan tak sekedar fokus untuk bidang pariwisata saja. Aspek kesejarahan dan budaya yang menjadi potensi besar Kepri tak boleh ditinggalkan. Potensi potensi itu harus digali. Dicari atau napak tilas kembali pusat-pusat maritim di wilayah Kepri yang jaya masa lampau dan tak hanya misalnya Sungai Carang, Tanjungpinang. Wilayah Lingga, Karimun dengan Pulau Buru, Moro dan wilayah lain juga pernah menjadi pusat maritim yang ramai tempo dulu, demikian juga Anambas dan Natuna yang memiliki catatan sejarah dalam tradisi bahari.

Hal yang terpenting event ini dapat memberikan dampak pembangunan yang bisa dirasakan masyarakat. Jadi bukan hanya fokus pada pelaksanaan tetapi juga manfaat yang akan didapat. Jangan jadi acara seremonial setiap tahun dan menghabiskan dana APBN. Kepri pernah pengalaman menggelar event besar lain, seperti festival Tamadun Melayu tahun 2013 dan kini tak ada kelanjutannya. Acara gaung besar dan kini tak berbekas. Tanjungpinang juga membuat gebrakan Festival Pulau Penyengat 2016 yang gaungnya juga besar dan diharapkan berkelanjutan. Semoga FBK sukses dan memberi manfaat lebih besar. (terbit di harian batampos, 1 Agustus 2016).