Menelusuri Jejak Etnis Tionghoa di Tanjungpinang

0
5514

Oleh : DR Anastasia Wiwik Swastiwi

(Peneliti Madya di Balai Pelestarian Nilai Budaya

Kepulauan Riau)

Pendahuluan

Etnis Tionghoa di Indonesia mengalami sejarah diskriminasi yang sangat panjang. Dari mulai masa kolonial Belanda sampai masa pemerintahan Orde Baru bahkan terus berlanjut hingga saat ini, meski masa Orde Baru telah tumbang dan digantikan masa Reformasi yang lebih demokratis. Bahkan pada masa Reformasi inilah budaya Tionghoa mengalami perkembangan pesat dimana perayaan-perayaan budaya seperti Imlek atau tahun baru Cina dan Cap Go Meh dapat dirayakan secara terbuka.

Secara yuridis, penyebutan Cina berganti dengan Tionghoa tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 yang mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Keputusan itu memulihkan penyebutan Tionghoa dan Tiongkok masing-masing untuk masyarakat Cina dan negara Cina. Dengan berlakunya keputusan tertanggal 14 Maret 2014 itu, maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang atau komunitas Tionghoa. Sedangkan negara Republik Rakyat Cina kini disebut Republik Rakyat Tiongkok.

Menurut penanggalan Tionghoa, tahun baru Imlek 2570 menandai dimulainya tahun babi. Kalender Tionghoa adalah penanggalan yang menggunakan baik perputaran matahari dan perputaran bulan (lunisolar). Bila dihitung berdasarkan kalender masehi, tahun baru Imlek selalu jatuh di antara bulan Januari dan Februari. Tahun ini, perayaan tahun baru Imlek jatuh pada pada hari Selasa, 5 Februari 2019.  Di Indonesia, tahun baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional berdasarkan Keppres No 19/2002 dan mulai dirayakan sebagai hari libur nasional sejak tahun 2003.

 

Masuknya Etnis Tionghoa di Tanjungpinang

Menurut sumber tertulis dalam sejarah Cina, tahun 1412 sebuah armada Cina dibawah pimpinan Cheng Ho datang untuk pertama kalinya di Pulau Bintan (Hidajat, 1984:74). Pulau Bintan adalah pulau terbesar dari gugusan Kepulauan Riau, yang meliputi Pulau Penyengat, Rempang dan pulau kecil lainnya.

Sementara itu, jumlah penduduk Pulau Bintan pada tahun 1700-an belum dapat diketahui secara pasti. Namun demikian terdapat sumber sejarah yang menyebutkan bahwa pada tahun 1777-1784 yaitu pada saat Raja Haji mulai memangku jabatan sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV, Riau mengalami kemajuan pesat. Jumlah penduduk pada masa itu mencapai 9 Iaksa atau 90.000 orang. Akan tetapi tidak terdapat rincian berapa jumlah penduduk asli dan asing (termasuk etnis Tionghoa).

Perdagangan pada masa 1777-1784 sangat maju, terutama dengan negara-negara luar seperti Siam, Malaka dan Pulau Jawa. Semua jenis barang tersedia banyak sekali dan harganya murah. Gambir sebagai hasil utama Riau pada masa itu merupakan komoditas yang sangat menguntungkan untuk diperdagangkan. Sehingga sekitar tahun 1777-1784, etnis Tionghoa datang secara besar-besaran di Riau, untuk menjadi buruh pemasak gambir. Dan, mereka membuka perkampungan di sekitar Tanjungpinang.

Salah satu sumber yang menyebutkan bahwa mereka membuka perkampungan di sekitar Tanjungpinang adalah dari syair perkawinan Tan Tik Sing menyebutkan bahwa etnis Tionghoa pernah ada di Pulau Penyengat yaitu di Kampung Cina. Akan tetapi etnis Tionghoa di Pulau penyengat tidak ada lagi karena pindah ke Senggarang. Dalam syair tersebut disebutkan bahwa perkawinan anak Kapitan Cina dihormati dan dimeriahkan oleh Engku Putri.

Pada waktu etnis Tionghoa tersebut tinggal di Pulau Penyengat, mereka diberi kesempatan seperti penduduk lainnya untuk hadir dalam upacara kesultanan. Sedangkan penduduk yang diperbolehkan untuk hadir dalam upacara kesultanan adalah mereka yang tergolong bangsawan. Dengan demikian pada waktu itu, etnis Tionghoa merupakan golongan yang terhormat dibandingkan penduduk lainnya (Suwardi, 1986:216).

Selanjutnya, bukti nyata bahwa kedatangan etnis Tionghoa di Tanjungpinang terjadi pada abad awal 17 adalah adanya klenteng atau tempat ibadah tertua di  Senggarang yang dibangun sekitar abad 17. Selain itu, kelenteng di Tanjungpinang yaitu kelenteng yang berada di ujung Jalan Merdeka yang diperkirakan dibangun pada abad awal 17.

Apabila melihat kedatangan etnis Tionghoa secara besar-besaran pada masa itu untuk menajdi buruh pemasak gambir, maka  dapat ditarik kesimpulan  bahwa etnis Tionghoa yang membuka perkampungan di sekitar Tanjungpinang pada waktu itu adalah sebagai buruh pemasak gambir dan bukan sebagai pedagang. Hal ini relevan dengan sumber tertulis yang menyebutkan bahwa etnis Tionghoa di sepanjang Timur Sumatera, Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat adalah etnis Tionghoa (Mely G. Tan, 1981 : 7). Bidang spesialisasi mereka adalah pertanian.

Sementara itu, perdagangan eksport dan import di luar Jawa semuanya ditujukan ke Singapura. Dari Singapura terus berlanjut ke Asia Tenggara, Tiongkok Eropa dan Amerika. Di Singapura inilah para pedagang etnis Tionghoa mempunyai relasi. Mereka dengan mudah bisa mendapatkan barang dagangan yang dibutuhkan. Dengan demikian, banyak pedagang etnis Tionghoa di luar Pulau Jawa terutama  kota besar seperti Tanjungpinang hanya menjadi agen saja dari perusahaan besar Singapura. Sedangkan pedagang etnis Tionghoa di pelosok desa merupakan perantara pedagang di kota besar. Dapat dikatakan bahwa pedagang etnis Tionghoa di Tanjungpinang merupakan golongan perantara antara masyarakat pribumi dengan pedagang etnis Tionghoa di Singapura.

Etnis Tionghoa dalam perkembangannya menguasai sepenuhnya perdagangan di Tanjungpinang yaitu pada tahun 1808. Pada tahun itu Tanjungpinang tumbuh sebagai pusat perdagangan gambir. Oleh karena Raja Djafar Yang Dipertuan Muda Riau VI memindahkan pusat kekuasaan Yang Dipertuan Muda ke Pulau Penyengat. Ia membangun gedung-gedung baru yang menyebabkan Pulau Penyengat menjadi ramai dan Tanjungpinang semakin berkembang.

Sesudah tahun 1830 penduduk etnis Tionghoa dan India di Tanjungpinang semakin bertambah. Hal itu, disebabkan adanya perjanjian antara Sultan Riau dan Belanda melalui kontrak politik tahun 1857 yang menyatakan bahwa golongan etnis Tionghoa dan India disamakan dengan golongan Eropa. Mereka menjadi bagian penduduk pemerintah Belanda bukan sebagai bagian penduduk Kerajaan Riau. Sampai tahun 1857 etnis Tionghoa tetap dikepalai oleh seorang pemimpin dengan pangkat Kapitan.

Pada tahun 1906-1910, Tanjungpinang merupakan kota yang didominasi oleh etnis Tionghoa dengan persentase terbesar di antara kota lain di Indonesia yaitu sebesar 58,86%  (Mely G. Tan, 1981 : xiii). Data mengenai perkembangan etnis Tionghoa sesudah tahun 1906-1910 belum cukup memadai. Sementara itu, sampai tahun 1914 banyak didatangkan etnis Tionghoa sebagai kuli kontrak. Akan tetapi banyak etnis Tionghoa yang datang atas inisiatif sendiri. Etnis Tionghoa tersebut tidak kembali ke negeri asalnya setelah masa kontrak selesai.

Terdapat gambaran secara umum yaitu pada tahun 1930 jumlah penduduk Riau, dimana Tanjungpinang merupakan bagian dari daerah Riau, adalah 998.665 jiwa. Jumlah tersebut berada di 4 afdeling yaitu afdeling Tanjungpinang, Indragiri, Bangkinang dan Bengkalis. Sebagian besar dari jumlah tersebut adalah kaum bumi putera yaitu sebesar 432.294. sedangkan etnis Tionghoa berjumlah 74.145 jiwa. Sisanya terdiri dari orang Eropa dan golongan Timur Asing lainnya.

Kehidupan etnis Tionghoa pada masa sebelum kemerdekaan di Tanjungpinang mengelompok berdasarkan suku-suku mereka. Suku Hokkian menguasai semua bidang prdagangan. Suka Hakka menguasai jenis perdagangan kain. Suku Kanton pada umumnya membuka usaha kedai kopi. Suku Teociu sebagian besar bekerja sebagai petani, buruh pemasak gambir dan juru masak.

Peran Ekonomi Etnis Tionghoa

Tanjungpinang merupakan kota perdagangan sejak awal pertumbuhannya. Penduduknya yang strategis di posisi silang pelayaran dan perdagangan dunia di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, serta imbas dari peranan Singapura sebagai salah satu pusat perdagangan dunia merupakan daya dorong pertumbuhan sektor perdagangan di kota ini. Sektor perdagangan didominasi oleh etnis Tionghoa, sedangkan bidang lain dipegang oleh suku Melayu yang merupakan penduduk asli atau kaum pendatang Jawa, Flores, Batak, Minang dan sebagainya.

Pada masa kolonial, pedagang perantara etnis Tionghoa tidak perlu memiliki modal yang besar untuk memperoleh barang dagangan dari Singapura. Mereka cukup memesan barang yang dibutuhkan kepada pedagang etnis Tionghoa di Singapura. Selanjutnya pedagang etnis Tionghoa di Singapura mengirim barang tersebut. Dengan demikian, kerjasama antara pedagang etnis Tionghoa di Tanjungpinang dengan pedagang etnis Tionghoa di Singapura dilandasi oleh rasa kepercayaan yang kuat. Belanda dalam perkembangannya membuat kebijakan ekonomi yang menguntungkan para pedagang perantara etnis Tionghoa. Kedudukan pedagang perantara  etnis Tionghoa ini sangat kuat. Mereka secara tidak resmi memonopoli kebutuhan hidup rakyat Tanjungpinang. Mereka yang menetapkan harga barang-barang hasil usaha penduduk pribumi dan barang-barang yang mereka supply kepada rakyat.

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa terjadi perbedaan menyolok antara peranan etnis Tionghoa di Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa khususnya Tanjungpinang. Peranan etnis Tionghoa di Pulau Jawa dalam bidang perdagangan merupakan perantara antara penduduk pribumi dengan Belanda. Penduduk pribumi menjual hasil pertanian mereka kepada Belanda melalui etnis Tionghoa. Dalam usaha dagang itu etnis Tionghoa membujuk para petani untuk melaksanakan sistem “ijon” yaitu produksi pertanian dibeli sebelum saatnya panen dengan harga yang jauh bawah harga saat panen.

Selanjutnya, tidak ada rincian tentang jumlah pedagang etnis Tionghoa di Tanjungpinang pada masa sebelum kemerdekaan. Akan tetapi secara umum di Indonesia, pada tahun 1930 bidang perdagangan merupakan presentase terbesar dibandingkan dengan  mata pencaharian etnis Tionghoa lainnya (Leo Suryadinara, 1978 : 7).

Sementara itu, perekonomian Tanjungpinang termasuk dalam wilayah bebas cukai. Konsekuensinya perdagangan dengan Singapura dapat dijalani sebagaimana halnya perdagangan dalam negeri. Oleh karena Singapura merupakan pasar tunggal bagi masyarakat Kepulauan Riau termasuk Tanjungpinang. Barang-barang hasil produksi masyarakat amat mudah untuk diteruskan ke Singapura, semua jenis perdagangan yang dikuasai oleh etnis Tionghoa di Tanjungpinang baik di pelosok maupun di perkotaan merupakan perantara dari pedagang etnis Tionghoa di Singapura. Keadaan tersebut berlangsung terus sampai tahun 1960-an.

Dalam perdagangan, mereka memegang peranan penting dalam penguasaan modal, kegiatan ekonomi yang meliputi produksi, konsumsi dan distribusi serta penguasaan pasar. Peranan mereka sangat menentukan jalannya perekonomian Tanjungpinang. Walaupun ada pedagang pribumi yang melakukan kegiatan ekonomi, namun mereka hanya merupakan perpanjangan tangan pedagang etnis Tionghoa.

Di samping itu, sistem kekerabatan masyarakat etnis Tionghoa sangat mempengaruhi dominasi perdagangan mereka. Ada korelasi antara sistem kekerabatan dengan tindakan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Korelasi tersebut disebut dengan perkongsian. Kongsi bukan kesatuan kekerabatan tetapi ia sanagat mencerminkan pola kesatuan kekerabatan yang mana dalam suatu kongsi, anggota-anggotanya berdasarkan ikatan kekerabatan. Rasa kebersamaan dan tolong menolong di antara pedagang perantara etnis Tionghoa merupakan landasan inti dari lahirnya suatu perkongsian. Tujuannya adalah untuk melindungi usaha-usaha kegiatan perdagangan mereka terhadap saingannya. Selain itu, latar belakangnya adalah untuk membantu sanak saudara seetnisnya dan sahabat-sahabatnya.

Penutup

Tanjungpinang merupakan kota yang pernah didominasi oleh etnis Tionghoa dengan persentase terbesar di antara kota lain di Indonesia yaitu sebesar 58,86%. Hingga saat ini perekonomian Tanjungpinang mayoritas digerakkan oleh masyarakat etnis Tionghoa. Mereka bahkan tidak hanya menguasai perekonomian berskala kecil mapun sedang, melainkan juga berkembang ke jenis usaha berskala besar seperti pembuatan kapal, perumahan, restoran dan perhotelan. Selain bergerak dalam perekonomian, ada sebagian yang menjadi politisi, wakil rakyat, tokoh politik bahkan seorang abdi negara sebagai ASN. Patut menjadi catatan kita bersama, kehadiran mereka membantu memajukan perekonomian Tanjungpinang maupun Kepulauan Riau pada umumnya. Secara umum, dalam kehidupan sehari-hari mereka juga mampu berbaur dengan etnis lainnya di Tanjungpinang. Akhir kata, Selamat Menyambut Tahun Baru Imlek 2019. Gong Xi Fa Cai.