Oleh : Novendra
A. Pengantar
Kesenian bagian yang penting dari kebudayaan. Bahkan, ada anggapan apabila berkesenian sudah melaksanakan kebudayaan. Oleh karena itu, banyak kalangan melestarikan kebudayaan adalah dengan jalan melestarikan bidang kesenian saja. Hal itu sebenarnya tidaklah benar, namun tidak pula sepenuhnya salah. Kesenian memang merupakan bagian kebudayaan yang langsung dapat dinikmati dan masing masing kebudayaan memiliki corak khas dalam berkesenian.
Unsur-unsur dari kesenian terbagi ke dalam bebeberapa sub yakni: seni suara, tari, teater (drama), ukir, lukis, pahat, patung. Kesenian merupakan unsur yang paling halus dari kebudayaan. Oleh karena itu, unsur kesenian sangat berkaitan dengan peradaban (civilization). Semakin tinggi nilai berkesenian pada suatu kelompok masyarakat maka semakin tinggi pula penilaian terhadap peradaban masyarakat tersebut.
Setiap kelompok masyarakat memiliki unsur-unsur kesenian yang menjadi kebanggaan dan sekaligus menjadi identitas masyarakat tersebut. Melayu misalnya dikenal dengan tarian ”serampang dua belas” atau lagu ”mak inang”, batak dikenal dengan tarian tor-tor dan lagunya Butet, Jawa dikenal dengan seni ludruk, wayang, dsb. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian kali ini kami akan mndeskripsikan kesenian yang ada pada masyarakat Melayu di Jambi.
Sebelum masuk kepada kesenian Jambi terlebih dahulu perlu diketahui adat Jambi sebelum masuknya agama Islam. Hal ini sangat penting, karena unsur kesenian Jambi sudah lama berkembang sebelum agama Islam berkembang di daerah ini, yang kemudian kesenian Islam dipengaruhi oleh unsur agama Islam. Walaupun Islam berkembang pesat, namun unsur-unsur kesenian lama tidak hilang begitu saja, melainkan masih mewarnai kesenian Jambi secara keseluruhan.
Masyarakat Jambi merupakan masyarakat agamis dan mempunyai norma kehidupan dalam masyarakat yang selalu ingin damai dan tenang. Hal ini tercermin dari adat istiadat, seperti pepatah mengatakan:
Yang kurik ialah kundi
Yang merah ialah sago
Yang baik ialah budi
Yang indah ialah baso
B. Kesenian Dadung
Salah satu jenis kesenian masyarakat Melayu Jambi adalah kesenian dadung. Kesenian Dadung berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, berasal dari desa Lubuk Ruso, Marga Pemayung Ilir, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Secara harfiah, dadung diartikan berbalas pantun. Dadung sudah ada sejak kira-kira 300 tahun yang lalu, pada masa kerajaan Danau Bangko, anak sungai Batanghari di Lubuk Ruso. Pada zaman tersebut putri Raja Danau Bangko ditunangkan dengan seorang anak Raja di Hilir Jambi. Selesai akad nikah, kedua mempelai masih amat canggung karena belum saling mengenal, sehingga tidak betah duduk bersanding di pelaminan. Para orang tua mereka melihat keadaan tersebut merasa malu, namun tidak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya saat perasaan tidak menentu, sang Putri menuangkan isi hatinya dalam suatu pantun dengan cara berdadung. Mempelai putra ternyata tidak tinggal diam dan membalas pantun sang putri dengan cara yang sama. Pada akhirnya terjadilah satu dialog dengan cara berbalas pantun.
Namun berdasarkan penuturan para orang tua dari Desa Lubuk Ruso, bahwa dadung adalah nama seseorang rakyat biasa yang jatuh hati dengan seorang Putri Raja, dan berkeinginan menjadi pendampingnya. Oleh karena Dadung dari kalangan rakyat biasa, maka si putri tidak mau menerima keinginan Dadung. Dengan rasa kecewa mendalam, Dadung melantunkan isi hatinya melalui alunan syair-syair yang sangat menyentuh. Dari alunan syair-syair yang didendangkan terus oleh Dadung. Akhirnya si Putri tersentuh dan luluh hatinya. Singkat cerita kemudian si Putri menerima pinangan dari dadung.
Dewasa ini, kemampuan berdadung ternyata masih tetap dipertahankan oleh masyarakat daerah marga Pemayung Ilir, mulai dari kepala desa, pemangku adat, penghulu, pedagang, petani, guru dsb, mendukung seni dadung. Dadung ini berkembang sebagai sebuah kesenian yang digemari masyarakat jambi sepanjang sungai Batanghari. Di dusun Karameo seni Dadung ini disebut senjang, di daerah Tanjung Kecamatan Kumpeh disebut Senandung Jolo yang menggunakan iringan gendang dan kelintang kayu. Sedangkan yang memakai kromong terdapat di Mandiangin Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun (atau Kabupaten Bangko). Bahkan jenis kesenian Dadung ini terdapat di propinsi Kalimantan Selatan yang disebut dengan mahidin. Dadung biasanya dipakai untuk pelengkap acara perkawinan dan juga bersantai serta pertunjukkan.
Inti dari dadung adalah pantun yakni berupa syair, yang mempunyai satu tema tunggal dan satu tema pokok. Pada saat ini musik yang ditampilkan sudah merupakan modifikasi. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan kebosanan dalam mengapresiasikan kepada penonton. Hal ini dipandang perlu karena nada-nada yang terdapat di pantun dengan pantun lainnya tidak ada perbedaan. Syair yang dinyanyikan tersebut hanya terdiri dari 8 birama dan dapat berdiri sendiri. Artinya telah mengandung unsur kalimat tanya (antecedent) dan kalimat jawaban. Syair pantun yang terdapat pada dadung mempunyai nada-nada jika dituliskan seperti tertera di bagian lampiran buku ini.
Kesenian dadung ini diawali dengan instrumen biola dengan nada panjang, kemudian dijawab dengan instrumen suling. Kedua jenis instrumen ini dimainkan dalam birama bebas atau biasa disebut rubato. Keduanya saling bergantian sahut menyahut dengan improvisasi berdasarkan interpretasi terhadap tema pokok yang terdapat pada musik dadung. Pada bagian lain, gendang panjang dan gendang Melayu memberikan kode tiga pukulan yang menandakan akan masuk pada hitungan birama. Setelah kelintang kayu memainkan nadanya barulah vokal terdengar yang diikuti oleh biola. Melodi lebih didominasi oleh biola dengan nada-nada yang panjang. Vokal masuk pada hitungan pertama kemudian pada hitungan kedua biola mengikuti irama vokal. Alat-alat musik yang digunakan dalam msuik dadung ini adlah: biola, suling, kelintang kayu, gendang panjang, gendang melayu, gong dan beduk. Sedangkan syair pantunnya sebagi berikut:
Kainlah putih panjang semilan
Dibuat budak pungikat tanggo
Biaklah putih lalang digenggam
Namunlah idak berubah kato
Pulaulah pandan jauh di tengah
Dibalik pulau angsolah duo
Ancurlah badan dikandung tanah
Budilah baik dikenang jugo.
Kesenian setiap kelompok budaya tidak terlepas dari latarbelakang sejarah budaya masyarakat setempat. Seperti kesenian dadung pada masyarakat Melayu di kabupaten Batanghari sangat dipengaruhi budaya animisme dan dinamisme pada masa dahulu dan budaya Islam sekarang ini. Agama atau kepercayaan memegang peranan penting dalam perkembangan kesenian daerah (kebudayaan). Begitu kuatnya peranan agama dalam memperkuat unsur-unsur budaya masyarakat dapat kita simak pernyataan Christofer Dowson, beliau mengatakan:
“agama adalah kunci sejarah, kita tidak dapat memahami bentuk dalam diri suatu masyarakat, jika kita tidak dapat memahami agamanya, kita tidak dapat memahami hasil kebudayaan jikat kita tidak memahami kepercayaan agama yang ada di sekitar kita. Dalam semua zaman hasil karya kreatif bersama dan suatu kebudayaan muncul dari inspirasi agama dan diabadikan pada tujuan agama”.
Pernyataan Christofer Dowson tersebut di atas tidak dapat disangkal. Hal ini sesuai dengan perkembangan kesenian di daerah Jambi yang tidak terlepas dari peranan agama atau kepercayaan yang berkembang di daerah tersebut. Seperti telah diuraikan di atas bahwa masyarakat Jambi dan kebudayaannya dipengaruhi oleh 4 masa yakni: animisme dan dinamisme, Hindu, Budha, dan terakhir Islam. Pada setiap masa (fase) itu kesenian Jambi berkembang sesuai dengan agama atau kepercayaan yang berkembang pada masa itu.
Pada masa sekarang, kesenian yang berkembang adalah kesenian bernuansa Islami. Namun demikian unsur-unsur kesenian yang berkembang sebelumnya yakni opada masa animisme dan dinamisme, Hindu, Budha, masih juga mewarnai kesenian secara keseluruhan. Kesenian lama ini (kesenian primitif) pada umumnya berkembang pada kelompok masyarakat pedalaman seperti orang Kubu (Suku Anak Dalam), Kerinci, dan juga di beberapa desa yang terpencil. Pada masyarakat pedalaman di Jambi, kesenian yang masih dipengaruhi oleh kepercayaan lama ini (non Islam) tidak menjadi permasalahan bagi kalangan ulama Islam, karena mereka belum menganut agama Islam. Sedangkan bagi kelompok masyarakat yang sudah beragam Islam namun kesenian yang ditampilkan masih bernuansa animisme dan dinamisme dengan menggelar upacar tradisional dan berkesenian masih dengan pola lama yang bertentangan dengan ajaran Islam, mendapatkan protes yang keras terutama dari pala ulama Islam. Namun karena unsur kesenian yang masih bernuansa kepercayaan lama itu sudah berkembang lama dan sudah menyatu roh dan jiwa masyarakat Melayu Jambi ini, para ulama Islam sendiri tidak mampu untuk mencegahnya. Masyarakat pendukungnya sendiripun tidak mempersoalkan masalah tersebut, sehingga sampai sekarang masih berkembang.
Di samping masih berkembangnya kesenian yang bernuansa kepercayaan lama itu, pada masa sekarang kesenian Melayu Jambi sudah mengalami modifikasi dari kalangan generasi muda. Dari uraian di atas maka kesenian Melayu jambi ini dapat disimpulkan sebagai berikut: dengan terciptanya seni tari dengan koreografer modern yang mencampurkan unsur kesenian lama dengan unsur kesenian baru. Sehingga seni tari Jambi semakin lebih diminati oleh masyarakat terutama para
C. Penutup
Kesenian masyarakat Melayu di Provinsi Jambi sangat dipengaruhi oleh agama. Saat ini kesenian Jambi pada umumnya bernuansa Islam, namun beberapa bagian lainnya masih dipengaruhi oleh kepercayaan lama (animisme/dinamisme, Hindu, dan Budha). Kesenian yang bernuansa Islam pada umumnya kesenian Melayu yang berada atau dekat dengan kota, sedangkan kesenian yang masih kuat bercorak kepercayaan lama terutama pada masyarakat pedalaman atau pedesaaan.
Kesenian dadung perlu terus dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya, yang tentunya diharapkan perhatian yang utuh dari pihak pemerintah. Perhatian yang dimaksudkan adalah dengan memberikan bantuan materiil dan moril. Sebab dalam rangka mengembangkan kesenian ini, masyarakat memerlukan biaya yang cukup besar. Apalagi pada saat ini masyarakat di daerah turut merasakan krisi ekonomi.
Sehubungan dengan perkembangn kesenian daerah, harus diberikan kesempatan kepada masyarakat bersangkutan untuk mengaktualisasikannya tanpa dicampuri oleh pihak manapun, karena kesenian daerah itu bersumber dari nilai-nilai budaya setempat.