DRAGON KILN DARI SAN KEU JONG : TRADISI PEMBUATAN KERAMIK CINA SAKKOK

0
5783

San Keu Jong atau Singkawang tidak hanya dikenal dengan keindahan panoramanya. Terletak di antara pegunungan dan pantai, Singkawang memiliki kultur Cina yang kuat. Kultur yang demikian kuat tersebut tidak terlepas dari kehadiran orang Cina di wilayah Borneo Barat. Kedatangan mereka tidak terkait erat dengan keberadaan pertambangan emas di Sambas dan Mempawah yang menjadikan emas sebagai komoditas utama saat itu.

Merunut catatan sejarah, pada masa Sultan Umar Akkamuddin II di tahun 1760, banyak orang Cina didatangkan untuk menjadi buruh di pertambangan emas. Para migran ini kebanyakan berasal dari etnis Hakka yang memang bekerja di sektor pertambangan dan pertanian. Kedatangan mereka kemudian membentuk pemukiman-pemukiman di sekitar tambang emas. Namun setelah pertambangan emas ditutup oleh pemerintah kolonial Belanda, sebagian besar dari mereka kemudian memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani.  Singkawang yang terletak di tepi laut Cina Selatan dan berada di kaki pegunungan membuat kehidupan sebagai petani atau nelayan menjadi aktivitas yang sesuai dengan pola kehidupan mereka di tanah asal.

proses pembuatan keramik

Sebagai daerah dengan mayoritas penduduk dari etnis Cina, budaya Cina sangat terasa di wilayah ini. Salah satu bentuk tradisi dari tanah Cina yang dapat dilihat adalah pembuatan keramik Cina secara tradisional. Pembuatan keramik di Singkawang berada di wilayah Sakkok telah dilakukan secara turun temurun. Keramik dari Sakkok memiliki  keunikan tersendiri dalam dunia keramik di Indonesia karena para pengrajin menggunakan teknik pembuatan dan kualitas bahan keramik yang juga hampir sama dengan teknik dan bahan yang ada di Cina. Hal ini menjadikan keramik Cina di Sakkok memiliki hasil produksi menyerupai keramik yang ada di Cina atau dapat dikatakan sebagai  replica keramik buatan Cina kuno terutama keramik pada masa Dinasti Ming (1368 – 1644) yang memiliki corak naga, glasir yang indah dan cenderung berwarna terang (biru). Selain Dinasti Ming, dapat juga ditemukan keramik yang menyerupai keramik pada masa dinasti Tang (618-906), Sung (906-1279) dan dinasti Yuan (1279-1368).

Sakkok (berada di Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan) merupakan sebuah wilayah di mana industri keramik tradisional Cina berkembang dan menjadi salah salah satu ikon Kota Singkawang. Sakkok dahulu merupakan sebuah nama administratifnamun kini hanya sebagai istilah turun temurun yang digunakan untuk penyebutan wilayah. Di Sakkok inilah berdiri beberapa perusahaan keramik. Menurut informasi dari salah satu pemilik tungku naga, pencetus awal mula industri keramik merupakan orang Cina yang datang langsung dari tanah Cina – bukan sebagai penambang emas – . Namun sumber lain menyebutkan jika para pengrajin keramik kemungkinan para petani di sekitar kongsi-kongsi yang memiliki keahlian membuat keramik.

Di kawasan Sakkok, perusahaan keramik pertama yang didirikan adalah perusahaan Yong Tong Hwat atau Dinamis pada tahun 1933 yang menghasilkan keramik untuk keperluan sehari-hari seperti mangkok, piring dan tempayan serta guci. Pendirian perusahaan keramik ini kemudian disusul dengan pendirian perusahaan keramik  Tajau Mas (Ju Hua – masih berproduksi dengan tungku naga namun pembuatan keramik hanya berdasarkan pesanan) di tahun 1936 dan diikuti dengan Sam Ho atau Tri Murni di tahun 1940. Di tahun 1964 berdirilah perusahaan keramik Semangat Baru tahun 1964 dan di tahun 1980 berdirilah Sinar Terang disusul pendirian Borneo Lentera Prima (masih berproduksi dengan tungku naga) yang merupakan anak usaha dari Sinar Terang di tahun 1998. Di antara perusahaan-perusahaan  tersebut masih ada perusahaan yang menggunakan tungku naga dalam proses pembakarannya namun ada juga yang sudah beralih ke cara yang lebih modern (pembakaran secara elektrik).

Teknik pembuatan keramik yang unik dalam pembuatan keramik dari Sakkok tidak dapat dilepaskan dari penggunaan dragon kiln atau tungku naga dalam proses pembuatannya. Istilah naga digunakan untuk menyebut tungku ini karena merujuk kepada bentuk tungku yang memanjang sehingga diibaratkan seperti naga. Konon menurut cerita keberadaan tungku naga berawal dari penggunaan goa-goa disekitar pengunungan sebagai ruang pembakaran oleh masyarakat di Guangdong, Cina Selatan. Dari hal tersebut muncullah insiprasi pembuatan tungku naga.

Dengan bentuk  memanjang ± 28 – 40 meter, lebar depan 127 – 132 cm, lebar tengah 182 – 190 cm, lebar belakang  150 – 158 cm dan tinggi tungku rata-rata 120 -130 cm (ukuran bervariasi tergantung pemiliknya), tungku naga mampu menghasilkan suhu panas hingga 1250°. Di bagian belakang tungku  terdapat cerobong asap sementara di bagian depan terdapat pintu yang digunakan untuk memasukkan kayu sebagai sumber panas pembakaran keramik. Di sisi kanan dan kiri badan tungku terdapat lubang-lubang kecil semacam jendela dengan jarak antar jendela 1,5 – 2 m yang juga digunakan untuk memasukkan kayu bakar. Bentuk tungku yang memanjang ke belakang dan tinggi ternyata ditujukan agar keramik mendapatkan pemanasan merata.

Untuk pembuatan keramik, bahan baku utama yang digunakan adalah kaolin (Kao-ling dalam bahasa Tionghoa). Kaolin adalah semacam tanah liat berwarna putih keabu-abuan/kelabu dengan komposisi hidrous alumunium silikat dengan mineral penyerta. Warna tanah liat yang cerah  dan daya serap terhadap mineral lain yang rendah menjadikan keramik yang dihasilkan dari bahan baku ini bening dan berwarna cerah. Langkah pertama dalam pembuatan keramik Cina adalah pembersihan kaolin dari kotoran dan kemudian dilakukan pemotongan bongkahan kaolin menjadi bagian-bagian kecil agar lemas dan mudah dibentuk. Kaolin kemudian dicampur dengan tanah liat dan direndam dengan sedikit air selama beberapa saat. Selanjutnya tanah tersebut diinjak-injak dengan dicampur air secukupnya agar kaolin lentur sehingga mudah dibentuk. Proses selanjutnya adalah tanah ditutup dengan plastik.  Setelah didiamkan sesaat, tanah dibagi menjadi bulatan-bulatan sesuai dengan ukuran keramik yang diinginkan.

Langkah berikutnya adalah pembentukan. Proses ini hanya dilakukan oleh pengrajin ahli yang memiliki ketrampilan khusus untuk membentuk. Pembentukan dilakukan diatas alat yang disebut nai cha (roda putar). Nai cha memiliki diameter 80 – 90 cm dan terbuat dari semen dengan rangka besi didalamnya. Dibagian tengah nai cha terdapat sebuah lingkaran yang lebih kecil sebagai lindasan. Gumpalan tanah akan diletakkan diatasnya dan kemudian roda diputar dengan tangan dan tanah siap dibentuk dengan sesekali diperciki air supaya tidak mengeras. Proses ini dilakukan dalam waktu 5 – 10 menit disesuaikan dengan ukuran keramik yang diinginkan. Setelah diperciki air, keramik dilap dengan kain basah. Agar permukaan tidak bergelombang dan pipih – sambil berputar – tanah yang dibentuk dihaluskan dengan kayu kecil (alat ini disebut su dei kut dan kiam chi). Setelah proses pembentukan selesai, keramik dilepaskan dari landasan dengan menggunakan benang untuk selanjutnya dikeringkan. Terkadang dalam proses pembentukan, pengrajin dapat juga membentuk keramik sambil memberikan ukiran.

Proses selanjutnya adalah pengeringan. Pengeringan dilakukan setelah keramik polos dibentuk meski ada juga yang memberikan motif ketika keramik setengah kering. Pengeringan dilakukan ditempat teduh untuk menghindari keretakan keramik. Pemberian motif sendiri dilakukan dengan beberapa pilihan cara seperti cetak, cap dan ukir.  Setelah dikeringkan, langkah selanjutnya adalah penglasiran. Penglasiran dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan warna  yang cerah dan kesan bening. Biasanya bahan glasir terbuat dari bubuk kerang, abu merang, kaolin, tanah merah,pasir laut serta baterai bekas. Untuk mendapatkan warna yang tepat dibutuhkan kemampuan pengrajin untuk mencamur adonan dengan komposisi yang tepat. Penglasiran dilakukan dengan cara dicelup untuk keramik berukuran kecil dan disiram untuk keramik berukuran besar.  Proses penglasiran ini menjadi pembeda antara ciri keramik dari dinasti Ming dan dinasti Tang.

Setelah poses pengeringan selesai, keramik dibakar di tungku naga. Keramik yang akan dibakar ditempatkan/disusun pada badan tungku yang memanjang. Penyusunan keramik di dalam tungku disusun berdasarkan daya tahan terhadap panas. Penggunaan tungku naga yang berukuran besar menjadikan ribuan keramik dapat dibakar sekaligus. Untuk memasukkan keramik dapat dilakukan melalui pintu yang berada disisi badan tungku naga. Setelah keramik dimasukkan maka semua pintu di sisi tungku naga dtutup. Ketelitian dan kemahiran dalam membakar keramik diperlukan untuk mendapatkan hasil yang baik. Proses pembakaran ini merupakan factor yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya pembentukan keramik. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, para pengrajin keramik di Sakkok menggunakan kayu karet yang telah dibelah dan dijemur. Kayu karet merupakan bahan bakar yang paling tepat karena memiliki panas yang stabil.

Pada paruh pertama proses pembakaran api harus tetap dijaga suhunya. Selanjutnya jendela mulai dari bagian depan satu persatu dibuka untuk dimasukkan api. Jika api berubah putih maka keramik sudah matang. Demikian terus secara bergantian. Proses pembakaran diperlukan selama sehari semalam dengan ketelitian pekerja dalam mengatur suhu. Pengaturan suhu dilakukan dengan mengandalkan insting dan pengalaman para pekerja. Dalam proses pembakaran ini, ketelitian diperlukan agar keramik tidak pecah saat pembakaran.  Usai dibakar, keramik akan didinginkan. Proses ini terkadang menghabiskan waktu selama satu hari. Dalam proses pendinginan, pintu dan jendela dibuka. Setelah keramik dingin, keramik siap untuk dipasarkan.

Pembuatan keramik tidak dapat dilepaskan pada kepatuhan tradisi sesuai yang diwariskan dari leluhur. Para pengrajin memiliki trik-trik khusus yan digunakan untuk membentuk, mengukir bahkan memilih tanaman untuk pewarnaan. Penggunaaan corak-corak hiasan juga disesuaikan dengan mitologi yang diyakini. Motif yang paling banyak digunakan pada keramik Sakkok adalah motif naga, burung dan teratai. Di dalam motif sendiri terdapat lambang dan harapan yang diinginkan seperti burung krisan (bunga musim gugur) yang melambangkan persahabatan, keramahan dan kesabaran. Motif  bunga teratai melambangkan kesucian, kesuburan dan kesempurnaan sedangkan naga melambangkan laki-laki, raja dan perlindungan. Di antara semua motif, motif naga paling sering digunakan pada keramik Sakkok. Selain dalam hal penggunaan motif, tradisi Cina yang kuat dalam pembuatan keramik dapat dilihat dari ritual yang dilakukan. Sebagaimana tradisi di Cina, doa-doa sesuai kepercayaan serta ritual selalu dilakukan pemilik tungku naga.

Dragon kiln hanyalah salah satu dari tradisi Cina yang masih dapat dilihat di kota yang dikenal dengan sebutan “kota seribu kelenteng”. Masih banyak karya budaya bercirikan Cina yang dapat dieksplorasi di kota ini.

 

 

Dokumentasi foto: Any Rahmayani (BPNB Kalbar) dan Septi Dhanik Prastiwi (BPNB Kalbar)

Disarikan oleh: Septi Dhanik Prastiwi (Pengolah Data Nilai Budaya)

Sumber:

Rahmayani, Any. 2009. Dinamika Industri Keramik Cina di Sakkok Kota Singkawang Tahun 1933 Sampai Tahun 2008. Pontianak. BPSNT Pontianak

Triono, Timur. 2014. Singkawang Heritage, Sebuah Kajian Arkeologi Benda-Benda Cagar Budaya. Singkawang. Dinas Kebudayaan, Pariwisata Pemuda dan Olharaga Pemerintah Kota Singkawang