Perkembangan Gedung Merdeka dalam Tiga Era
Gedung Merdeka di Masa Hindia-Belanda
Pada tahun 1895, Gedung Merdeka belum dikenal dengan nama tersebut, melainkan Gedung Societeit Concordia. Gedung ini berfungsi sebagai tempat rekreasi dan hiburan bagi orang-orang Belanda, terutama kalangan pengusaha perkebunan, perwira, dan pejabat kaya (Ekadjati, 2004). Nama “Societeit” berasal dari bahasa Belanda yang berarti “balai”, sedangkan “Concordia” dari bahasa Latin yang berarti “kesepakatan” (Oesman, 2016).
Gedung ini menjadi pusat aktivitas sosial kelas atas di Bandung, lengkap dengan fasilitas ruang makan, ruang dansa, ruang bola sodok, perpustakaan besar, serta ruang untuk berbagai kegiatan seni dan hiburan yang sering disewa oleh kelompok seni lokal seperti Persatuan Sandiwara Braga (Ekadjati, 2004). Kemewahan gedung ini terlihat dari lantai marmer Italia, lampu kristal, dan perabotan mewah dari kayu cikenhout (Hutagalung dan Nugraha, 2008).
Gedung Merdeka di Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Gedung Societeit Concordia diambil alih oleh militer Jepang dan namanya diubah menjadi Dai Toa Kaikan, yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan Jepang (Ekadjati, 2004). Meskipun berubah fungsi, kegiatan seni dan hiburan tetap berlangsung di gedung ini. Pada akhir masa pendudukan Jepang, gedung ini sempat digunakan oleh para pemuda Bandung sebagai markas perjuangan melawan tentara pendudukan Jepang, hingga akhirnya menjadi tempat aktivitas pemerintahan lokal setelah kedatangan tentara Sekutu (Ekadjati, 2004).
Gedung Merdeka di Era Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, aset-aset yang dikuasai oleh Jepang, termasuk Gedung Societeit Concordia, diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia (Wawancara, 23 Juli 2024). Pada tahun 1954, pemerintah menetapkan Bandung sebagai lokasi Konferensi Asia Afrika, dan Gedung Concordia dipilih sebagai tempat pelaksanaan konferensi karena kemegahannya serta lokasinya yang strategis dekat dengan hotel-hotel besar seperti Savoy Homann dan Grand Preanger (Ekadjati, 2004). Pemugaran gedung dilakukan tanpa mengubah bentuk aslinya dan dipimpin oleh Ir. R. Srigati Santoso dari Jawatan Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Barat (Ekadjati, 2004). Pada tahun 1955, setelah konferensi tersebut, gedung ini diberi nama Gedung Merdeka oleh Presiden Soekarno, terinspirasi oleh semangat kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika.
Pada tahun 1980, peringatan 25 tahun Konferensi Asia Afrika digelar di Gedung Merdeka dan sekaligus diresmikan Museum Konferensi Asia Afrika oleh Presiden Soeharto (Ekadjati, 2004). Pada tahun 2009, Gedung Merdeka resmi ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya Kota Bandung melalui Perda Kota Bandung No. 19/2009, serta sebagai cagar budaya nasional karena peranannya dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa Asia-Afrika.
Gedung Merdeka, yang awalnya dikenal sebagai Gedung Societeit Concordia pada tahun 1895, memiliki peran penting dalam sejarah kota Bandung dan Indonesia. Selama masa Hindia-Belanda, gedung ini berfungsi sebagai pusat rekreasi orang Belanda. Pada era pendudukan Jepang, gedung ini berubah fungsi menjadi pusat kebudayaan Jepang dengan nama Dai Toa Kaikan. Setelah kemerdekaan, gedung ini diambil alih oleh pemerintah Indonesia dan menjadi saksi peristiwa besar, seperti Konferensi Asia Afrika 1955. Hingga saat ini, Gedung Merdeka menjadi simbol penting perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika, sekaligus bangunan cagar budaya yang dilindungi pemerintah.
Penulis : Ahran Intifa Rahman
Sekolah : SMAN 4 Bandung
Kegiatan : Sakola Budaya 2024 BPK IX Provinsi Jawa Barat