Bangunan BTPN KCP Dago (De Driekleur)

You are currently viewing Bangunan BTPN KCP Dago (De Driekleur)

Bangunan BTPN KCP Dago (De Driekleur)

Dalam gemerlap modernitas Kota Bandung, sebuah bangunan megah berdiri di persimpangan antara Jalan Ir. H. Djuanda (Dago) dan Jalan Sultan Agung. Bangunan yang kini menjadi kantor Bank BTPN tersebut menyimpan sejarah yang kaya, mempersembahkan perjalanan panjang dari masa lalu yang beragam.

Pada tahun 1938, seorang arsitek bernama A.F. Aalbers mewujudkan sebuah impian dengan merancang Villa Driekleur, atau yang lebih dikenal dengan Villa Tiga Warna. Bangunan ini memancarkan keanggunan dan keindahan yang memesona, dengan tiga balkon yang menghadap ke Jalan Dago, masing-masing diberi warna merah, putih, dan biru, mencerminkan warna bendera Belanda.

Namun, seperti yang sering terjadi dalam alur sejarah, bangunan itu menjadi saksi bisu dari perubahan zaman. Pada masa pendudukan Jepang, Villa Tiga Warna diubah menjadi kantor Domei, yang merupakan kantor berita milik Jepang. Di tanggal yang mengubah sejarah bangsa, 17 Agustus 1945, di depan bangunan ini, teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pertama kali ditulis dengan kapur tulis di papan tulis. Pesan penting itu menjadi semangat bagi warga Bandung, menandai awal dari sebuah perjalanan menuju kemerdekaan.

Setelah kemerdekaan, bangunan itu mengalami berbagai perubahan peran. Dari rumah tinggal, hingga menjadi kantor Bank Jasa Arta pada tahun 1990-an. Namun, seperti yang sering terjadi pada bangunan bersejarah, ia mengalami masa sulit, ditinggalkan untuk beberapa waktu.

Namun, sejarah tidak akan membiarkan keindahan terlupakan begitu saja. Bangunan itu kemudian direnovasi dan diberi fungsi baru sebagai kantor Bank BTPN. Dengan sentuhan modern namun tetap memelihara keanggunan masa lalu, bangunan ini kembali menjadi pusat aktivitas, mengingatkan kita akan perjalanan panjangnya dari masa lalu yang bergelora hingga menjadi bagian tak terpisahkan dari kota yang terus berkembang.

Dari Villa Tiga Warna hingga kantor Bank BTPN, bangunan ini telah menyaksikan berbagai babak sejarah, menjadi saksi bisu dari perubahan zaman. Namun, di balik setiap ubahan dan renovasi, ia tetap memelihara warisan berharga dari masa lalu, mengajarkan kita untuk menghargai dan merayakan sejarah yang hidup dalam dinding-dindingnya.

Pada dasarnya, arsitektur bukan hanya sekadar bentuk dan fungsi, tetapi juga cermin dari zaman dan konteksnya. Salah satu contoh yang menarik dari perpaduan ini adalah bangunan De Driekleur, yang menjelma menjadi landmark di Kota Bandung dengan konsep arsitektur “Nieuwe Bouwen”.

Nieuwe Bouwen, sebuah gerakan arsitektur yang muncul di Eropa pada akhir abad ke-19, bukan sekadar tren, tetapi sebuah manifesto untuk membebaskan diri dari kungkungan konsep konvensional. Dipelopori oleh H.P. Berlage, aliran ini menekankan modernitas melalui penggunaan struktur dan material baru seperti beton, kaca, dan baja, serta memperkenalkan metode pembangunan yang lebih efisien.

Bangunan De Driekleur mengadaptasi konsep Nieuwe Bouwen dengan sangat elegan. Konsep utama aliran ini, yaitu fleksibilitas, ringan, transparan, bersih, dan elegan, tercermin jelas dalam desainnya. Bentuk bidang-bidang horisontal yang lurus melengkung sebagai selubung bangunan bukan hanya menciptakan estetika yang menawan, tetapi juga merupakan adaptasi cerdas terhadap bentuk dan posisi tapak bangunan.

Menariknya, Aalbers sebagai arsitek utama bangunan ini, tidak sekadar mengadopsi Nieuwe Bouwen secara kaku, tetapi menggabungkannya dengan keadaan iklim, bentuk lahan, dan teknologi pembangunan setempat. Inilah yang membuatnya menjadi sebuah karya yang unik, bukan hanya sebagai representasi dari arsitektur modern, tetapi juga sebagai penanda dari evolusi arsitektur di Hindia Belanda.

Di tengah maraknya arsitektur fungsionalis yang berkembang luas di Eropa pada era 1920-an hingga 1940-an, Nieuwe Bouwen dianggap sebagai representasi dari “Internationale Style”. Namun, De Driekleur menunjukkan bahwa adaptasi adalah kunci keberhasilan dalam merespons konteks lokal.

Dengan begitu, ketika kita mengagumi keindahan bangunan De Driekleur, kita tidak hanya menyaksikan sebuah karya arsitektur yang megah, tetapi juga sebuah kisah tentang bagaimana perpaduan antara modernitas Eropa dan konteks lokal Indonesia telah menciptakan sesuatu yang istimewa dan berkesan.

Konstruksi fasad bangunan De Driekleur dengan kesan yang kokoh, dengan komposisi bukaan (jendela kaca dan jendela ventilasi) secara cukup dominan mampu menghadirkan kenyamanan termal dan visual. Hal tersebut di maksimalkan dengan adanya teritisan di atas jendela pada tiap lantai yang cukup lebar sebagai penetralisir sinar matahari kedalam ruangan. Lalu, konstruksi dinding dari pasangan bata merah yang diplester sebagai selubung bangunan, sebagai solusi terhadap kenyamanan audial (Suryono et al., 2012).

Aalbers di dalam merancang De Driekleur telah mempertimbangkan lokasi tapak dengan orientasi bangunan, selain pertimbangan iklim dengan bentuk tapak itu sendiri. Ia telah mengetahui kawasan Dago yang terletak di daerah Bandung Utara sebagai dataran tinggi, cenderung memiliki udara yang sejuk, menjadikan jarak ketinggian antara peil lantai dengan langit-langit mejnadi tidak terlalu tinggi. Lalu, dengan bentuk bangunan yang cukup massif, ia menempatkan ruang hijau/taman di tengahnya (inner court) sebagai ruang sirkulasi udara, serta penambah kualitas visual ruang (Putra & Budi, 2017).

Signifikansi dan semangat arsitektur modern sebagai zeitgeist nampak kuat dalam karakter bangunan De Driekleur (Suryono et al., 2012). De Driekleur merupakan representasi langgam art deco di Kota Bandung dari masa 1930-an yang masih bertahan secara relevan hingga saat ini. Keberadaan bangunan tersebut yang terpelihara dengan baik, dengan tetap mempertahankan keaslian bentuknya, menjadikan De Driekleur pantas medapatkan tempat sebagai bagian dari warisan arsitektur Modern di Indonesia (Boivin, 2014).

Sumber:
Kajian Pendataan Cagar Budaya & S.O.P. Cagar Budaya – BUKU I: Laporan Kajian, Disbudpar Kota Bandung 2023