BALONG SUNDA
Oleh :
Lina Herlinawati
(BPNB Jawa Barat)
Masyarakat Sunda di pedesaan yang memiliki lahan luas – baik menyatu dengan rumahnya maupun tidak, biasanya lahan tersebut digunakan untuk bertani, berkebun atau tempat memelihara ikan berupa balong. Dalam Kamus Bahasa Sunda disebutkan balong adalah tempat miara lauk mangrupa cai ngemplang dina tanah beunang ngali ‘tempat memelihara ikan berupa air yang tergenang di atas tanah yang telah digali’. Keberadaan balong menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sunda.
Sementara itu dalam Ensiklopedi Sunda diuraikan tentang balong dengan lengkap. Balong adalah petakan tanah digenangi air yang digunakan untuk memelihara ikan air tawar secara permanen. Luasnya kurang lebih 300 m2 hingga 1 ha, dengan kedalaman kurang lebih 50 cm hingga 150 cm, bergantung pada cara pembuatannya. Pembuatan balong ada yang dibuat dengan cara di-tambak sekeliling sebagai tanggul pembendung air, ada yang dengan cara digali, dan ada pula yang hanya satu sisi saja di-tambak, sedangkan sisi-sisi lain terbentuk secara alami. Balong yang dibuat dengan cara pertama dan kedua biasanya tidak dalam, tapi balong yang dibuat dengan cara ketiga biasanya cukup dalam bahkan di bagian dekat tambak ada yang dalamnya lebih dari 150 cm.
Balong atau kolam ikan menjadi pekarangan rumah warga
di Desa Kurnia Bakti, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Tasikmlaya – Jawa Barat
. (Sumber : KOMPAS/PRIYOMBODO dalam travel.kompas.com)
Ikan peliharaan atau jenis ikan tawar yang biasa dipelihara di balong ialah ikan emas, tawes, tambakan/tambarakang (Helostoma temminckii), dan gurame. Kemudian ada pula ikan-ikan lain yang tidak dipelihara ikut menumpang menjadi penghuni balong seperti nilem, lele, bogo, beunteur, beureum panon/Brek atau mata merah (Puntius orphoides), sepat, tampele, dan impun. Adapun ikan mujaer yang awalnya merupakan ikan peliharaan, lama-lama berubah statusmya menjadi ikan penumpang pula.
Berbicara tentang pemeliharaan ikan di balong-balong di pedesaan, umumnya dari dulu para pemiliknya menyerahkan hampir seluruhnya kepada alam. Kemudian sekadar untuk membantu agar ikan-ikan itu tidak terlalu sulit mencari makan, biasanya di atas balong dibuat pacilingan atau ditanami tumbuhan air yang bisa terapung dan menutupi permukaan air balong seperti kayu apung dan rambu kasang.
Kayu apung (Pistia stratiotes) atau apu-apu, kapu-kapu menjadi salah satu tanaman air yang multifungsi. Selain sebagai penghias (tanaman hias air), apu-apu berfungsi juga sebagai pembersih dari pencemaran air. Selain itu, tumbuhan air apu-apu, termasuk salah satu tanaman hias yang mudah perawatannya dan termasuk tahan lama.
Hal yang menarik tentang pacilingan, pacilingan adalah kakus, tempat kalahajat (bubuang, miceun, kabeuratan) ‘buang air besar’. Pacilingan dalam ensiklopedia Sunda disebutkan sebagai tempat buang air di atas balong, Biasanya terbuat dari bambu, berdinding tepi tak beratap. Keempat dindingnya dibuat dari gedek (anyaman yang terbuat dari bilah-bilah bambu) atau dari bilik, lantainya dari potongan bambu gelondongan dengan memakai lubang antara celah atau celah di tengah-tengahnya sebesar batang bambu yang dijadikan lantai. Di dalamnya biasanya ada pancuran, sedangkan di sampingnya dipasang titian. Tingginya disesuaikan dengan tinggi pinggir (tambak, pematang) kolam. Dapat dikatakan pacilingan ini merupakan sarana khas yang dimiliki masyarakat pedesaan, yang nyaris jarang dijumpai di perkotaan.
Dalam Ensiklopedi Sunda pun disebutkan bahwa balong yang baik untuk tempat pemeliharan ikan, bila airnya cai hirup (air yang hidup) – dalam artian airnya mengalir secara permanen. Jadi di bagian girang (hulu) balong terdapat sungapan air yang mengalirkan air secara permanen ke dalam balong. Sungapan adalah tempat mengalirkan air dari sungai atau selokan ke balong. Sementara di bagian hilir balong terdapat palayangan yang mengalirkan air secara permanen ke luar balong. Secara rutin pemilik balong memeriksa dan membersihkan sungapan dan palayangan ini dari benda-benda yang dapat menghalangi kelancaran mengalirmya air.
Pemilik balong biasanya akan memanen ikannya setahun sekali dengan cara membobol balong supaya airnya terkuras habis. Membobol balong dalam bahasa Sunda disebut ngabedahkeun. Adapun caranya adalah di sekitar palayangan (kokocoran – tempat cai ngocor – ka balong) dibuat lubang yang lebih besar dan lebih dalam daripada lubang palayangan, agar air di balong tumpah sampai habis. Balong yang bukan ladang usaha, jadi sekadar merupakan aset keluarga biasanya dipanen sehari sebelum hari raya Islam, seperti Lebaran (Idul Fitri), Lebaran Haji (Idul Adha).
Bagi masyarakat di pedesaan, ngabedahkeun merupakan peristiwa sosial yang telah melembaga atau membudaya dari dulu – menjadi tradisi, bukan sekadar berarti membobolkan balong saja. Pada saat itu, selain keluarga pemilik balong (termasuk pekerjanya), juga para tetangga dan penduduk sekitarnya turut melibatkan diri dalam peristiwa itu. Mereka, laki-laki, perempuan, baik orang dewasa maupun anak-anak ramai-ramai pergi ke balong sambil membawa alat penangkap ikan seadanya dan sekadarnya (seperti ayakan) bahkan cukup berbekal tangan saja. Bila air balong sudah susut dan ikan-ikan peliharaan sudah tampak bergerak masuk ke dalam palung (tanah yang berlekuk dalam dan berisi air) balong menuju pangberokan ‘tempat menyimpan ikan di air bersih sebelum diternakkan kembali’, mereka terjun ke dalam balong, berpesta pora menangkap ikan-ikan yang bergerak di dekatnya dengan ayakan atau cukup dengan tangan kosong.
Jenis ikan yang mereka tangkap bukan jenis ikan peliharaan. Ada semacam kesepakatan yang telah menjadi adat di kalangan masyarakat pedesaan yaitu bahwa ikan yang tidak tergolong ikan peliharaan dimasukkan ke dalam golongan ikan tak bertuan. Ikan-ikan tersebut disebut lauk jarah (ikan liar, bukan peliharaan), siapa pun boleh menangkap dan mengambilnya. Ikan-ikan jenis inilah yang menjadi sasaran tangkapan mereka dalam acara ngabedahkeun balong.
Ngabedahkeun balong yang menjadi tradisi di beberapa tempat di Jawa Barat disebut dengan istilah yang khas daerahnya, seperti ngagubyag balong di Purwakarta, ngubyag balong di Cianjur, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Pangandaran. Terkait dengan itu ada pula tradisi masyarakat, menangkap ikan beramai-ramai dengan menggunakan tangan kosong baik di balong maupun di sungai, seperti ngubek lauk di Sukabumi; ngubek balong, ngubek leuwi di Garut; ngagogo lauk di Majalengka, Kuningan, Sumedang, Bandung; marak lauk atau ngobeng lauk di Kuningan; ngobeng lauk di Tasikmalaya; ngecak balong di Kabupaten Pangandaran, Bogor.
Tradisi di berbagai daerah tersebut di atas dilaksanakannya dalam berbagai momen, seperti setiap menghadapi bulan puasa, setahun sekali menunggu ikan dewasa, musim pemilihan kepala daerah baik tingkat desa maupun tingkat kabupaten, ataupun perayaaan HUT kemerdekaan RI.
Tradisi ngubek balong di Sungai Cimandiri Sukabumi
(Sumber: www.radartasikmalaya.com dan https://fajar.co.id)
Satu hal sangat dinanti masyarakat Sunda setelah mencari ikan atau ngabedahkeun balong adalah makan bersama, baik di tepi maupun di sekitar balong. Ikan hasil tangkapan sebelum dibagikan, terlebih dahulu disisihkan untuk dimasak oleh para ibu. Bagi para ibu mengolah ikan dari balong menjadi makanan yang siap santap adalah tidak sulit. Salah satunya adalah dengan mais lauk atau membuat pepes ikan. Jenis ikan yang dipepes biasanya ikan mas, ikan gurame, mujair dan nila, Cara pengolahannya, ikan yang terlebih dahulu diberi bumbu selanjutnya dibungkus daun pisang untuk kemudian dibubuy atau dibenamkan ke dalam bara api dari hawu (tungku) – sekarang diseupan atau dikukus di atas kompor. Waktu dulu selain dipais (dipepes) atau diseupan (dikukus), ketiadaan minyak goreng diakali dengan cara mindang, yaitu merebus ikan menggunakan kastrol sampai kering tak berkuah dan tulang-belulang ikan benar-benar menjadi lunak. Hasil olahan para ibu tersebut disantap ramai-ramai, penuh ceria dan kekeluargaan oleh mereka yang telah bersama-sama menangkap ikan atau ngabedahkeun balong, berikut para keluarganya.
Tradisi atau kebiasaan turun-temurun yang dilakukan masyarakat Jawa Barat di atas patut dilestarikan karena selain memiliki keunikan tersendiri dari setiap daerah, juga merupakan simbol kebersamaan yang meningkatkan rasa gotong royong di antara warga. Bahkan di Purwakarta, tradisi ngagubyag balong-nya dimasukkan dalam program pendidikan terintegrasi yang dipraktikkan salah satu sekolah di sana, yang disebut “Farming Class”.
Firda Desriyani, Guru SDN 8 Kahuripan Purwakarta yang menginisiasi program pendidikan terintegrasi, Farming Class yang diterapkan pada Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) bersama para siswanya. Dalam praktiknya, Firda mengajak para siswa untuk belajar di luar ruang kelas sambil bermain lumpur di area balong atau sawah yang terletak tidak jauh dari lingkungan sekolah.
Kegiatan Farming Class tersebut disesuaikan dengan keadaan area pesawahan/balong, seperti menanam kangkung, membersihkan rumput, menangkap ikan, bermain gebug bantal, dan permainan tradisional lainnya. Tradisi ngagubyag balong sebagai akar kebudayaan dikenalkan kepada para siswa (generasi muda) dengan memanfaatkan fasilitas sekolah yang telah disediakan.
Banyak manfaat ketika anak bermain lumpur dalam ngagubyag balong, salah satunya menjaga sistem kekebalan tubuh. Kemudian terkait proses KBM, dalam kegiatan tersebut para siswa disadarkan untuk selalu berdoa, mengingat Tuhannya; Belajar Tertib dengan ajaran mengantri; Belajar Kerjasama dengan saling membantu timnya; Belajar Berjuang dengan mencari ikannya, Belajar Cekatan dengan menangkap ikannya, Belajar Mandiri dengan mandi sendiri, menyiapkan dan mengganti pakaiannya sendiri. Pihak sekolah hanya memfasilitasi sesuai kebutuhan dan Hak anak, bertujuan agar mereka gembira, senang ke sekolah.
Kegiatan dalam program pendidikan terintegrasi di sekolah seperti Farming Class di atas, merupakan upaya pengenalan akar kebudayaan daerah yang patut ditiru oleh sekolah-sekolah lainnya di Jawa Barat, umumnya di Indonesia.
Sumber :
Rosidi, A. 2000. Ensiklopedi Sunda – Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
investasi. #wartel #pacilingan #ujinyali #teleponumum #harita #sabilulunganheritage
https://www.jualo.com/taman-dan-tanaman/iklan-tanaman-air-apu-apu-supplier-tanaman-hias
https://disdik.purwakartakab.go.id/berita/detail/firda-desriyani-guru-penggerak-dari-sdn-8-kahuripan-
padjadjaran-purwakarta?/
https://kuninganmass.com/anything/desa-babatan-jaga- tradisi
https://www.radartasikmalaya.com/ngubek-balong-bisa-jadi-wisata-budaya/
http://travellingallworld.blogspot.com/2010/06/tradisi-gubyang-balong.html Tradisi gubyang
https://fajar.co.id/2018/08/21/begini-serunya-tradisi-ngubek-lauk-di-sungai-cimandiri-sukabumi/2/
https://takaitu.id/ngagogo-lauk-tradisi-unik-merayakan-kemenangan-khas-majalengka/mampir ke
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4885128/serunya-tradisi-ngubyag-balong
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4881290/mengenang-tradisi-ngabedahkeun-citarum-di-bendungan-walahar
https://travel.kompas.com/read/2013/07/27/1236412/Balong.Lumbung.Pangan.Priangan?page=all.
https://www.kaskus.co.id/thread/548ad449a1cb17250d8b4568/siapa-yang-pernah-busiat-waktu-sd/12
https://www.liputan6.com/regional/read/2959702/bedah-balong-tradisi-unik-warga-garut-sambut-ramadan
http://video.mekarsari.top/2020/01/tradisi-ngecak-balong-nangkap-ikan.html
https://20.detik.com/spot-wisata/20200713-200713073/tradisi-ngagogo-lauk-bandung
https://www.jeryanuar.web.id/2015/06/ngagogo-lauk-tradisi-munggahan-di.html
https://min.co.id/tag/tradisi-ngagogo-lauk-di-desa-ciceurih-kabupaten-majalengka/