Rumah adalah bagian dari kebutuhan pokok manusia. Keberadaan Rumoh Aceh hingga bentuknya yang sekarang telah melalui perjalanan sejarah yang panjang. Tidak diketahui pasti sejak kapan Rumoh Aceh dibuat oleh orang Aceh, namun keberadaan Rumoh Aceh pernah diungkapkan oleh Siegel (1979: 147) yang terkait dengan ukirannya setelah membaca Hikayat Peoecoeat Moehamat, yang menyebutkan bahwa menjelang abad ke-18 semakin banyak rumah adat Aceh dihiasi dengan corak-corak ukir. Ada juga beberapa catatan yang dibuat oleh para penjelajah seperti John Davis dan Ibnu Batutah yang pernah berkunjung ke Aceh, terdapat catatan bahwa di Aceh terdapat rumah dengan model panggung yang dibangun delapan kaki atau lebih dari tanah dan disangga oleh tiang-tiang kayu dengan jalan lintas di bawahnya. Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, Rumoh Aceh mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Masyarakat Aceh mulai membangun rumah dengan menggunakan model rumah pada zaman sekarang.

Dalam tradisi masyarakat Aceh, rumah merupakan salah satu unsur terpenting karena membangun tempat tinggal/rumah adalah suatu keharusan. Rumah merupakan tempat tinggal yang begitu esensial dan menjadi lambang otoritas seorang laki-laki selaku kepala keluarga. Oleh karena itu belumlah dianggap seseorang itu sempurna hidupnya bila belum memiliki rumah tempat tinggal. Letak denah Rumoh Aceh biasanya dibangun menghadap ke utara dan ke selatan sehingga letaknya tepat membujur dari arah timur ke barat. Umumnya Rumoh Aceh dibangun di atas tiang-tiang setinggi 2,5 sampai 5 meter dari tanah. Rumoh Aceh rata-rata memiliki tiga ruang induk, yaitu ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang. Rumoh Aceh rata-rata dibangun dalam ukuran besar, sebab selain berfungsi sebagai tempat tinggal, Rumoh Aceh juga berfungsi sebagai tempat kegiatan-kegiatan sosial, seperti musyawarah, kenduri, peresmian-peresmian, khitanan, dan lain sebagainya. (Muhammad, 1980 : 5).

Kepercayaan individu atau masyarakat serta kondisi alam di mana individu atau masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh.

Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.

Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun lamanya.

Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.

Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.

Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka, maka ia membangun Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.

Rumoh Aceh telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia) pada tahun 2014 melalui pengajuan yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (BPNB Aceh).