Senjata, apapun jenisnya dan apapun namanya, ia bagaikan dua sisi mata uang jika dilihat dari fungsinya. Di satu sisi ia bisa menjadi “sutan” dan pada sisi yang lain ia bisa berubah menjadi “setan”. Yah, yang namanya senjata pastilah memiliki dua fungsi utama yang saling bertolak belakang yakni sebagai alat untuk mempertahankan/membela diri dan juga sebagai alat untuk menyerang/melumpuhkan lawan.

Walau memiliki fungsi yang sama akan tetapi tetap saja memiliki perbedaan pada ragam bentuk serta bahan dasar pembuatannya, tergantung dari lingkungan asal senjata tersebut pun tergantung dari nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat pembuat/pemilik senjata tersebut. Sebut saja salah satunya adalah Rencong Aceh yang memiliki kekhasan tersendiri sebagaimana juga Keris yang berasal dan berkembang pada masyarakat Jawa yang juga memiliki kekhasan tersendiri juga.

Rencong dan Keris memiliki fungsi yang sama yakni sebagai senjata untuk menikam/menusuk pada saat berhadap-hadapan langsung dengan lawan/musuh, lebih berfungsi dalam peperangan jarak dekat (bukan untuk menebas sebagaimana fungsi utama pedang). Walau memiliki fungsi yang sama akan tetapi tetap saja memiliki perbedaan dari segi bentuk serta nilai yang terkandung didalamnya. Dari segi bentuk, Rencong memiliki mata pisau yang tajam dan terasah pada satu sisi saja, hal ini umum ditemukan pada jenis senjata tajam bangsa-bangsa rumpun Melayu. Berbeda halnya dengan Keris yang tajam dan terasah pada kedua sisi mata pisaunya. Pun Rencong Aceh itu berbentuk lurus sedikit menekuk pada bagian ke ujung mata pisaunya, sedangkan Keris memiliki bentuk yang berlekuk-lekuk dari pangkal sampai ke ujung mata pisaunya.

Proses pembuatan rencong Aceh, saat proses pencetakan mata pisau di Kampung Baet, sentra pembuatan kerajinan Rencong Aceh di Kabupaten Aceh Besar.

Dari sisi nilai yang terkandung didalamnya, Rencong, lebih dipengaruhi oleh Islam. Secara fisik, bentuk keseluruhan rencong merupakan perwujudan dari simbol tulisan bismilah (menyebut nama Allah), yakni gagangnya yang melekuk kemudian menebal pada bagian sikunya merupakan perwujudan aksara Arab “ba” ; Bujuran gagang tempat genggaman berbentuk aksara Arab “sin” ; Bentuk-bentuk lancip yang menurun ke bawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan perwujudan aksara Arab “mim” ; Lajur-lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan perwujudan dari aksara Arab “lam” serta ujung yang runcing sebelah atas mendatar dan bahagian bawah yang sedikit melekuk ke atas merupakan perwujudan aksara Arab “ha”. Dengan demikian rangkaian dari aksara “ba”, “mim”, “lam” dan “ha” itu mewujudkan kalimah “bismillah”.

Berdasarkan catatan sejarah yang ada, Rencong mulai dikenal sejak zaman kepemimpinan Sulthan Ali Mugayatsyah berkuasa di Kerajaan Aceh pada tahun 1514 s/d 1528 M. Bahkan ada juga catatan sejarah yang menyebutkan bahwa masyarakat Aceh telah mempergunakan Rencong sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pada sekitar abad ke-13.

Fungsi utama Rencong pada masa-masa itu adalah sebagai senjata, berbeda halnya setelah Indonesia merdeka. Keberadaan Rencong di tengah-tengah masyarakat Aceh telah bergeser fungsinya menjadi sebuah perhiasan yang terselip pada pinggang para penari Seudati yang menghiasi kegagahan gerak tari Seudati, terselip di pinggang pengantin pria pada saat berlangsungnya upacara pernikahan sebagai simbolisasi dari keberanian, ketangguhan, dan kejantanan dari lelaki Aceh dalam memimpin keluarga. Pun sebagai souvenir khas dari Aceh bagi siapa saja yang datang berkunjung ke Negeri Atas Angin ini.