Peristiwa 11 September 1926; Perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh (Bagian II)

0
4614

Peristiwa 11 September OLEH :HASBULLAH. SS

 Editor : Prof. Drs. Zakaria Ahmad

Booklet diterbitkan oleh

Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Banda Aceh

Pada masa konfrontasi kerajan Aceh dengan Belanda tahun 1905 Teuku Ben Mahmud dari Blangpidie telah melakukan penyerangan terhadap posisi Belanda di Meukek, Aceh Selatan. Serangan ini dipimpin oleh Teuku Idris yang menewaskan seorang pegawai sipil  yang bernama Abdul Hamid. Pasca penyerangan, Teuku Idris ditangkap dan dibuang ke Ternate. Selanjuntya Teuku Ben Mahmud semakin sering menyerang posisi Belanda bahkan sampai Tapaktuan, Bakongan hingga perbatasan Sumatera Utara dengan serangan gerilya. Setelah Teuku Ben Mahmud ditanggkap dan diinternir Belanda ke Maluku, perjuangan dari rakyat Aceh Barat Daya tidak kunjung padam dan seperti “apui lam seukam”. Setelah Teuku Ben Mahmud diasingkan, tanpa diduga-duga terjadi perlawanan Teungku Peukan dari Manggeng yang juga menyerang tangsi Belanda di Blangpidie dalam “Peristiwa 11 September 1926”.

                Saat ini nama Teuku Ben Mahmud, Teungku Peukan dan pejuang lainnya di Aceh Barat Daya masih kurang begitu populer dalam masyarakat. para pejuang tersbeut pernah menorehkan “tinta emas” bagi semangat kemandirian dan jati diri bangsa dengan perlawanan rakyat di Aceh Barat Daya terhadapa kolonial Belanda. Pada saat Belanda semakin kokoh posisinya, ternyata penyerangan sporadis Teungku Peukan dan pejuang lainnya mampu menghantam posisi tangsi marsose Belanda di Kota Blangpidie dalam seangan yang dilakukan pada hari Jumat tanggal 11 September 1926. Serangan ini menjadi saksi dan jejak sejarah keheroikan para pejuang dari Aceh Barat Daya dalam menghadapi ekploitasi dan kolonialisasi.

1. Sekilas Teungku Peukan

                Berdasarkan literatur menyebutkan bahwa Teungku Peukan adalah seirang ulama yang karismatis di daerah zelfbestuur Manggeng. Kini Manggengdan Lembah Sabil adalah nama kecamatan yang secara geografis berada di bagian timur wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya. Orangtua Teungku Peukan merupakan seorang ulama dan pemuka agama Islam  bernama Teungku Padang Ginting sedangkan ibunya bernama Siti Zulekha. Teungku Peukan dilahirnkan di Manggeng pada sekitar tahun 1886, yaitu ketika kerajaan Aceh telah mengalami fase awal peperangan dengan Belanda sejak penyerangan posisi pertahanan Aceh di Mesjid Baiturrahman pada tanggal 18 April 1873 karena kerajaan Aceh tidak menerima isi Perjanjian “Traktat Sumatera”, yaitu suatu oerjanjian antara Belanda dan Inggris dalam menentukan posisi mereka di Sumatera dan sekitar Selat Malaka.

Berdasarkan putusan itu, Belanda merasa berhak menguasai Aceh karena masih merupakan wilayah Sumatera. Namun pihak kerajaan Aceh masih menghormati perjanjian Traktaat London yang membebaskan Aceh dalam melakukan perdagangan dengan negara-negara asing, khususnya Inggris, Turki, dan lain-lain. Teungku Peukan dilahirkan pada fase awal pergolakan Belanda melawan Aceh, hal ini tentu saja mempengaruhi watak beliau semasa dewasa. Terutama dalam pembentukan nilai dan spirit kolonialisme dengan memberi stigma “kaphe” sehingga memeranginya adalah kewajiban bagi setiap muslim. Penolakan keberadaan dan pergolakan terhadap kolonial Belanda yang terbentuk secara psikologis mempengaruhi karakteristik masyarkat Aceh yang sangat antikolonial dengan menyebut mereka kafir (kaphe murakab).

Berangkat dari figur orangtua seorang ulama yang karismatik di kenegerian Manggeng, yang menurunkan watak Teungku Peukan yang tinggi kecintaannya kepada agama dan negerinya seperti yang telah dianjurkan oleh agama Islam sehingga kewajiban membela Islam dari kolonial sangat kentara mewarnai perjuangan Teungku Peukan. Hal ini terlihat ketika persiapan menjelang penyerang, di mana diadakan “pembersihan diri” dengan melakukan wirid dan zikir untuk memohon restu dari Allah SWt. sebagai pemimpin agama dan elit masyarakat di Manggeng tentu saja membuat dimensi lain dari resistensi Teungku Peukan yang bernuansa jihad fisabilillah terhadap kolonialis Belanda di Aceh Barat Daya.

Kenyataan ini diwaspadai oleh Belanda karena kekuatan yang masih bertahan di Aceh hanyalah kekuatan dari ulama seperti Teungku Dayah, Teungku Rangkang dan Teungku Meunasah, karena “bangsawan” sudah dapat “dipengaruhi” dengan pemberian fasilitas belasting atau pajak dan juga sistem penyelesaian sengketa di dalam masyarakat di wilayah uleebalangnya, sehingga masyarakat cenderung menjadi oposisi terhadap bangsawan karena kebijakan represifnya. Posisi Teungku Peukan sebagai leader of spiritual dalam masyarakat di Manggeng menghadapi kolonial Belanda, menjadi pemicu peningkatan moralitas para pendukungnya. Figur ulama menjadi barometer atau motor utama dalam resistensi  tehadap kolonialisme di Aceh Barat Daya, di samping perjuangan yang digerakkan oleh kaum feodal atau bangsawan. Namun setelah Belanda berhasil melakukan pengkajian terhadap peta kekuatan dan melihat dua sisi internal yang sangat berpengaruh di dalammasyarakat Aceh yaitu teungku/pemimpin agama dan uleebalang sebagai pemimpin adat. Kedua kekuatan itu dianggap seperti dua sisi mata uang yang salin berkaitan erat antara satu sisi dengan sisi lainnya, sehingga keduanya harus “dipressure” agar mau bekerjasama.

Pengaruh ajaran Islam sangatlah besar dalam menggerakkan esistensi terhadap kolonial. Islam telah wewanti-wanti kewajiban seseorang atau kaum untuk membela diri, agama dan tanah air hingga tetes darah penghabisan dengan imbalan surga sebagai “reward”. Hal ini lah yang membuat perang Aceh menjadi unik dan spesifik ketika melawan kolonial Belanda, yaitu perang terbesar dan terpanjang dalam sejarah Indonesia. Kondisi ini juga diwaspadai Belanda sehingga perlu dipisahkan kekuatan yang telah menyatu tersebut sebagai upaya menjaga kontrol hegemoni dari kolonial untuk kelanggengan posisinya di Aceh Barat Daya. Upaya mereka terlihat dengan adanya rekruitmen intelijen dan spionase dari masyarakat untuk memantau aktivitas dakwah Teungku Peukan yang dianggap dapat mengancam posisi Belanda di sana. Ulah intelijen dan spionase lokal yang digunakan Belanda tersebut bermuara kepada pemboikotan terhadap aktivitas-aktivitas dakwah yang dilakukan Teungku Peukan di sekitar kenegerian Manggeng.

Taktik devide et impera sangat ampuh diterapkan Belanda di Aceh Barat Daya, namun belum berhasil membangkitkan amarah Teungku Peukan untuk segera melakukan resistensi. Padahal beberapa kerabat Teungku Peukan ingin menyegerakan resistensi tehadap kolonial tersebut. Belanda terus memancing amarah Teungku Peukan dengan pengajuan penarikan pajak tanah atau belasting yang sudah tiga tahun dibebaskan oleh uleebalang Manggeng kepadanya. Teungku Peukan tetap tidak mau membayar pungutan belasting tersebut. berdasarkan alasan inilah kolonial Belanda berkeinginan menangkap Teungku Peukan untuk diadili. Namun, beliau terlebih dahulu menyiapkan siasat dengan menyerang secara ofensif tangsi Belanda melalui pengerahan massa, terutama mereka yang berposisi dengan uleebalang Manggeng. Dalam penyerangan ini Teungku Peukan dibantu kerabat dan simpatisannya.

2. Kondisi Menjelang Penyerangan Tangsi

                Pada malam menjelang peristiwa penyeangan, Teungk Peukan dan pasukannya melakukan ritual keagamaan berupa wirid dan zikir untuk pembersihan diri dan penyerahan diri secara sakral yang dilakukan di Meunasah Ayah Gadeng Manggeng. Para pejuang melakukan briefing terhadap pasukannya di daerah Manggeng, pada saat hendak melakukan penyerangan ke tangsi Blangpidie. Setelah pengaturan “setting awal” serangan, Teungku Peukan lalu mengerahkan pasukannya menuju Blangpidie dengan menempuh jalan kaki sejauh 20 kilometer. Longmarch pasukan ini dilakukan pada tengah malam memasuki hari Jum’at tanggal 11 September 1926. Seluruh pasukan memakai pakaian hitam dan celana hitam. Khusus panglima menggunakan seuleumpang kuneng (selempang kuning), sedangkan para pejuang menggunakan pakaian hitam dengan lilitan ija kuneng (kain kuning) di pinggang mereka.

                Seluruh pejuang diwajibkan menyingsingkan celana hingga sejengkal di atas mata kaki atau tumit untuk menciptakan aura kesigapan, kecepatan dan ketidaksombongan. Sebagai colourguard (pengiba panji perang) dipercayakan kepada putranya Talaha untuk mengobarkan semangat jihad dan menggempur “kaphe Belanda”. Sepanjang malam hingga menjelang fajar, pekikan suara takbir terus membahana di sepanjang jalan antara Manggeng-Blangpidie. Menjelang fajar, seluruh anggota pasukan Teungku Peukan telah tiba di Blangpidie. Sambil melepaskan lelah dan dahaga, pasukan melakukan briefing dan mengatur strategi penyerangan ke dalam tangsi Blangpidie. Setelah beristirahat di Balee Teungku Di Lhoong, Dayah Geuleumpang Payong kemukinan Kutatinggi, seluruh pejuang disiapkan dalam siaga penuh. Pasukan pejuang dibagi menjadi tiga sektor, sesuai dengan penentuan arah serangan yang telah ditetapkan oleh Teungku Peukan. Ketiga sektor itu, masing-masing dipimpin oleh seorang panglima sektor. Saat penyerangan itu, Teungku Peukan dibantu oleh Said Umar, Wakil Ali dan Nyak Walad.