Peristiwa 11 September 1926; Perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh (Bagian I)

0
3548

Peristiwa 11 September Oleh :HASBULLAH. SS

 Editor : Prof. Drs. Zakaria Ahmad

Booklet diterbitkan oleh

Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Banda Aceh

 

 

 

 

Etnografi Aceh Barat Daya

“Meunyo meugo u Blangpidie tajak ligat, meunyoe ibadat bak Teungku muda.”

Maknanya “Kalau bertani ke blangpidie dengan segera, kalau beribadat kepada Teungku Muda”

Masyarakat Aceh Barat Daya bermatapencaharian di sektor agraris dengan pertanian dan perkebunan sebagai lahan pekerjaan dan pendapatan terbesar. Sebagian lagi merupakan komunitas pantai yang bermatapencaharian sebagai nelayan yang menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dan perairan di sekitar air payau serta rawa-rawa. Selebihnya bekerja di sektor perdagangan, pertukangan, buruh, pegawai pemerintah atau swasta.

Berdasarkan etnografi, kabupaten Aceh Barat Daya berpenduduk heterogen, yang terdiri dari beberapa etnis pendatang yang menetap di sana. Etnis Batak atau yang disebut leco atau maco adalah penghuni “asli” dari ras Protomelayu. Mereka tinggal di sekitar Guha Batak di hulu Kruen Beukah di pedalaman Blang Pidie. Pada fase selanjutnya, datang etnis Aneuk Jamee yang merupakan penduduk migrasi dari Sumatera Barat. Di samping itu juga ada pendatang dari etnis Melayu pesisir dari bagian selatan Sumatera Utara. Para migran ini cenderung mendiami daerah pesisir pantai dan tepian muara sungai-sungai besar atau di sepanjang garis pantai di Aceh barat Daya.

Migrasi penduduk selanjutnya datang dari etnis Aceh khususnya dari Aceh Besar yang membuka perkebunan lada. Kemudian disusul oleh kedatangan para petani dari etnis Pidie yang membuka lahan pertanian padi. Kedatangan penduduk minoritas lainnya seperti Jawa, Cina, Mandailing telah mengalami asimilisai dalam pluralitas sehingga kemudian dapat menyebar ke seluruh kenegeriaan di Aceh Barat Daya. Sedangkan orang-orang Cina sejak kedatangannya tetap berkonsentrasi di sekita kota Blangpidie karena adanya perbedaan agama dan kepercayaan dengan penduduk lainnya. Pada mulanya zelfbestuurden Blangpidie berada di bawah hegemoni kenegerian Susoh namun kemudia berdiri menjadi zelfbestuur.

1. Wilayah Kenegerian Manggeng

                Wilayah Manggeng terbentang mulai dari Ujong Lhok Pawoh di perbatasan Tangan-Tangan di bagian barat sampai tepian Krueng Baru di sebelah timur. Kenegerian Manggeng terdiri dari dua uleebalang, yaitu uleebalang Bak Weu di Lembah Sabil dan uleebalang Manggeng. Kedua wilayah ini dipimpin oleh Datuk Beusa. Setelah Datok Beusa meninggal dunia, anak-anaknya menjadi pewaris menggantikan posisinya. Beberapa pergantian uleebalang terjadi di Manggeng.

Pada masa pemerintahan uleebalang Teuku Sandang, ia melakukan kesalahan sehingga sempat diasingkan ke Batavia (Jakarta). Posisinya digantikan oleh Teuku Mamat, namun kemudian digantikan dengan Teuku Muda Nana dan Pemangku Nyak Blang. Setelah Teuku Sandang selesai masa pengasingannya, ia diangkat kembali menjadi uleebalang Manggeng. Tidak lama kemudian, ia digantikan oleh Teuku Iskandar sampai tahun 1933 yang merupakan raja terakhir di kenegerian Manggeng.

Penduduk di kenegerian manggeng sebagian besar berasal dari XXV mukim Aceh  Besar yang berbaur dengan orang Minangkabau (enis Aneuk Jamee). Mereka tersebar di Gampong Manggeng (di sebelah barat Krueng Manggeng) dan di gampong Bak Weu di Lembah Sabil (sebelah selatan Krueng Manggeng). Mata pencaharian mereka adalah bertani di ladang dan sedikit menanam padi di sawah. Sedangkan lada tidak dapat berkembangdengan baik di sana. Hasil-hasil pertanian di kenegerian Manggeng diekspor melalui pelabuhan di Kenegerian Susoh.

2. Wilayah Kenegerian Blangpidie

                Pada tahun 1885, Teuku Ben Mahmud Setia Raja mulai memerintah di kenegerian Blangpidie. Besluit Belanda di Blangpidie adalah Teuku Raja Wawang berdasarkan perjanjian Pulo Kayee tahun 1884. Setelah kematian Teuku Raja Cut, keturunan dari Teuku Ben Mahmud yang dianggap sebagai penguasa sah di Blangpidie. Sepuluh tahun kemudia, yakni tahun 1895, Teuku Ben Mahmud menyerang uleebalang Tapaktuan karena dianggap telah bekerjasama dengan Belanda di bawah kepemimpinan Teuku Larat.

Dalam penyerangan itu, putra Teuku Ben Mahmud, Teuku Banta Sulaiman ditawan Belanda beserta dengan puteri Teuku Larat, Cut Intan Suadat. Setelah peristiwa itu, mereka kemudian dinikahkan. Penyerangan itu terkenal dengan nama Perang Jambo Awe, di mana panglima penyerangnya dipimpin oleh Teungku Jambo Awe yang berasal dari Seunagan, Nagan Raya.

Pada awal pendudukan di Aceh Barat Daya, Belanda melakukan politik korte verklaring (perjanjian singkat) kepada setiap kepala negeri yang ada di sana. Pada sisi lain, rakyat serta merta tidak mau tunduk begitu saja terhadap kekuasaan kolonial. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagian pemimpin yang tidak mau dijajah kemudian bangkit menggerakkan pengikutnya melakukan resistensi untuk mengusir kolonial dari “Bumo Breuh Sigeupai”.

                Tahun 1900, pasukan marsose Belanda memasuki Kota Blangpidie setelah memindahkan posisinya dari Susoh. Belanda membangun tangsi bagi marsose dengan kekuatan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK). Sejak adanya tangsi Belanda di Blangpidie, kota ini semakin berkembang pesat sebagai pusat perdagangan antar kenegerian di Aceh Barat Daya saat itu.

                Perkembangan perdagangan di Kota Blangpidie sangat signifikan karena merupakan basis agraris terbesar di wilayah bagian Barat Selatan Aceh terutama sebagai penghasil padi serta didukung situasi keamanan dan kedudukan pusat militer Belanda. Daya tarik ini mendatangkan minat dari pedagang Tiongkok dari Sibolga (Sumatera Utara) dan Padang (Sumatera Barat) untukmembangun pertokoan di Blangpidie. Perkembangan Kota Blangpidie sebagai pusat perdagangan semakin bertambah ramai semenjak dibukanya akses jalan raya mulai dari Kutaraja sampai ke Tapaktuan Aceh Selatan oleh Belanda.

                Pada tahun 1901, Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 500 orang memporak-porandakan pasukan marsose Belanda di bawah pimpinan Letnan Helb. Pada tahun 1905, tangsi Blangpidie kembali diserang oleh pasukan Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 200 pejuang dengan senjata api dan kelewang. Penyerbuan fase kedua ini ke dalam tangsi Belanda itu telah  menewaskan 47 orang pejuang dari Aceh Barat Daya. Hal itu terjadi kaarena kurangn persiapan dan taktis serta ketidakseimbangan kekuatan antara pejuang dengan pasukan Belanda yang ada di dalam tangsi Marsose.

Pada tahun 1910, wilayah Blangpidie dibagi menjadi empat landschappen yang dipimpin aelfbetuurdeng atau uleebalang cut, yaitu Pulo Kayee, Kutatuha, Lampohdrien dan Kutatinggi. Keempat wilayah uleebalang cut ini merupakan rankaian wilayah yang terbentang, mulai dari Pulo Kayee sampai ke Alue Rambot di sebelah barat dan Panton Seumancang sampai ke Paya di sebelah timur.