Kalabubu adalah aksesoris berbentuk gelang asal Nias bagian selatan yang dikenakan pada leher. Aksesoris yang tengah digalakkan pemasarannya oleh masyarakat Nias ini berbentuk lingkaran unik, besar di tengah lalu mengecil sampai ke ujungnya. Di bagian belakang, tempat bertemunya kedua ujung kalabubu diberi sejenis pengikat menyerupai koin yang terbuat dari kuningan.

Kalabubu terbuat dari batok kelapa (sole) yang disusun dengan presisi tinggi, sehingga ia mengikat kuat satu sama lain. Untuk membuat satu kalabubu ukuran dewasa, dibutuhkan lebih kurang 120-150 keping koin. Satu buah sole biasanya dapat menghasilkan satu sampai tiga keping koin. Bahan lain yang digunakan adalah kapur sirih (betua), kuningan (life), sejenis kayu keras (berua), serta besi tulangan (kawe).

Sementara peralatan yang digunakan adalah kapak kecil (fato), pisau penukil (famoe), mangkok pelebur (bowoa tano), mal (cetakan) kuningan pengikat, mal koin sole, boro (bor tradisional), pompa (ambukha), pahat (fahö), kikir (arakha), tungku (fandrindrina), tang penjepit, dan kuas.

Cara pembuatannya, pilih bagian sole yang terkeras, cirinya terletak di bagian bawah dan terdapat pola seperti mata. Dalam bahasa setempat bagian ini disebut tempurung betina (sialawenia). Sialawenia tersebut kemudian dipotong membentuk koin persegi empat menggunakan kapak kecil (fato). Setiap kepingnya memiliki ukuran yang berbeda dengan ketebalan yang asimetris. Tujuannya agar koin itu membentuk lingkaran ketika disusun rapat. Koin-koin tersebut kemudian dilubangi bagian tengah dengan memakai boro dan dipasangkan pada kawe yang berfungsi sebagai tulang atau rangka (frame).

Koin yang sudah terpasang kemudian dihaluskan dengan kikir sembari diganjal menggunakan berua diruncingkan ujungnya agar pasangan koin sole tetap presisi. Begitu seterusnya hingga untaian koin membentuk satu kalabubu yang utuh. Sisa kawat yang ada di ujung kalabubu lalu dipanaskan sampai merah  membara lalu disatukan dengan dengan kuningan pengikat. Proses selanjutnya adalah menghaluskan untaian tersebut menggunakan kikir sampai diperoleh bentuk yang diinginkan. Setelah itu, untaian tersebut dihaluskan lagi menggunakan amplas atau kertas pasir sampai mengkilap.

Kalabubu yang dikenakan menunjukkan status sosial seseorang dalam masyarakat. Prajurit biasa lazimnya mengenakan kalabubu yang polos, sementara untuk golongan bangsawan (si’ulu) biasanya memiliki motif atau corak yang lebih kompleks dan diikat dengan emas di bagian ujungnya. Sebagai aksesoris, kalabubu memiliki nilai budaya dan nilai sejarah yang sangat tinggi. Di masa lalu, kalabubu merupakan perlengkapan perang yang dikenakan oleh laki-laki di desa-desa Nias Selatan. Fungsinya adalah melindungi leher dari tebasan tolögu (golok) dari para emali atau pemburu kepala. Tebasan tersebut tidak seperti pemenggalan kepala (decapitation) pada umumnya, tetapi tebasan diagonal dari leher sebelah kiri ke bagian ketiak kanan. Tebasan ini dimaksudkan untuk memperoleh bagian kepala dan tangan kanan yang utuh (binu), yang akan dijadikan sebagai pengorbanan untuk batu hombo, meraih gelar kebangsawanan, ritus kedewasaan, ataupun meningkatkan ilmu kebatinan. Dalam kepercayaan Nias zaman dahulu, kematian yang paling menyedihkan adalah mati sebagai binu.

Beberapa Tolögu menurut tradisi lisan dapat memisahkan anggota tubuh lawan dalam satu kali tebasan, sebab ia memiliki sejenis jimat (fetua) yang dipercaya mampu meningkatkan kekuatan pemakainya. Konon kalabubu pada masa itu juga memiliki jimat khusus yang dapat menangkal kekuatan tebasan Tolögu lawan. Letak jimat tersebut berada di belakang (kuningan pengikat) atau di bagian depan kalabubu yang paling besar (bagian yang menjuntai di dada bagian depan pemakai). Alih-alih menghindari tebasan lawan, pemakai kalabubu akan menyambut tebasan tersebut dengan mengarahkan bagian tubuh yang terlindungi kalabubu untuk menangkis.

Jika jimat pada tolögu lawan lebih kuat, kalabubu yang dikenakan akan pecah. Tetapi jika jimat pada kalabubu lebih kuat, lawan akan terpental dan memberikan kesempatan pada pemakai kalabubu untuk membalas dengan serangan yang tak kalah mematikan. Mereka yang jadi pemenang akan mendapatkan rasa hormat dari kawan maupun lawan, sebab pertarungan yang terjadi tidak hanya melibatkan kelihaian fisik tetapi juga kekuatan kebatinan pada tingkatan tertentu. Jika kita memperhatikan dengan seksama, teknik pertarungan semacam ini masih dapat dilihat pada tarian perang fataele atau foluaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat Nias bagian selatan. Menurut sumber informasi yang diperoleh dari narasumber, kalabubu kini sudah tidak memiliki kekuatan mistik. Kalabubu saat ini berfungsi sebagai aksesoris dan tidak ada pantangan bagi siapapun yang mengenakannya.

Pada tahun ini (2018), Kalabubu telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia) dari Nias.

Dharma Kelana Putra