Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia, relatif mudah didapat, dan murah pula harganya di pasaran jika dibandingkan dengan sumber protein dari daging ayam dan daging sapi. Sebagaimana sumber protein hewani lainnya, ikan termasuk sumber protein hewani yang mudah mengalami proses pembusukan. Penyebab proses pembusukan ini adalah bakteri dan perubahan kimiawi yang terjadi pada ikan yang telah mati.
Jauh sebelum ditemukannya lemari pendingin dan metode pengawetan makanan dengan menggunakan zat kimia, ada empat metode kuno pengawetan makanan/sumber protein hewani yang telah dikenal sejak zaman dahulu. Menurut Prof. DR. Teuku Jacob, seorang ahli paleoantropologi, keempat metode tersebut yakni: metode pengeringan di bawah terik sinar matahari, metode penggaraman, metode pengeringan dengan menggunakan rempah-rempah, dan metode pengasapan.
Konon metode pengawetan makanan ini muncul dari krisis pangan yang pernah dihadapi oleh manusia pada masa lalu. Berdasarkan pengalaman empirik, bukan melalui hasil sebuah penelitian sebagaimana dimasa sekarang ini. Metode pengawetan makanan tersebut ditemukan secara tidak sengaja. Idenya adalah, bagaimana caranya agar hasil tangkapan hari ini bisa disimpan untuk memenuhi ataupun mencukupi kebutuhan kedepannya.
Sebagaimana masyarakat Eropa pada masa abad ke-16 sampai dengan abad ke-18, sebelum ditemukannya mesin pendingin yang dapat berfungsi untuk pengawet makanan, mereka harus bisa menghadapi kenyataan yang terjadi pada saat setiap musim dingin/salju tiba. Sepanjang musim tersebut mereka harus tetap bisa bertahan hidup dan dapat memenuhi kebutuhan protein hewani. Solusinya adalah dengan mengawetkan makanan tersebut dengan menggunakan rempah-rempah, seperti lada, yang didatangkan dari kawasan Nusantara pada masa itu. Kita tentu masih ingat tentang catatan-catatan sejarah Nusantara di masa lalu, dimana pada masa itu Nusantara merupakan salah satu kawasan penghasil rempah terbesar di Dunia. Permintaan akan komoditi tersebut telah mengakibatkan mahalnya harga jual rempah-rempah yang berasal dari Nusantara pada masa itu, bahkan harganya bisa menyaingi harga emas. Inilah salah satu faktor pendorong terjadinya gerakan kolonialisasi bangsa Eropa atas Nusantara dikemudian hari.
Lain halnya dengan bangsa Eropa dimasa lalu, masyarakat di Indonesia yang hidup dan menetap di pesisir-pesisir pantai sejak dahulu sudah lebih familiar dengan metode pengawetan ikan dengan pemanfaatan sinar matahari (pengeringan) dan garam (pengasinan). Teknik pengawetan dengan cara pengeringan dan pengasinan ini dapat mengurangi kadar air pada ikan dan dapat menghambat berkembangnya mikroba jenis bakteri sekaligus menghambat proses perombakan enzim. Mereka mengawetkan ikan sisa hasil tangkapan laut untuk tetap bisa dikonsumsi. Menurut Prof. DR. Teuku Jacob, teknik pengawetan dengan metode pengeringan dan pengasinan ikan seperti ini setidaknya telah dikenal sejak zaman neolitik.
Masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman dan daerah perbukitan yang jauh dari pesisir pantai ternyata juga sudah familiar dengan metode pengawetan makanan yaitu dengan cara pengasapan, metode pengasapan juga dapat berfungsi mengurangi bahkan menghilangkan kadar air dalam tubuh ikan, sehinga tidak memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak. Biasa dikenal dengan nama disalai. Jenis ikan yang disalai atau diasapi adalah jenis ikan yang hidup di air tawar hasil tangkapan dari sungai maupun danau air tawar. Salah satu daerah yang terkenal akan ikan salainya adalah daerah Mandailing. Orang-orang Mandailing menyebutnya dengan ikan sale atau gulaen nadi sale.
Proses pembuatan ikan sale ini tidaklah mudah. Agar mendapatkan ikan sale yang berkwalitas baik, haruslah melalui proses pengasapan lebih kurang tiga jam lamanya. Bahan yang digunakan untuk mengasapi ikan sale adalah sabut kelapa kering. Tidak menggunakan kayu bakar sebagaimana kebanyakan proses pengasapan ikan salai di daerah lain. Inilah salah satu yang membuat rasa ikan salai dari Mandailing memiliki cita rasa serta aroma yang khas dan yang menyebabkan ikan salai ini lebih tahan lama. Sesaat sebelum memasuki proses pengasapan, ikan tersebut terlebih dahulu dibelah dari bagian kepala hingga ekor, namun tidak sampai putus terbelah. Insang dan bagian dalam perut ikan dibuang dan ikanpun dicuci dengan menggunakan air hingga benar-benar bersih. Kemudian ikan-ikan tersebut disusun merata pada wadah yang sudah disiapkan secara khusus, dan ikanpun disalai dengan menggunakan asap dari sabut kelapa kering yang telah dibakar.
Hampir semua jenis ikan air tawar yang berasal dari sungai dan danau di Mandailing metode pengawetannya bisa dan biasa disalai. Ikan yang telah mengalami proses disalai, bukan sekedar awet, tetapi ternyata dapat merobah cita-rasa menjadi lebih nikmat, karena bau amis (anyir) ikan semakin berkurang akibat pengeringan. Adapun jenis ikan salai (sale) yang paling terkenal dan mahal harganya di daerah Mandailing adalah gulaen mera nadi sale (ikan jurung salai). Harga perkilonya bisa menyamai bahkan melebihi harga perkilo daging sapi. Gulaen mera nadi sale, harga perpotongnya, sekitar 500 gr, bisa mencapai dikisaran Rp 100.000,00. Bahkan bisa lebih mahal lagi apabila ikan jurung yang dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan ikan salai tersebut bukan hasil dari budi daya penangkaran, akan tetapi merupakan hasil tangkapan liar dari sungai maupun danau, karena selain rasanya yang memang jauh lebih nikmat, berbeda dengan ikan hasil penangkaran.
Pada masyarakat Mandailing, ikan jurung ini merupakan makanan istimewa dan khas, karena cita-rasanya lebih terasa nikmat bila dibandingankan dengan jenis ikan-ikan yang lainnya, wajarlah kalau jenis ikan jurung ini menjadi makanan yang sangat digemari oleh para raja-raja, dan hanya sering disuguhkan pada saat acara-acara adat di Mandailing. Namun untuk mendapatkan ikan jurung liar lebih susah. Inilah juga salah satu sebabnya, kenapa harga gulaen mera nadi sale ini mahal sekali.
Selain gulaen mera nadi sale, jenis ikan sale yang juga terkenal dari daerah Mandailing adalah limbat sale dan bolut sale. Limbat sale adalah ikan lele hasil tangkapan liar dari sungai yang kemudian disalai, sedangkan bolut sale adalah ikan belut yang sudah disalai. Kedua jenis ikan salai inilah yang banyak dijual di pasaran di daerah Mandailing, namun harganya juga masih lumayan relatif mahal.
Orang Mandailing biasa menyajikan ikan sale ini dengan cara digulai santan bersama kentang. Salah satu sajian yang terkenal dan banyak selalu disajikan pada rumah makan-rumah makan khas Mandailing adalah gule limbat sale atau gulai lele salai. Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan gulai ini adalah cabai merah giling, bawang merang giling, kunyit giling, jahe giling, batang sereh, lengkuas, potongan bawang batak, dan potongan tomat merah. Rasa yang ditimbulkan bumbu-bumbu tersebut membuat gulai ikan sale tersebut begitu nikmat, rasa dan aromanya begitu khas, selain rasanya pedas juga terasa panas di lidah. Rasa panas ini muncul dari ikan yang telah disalai dengan menggunakan asap dari proses pembakaran sabut kelapa kering tadi.
Khusus untuk bolut sale, jenis ikan salai ini selain dapat disambal goreng, namun biasanya dimasak rendang bersama dengan kentang kecil seukuran uang logam. Orang Mandailing menamakannya dengan rondang bolut atau rendang belut. Rondang bolut ini memiliki rasa dan aroma yang khas dan merupakan salah satu masakan khas dari Mandailing yang hanya dapat dijumpai di daerah Mandailing, di rumah-rumah orang Mandailing, atuapun di rumah-rumah makan khas masakan Mandailing. Proses pembuatannya tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan rendang pada umumnya, akan tetapi proses pemasakannya tidak sampai kering sebagaimana rendang daging khas Sumatera Barat.
Limbat sale dan bolut sale juga biasa disambal goreng. Pertama-tama limbat dan bolut sale tersebut dipotong-potong, dicuci dengan air, kemudian digoreng pada minyak yang telah panas kurang lebih sepuluh menit kemudian diangkat dan ditiriskan. Kemudian campuran cabe (merah atau hijau), bawang merah, bawang putih, dan garam yang telah digiling (halus atau kasar) ditumis dengan menggunakan minyak secukupnya. Ditengah-tengah proses penumisan tersebut, masukkan potongan bawang merah (batak) secukupnya. Setelah bumbu yang ditumis tersebut telah matang, matikan api kompor dan masukkan perasan jeruk nipis secukupnya ke dalam tumisan bumbu tersebut kemudian diaduk dan masukkan limbat sale atau bolut sale yang telah digoreng sebelumnya dan diaduk hingga merata, kemudian dihidangkan bersama gulai manis daun ubi tumbuk, maka sesaat itu anda yang sedang menikmatinya telah dianggap menjadi orang Mandailing.