Christian Snouck Hurgronje

0
104

Oleh Cut Zahrina, S. Ag

Snouck Hurgronje adalah sebuah nama yang tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia secara umum dan masyarakat Aceh pada khususnya. Nama lengkapnya adalah Christian Snouck Hurgronje lahir pada tanggal 8 Februari 1857 di Tholen Provinsi Oosterhout. Dalam keluarga,  Snouck Hurgronje merupakan anak ke empat dari pasangan pendeta J. J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria puteri Pendeta Christian de Visser.

Semasa hidupnya Snouck Hurgronje telah melangsungkan tiga kali perkawinan, perkawinan pertama dengan Sangkana, anak tunggal Raden Haji Muhammad Ta’ib, penghulu besar Ciamis. Dari hasil perkawinannya dianugerahi empat orang anak, Salmah, Umar, Aminah dan Ibrahim. Pada tahun 1895, Sangkana meninggal dunia, kemudian tahun 1898 Snouck melangsungkan lagi perkawinan kedua dengan Siti Sadiyah, putri Haji Muhammad Soe’eb, wakil penghulu kota Bandung dari hasil perkawinan ini ia dianugerahi seorang anak bernama Joesoef. Pada tahun 1910, Snouck kembali melangsungkan perkawinan ketiga dengan Ida Maria, putri Dr.AJOort, pendeta liberal di Zutphen, perkawinannya yang ketiga ini dilangsungkan di negeri Belanda dan lahirlah seorang anak perempuan bernama Chrisrien, perkawinan ini merupakan perkawinan terakhir sampai ia meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1936.

Pada usia 18 tahun, setelah menyelesaikan Hogere Burger School (Sekolah Menengah lima tahun ), Snouck Hurgronje masuk Universitas Leiden pada tahun 1875. Mula-mula ia mengikuti kuliah di bidang teologi, kemudian seperti yang ditempuh oleh kebanyakan ahli Islam lainnya, dia melanjutkan kuliah pada kajian sastra semitis. Pada konsentrasi ini, Snouck Hurgronje berhasil meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude berdasarkan disertasi yang berjudul Het Mekkaansche Feest, pada tanggal 24 November 1880 yang dipromotori oleh M.J. de Goeje.

Setelah menyelesaikan kuliahnya di Leiden, ketertarikan Snouck Hurgronje yang besar terhadap kajian Islam membuatnya menghabiskan sebahagian besar waktunya dalam upaya mengkaji Islam, khususnya pada bidang hukum Islam. Akan tetapi, karena minimnya dukungan dari lingkungan akademis terdekatnya, di mana kajian hukum Islam di Belanda yang sangat menonjol pada abad ke-17 sedang mengalami kemunduran maka Snouck Hurgronje mengalihkan perhatian pada wilayah Hijaz sebagai lingkungan akademis berikutnya.

Setahun kemudian, tepatnya pada bulan Agustus 1884 Snouck Hurgronje memulai perjalanannya ke Hijaz dengan tujuan pertamanya adalah Jeddah, bersama konsul Belanda J.H. Kruyt, yang memberikan bantuan biaya dan akomodasi bagi perjalanannya tersebut. Setelah lima bulan menghabiskan waktunya di Jeddah, Snouck Hurgronje kemudian barangkat ke Mekkah dengan identitasnya yang baru sebagai Abdul Ghaffar dan menampilkan dirinya sebagai seorang muslim di hadapan kaum muslimin Mekkah. Penyamaran ini didukung pula dengan profesi barunya sebagai ahli hukum, dokter mata dan fotografer.

Selama tujuh bulan keberadaannya di Mekkah diperkirakan dari bulan Februari hingga Agustus 1885. Snouck Hurgronje mengumpulkan data-data baru tentang Islam dan kehidupan umat muslim dengan cara mendatangi halaqah-halaqah ulama hingga dia berhasil menjalin hubungan erat dan banyak ulama Mekkah dan sejumlah ulama dari Jawa, Sumatera dan Aceh yang berdatangan ke Mekkah, khususnya kepada Syeikh Mekkah dan muftinya Ahmad bin Zaini Dahlan. Di samping itu, dia juga mengalihkan perhatiannya pada koleksi buku dan naskah yang ada di sana, sekaligus dia meneliti situasi kondisi warga negara Belanda yang tinggal di kota tersebut.

Pada kurun waktu itu, Snouck Hurgronje berkenalan dan menjalin hubungan baik dengan Habib Abdurrahman al-Zahir. Ambisi yang besar agar dijadikan sebagai sultan Aceh oleh Belanda menjadikan al-Zahir memberikan berbagai informasi penting berkaitan dengan masyarakat muslim Aceh yang pada waktu itu gencar melakukan perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda. Informasi dan gagasan al-Zahir tentang strategi terbaik untuk menghancurkan pemberontakan masyarakat muslim Aceh disampaikannya kepada J.H. Kruyt merupakan konsul Belanda di Jeddah. Pada tahun 1885, Snouck Hurgronje meninggalkan Mekkah meskipun dia masih belum ingin mengakhiri kunjungannya di kota yang menjadi jantung Islam tersebut. Penyebab kepergiannya ini ditengarai karena hasutan dari pihak konsul Perancis di Jeddah.

Sekembalinya ke Belanda pada tahun 1886, Snouck Hurgronje melanjutkan tugasnya mengajar pada kajian ketimuran di Universitas Leiden. Dia juga mengajar di lembaga pendidikan pegawai Hindia di Leiden dan di Delft. Di sela tugas akademisnya tersebut, Snouck Hurgronje meluangkan waktunya untuk menyusun buku Mekka dalam dua jilid yang merupakan hasil penelitiannya selama di Mekkah. Akibat rasa penasarannya terhadap wilayah Hindia Belanda yang sebagian informasinya didapatkan dari kaum muslimin dari wilayah tersebut ketika ia mengunjungi Mekkah dan juga menjadi bahasan dalam jilid kedua dari Mekka Snouck Hurgronje memantapkan niatnya untuk pergi ke Hindia Belanda. Hampir bersamaan dengan hal tersebut dia menerima surat dari Habib Abdurrahman al-Zahir yang berisi informasi dan saran al-Zahir berkaitan dengan strategi untuk menaklukkan perlawanan masyarakat muslim di Aceh. Karena itu, dia kemudian memutuskan cuti dari tugas dan jabatan akademisnya di Belanda, ia juga menolak tawaran mengajar di seminar Fur Orien Sprachen dan Universitas Cambridge.

Pada tanggal 9 Februari tahun 1888, Snouck Hurgronje secara resmi mengajukan proposal penelitiannya ke Hindia Belanda tersebut kepada Gubernur Jenderal. Ternyata rencananya ini mendapat dukungan dari direktur pendidikan, agama dan perisdustrian serta Menteri Wilayah Jajahan, keuehenius yang memberikan rekomendasi kepada Gubernur Jenderal dan mengharapkan agar segala sesuatunya dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Snouck Hurgronje, pada tanggal 11 Mei 1889 Snouck Hurgronje tiba di Batavia. Oleh Beslit Raja Snouck Hurgronje diangkat sebagai peneliti di Hindia Belanda selama dua tahun. Sementara itu, rupanya kesan positif terhadap Snouck Hurgronje menyebabkan pemerintah merubah jabatan dan tugasnya sebagai Adviseur voor de oosterse Talen en Mohammedaans recht (penasehat di bidang bahasa-bahasa timur dan hukum Islam) pada tanggal 15 Maret 1891.

Pada tanggal 9 Juli 1891, Snouck Hurgronje berangkat ke Aceh dengan tugas meneliti kehidupan masyarakat muslim di sana dan ia tinggal di Kuta Raja. Seperti saat di Mekkah dengan penyamarannya dia berhasil membaur dan diterima dengan baik oleh masyarakat muslim Aceh yang menganggapnya sebagai saudara. Keakraban Snouck Hurgronje dengan bahasa dan orang Aceh berawal dari Mekkah di mana rumah yang ia tempati terletak di seberang apartemen orang Aceh yang dikunjunginya hampir setiap hari. Dalam interaksinya dengan masyarakat muslim Aceh ini sejak bulan Juli 1891 sampai awal Februari 1892, Snouck Hurgronje berhasil mengumpulkan data-data baru yang pada gilirannya hadir dalam bentuk buku dua jilid yaitu De Atjehers (1893-1894) yang diselesaikan setelah kembali ke Batavia.

Pada tahun 1898, ekpedisi militer Belanda untuk menaklukkan Aceh dimulai di bawah pimpinan Van Heutsz. Dalam ekpedisi tersebut, Snouck Hurgronje dilibatkan secara intensif sebagai penasehat dan konsultan untuk memberikan informasi dan pandangan-pandangan berkaitan dengan strategi dalam menaklukkan perlawanan masyarakat muslim Aceh. Karena posisinya yang erat bekerjasama dengan pejabat militer tersebut maka pemerintah Belanda kemudian merubah jabatan Snouck Hurgronje menjadi Adviseur voor Inlandsche Zaken (penasehat urusan pribumi) sejak tanggal 11 Januari tahun 1899. Pada tahun yang sama, Snouck Hurgronje mendirikan Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (kantor untuk pribumi ) merupakan salah satu lembaga yang berwenang memberikan nasehat kepada pemerintah dalam masalah pribumi yang segala sesuatunya diatur dalam peraturan atau instruksi resmi pemerintah Belanda.

Dengan tugas dan tanggung jawab barunya sebagai Adviseur voor inlandshe Zaken yang ketika itu dikhususkan pada permasalahan Aceh. Persoalan tersebut menyebabkan Snouck Hurgronje dalam kurun waktu 1899 hingga tahun 1903 sering melakukan perjalanan Batavia-Aceh untuk bekerjasama dengan Van Heutsz. Meskipun demikian, disela kesibukannya tersebut, dia masih menyempatkan diri untuk memberikan sumbangan ilmiah, baik berupa artikel di surat kabar maupun dalam bentuk karya penelitian. Salah satu karya penelitiannya pada masa kini adalah Het Gajoland en Zijne Bewoners tahun 1903. Di samping itu, Snouck Hurgronje mulai mengarahkan penelitiannya pada kehidupan masyarakat di bagian lain Sumatera dan juga melanjutkan hubungan secara intensif dengan orang Arab yang berada di Batavia.

Berdasarkan konsep Snouck, pemerintah kolonial Belanda dapat mengakhiri perlawanan rakyat Aceh dan meredam munculnya pergolakan-pergolakan di Hindia Belanda yang dimotori oleh umat Islam. Pemikiran Snouck berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya menjadi landasan dasar doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik”. Konsep Snouck berlandaskan fakta masyarakat Islam tidak mempunyai organisasi yang “hirarkis” dan “universal”. Di samping itu karena tidak ada lapisan “klerikal” atau kependetaan seperti pada masyarakat Katolik, maka para ulama Islam tidak berfungsi dan berperan pendeta dalam agama Katolik atau pastur dalam agama Kristen. Mereka tidak dapat membuat dogma dan kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya. Sebaliknya, umat Islam tetap dikendalikan oleh dogma yang ada pada al-Qur’an dan al-Hadits dalam beberapa hal memerlukan interpretasi sehingga kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya tidak bersifat mutlak.

Tidak semua orang Islam harus diposisikan sebagai musuh, karena tidak semua orang Islam Indonesia merupakan orang fanatik dan memusuhi pemerintah “kafir” Belanda. Bahkan para ulamanya pun jika selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak diusik, maka para ulama itu tidak akan menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda. Namun disisi lain, Snouck menemukan fakta bahwa agama Islam mempunyai potensi menguasai seluruh kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik. Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian yaitu ; bidang agama murni (ibadah), bidang sosial kemasyarakatan dan bidang politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep Splitsingstheori.

Pada hakikatnya, Islam tidak memisahkan ketiga bidang tersebut, oleh Snouck diusahakan agar umat Islam Indonesia berangsur-angsur memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan politik. Melalui “politik asosiasi” diprogramkan jalur pendidikan yang bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa. Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita “Pan Islam” dan akan mempermudah penyebaran agama Kristen. Dalam bidang politik haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam, penumpasan itu jika perlu dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata. Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh “orang-orang kafir”.

Dalam bidang agama murni (ibadah), sepanjang tidak mengganggu kekuasaan, maka pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan, serta memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji. Sedangkan dibidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut yang telah dipilih sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Snouck menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam hukum dan peraturan. Konsep untuk membendung dan mematikan pertumbuhan pengaruh hukum Islam adalah dengan “theorie resptie”. Snouck berupaya agar hukum Islam menyesuaikan dengan adat istiadat dan kenyataan politik yang menguasai kehidupan pemeluknya. Islam jangan sampai mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi serta diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika sudah diadopsi menjadi hukum adat.

Sejalan dengan itu, pemerintah kolonial hendaknya menerapkan konsep “devide et Impera” dengan memanfaatkan kelompok elite priyayi dan Islam Abangan atau uleebalang dan ulama untuk meredam kekuatan Islam dan pengaruhnya di masyarakat. Kelompok ini paling mudah diajak kerjasama karena ke-Islaman mereka cenderung tidak memperdulikan “kekafiran” pemerintah kolonial Belanda.

Akhirnya pada tanggal 23 Januari 1907, Snouck Hurgronje menerima peresmiannya sebagai penasehat Menteri Wilayah Jajahan hingga akhir hayatnya. Setelah mengalami gangguan pada kesehatan yang dideritanya sejak musim dingin tahun 1933-1934, pada tanggal 26 Juni 1936 Snouck Hurgronje menghembuskan nafas terakhirnya. Hingga hidupnya pada usia 79 tahun, dia merupakan anggota kehormatan dari sejumlah akademisi dan lembaga, doktor honoris causa dari Universitas-Universitas Groningen, Amsterdam dan Paris.